Chapter 3

Nayla menghela nafas gusar. Malam ini ia kembali lembur, tentu saja dengan perintah Bos besar Dimas.
Nayla benar-benar mengutuk Dimas mati-matian.
Beruntungnya, kali ini bukan hanya Nayla yang di perintahkan untuk lembur. Ada Febri dan Mario juga yang di beri perintah untuk lembur oleh Dimas. Sebenarnya bukan di beri perintah. Hanya saja pekerjaan yang mereka kerjakan, lebih banyak salahnya, sedangkan Dimas, menginginkan besok selesai. Jadinya, mau tidak mau mereka harus lembur masal.

"Pegel!!" seru Nayla dengan merentangkan tangannya.

"Suruh siapa kamu salah mengerjakan kerjaan mu? Kalau kamu tidak salah mengerjakannya, kamu tidak mungkin lembur, kan?" Nayla tersentak kaget.

Itu bukan suara Mario. Apa lagi suara Febri. Mungkinkah penghuni kantor ini? Jawabannya, bukan. Itu adalah Dimas yang juga belum pulang meski sudah selarut ini. Alasannya, entahlah. Nayla dan kawan-kawannya tidak tahu.

"Pak." Nayla meringis saat melihat Dimas berdiri tak jauh dari kubikelnya.

"Kerjaan mu sudah selesai?" tanya Dimas. Nayla menggeleng.

"Tinggal sedikit lagi, pak." jawabnya kemudian.

"Kerjakan, cepat! Jangan mengulang kesalahan lagi, kalau tidak mau lembur mu di perpanjang sampai besok." ujar Dimas, lalu berjalan menuju kubikel Mario.

Bukan hanya Nayla yang di beri petuah dengan Dimas. Mario dan Febri pun di beri mantra yang membuat mereka menjadi takut dan susah bekerja.

"Bukannya kasih semangat, malah mengkritik. Gimana kita bisa kerja coba?" gumam Nayla.

"Sedang menggerutu, Nayla?" tanya Dimas, yang tiba-tiba berdiri di samping kubikel Nayla. Nayla berjingkat kaget.

"Ya tuhan, pak. Apa hobi bapak kagetin orang?" ucap Nayla sarkas. Dimas menatap Nayla sekilas, mengabaikan ucapan Nayla.

"Kerjakan sampai selesai, kalau sudah selesai, bawa ke ruangan saya." perintah Dimas.

Hanya anggukan serempak yang Dimas dapatkan, bukan karena fokus bekerja, tapi mereka terlalu malas menyahut atau menanggapi ucapan Dimas.

beberapa menit kemudian, terdengar Mario bernafas lega.

"Akhirnya, gue selesai juga." Ujarnya. "Beres belum lo?" tanyanya pada Febri. Febri menggeleng dengan melas.

"Belum, bantuin dong, Yo." rengek Febri. Mario tersenyum lebar.

"Maaf nih, bukannya gak mau, tapi otak gue udah terlalu rumit sama kerjaan yang Bos kasih, belum lagi masalah pacar gue yang minta di nikahin cepet-cepet." ujung-ujungnya curhat.

"Sorry, Yo. Kita lagi gak buka layanan curhat." celetuk Nayla. Mario mendengus kesal.

"Gak best Friend lo sama gue." omelnya, lalu berjalan menuju ruangan Dimas.

Tiga menit kemudian, Mario keluar dengan wajah sumringah. "Gue balik dulu ya, guys!!" serunya.

Nayla dan Febri menatap iri pada Mario. "Kerja yang bener, biar cepet balik kaya gue."

"Sombong lo, biasanya juga kerjaan lo paling sering di lempar ke luar gedung sama pak Dimas." celetuk Febri.

"Dih, itu masa lalu. Gue kan harus kerja yang giat biar cepet nikah sama bebep gue."

"Terserah deh, urus sana bebek lo, nanti bertelur sama orang lagi."

"Kampret. Lo kira bebep gue unggas." sewot Mario. "Gue balik duluan. Jangan kangen sama gue." serunya.

"Ngimpi lo!" jawab Nayla dan Febri serentak.

***

Ruangan terdengar hening, hanya suara paduan keyboard yang di lakukan Nayla dan Febri. Tak lama salah satunya berhenti.

"Nay." panggil Febri.

"Hm." gumamnya. Febri melihatkan kepalanya di perbatasan kubikel Nayla dan Febri yang memang berhadapan.

"Lo udah selesai?" tanya Febri.

"Sedikit lagi, kenapa, Feb?"

"Mau gue tungguin? Gue udah selesai." Nayla menghentikan aktivitas mengetiknya. Dan menatap ke arah Febri.

"Lo duluan aja, dari tadi lo ngeluh migran terus." ucap Nayla.

"Nanti lo sendiri." Nayla tersenyum. Kalau hal seperti ini Febri lebih memiliki hati di banding Sahila.

"Lo duluan aja. Beneran deh gue gak kenapa-kenapa."

"Hm, ya udah, gue ke ruangan bos dulu." ujar Febri sembari melangkah menuju ruangan Dimas.

Lima menit kemudian, Febri keluar dengan bernafas lega. Mungkin terlihat aneh kenapa bawahan Dimas selalu berwajah pucat, atau bernafas lega setelah keluar dari ruangan Dimas.

Bukan karena, ruangan itu berhantu atau memiliki energi negatif yang kentara, tapi lebih-lebih pemilik ruangan itulah yang lebih seram dan angker di banding penghuni gedung itu.

"Gimana?" tanya Nayla.

"Selesai, gue udah bisa balik. Lo udah beres?" tanya Febri.

"Udah, ini baru gue serahin sama pak Bos." Febri mengangguk.

"Mau gue tunggu?"

"Gak perlu, lo duluan aja." lagi-lagi Nayla menolak. Nayla tahu Febri tidak boleh terlalu lama berkutat pada cahaya komputer atau ponsel, karena itu akan membuat Febri cepat sakit kepala. Tapi mau bagaimana lagi. Pekerjaannya berurusan dengan kedua benda itu.

Febri pulang setelah ia selesai membereskan barang-barangnya. Tinggallah Nayla yang juga sedang membereskan barang-barang nya. Ia sudah sangat percaya diri kalau pekerjaannya benar semua tanpa perlu revisi lagi.

Tok! Tok! Tok!

Nayla membuka pintu, setelah mendengar perintah dari Dimas. Dengan kepercayaan diri yang tebal, Nayla melangkah ke dalam.

"Pak, ini udah selesai." ujarnya sembari menyerahkan berkas yang ia kerjakan tadi.

Dimas meneriamnya dan langsung mengecek. Ia mengangguk tanda puas. "Bagus, ini kamu bisa, kenapa masih salah saja. Jangan selalu mengulang kesalahan yang sama, Nayla. Kamu sudah lama kerja disini."

Oke, ini yang Nayla dan kawan-kawan tidak suka. Dimas selalu berkata yang itu-itu lagi. Siapakah yang akan hidup dengan Dimas kelak? Semoga dia tahan dengan sikap dinginnya Dimas. Pikir Nayla.

Nayla hanya mengangguk. "Kalau gitu saya udah boleh pulang kan, pak?" Dimas menoleh sesaat pada Nayla. Lalu kembali meneliti pekerjaan Nayla.

"Boleh." sahutnya. Nayla tersenyum riang.

"Kalau gitu, selamat malam, pak." ujar Nayla. Nayla segera keluar dari ruangan Dimas, mengambil tasnya yang berada di meja kerjanya, lalu berjalan menuju lift.

Lift yang hampir tertutup tertahan dengan seseorang. Nayla terkejut, tapi setelahnya ia menghela nafas lega, karena ternyata Dimas lah yang muncul. Seperti hantu yang tiba-tiba muncul.

"Pulang juga, pak?" tanya Nayla. Dimas hanya mengangguk.

Nyesel nanya. - batin Nayla.

"Pulang ke arah mana?" tanya Dimas.

"Saya?" Dimas mengangguk.

"Saya antar sekalian."

"Engga usah, Pak. Nanti ngerepotin." ujar Nayla.

"Tidak apa." setelah lift terbuka, Dimas segera melangkah keluar terlebih dahulu menuju parkiran dimana mobilnya berada.

Nayla tampak enggan, namun Dimas seperti memberi kode agar ia masuk. "Sudah malam, akan sulit angkutan umum lewat." ujar Dimas. "Kalau panggil ojek online atau taksi online. Pasti susah kalau sudah jam segini. Mereka juga punya keluarga. Malam itu bukan waktu yang bagus untuk anak perempuan berjalan seorang diri, tidak menjamin kemungkinan orang yang tidak memiliki niat apa-apa berubah berniat jahat kalau melihat seorang perempuan berjalan sendiri di tengah malam seperti ini." Sambungnya.

Berarti gue patut curiga sama lo dong? - batin Nayla.

"Saya tidak memiliki niat apa-apa dengan mu, Nayla. Meski pun kamu telanjang bulat di depan saya, saya tidak akan tergoda." Dimas menatap Nayla dari atas sampai ujung kaki. "Tubuhmu benar-benar datar, tidak memiliki lekukkan seperti wanita tipe saya." Nayla tercengang. Hal yang mengejutkan. Pertama bagaimana bisa Dimas tahu isi hatinya. Kedua. Kata-kata Dimas terdengar menusuk di telinga Nayla.

Nayla mendelik setelah sadar. "Siapa juga yang niat telanjang bulat di depan bapak. Saya juga gak minat goda bapak. Kaya goda benda mati. Gak ada gunanya." alhasil Nayla terpancing emosinya.

"Hm, ternyata memang kau suka menggoda orang lain ya." Nayla tercekat dengan ucapan Dimas yang tampak santai. Dimas segera masuk ke dalam mobil mengabaikan tatapan Nayla.

Tin!

Suara klakson mobil berbunyi nyaring, siapa lagi kalau bukan ulah Dimas. Nayla segera masuk ke dalam mobil Dimas. Kali ini ia berubah pikiran. Ia harus mengerjai bos songongnya ini.

"Pakai sabuk pengamanmu." titah Dimas. Nayla menggeleng.

"Saya gak bisa pakainya, Pak." Dimas memicingkan matanya, menatap curiga pada Nayla. Seakan tahu rencana Nayla. Dimas mengangguk.

"Baiklah, biar saya yang memakaikannya." Dimas mendekatkan dirinya pada Nayla untuk meraih seatbel yang berada di samping Nayla. Namun, posisinya yang sangat dekat, membuat Nayla risi dan canggung. Ia terjebak dengan permainannya sendiri. Nayla menahan nafasnya saat wajah Dimas hanya berjarak beberapa senti di depan wajahnya.

"Bernafas, Nayla. Kamu akan pingsan bila menahan nafas." sindir Dimas tepat sasaran. Nayla mendorong Dimas untuk menjauh.

"Sa-saya bisa pakai sendiri, Pak." Dimas menautkan alisnya. "Tiba-tiba saya ingat cara memakai sabuk pengaman." ujar Nayla cepat. Dadanya masih bergemuruh. Jantungnya berdebar cepat.

Dimas sialan.- umpat Nayla.

Dimas hanya tersenyum kecil. Wanita bodoh. - batin Dimas.

*bersambung*

Maaf banyak typo..
😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top