Chapter 2

Setelah sekian lamanya Nayla berkutat pada tugasnya yang segunung itu. Akhirnya Nayla bisa bernafas lega. Ia merentangkan tangannya, meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

"Akhirnya! gila jari-jari gue keriting seharian ngetik mulu." serunya berlebihan.

Nayla menatap sekitar, di mana hanya dia lah yang masih sibuk bekerja, sedangkan kedua temannya sudah pulang terlebih dahulu. Terkadang temannya engga sohib kalau udah masalah makanan.

Nayla menghela nafas, setelah halaman terakhir berhasil ia print.

"Duh.. Mata gue sepet banget, gue harus cepet-cepet pulang kalau kaya gini." ujar Nayla, ia bergegas merapihkan semua pekerjaannya dan juga tasnya. Dan pergi meninggalkan kubikelnya.

***

Nayla berjalan perlahan. Ia tampak lemas tidak bertenaga, kantung matanya hitam dan kendur. Berkali-kali dia menutup mulutnya, menguap lebar.

"Nay." Nayla menoleh ke belakang dengan susah payah.

Sahila mengernyit melihat keadaan temannya. "Lo abis ngeronda?" tanya Sahila.

"Iya. Ngeronda selesain tugas dadakan dari Dimas kemarin."

"Oh, lo lembur?"

"Double lembur. Pokoknya gue bakal nuntut Dimas kalau sampe gue gak di kasih uang lemburan." ancam Nayla.

"Maksudnya double?" Sahila semakin melipat dahinya.

"Iya, abis gue balik dari kantor, Dimas telepon gue lagi, dan bilang gue harus mendata anggaran dana, karena sebentar lagi kantor ulang tahun."

"Alah, ribet. Padahal pestanya cuma gitu-gitu aja. Gak ada yang menarik." ujar Sahila. Nayla mengangguk antusias membenarkan ucapan temannya.

"Gak tahu deh. Kesel banget gue sama dia."

"Kesal sama siapa?"

Sontak Sahila dan dan Nayla tergelonjak kaget.
Ternyata Dimas sudah berada di belakang mereka berdua. Keduanya tersenyum. Bukan, bukan tersenyum. lebih menyerupai ringisan.

"Pagi, pak." sapa Nayla dan juga Sahila.

"Jangan bergosip, ini masih pagi. Jangan menyebar energi negatif di ruangan ini." ujar Dimas seraya pergi memasuki ruangannya.

Nayla dan Sahila menghela nafas lega. "Kapan dia datang?" tanya Nayla. Sahila mengedikkan bahunya.

"Entahlah, dia tiba-tiba aja ada belakang kita. Kaya hantu aja gue pikir-pikir."

"Emang iya, lo gak rasain setiap kita dekat dia, kita tuh langsung merinding." Berlebihan. Tapi memang itu kenyataannya.

"Udah, sana lo kerjain kerjaan lo, lo gak mau kan lo di panggil sama Pak Dimas sebelum kerjaan lo selesai. Nanti bukan cuma hulu kuduk lo aja yang berdiri. Tapi rambut lo juga."

"Lo kira si Dimas mengandung tegangan listrik, buat rambut gue berdiri."

"Eh. Kenapa gak, Dimas itu ganteng. Buat gue fantasi sendiri."

"Terserah lo deh." Nayla mendorong Sahila agar keluar dari kubikelnya yang kecil ini. "Udah sana lo kerja. Gue mau fokus dulu. Biar gak berdiri rambut gue nanti disaat Dimas panggil Gue." Sahila menyebikkan bibirnya. Tetapi ia segera pergi dan kembali pada kubikelnya.

***

Brak!

"Masa gini aja masih salah sih, Nay?!" Dimas membentak Nayla yang saat ini sedang berdiri di hadapannya dengan menunduk. "Benarkan lagi. jam dua harus udah selesai."

"Tapi pak-"

"Keluar dan kerjakan!" Nayla menunduk. Ia mengangguk pelan dan segera keluar dari ruangan bos nya itu.

Sepanjang jalan menuju kubikelnya, tak henti-hentinya Nayla merutuki bosnya yang sudah seperti gunung es yang berada di kutub. Kesal, Itu pasti. Tapi apalah daya, Nayla hanya seorang jongos yang harus menurut pada majikkan. Kalau tidak, gajihnya akan di potong lagi bulan ini.

Dengan melempar laporan yang ia buat susah payah semalam suntuk di mejanya. Nayla menghela nafas kasar. Sahila dan Febri segera menghampiri Nayla.

"Jadi gimana? Semuanya lancar, kan?" tanya Sahila.

"Lancar mata lo katarak? Lo gak liat? Laporan yang Nayla bawa tadi berubah lecek. Gue yakin. pak Dimas habis mengacak-acak isinya. Benar kan, Nay?"

"Gue gak kuat lagi kerja disini. Gue mau keluar aja."

Febri dan Sahila seketika melebarkan matanya. "Jangan!" seru mereka bersamaan.

"kalau lo keluar, itu tandanya lo kalah sama si bos kutub itu." Ujar Febri, yang mendapat anggukan dari Sahila.

"Kalah apaan sih? emang lo kira gue lagi tanding, apa? Gue gak kuat kerja disini, apa yang gue kerjain, selalu salah di mata nya si Dimas so dingin itu."

"Udah, lo sabar aja. Bukan cuma lo kan yang sering dapat cacian dari si Dimas. Gue, Febri dan yang lainnya juga Sering. Bahkan baru kemarin mba Asti laporannya di lempar ke depan pintu cuma karena typo."

"Emang tuh Si Dimas. Gak bisa banget hargain bawahannya. Gak mikir semalaman kita harus lembur demi selesain pekerjaan yang dia suruh."

"Tapi itu kan tugas kita sih." celetuk Febri.

"Pantas saja kerjaan kalian banyak salahnya, setiap hari yang bisa kalian lakukan hanya bergosip saja. kalau kalian mau mengobrol silahkan keluar dari ruangan ini."
Dimas sudah berdiri di depan pintu ruangannya."

"Tuh, apa yang gue bilang, dia setan. Main muncul dimana dan kapan aja." gumam Sahila.

"Kenapa masih diem aja? sana kembali ke kubikel kalian masing-masing!" Dengan langkah seribu Sahila dan Febri kembali ke kubikelnya.

Sedangkam Nayla, melempar tatapan kesal ke arah Dimas. Tapi tetap saja, disaat tatapan Dimas mengarah ke arahnya, ia segera memalingkan.

Ia tidak mau mencari masalah lagi dengan membalas tatapan Bosnya dengan tatapan benci. Bisa-bisa gajihnya tidak di kasih bulan ini. Walau pun mustahil terdengarnya. Tapi tidak ada yang Tidak mungkin, kan?

***

*Bersambung*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top