Chapter 10
Ting!
Lift terbuka, Nayla melangkah keluar dengan gelisah. Matanya menatap sekitar, mencari-cari keberadaan Dimas.
Apa gue kelamaan? -- Batin Nayla.
Wajahnya menampakan kekecewaan, ia menunduk merengut. Nayla melangkah pelan melewati pintu masuk hotel di loby. Seharusnya ia tidak berdandan berlebihan, ini sudah malam, mana mungkin Dimas memperhatikan penampilannya. Pikir Nayla. Tapi sedetik kemudian ia menggeleng cepat.
Mana mungkin gue bisa berharap Dimas perhatiin gue. Cuma karena Dimas udah kirim makanan ke kamar gue aja, masa udah menaruh hati sama pria es itu. --- batin Nayla.
"Sudah bersoleknya?" Nayla tersentak dengan pertanyaan yang entah dari mana asal usulnya. Atau jangan-jangan hotel ini berhantu? Nayla bergidik sendiri membayangkannya.
"Nayla, apa kali ini kamu berhalusinasi?" Nayla terdiam sejenak, suara itu tampak jauh dengannya.
Tahukah faktanya? Kalau suara dedemit, setan, hantu atau makhluk sejenisnya terdengar dekat itu artinya dia jauh, tapi kalau suaranya jauh dia sangat dekat. Dan ini terdengar dekat, Nayla memeluk dirinya, ia kembali melanjutkan langkahnya dengan lebar.
"Nayla!" Tiba-tiba saja tangan Nayla tertarik ke kebelakang. Nayla yang merasa sangat ketakutan pun merengut ketakutan.
Dimas menghela nafas kesal. "Apa yang terjadi dengan mu? Apa kamu kesambar hantu penunggu lahan kosong pembangunan tadi?" Sontak Nayla menegakkan kepalanya.
"Bos!" seru Nayla dengan mata berbinar bahagia. Seperti anak ayam yang hilang dan bertemu kembali dengan induknya.
"Ada apa?" Dimas tampak heran, dahinya mengkerut memperhatikan sikap Nayla yang sedikit aneh. Atau... Sangat aneh?
"Aku kira Bos meninggalkan ku." jawab Nayla dengan merengut sedih.
Dimas melepaskan genggaman tangannya dari lengan Nayla. Kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam saku hoddie-nya.
"Itu benar, tapi tadi ada telepon, jadi saya menjawabnya dulu."
Nayla terhentak. "Jadi bener, Bos tinggalin saya?!" Seru Nayla. "Ish... Bos tega sekali." rengek Nayla.
"Berhenti memanggil saya dengan panggilan Boss." Ujarnya. Nayla mengangguk lesu.
"Baiklah."
"Ayo jalan, semakin malam akan semakin padat. Ini malam minggu banyak yang berkencan." Kata Dimas sembari berjalan terlebih dahulu. Nayla mencebikkan bibirnya.
Malam ini akan menjadi malam yang membosankan.-- batin Nayla.
***
Apa yang Nayla pikirkan tadi sangatlah salah. Malam ini Dimas sangatlah beda dari biasanya, dia lebih manusiawi yang memiliki hati nurani. Malam ini juga Dimas lebih banyak tersenyum. Dimas pula yang menawarkan Nayla menjajahkan jajanan khas Jogja. Dari minuman sampai makanan. Tentu saja Nayla tidak menolak. Semua jajanan ia makan, tak peduli dengan berat badannya yang akan meningkat saat ia makan malam hari seperti ini. Kapan lagi kan bisa jajan gratis seperti itu di kota Jogja. Nayla bukan wanita munafik yang mau menolak rezeki nomplok seperti ini.
"Mau cobain apa lagi?" tanya Dimas. Tatapan Nayla, mogok di penjualan kaki lima yang menjajahkan pakaian bertulis Jogja.
Nayla menunjuk ke arah tempat berjajarnya baju. "Itu."
Dimas mengikuti arah pandang Nayla. "Baju? Bukan makanan?" Nayla mengangguk. "Beli disitu? Kamu yakin?" Nayla mengangguk lagi.
"Bajunya bagus-bagus. Bisa buat oleh-oleh untuk Sahila, Febri dan Mario. Juga Mamah." ujar Nayla dengan antusias.
Dimas sedikit ragu. Tapi pada akhirnya ia mengalah. Dimas dan Nayla pun mendekat pada salah satu penjual yang sedang mempromosikan jualanannya.
"Regane pinten?" tanya Dimas dengan bahasa jawa. Nayla hanya bisa diam, karena jujur saja ia tidak mengerti dengan apa yang Dimas katakan.
Sampai akhirnya Dimas menarik Nayla pergi dari sana. Nayla tampak kebingungan. Tapi ia tetap menurut.
"Kenapa pergi, Pak?" tanya Nayla dengan menatap ke belakang.
"Kita cari yang lain saja, besok akan saya tunjukkan pada mu salah satu butik batik terbaik di sini."
"Besok?" Dimas mengangguk. Nayla lagi-lagi hanya menurut.
***
Nayla dan Dimas berjalan beriringan menuju kamat mereka. "Bagaimana malam ini?" tanya Dimas.
"Sangat baik. Terima kasih, Pak. Karena Bapak, saya jadi tau suasana Jogja saat malam hari. Saya kira perjalanan ini akan membosankan. Karena Bapak itu orangnya dingin dan datar. Sampai saya berpikir, Bapak itu bukan manusia normal, atau seperti tidak berprikemanusia...an..."
Nayla menutup mulutnya cepat, ia melirik Dimas dengan ekor matanya. Sedangkan Dimas sudah berhenti berjalan dengan raut wajah yang tak bisa terbaca sama sekali.
Dimas marah? Ya sepertinya begitu.
"Nay--"
"Sudah malam, saya tidur dulu, Pak. Selamat malam."
Klik!
Bruk!
Dimas memandang pintu kamar Nayla dengan tatapan murka. "Bisa-bisanya dia menganggap ku tidak berperikemanusiaan. Dasar tidak tahu terima kasih." gerutu Dimas. Lalu ia melangakah menuju kamarnya.
Di kamar, Nayla berguling-guling di atas tempat tidur bagaikan seekor kucing. Ia berkeringat dingin, berkali-kali ia menepuk mulutnya.
"Dasar mulut ember, Bisa-bisanya gue ngomong asal ngejeblak kaya tadi. Besok nasib gue gimana dong?" Nayla sangat-sangat gelisah tidak karuan.
"Besok hari minggu, enggak ada jadwal apa pun. Baiklah Nayla. Besok lo mengeram di kamar aja. Itu jauh lebih baik, dari pada lo ketemu monster kutub kaya Dimas."
Mungkinkah Nayla bisa? Sepertinya Nayla melupakan rencana yang telah mereka buat pada besok hari.
***
Pagi harinya. Nayla membuka matanya perlahan, ia menguap lebar, bagaikan bunga Venus Flytrap yang merupakan tumbuhan pemakan serangga. Nayla mengubah dirinya menjadi posisi duduk, matang menatap ke arah depan dengan tatapan kosong.
Ia kembali mengingat kejadian semalam, disaat dengan frontal nya dia menghina Boss-nya walau pun kenyataannya itu adalah fakta.
"Hari ini gue bakal mendekam di dalam kamar aja." lirihnya.
Deringan singkat membangunkan Nayla dari rasa kegalauannya. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali. Kemudian melirik ponselnya yang tersimpan di atas nakas. Dengan gerakkan lambat, ia meraih ponselnya.
Balok Ice.
Mau jadi pergi ke Butik?
Nayla menambah Dilema, dia ingin membelikan oleh-oleh untuk keluarga dan para sahabat nya. Tapi malu rasanya bertemu dengan Dimas lagi.
"Apa Dimas udah lupa sama masalah semalam?"
Deringan ponsel Nayla kembali membuatnya mengalihkan tatapannya ke ponsel. Ternyata satu Miscall dari Dimas.
Sepertinya pria itu sungguh-sungguh ingin membawa Nayla ke butik batik itu. Nayla sangat tidak keberatan, tapi itu sebelum ia melontarkan isi hatinya. Kini Nayla harus menahan diri agar ia tidak bertemun dengan Dimas.
Deringan singkat kembali terdengar, satu pesan singkat dari Dimas.
Balok Ice.
Tenang saja, saya sudah melupakan ucapan mu semalam.
"Ya Tuhan, bisa pindahkan aku langsung ke Jakrata? Aku ingin pulang saja rasanya." ujar Nayla dengan meraung-raung.
"Gimana dia bisa tau, kalau gue mikirin hal itu? Ahh.. Nay, lo sangat memalukan." gerutunya.
Balok Ice.
Kalau begitu, biar saya saja yang pergi.
Sontak Nayla membulatkan matanya. Jangan, ini bukan ide yang bagus. Nayla sangat buta dengan kota Jogja. Dia hanya sekali pergi ke kota ini, itu pun waktu ada Study Tour dari sekolahnya.
Me
Saya ikut, tunggu sebentar, saya akan bersiap.
"Demi kebahagiaan keluarga dan sahabat lo , kali ini lo harus bisa mengorbankan diri lo, setidaknya lo harus siap mendengar caci maki dari monster kutub itu." ujar Nayla menguatkan dirinya.
***
*Bersambung*
Nayla ngomongnya lantang banget, udah kaya mobil yang remnya blong.. 😂😂😂
Makasih, udah kasih saran untuk bahasa jawanya Kak Edha__2326. 😘😘
Aku kurang ngerti soalnya. So, bagi ada yang mau kasih kritik+saran silakan. 😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top