Epilog

2020

Aku kehilangan bukuku.

The Interpretation of Dreams karya Sigmund Freud adalah buku yang berisi langkah-langkah sang psikolog legendaris dalam menganalisis mimpi guna menemukan trauma tersembunyi. Bermula dari seorang pasien yang gagal Freud sembuhkan melalui metode hipnosis, ia menempuh cara lain, mencari metode lain, hingga melahirkan buku ini.

Aku baru saja sampai pada bab D, yang berjudul Mengapa Mimpi Terlupa Kala Kita Terjaga ketika mataku tidak bisa diajak berkompromi dan aku terlelap dengan satu kaki menjulur keluar dari tempat tidur. Orang yang melihatku pasti akan berpikir aku menenggak banyak alkohol dan teler, tapi sungguh, aku tidak menyentuh alkohol sedikitpun. Aku hanya terlalu lelah.

6 jam kemudian, aku bangun dalam keadaan berada di tengah tempat tidur lengkap dengan selimut karakter anime lucu yang menutupi tubuhku. Aku bangun, mencari buku itu yang semula berada di sampingku, tapi tidak ada.

Rumah Yuta tidak seluas rumah Jaehyun, tapi dia punya jauh lebih banyak barang yang membuat pencarian sebuah buku berukuran sedang menjadi semacam permainan menantang. Aku mencari di antara lipatan sofa, di laci, di bawah meja makan, sampai ke dapur karena sangat frustrasi.

Yang menjengkelkan, Yuta diam saja menontonku mondar-mandir. Dia menyesap kopi dengan tenang, fokus mengerjakan pekerjaannya. Kalau tidak ada pameran, dia mengerjakan desain sampul buku untuk sebuah penerbit ternama yang bukunya di gadang-gadang menjadi best seller.

Aku menggebrak meja, menunduk dan menatapnya sampai ia mendongak, memastikan aku mendapat perhatian penuh. "Mana buku itu? Karya Freud. Kau menyembunyikannya kan?"

Yuta menaik-turunkan alisnya, tampak bingung dan pasti akan menipuku kalau aku tidak mengenalnya. "Buku apa? Aku tidak tahu apa-apa."

"Jangan bohong!" Aku merebut pensil yang ia putar-putar di ruas jarinya, seahli pemain basket yang memainkan bola. "Aku tidak bercanda Yuta, ayolah, kembalikan."

Rengekan dan wajah memelasku rupanya tidak sanggup meruntuhkan tembok kepura-puraan Yuta. Dia tetap teguh menampilkan ekspresi bingung, mengangkat tangannya untuk semakin meyakinkan. "Tapi aku sungguh tidak tahu. Aku diam saja sejak tadi."

Sanggahanku harus menunggu.

Pintu depan yang warnanya sama seperti bunga sakura一usul dariku一tiba-tiba terbuka, dan Johnny Seo melangkah dari sana dengan senyum mengembang yang tampaknya tak pernah ia lepas. Kedua tangannya membawa bungkusan plastik yang aromanya memikat, ia acungkan tinggi-tinggi sambil berseru, "MAKANAN DATANG!"

Aku bangkit membantunya menyiapkan meja, mengambil piring dan chopsticks lalu menata semuanya untuk kami bertiga. Johnny sebenarnya tidak tinggal di sini, tapi pekerjaan lainnya sebagai penyiar radio hanya berjarak 2 blok dari rumah, sehingga ia sering mampir sepulang kerja, sekedar makan bersama atau mendengarkan celotehanku. "Daddy J, kau pernah punya pacar yang menghalangimu belajar?"

Pandangan Johnny langsung tertuju pada Yuta, tidak perlu bertanya atau meminta penjelasan. Beberapa bulan mengenalku, ia sudah paham bagaimana kehidupan kami dan terkadang menjadi penengah bagai seorang ayah yang mengurus anak dan menantunya. "Kalau pacarku belajar sekeras kau, Nona Rose, aku pasti juga akan menghalanginya."

Tawa Yuta seketika pecah mendengarnya, gagal mempertahankan akting serius dan polosnya. Sesigap kucing yang akan menangkap burung, dia menyambar makanan dan menggeser kertasnya, melupakan tugas itu sejenak padahal baru menggambar garis-garis sketsa kasar yang belum jelas bentuknya. "Nah, aku menang kan?"

Aku menyandarkan kepalaku di atas meja, merengut, memelototi 2 pria yang menertawakanku. Dengan jujur aku mengakui, "Aku ingin semuanya sempurna. Aku ingin membuat Ibuku bangga. Aku ingin jadi psikolog hebat. Apa itu salah?"

"Sama sekali tidak," jawab Yuta, menaruh takoyaki yang ia atur di piringku. "Tapi kadang kita harus pelan-pelan. Kau belajar nyaris tanpa henti, kau mengabaikanku." Dia gantian merengut. "Rosie, kau sudah seperti orang yang akan berangkat berperang bukannya kuliah. Bisa-bisa otakmu kehabisan baterai sebelum kau resmi masuk kuliah."

"Benar," sahut Johnny setuju, mendahului aku dan Yuta menelan makanannya, yang kali ini, bukan pizza. Tapi yakisoba. Meski begitu, aku tidak akan terkejut kalau setelah ini ia akan memesan pizza untuk makanan penutup. Johnny tergila-gila pada pizza. "Kau harus bersantai sedikit, Nona Rose. Semua akan baik-baik saja."

"Menurutmu begitu?"

Kedua pria di depanku kompak mengangguk tegas, saling tos dan beradu kepalan tangan. Kebiasaan.

Aku meniup poniku keras-keras, sampai poni itu melambung tinggi sebelum kembali jatuh menutupi dahiku. Rambut pendek ternyata tidak buruk, tapi aku masih perlu menyesuaikan diri, karena kadang-kadang aku menyusurkan tanganku sampai ke punggung, meraba-raba ramput panjang yang sudah ku potong seminggu yang lalu.

Itu keputusan mendadak.

Berasal dari ide asal Yuta yang bertanya, "Kau pernah mencoba rambut pendek?". Kubilang padanya iya, tapi dulu sekali saat masih di Melbourne, dan ia menyarankan aku mencobanya lagi. Dia penasaran.

Aku menolak, karena aku takut terlihat konyol di hari pertama masuk kuliah, tapi pegawai salon yang kami kunjungi setuju dengan Yuta. Katanya, kalau aku akan masuk kuliah, kenapa tidak mulai dengan sesuatu yang segar dan berbeda?

Akhirnya, terpengaruh mereka berdua, aku pun potong rambut, mengubah rencana yang awalnya hanya akan melakukan pewarnaan.

Sekarang, rambut Yuta lebih pendek, pirang, tidak melewati batas lehernya. Sedangkan rambutku menyentuh bahu, warnanya kecokelatan. Johnny mengejek kami jadi mirip lemon dan biji cacao berjalan.

Tapi aku suka. Ini terlihat bagus dan aku tidak membutuhkan ikat rambut lagi. Yuta memujiku cantik, dan sering menyentuh gaya rambut baruku. Sesekali, ia menggoda bagaimana aku menangis dramatis saat pegawainya memegang gunting. Ia tidak habis pikir aku menangisi rambut karena tidak pernah memotongnya pendek selama bertahun-tahun. Pria tidak akan paham.

Alice juga suka. Aku bertemu dia kemarin di akhir pekan, saat ia mengantar uang yang dikirimkan ibu. Sikapnya pada Yuta belum berubah; tetap galak! Dia mengancam Yuta agar tidak membuatku sedih apalagi menangis, atau dia akan datang ke Jepang dan membuat Yuta masuk daftar orang hilang.

Beberapa bulan belakangan berlalu dengan cepat.

Orang-orang bilang kekuatan pikiran itu menakjubkan, dan aku membuktikannya dengan sembuh secara kilat. Aku keluar dari rumah sakit kurang dari 1 bulan, walaupun harus menjalani pemulihan di ... coba tebak, rumah orang tuaku.

Setelah yakin bercerai, aku tentu tidak bisa tinggal di rumah Jaehyun. Dan ibu tahu-tahu menjemput, berkata, "Ayo pulang" menggunakan wajah datar. Dia menjadi orang yang paling tidak terkejut ketika aku mengumumkan perceraian. Dia, ibu yang menghormati dan memberi anaknya kebebasan, tidak mempertanyakan keputusanku. Malah, dia memarahi Alice karena membujukku untuk rujuk. Ibu menilai aku berhak menentukan hidupku sendiri.

Waktu aku pamit akan ikut Yuta ke Jepang, kuliah di sana serta berusaha menjadi model sekaligus psikolog, ibu terdiam. Aku sempat khawatir dia tidak setuju dan menganggap pemilihan karirku tidak menjanjikan. Tapi seorang ibu tidak bisa berubah terlalu banyak; dia mendukungku. Dia bahagia aku akan mengatur ulang hidupku yang selama ini ia anggap berantakan.

Ibu turut menemaniku menghadapi sidang, karena Yuta harus mengurus visanya. Dia dan Jaehyun membicarakan sesuatu sebentar, aku tidak tahu apa itu, tapi saat selesai, ia menepuk pundak Jaehyun dan Jaehyun tersenyum kecil.

Lucunya, ibu Jaehyun bicara padaku. Wanita itu bertanya apakah dia dan sikap menyebalkannya yang menjadi salah satu penyebab aku ingin bercerai. Dia tampak sedih.

Arti seseorang baru disadari saat ia pergi.

Tok, tok!

Palu di ketuk, aku dan Jaehyun resmi bercerai.

Joy melakukan tugasnya dengan efisien, ia sangat terkejut mengetahui statusku dan Yuta yang sebenarnya. Dia tertawa lama sekali, berkata betapa gilanya kami. Tapi karena banyak orang yang menyuarakan hal yang sama一salah satunya Chaeyeon一aku menanggapinya biasa saja. Aku berharap Chaeyeon bahagia pula setelah sekian lama jadi pengikut setia Jaehyun tapi gadis itu justru marah. Dasar aneh.

Orang-orang menilai kami gila. Egois. Ibu yang buruk, mantan pacar yang tidak tahu malu.

Aku dan Yuta telah mempersiapkan diri untuk itu, kami tidak peduli. Mereka bukan Tuhan dan mereka tidak bisa mendikte hidup kami demi sebuah gelar "pasangan sempurna".

Setidaknya, aku tahu pasti bahwa terlepas dari misteri masa depan, telah ada 1 hal baik yang terjadi; ibuku, dia kembali.

Hampir kehilangan anak dalam sebuah peristiwa mendebarkan sudah membuat dia takut. Hubungan kami memang masih canggung, namun mengarah ke arah yang lebih baik. Ibu memaksaku menerima uangnya, mengunjungiku kalau dia tidak sibuk, dan menasehatiku agar tidak menyesali apapun. Itu dia, itu yang akan kulakukan; hidup tanpa penyesalan.

Walaupun saat melihat Lily, aku selalu merasa tidak enak.

Ini yang aku dan Jaehyun katakan padanya setelah diskusi panjang; aku pergi ke Jepang untuk bekerja. Aku akan mengunjunginya minimal 3 kali dalam sebulan, dan kami akan melakukan video call kapanpun dia mau.

Berat sekali meninggalkan dia, menghapus air matanya ketika ia mengantarku ke bandara, dan berbohong tentang alasan mengapa aku harus bekerja padahal ayahnya mencukupi kebutuhan kami.

Jaehyun menepati janjinya. Dia tidak memonopoli Lily. Saat aku berkunjung, dia membiarkan kami menghabiskan waktu bertiga, tidak pernah menyinggung kami harus memulangkan dia kapan dan jam berapa.

Aku beberapa kali bicara berdua dengannya. Kami seperti teman lama. Keadaan Jaehyun normal. Dia masih hobi tersenyum, tidak bertambah kurus atau menunjukkan tanda-tanda depresi. Dia benar-benar bertahan一dia memiliki alasan untuk itu.

"Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-baik saja, Rose. Aku belum menemukan rumah baru, tapi Ibu bersedia menjaga Lily. Tidak ada masalah, jangan khawatir."

Lalu, dia bertanya kabarku.

Aku bercerita kalau adaptasiku di Jepang berjalan lancar. Yuta mengajariku dengan baik, aku tidak kesulitan dari segi bahasa. Keluarganya juga menerimaku. Ibunya bahkan memasak jamuan istimewa untuk menyambutku.

"Apa dia keluar dari lukisan? Kau berangkat mencari uang tapi pulang membawa calon menantu? Bagaimana bisa?"

Dia memelukku erat, ayahnya menepuk-nepuk kepalaku. Momoka dan Haruna merencanakan jalan-jalan khusus para cewek. Aku punya teman baru; Misaki, Touka, Mikasa. Tapi pertemananku dengan Cherry, Lisa dan Hanbin tidak mengendur.

Sayangnya, sukacita dan duka sering muncul bersama. Aku tidak selalu bahagia. 2 kali, aku tidak lolos audisi model. Percobaan pertama benar-benar bencana; aku gugup setengah mati dan mengacau. Percobaan kedua lebih baik, tapi ada kandidat yang lebih kuat sehingga aku gagal.

Yuta sangat marah mengetahuinya. Dia berpendapat orang yang menolakku otaknya tertanam di bikini bottom. Tapi aku tidak apa-apa. Aku menerimanya. Dalam setiap kegagalan, aku belajar sesuatu dan aku percaya kesempatan yang tepat akan datang di saat yang tepat juga.

Kini, aku fokus belajar menjadi psikolog. Aku membaca dan membuat banyak catatan untuk persiapan. Yuta membantuku meski ia sering menguap membaca buku-bukuku. Dia tidak keberatan aku menyulap kamar kosong di rumahnya menjadi perpustakaan. Yuta punya studio, aku perpustakaan.

Kami hanya perlu menyesuaikan tugas. Aku memasak, dia memvakum lantai. Aku mencuci pakaian, dia melipatnya. Aku membelikan dia peralatan menggambar, dia menghadiahiku buku filsafat.

Di hari sibuk, Yuta akan mendekam di studionya dan aku mengurung diri bersama Rapunzel. Kami fokus ke kegiatan kami masing-masing sambil menyetel musik yang berbeda genre. Saat usai, kami menyegarkan pikiran dengan singgah ke tempat kerja Johnny, cafe mahal yang pelayannya robot, Osaka castle, Umeda sky building, atau Tsutenkaku tower.

Dalam waktu dekat, kami berencana mendaki gunung Fuji sebab Yuta belum pernah ke sana. Mengagetkan sekali. Johnny menyebutnya orang Jepang palsu, tapi Yuta membela diri dengan berkata itu karena dia terlalu lama tinggal di Korea dan jadwalnya padat.

20 menit berlalu, aku dan Yuta selesai makan dan memutuskan jalan-jalan di luar, menjelajahi Jepang yang dihiasi bunga sakura dimana-mana. Musim dingin berakhir, musim panas menyambut kami. Aku akan mulai kuliah besok!

Yuta yang menyadari aku gugup nyengir lebar, tahu apa yang kupikirkan sebelum aku mengatakannya. "Santai saja. Kuliah itu seperti mengendarai sepeda. Mudah kok."

"Sungguh?"

"Ya, sepeda yang terbakar."

Aku berhenti berjalan dan menendang pantatnya. Seorang wanita yang tengah menyapu halamannya melambai pada kami dan kami balas melambai. Nyonya Subaki dan banyak orang lain hanya tahu aku pacar Yuta dari Korea. Mereka tidak bertanya macam-macam. Orang Jepang sangat ramah. "Ada tips tertentu tidak, senpai?"

"Hmm ... biar kupikirkan." Yuta mengelus dagunya, pura-pura berpikir serius. Sehelai daun sakura mendarat di rambutnya, aku berjinjit, menyingkirkan daun itu, tapi Yuta tidak melepaskan tanganku. "Pertama, jangan berdandan terlalu cantik. Kedua, bilang pada teman-temanmu kau sudah punya pacar. Ketiga, jangan dekat-dekat cowok lain. Keempat一"

"Tidur di kelas sepertimu?" Aku menebak sambil mendengus. Senang sekali rasanya bisa melakukan ini tanpa sembunyi-sembunyi. Kami bukan lagi pasangan selingkuh, tapi pasangan yang sebenarnya. Bahagia dan lengkap.

Yuta terbahak, mendongak ke atas dan menunjuk bulan. Permukaan satelit bumi itu cuma tampak separuh, tapi sangat indah karena menyerupai mulut yang tersenyum. Seluruh dunia seolah ikut senang untuk kami. "Tsuki ga kirei desu ne?"

Aku mengangguk. Bila kebahagiaan ini disebut salah, maka aku tidak tahu lagi apa yang benar. Aku akan menciptakan standar "benar"ku sendiri, bersama pria ini, yang setiap mengeluarkan suara membuatku gemas.

Gemas ingin memukulnya.

"Shindemo iiwa."

-KELAR-

Penjelasan :

Akhirnya ending juga, jadi bangga sama diri sendiri karena bisa namatin ini 😭 Gua pribadi puas banget sih, gak tau kalian 😗

Terakhir, mau dong tau pendapat kalian soal bored secara keseluruhan. Menurut kalian ini gimana? Ada yang kurang? Ada plot hole yang ketinggalan? Tulis aja gpp 😳 Plis dijawab ya, jangan pelit komen 😭

+ Buat yang kepo alternative ending versi Jaehyun, gua post besok xixixixi.g

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top