51. BAGIAN 3 : One More Beautiful Lie

Aku terbangun.

Sekelilingku berbayang. Aku tak dapat melihat dengan jelas. Aku mengerjap; bulu mataku terasa berat. Kesadaranku kembali selambat kura-kura yang merayap di larutan gula. Aku mencoba bangkit, bertumpu pada siku, tapi tidak bisa. Kemana perginya tenagaku? Sejak kapan mengangkat tangan saja sulit? Tubuhku seolah bukan milikku. Mereka, setiap sendi dan sel yang harusnya berada di bawah kendaliku, tidak mau menurut.

Aku dicekam ketakutan. Rasa pening menyergapku sangat kuat hingga aku berani bersumpah ada yang memukul-mukulnya dari dalam. Di mana ibuku? Kenapa aku sendirian? Tanpa daya, air mataku jatuh mewakili perasaan frustrasi.

Apa yang terjadi?

Lalu tepat sebelum aku tersedu-sedu一itu kalau aku punya tenaga untuk menangis一seseorang membuka pintu, membawa lebih banyak cahaya yang menyilaukan. Bukan orang, tapi orang-orang. Mereka menarik napas terkejut. Mereka berlari. Salah satunya memeriksaku. Yang lain mengatakan hal yang tidak kupahami. Orang ketiga yang datang belakangan menangis.

"Ya Tuhan, dia bangun!"

"Kenapa tidak ada yang menjaganya sama sekali?!"

"Rose? Rose! Ini aku, Alice. Kau bisa melihatku? Kau bisa mengenaliku?"

Alice. Ya. Tentu saja aku mengenalinya. Kenapa dia bicara begitu? Kenapa dia menangis? Jangan menangis, aku berkata padanya. Maksudku ingin berkata padanya. Tak ada suara yang keluar dari mulutku, tapi berita baiknya, pandanganku yang semula bak tertutup kabut tebal berangsur-angsur terfokus.

Aku melihat Alice, terisak-isak dan akan mengguncang bahuku kalau seseorang tidak menghalanginya lalu berujar setegas komandan tentara, "Pergilah, Alice."

Seseorang ... seseorang ... tidak. Itu bukan sekedar orang tanpa nama. Aku kenal suaranya. Rambut pendek, wajah serius, stetoskop yang terpasang di telinganya. Itu Cherry!

"Rose, kau bisa mendengarku?"

Aku ragu apakah pernah melihat Cherry seperti ini sebelumnya. Dia tampak tegang, dan itu malah membuatku ingin tertawa. Tapi supaya ia tidak panik, aku mengangguk.

Apakah dia melihat anggukanku? Aku tidak tahu. Aku capek sekali. Perawat di samping Cherry melakukan sesuatu. Cherry memeriksa dadaku. Mereka bicara. Cherry sepertinya memarahi perawat itu karena bekerja terlalu lambat.

Seharusnya dia tidak marah.

Marah-marah itu kan...

Tidak...

Oh, aku mengantuk.

Aku tertidur. Atau pingsan. Atau tidak sadar. Aku tidak tahu yang mana.

Tapi pasti aku tidur/pingsan/tidak sadar dalam waktu lama karena saat membuka mata, cahaya terang yang di awal kulihat tidak ada, berganti menjadi cahaya buatan dari lampu yang menempel di langit-langit putih dengan sedikit noda kekuningan.

Langit-langit yang jelek.

Aku menoleh hati-hati ke kiri, tak ingin mengejutkan tubuhku yang sangat lemah. Aku merasa serapuh anak tupai yang baru lahir; kecil, tak berdaya, haus. Kalau ada yang mendorongku sedikit saja, aku pasti jatuh bagai boneka marionette yang benangnya putus.

Seseorang yang ada di sebelah kiriku ternyata adalah Cherry. Dia tidak berupa bayangan samar lagi, tapi sosok yang jelas. Aku bisa melihatnya tanpa harus mengerjap. Ini kemajuan.

"Halo, Rose." Cherry menyapa. Nah, ekspresi itu baru cocok untuknya, tidak seperti tadi. Ini Cherry temanku; dokter sok kenal yang hobi tertawa menyeramkan. "Selamat datang kembali di bumi yang menyebalkan."

Aku membuka mulut一

Cherry mendahuluiku, "Aku tahu kau akan bertanya apa yang terjadi. Ceritanya panjang, biar cowok-cowok di luar sana yang menjelaskannya. Tugasku adalah mengurus kesehatanmu. Bisakah kau menggerakkan jari tanganmu?"

Menggerakkan jari tangan. Kedengarannya mudah. Aku menunduk, mengernyit melihat perban yang melingkar di lengan kananku. Yang itu juga jelek. Aku jadi tampak seperti petinju yang kalah dari pertarungan sengit.

Aku berhasil menggerakkan jari tangan.

Cherry tersenyum puas. Perawat di belakangnya mencatat itu di papan kecil yang ia bawa dan menyingkap selimutku. Dingin. "Sekarang jari kaki. Pelan-pelan. Jangan dipaksakan."

Kali ini aku kesulitan. Ini ibarat mendorong sebuah tembok. Aku tidak bisa merasakan salah satu kakiku. Bagian tubuh yang itu ... kaku. Atau jangan-jangan tidak ada?

Kepanikan melilitkan rantainya ke leherku, menyumbat pernapasan. Aku menunduk lebih jauh, dan lega melihat kakiku masih ada 2. Tidak terpotong, utuh, walaupun一sama seperti lengan一ditutupi perban. Bukan petinju, aku rupanya lebih cocok disebut mumi.

"Susah, ya?" Cherry menampilkan senyum profesional aku-doktermu-jangan-khawatir untuk menutupi kekhawatirannya sendiri. Dia mengangguk, memujiku karena melakukan hal sederhana itu. Di situasi normal, aku akan berkata dia berlebihan. Tapi di situasi tidak normal ini, aku bersyukur atas dukungan semangatnya.

Ada beberapa tes dan pemeriksaan lain. Cherry memeriksaku secara menyeluruh, mengingatkanku saat kami pertama bertemu dan ia membatalkan niatku aborsi.

Cherry menolongku一lagi.

Aku tersenyum padanya, mencoba bicara. Tenggorokanku kering dan Cherry membantuku minum melihat betapa berat usahaku mengeluarkan suara. "Terima ... kasih."

Mata Cherry si cengeng berkaca-kaca. Temanku, orang asing sok tahu yang dulu mencampuri urusanku, tiba-tiba menangis. Tampilan luarnya saja yang kuat. Cherry sebenarnya orang sensitif yang mudah meneteskan air mata.

Itulah yang dia lakukan; menangis seperti orang yang kehilangan kucingnya. "Rose, aku senang kau bangun. Tolong jangan membuatku kena serangan jantung lagi dengan muncul dalam keadaan berdarah-darah. Berhentilah jadi pasienku. Kau harus hidup sehat, bahagia."

Aku tidak menjawabnya karena 2 hal; satu, aku tidak yakin bisa mengabulkan permintaannya, dan dua, pintu terbuka. Kim Hanbin mengintip dari sana, bingung berpadu penasaran, sebelum ia melangkah masuk lalu merangkul Cherry.

"Astaga, Cherry, hentikan. Kau membuat orang-orang di luar ketakutan. Bisa-bisa mereka mengira Rose meninggal karena tangismu."

Perawat yang sejak tadi menonton tergelak, tapi seketika diam begitu Cherry memelototinya.

"Maaf," kata gadis itu, mengusap air matanya dengan jas dokter yang sudah pudar. "Aku terlalu emosional. Rose, apa kau mau bertemu mereka? Kalau tidak, aku akan bilang kau butuh istirahat."

Hanbin menyahut, "Menyalahkahgunakan hak sebagai dokter."

Akibatnya, Cherry memukulnya dengan papan yang ia ambil dari si perawat. "Diam atau kumasukkan kau ke kamar mayat!"

Tingkah pola pasangan itu membuatku terhibur. Aku mempertimbangkannya sebentar, membayangkan Alice yang menangis. Aku ingin menenangkan dia, menunjukkan padanya aku baik-baik saja.

Aku mengangguk.

Mendapati tanda-tanda semangat dalam diriku, Hanbin memberiku sepasang jempol tangannya. Ia menepuk-nepuk lenganku pelan, gagal membuatku terharu karena selanjutnya berpesan, "Jangan buru-buru meninggal, Rose. Aku tidak punya baju pemakaman yang bagus."

Pasangan aneh pun keluar diikuti perawat, sesekali melirikku dan melambai mirip orang yang butuh tumpangan. Dasar gila. Pintu tertutup di belakang mereka.

Aku masih tidak tahu bagaimana aku berakhir di rumah sakit jelek ini. Kuharap Alice bisa menjelaskannya dan membawa Lily. Aku sangat merindukan Lily. Rasanya sudah lama kami tidak bertemu.

Namun saat pintu berderit, yang muncul bukanlah Alice atau ibuku atau ayah, melainkan Jaehyun.

Dia tersenyum bimbang. Dia menunggu izinku untuk masuk.

Matanya bertanya, Rose, bolehkah?

Jaehyun duduk di sampingku.

Bukan di kursi, tapi tepat di sampingku. Tak ada kemarahan. Wajahnya tenang. Dia setampan biasanya, selalu baik. Kalau aku tidak ingat kami sedang bertengkar, aku pasti mengira kami tidak punya masalah.

Bertengkar.

Oh. Oh. Kenangan menyerbuku seperti sekawanan serigala buas. Yuta dan Jaehyun bergelut di mall. Pagar pembatas. Sepatu yang patah. Aku jatuh, layaknya sehelai bulu yang terombang-ambing di udara. Mengharapkan seseorang secara ajaib menyelamatkanku tapi itu tidak terjadi. Aku jatuh dari lantai ... 3?

Aku ingat sekarang. Aku sempat sadar beberapa detik. Aku melihat dan terbaring di genangan darahku sendiri. Baunya membuat perutku terpilin. Rasanya sakit, menakutkan. Kemudian ada tangan yang mencengkeramku, merampas kesadaran yang berusaha kupertahankan. Kegelapan merenggutku, membawaku ke tempat dimana waktu, bahkan cinta, tidak berarti lagi.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Jaehyun. Suaranya lembut, menentramkan. "Kau pergi lama sekali."

Segelas air itu membantu, menyuntikkan tenaga tambahan yang sangat kuperlukan. Aku merasakannya mengalir di tubuhku, menyiram organ-organku dan memberiku energi untuk bicara. "Berapa lama?"

Suaraku mengerikan. Aku terdengar seperti kodok yang menderita pneumonia berat. Aku bergidik dan berdeham. "Berapa lama?"

Jauh lebih baik.

"3 hari," jawab Jaehyun, mengacungkan jarinya sesuai angka yang ia sebut. "Dasar tukang tidur."

3 hari, aku mengulanginya dalam hati. 72 jam, 4320 menit tanpa mandi, makan atau minum. Tak heran aku merasa seperti habis ditabrak truk. Aku tak bisa membayangkan bagaimana tampangku saat ini. "Apakah aku jadi terkenal?"

Jaehyun tertawa一memaksakan tawa itu keluar, tepatnya. Air mata mengambang di matanya yang muram, namun ia tahan. "Aku merindukanmu, Rose. Kami semua merindukanmu."

3 kata terakhir Jaehyun bagai lelucon. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud karena orang tuaku mungkin malah kegirangan mendengar aku sekarat. Dan Lisa tidak akan peduli. Aku tidak punya banyak teman. Lingkaran pertemananku mengecil karena ketidakmampuanku menerima kenyataan. "Kukira orang-orang malah senang dan berharap aku meninggal."

Jaehyun tersenyum murung. "Jangan bilang begitu. Jangan anggap dirimu tidak diperlukan. Banyak yang mencintaimu, percayalah."

Sejujurnya, aku tidak percaya. Kalau aku saja tidak bisa mencintai diriku sendiri bagaimana orang lain? Jumlah orang-orang yang mencintaiku bisa dihitung dengan 1 tangan. Tapi aku mengangguk. Aku tak ingin Jaehyun merasa bersalah.

Aku telah merasakannya selama bertahun-tahun. Pertama, pada Yuta. Lalu ibu yang berharap anaknya jadi orang hebat. Dan ayah, yang menganggap dirinya salah mendidikku. Jaehyun tak perlu merasakannya juga. Dia korban.

Namun, dia justru minta maaf. Dia meraih tanganku, minta maaf seakan dia pelaku yang meminta hukuman. "Maaf, Rose. Ini takkan terjadi kalau aku lebih dewasa. Aku seharusnya lebih memahamimu sehingga kau tidak berselingkuh. Aku minta maaf."

Mendengar kata 'berselingkuh' diucapkan Jaehyun dengan lantang membuatku tersentak, dan aku tergagap. Aku tidak mengerti dia, jalan pikirannya, atau terbuat dari apa hatinya. Jaehyun membingungkan.

Seandainya bisa, aku pasti memeluknya, berkata dia tidak bersalah. Tapi aku hanya bisa melakukan yang kedua, dan menepuk-nepuk tangannya. "Jaehyun, ini bukan salahmu. Jangan minta maaf."

Dengan gelengan kepala, Jaehyun membantahnya. Dia tidak sependapat. Aku jadi penasaran apa yang sudah kulewatkan atau siapa yang dia ajak bicara, mengingat di mall, dia menyangkal perselingkuhanku. Yuta? Alice? Lisa?

"Tidak, aku salah. Aku bukan suami yang baik. Kau tidak usah berpura-pura. Waktu itu..." Jaehyun berhenti. Dia harus berhenti. Aku tahu apa yang akan dia sampaikan dan itu tidak mudah. "Waktu itu seharusnya aku tidak mencegahmu kuliah. Rose, aku tidak keberatan kau kuliah, aku akan dengan senang hati membiayai kuliahmu, tapi aku takut."

Dunia seolah hening. Bunyi percakapan dari luar dan dengung AC nyaris tak terdengar. Kami berada di dunia khusus Jaehyun dan Rose, yang terlarang dimasuki orang lain. Membicarakan hal-hal menyangkut masa lalu dan masa depan kami. Aku tidak bersuara一tidak berani. Aku takut suara sekecil apapun akan membuyarkan moment ini.

Dia mengusap dahinya, berkeringat di cuaca dan rungan yang dingin. "Aku takut kau akan mengalami hal buruk. Jadi bahan gosip, mengalami apa yang aku alami." Dia memandang lurus padaku, tidak berpaling. "Maaf tidak menjelaskannya lebih cepat. Aku tidak mau kau berpikir kau membawa pengaruh buruk bagiku."

Sesuatu dalam dadaku berdenyut nyeri, tapi aku tidak tahu apakah itu efek kecelakaan atau kata-kata Jaehyun. "Bukannya itu benar?"

Aku tidak menyangka ini; bahwa Jaehyun ternyata ingin melindungiku. Mengikat kaki seekor tupai karena dunia luar tidak baik untuk tupai itu. Dia peduli pada sang tupai.

Orang lain pasti mengira memiliki pasangan yang pemaaf adalah berkah, tapi mereka tidak tahu bahwa itu sama saja dengan 2 orang awam yang melakukan dansa rumit tanpa mempelajarinya. Kami hanya asal bergerak, untuk satu-satunya penonton kami yang bernama Lily. Aku dan Jaehyun tersenyum, sementara kaki kami menginjak satu sama lain. Aku menyakitinya, dia menyakitiku.

Lama kelamaan, kaki kami sakit. Aku lelah. Jaehyun terluka parah. Cinta kami bukan jenis cinta yang sehat atau benar. Pondasinya saja terbuat dari kesalahan 1 malam.

"Selama ini一" tanpa kusadari, aku sudah menangis. Aku sangat tertekan dan kesakitan dan kelelahan. Tetes-tetes besar air mataku jatuh membasahi bantal dan rambut. "Aku membohongimu, Jaehyun. Tak terhitung. Aku masih menyimpan cincin Yuta, aku pamit belanja tapi menemuinya. Aku pergi ke pantai diam-diam dan pulang larut malam. Aku pembohong. Tidak ada gunanya kita melanjutkan ini."

"Tentu saja ada." Menggantikan kedua tanganku yang lemas, Jaehyun menghapus air mataku. "Lily一" Ada yang mengganggu pikirannya, dia menggeleng. "Maksudku aku, aku membutuhkanmu, Rose. Tidak bisakah kita mulai dari awal? Kita lupakan semuanya. Kita pindah ke tempat yang jauh, ya? Melbourne, mungkin? Kau menyukai Melbourne. Atau Auckland? Kota masa kecilmu. Belum terlambat memperbaiki hubungan kita. Rose," Jaehyun meletakkan tanganku di dadanya yang berdetak cepat, sama tak terkendalinya dengan air mataku. "Maukah kau memberiku kesempatan kedua?"

Itu salah satu permohonan paling tulus yang pernah di suarakan seseorang untukku. Hanya kudengar 2 kali seumur hidup; saat ia memohon agar aku menikah dengannya dan saat Yuta memohon aku menjelaskan alasan aku meninggalkannya. Itu adalah berlian dalam bentuk kata-kata, menetes hingga ke relung jiwa, berusaha menanamkan lagi benih-benih asmara.

Jaehyun membujuk一amat halus. Rayuannya mulus. Memaafkan segala kesalahan yang kukira sulit ditebus. Ini persimpangan dan dia memintaku memilih lagi. Apakah akan menetap ke kapal yang kutempati selama 7 tahun atau pindah ke kapal baru, tempat baru, bersama orang lama dari masa lalu.

Ini tidak mudah.

Aku pernah salah memilih. Aku marah pada Yuta dan melepaskan amarah itu ke orang yang salah. Akibatnya tidak main-main; aku menyesalinya. Aku membenci diriku sendiri. Aku terpuruk dalam angan-angan semu mengenai mesin waktu. Aku berharap aku bisa kembali.

Tapi hidup memang tentang pilihan. Ini keharusan, tidak bisa kuhindari. 1 pria berarti melengkapi. 2 pria berarti kekacauan. Aku diharuskan melepas salah satunya. Memilih 1 kapal yang kuharap bisa bertahan lama dan selamanya.

Karena itu, aku menarik tanganku, memupus harapan di mata Jaehyun yang menyala-nyala bagai kembang api. Utakata hanabi一kembang api fana. "Aku tidak bisa, Jaehyun."

Itu mustahil. Bukan hanya tidak bisa tapi mustahil. Bagaimana aku akan memilih Jaehyun saat sekarang saja aku memakai cincin Yuta? Saat berdua dengannya, aku bertanya-tanya dimana Yuta dan kenapa dia tidak muncul. Aku tahu jika memilihnya, akan ada bagian hatiku yang selalu dibayangi Yuta.

"Jaehyun, aku tidak layak untukmu. Kau berhak mendapatkan yang lebih baik. Kita sudah mencobanya tapi tidak berhasil. Ini saatnya kita mengucapkan selamat tinggal. Bukan berarti kau jahat atau kurang, aku hanya tidak mencintaimu. Itu tidak bisa dipaksakan."

"Sedikitpun tidak? Rose, apakah kau一" Jaehyun membasahi bibirnya. Sprei tempat tidur jadi kusut ketika ia meremasnya. "Apakah kau tidak bahagia saat bersamaku?"

Sulit menjawab pertanyaan itu tanpa membuatku terkesan seperti manusia terkejam di dunia. Aku bisa mengatakan aku mencintainya dulu. Aku bisa mengatakan banyak hal demi mengurangi kesedihannya, tapi itu percuma. Itu bohong, dan aku sudah muak melakukannya. "Kadang-kadang aku bahagia. Kau suami yang manis. Kau tidak pernah melupakan ulang tahunku atau perayaan anniversary kita. Kau sering mengajakku liburan. Tapi..."

"Tapi itu tidak cukup?"

Sosok Jaehyun terlihat buram karena air mataku mengalir lagi. "Ya. Maafkan aku."

Terjadi keheningan saat aku memfokuskan pandangan pada bercak-bercak kuning di langit-langit. Aku tidak ingin melihat dia sedih atau menjadi penyebabnya. Ini tidak terhindarkan. Seseorang harus merasa sakit, sebagai ganti kebahagiaanku. Tapi waktu pasti akan menyembuhkannya. Waktu adalah obat paling mujarab.

Aku membiarkan Jaehyun meresapi tiap kata yang kuutarakan. Paham bahwa cinta kami adalah derita. Kami adalah 2 orang yang ditakdirkan berpisah. Ini yang terbaik一walaupun bukan yang terbaik untuk Lily.

Tapi yang mengejutkan, Jaehyun tersenyum. Dia benar-benar tersenyum. Menyembunyikan kekecewaannya dalam senyum itu. Jaehyun tidak membujukku seperti di mall. Dia merelakan. "Aku tahu kau akan mengatakan ini. Aku sudah menduga. Tapi aku tetap mencobanya demi Lily dan kupikir aku punya peluang atas dasar kebersamaan kita. Kau selalu terlihat lebih bahagia saat bersama Yuta. Aku mencintaimu, Rose. Aku terlalu mencintaimu hingga ke titik aku ingin kau bahagia一meski bukan denganku."

Aku tidak bisa berkata-kata. Aku semakin mantap bercerai. Jaehyun pantas bahagia. Dia punya kesempatan. Akan ada musik baru, orang baru, yang bersedia berdansa menemaninya. Bukan aku yang tidak bisa menerimanya sekeras apapun dia berusaha.

"Aku akan mengurus perceraian kita. Jangan khawatir dan fokuslah sembuh. Hanya saja aku punya 2 permintaan."

"Apa itu?"

"Serahkan hak asuh Lily padaku," seru Jaehyun, seolah tahu aku baru saja memikirkan putri kami. Wajahku pastilah tampak terpukul karena dia segera menenangkan, "Jangan salah paham. Aku tidak menganggapmu ibu yang buruk. Lily tidak akan tumbuh seperti sekarang tanpamu. Kau ibu yang hebat, jangan dengarkan orang lain yang menuding kau sebaliknya. Tapi aku membutuhkan Lily, Rose. Beri aku alasan untuk melanjutkan hidup."

Penjelasannya masuk akal, cukup adil sebenarnya, tapi aku terlampau sedih untuk berpikir jernih. "Aku juga membutuhkan dia. Aku akan merindukan Lily."

"Kau boleh mengunjunginya," Jaehyun menyarankan, ragu-ragu seakan ia tidak yakin aku mau. "Itu yang aku harapkan. Setidaknya sampai dia besar dan paham artinya bercerai."

Beberapa menit berikutnya diisi dengan tangis karena inilah yang menjadi momok menakutkan untukku; Lily. Aku tidak takut memulai hidup baru di negara asing. Aku tidak takut melawan orang-orang yang berpendapat meninggalkan suamimu yang baik untuk selingkuhan itu keliru. Tapi aku takut berpisah dari Lily.

Bagaimana kalau Lily sakit dan aku tidak di sampingnya? Bagaimana kalau dia dapat nilai bagus dan ingin menunjukkannya padaku? Dia akan tinggal dengan siapa saat Jaehyun bekerja? Ibu Jaehyun yang tidak menyukai anak-anak? Pengasuh yang tidak ia kenal? Kasihan Lily.

Untunglah Jaehyun sabar menghadapiku. Dia bilang Lily anak yang kuat dan dia akan mencari solusi tentang siapa yang menjaga Lily. Dia akan melibatkanku soal itu, berjanji tidak akan memutuskan apa-apa tanpa sepengatahuanku.

Aku percaya padanya. Aku setuju dengan berat hati karena aku tahu aku tidak boleh mengambil semuanya dari dia. Ini sulit bagiku, tapi lebih sulit bagi Jaehyun. Aku juga harus mempertimbangkan psikologis Lily. Berpisah dari ayah yang dia sayang dan pindah ke Jepang terlalu banyak untuk dia tanggung. Dia bisa stres.

Jaehyun merelakan, aku mengalah.

Kami sama-sama sakit.

"Apa yang kedua?"

Aku tidak punya tebakan. Kepalaku sakit. Hidungku tersumbat dan mataku sembab. Aku hanya berharap permintaan Jaehyun tidak berat. Yang pertama saja sudah sangat menyiksa.

Senyum Jaehyun tidak pudar. Dia bukan tipe orang yang langsung runtuh saat menerima kabar buruk. Caranya menangani berita aku hamil telah membuktikannya. Jaehyun sama kuatnya dengan pohon yang tumbuh berpuluh-puluh tahun. Dia tidak akan tumbang. "Maukah kau berbohong untuk terakhir kalinya?"

Sejenak, aku berhenti menangis. Aku kebingungan. Aku mengira telingaku ikut tersumbat atau aku salah dengar.

Namun petunjuk Jaehyun membuatku mengerti. "Itu kebohongan sederhana. Kau jarang mengucapkannya, tapi aku sangat menyukai kebohongan itu. Katakan sekali lagi, Rose. Aku ingin mendengarnya."

Gagasan gila. Permintaan konyol. Jaehyun benar-benar misteri. Tapi aku tidak menolaknya. Aku mau kebohongan ini menjadi hadiah yang manis sekaligus pahit. Maka dengan lembut, aku berbisik, "Aku mencintaimu, Jaehyun. Aku mencintaimu."

Dia tersenyum lebih lebar. Dia mengangguk. Jaehyun membalas, "Terima kasih", dengan sangat lirih.

Setelah itu dia tidak sanggup berada di sini lagi dan berbalik. Dia tidak berpamitan, melangkah keluar begitu saja dengan punggung tertunduk. Dia tidak menoleh, meneruskan langkahnya ke pintu.

Samar-samar, aku mendengar Jaehyun berbicara dengan seseorang.

Dan detik berikutnya, Yuta menggantikan dia masuk.

Yuta. Berandalan tengil itu. Orang yang aku pilih. Kapten kapal dari Osaka yang membolak-balikkan hidupku belakangan ini. Dia, yang hadir di mimpiku dan di kenyataan.

Yuta menyeringai, mengayunkan kaki seperti Yakuza yang sangat percaya diri. Tangannya memegang sebuah kertas yang ia gulung. Matanya mengamatiku dari atas ke bawah. Dia diam.

Aku berinisiatif mengawali percakapan, "Aku kelihatan berantakan, ya?"

Yuta menutup mulutnya dengan 1 tangan, nyaris tertawa. Dia menggeleng. "Kau mengingatkanku pada Fiona."

"Fiona pasangannya Shrek?"

"Ya, tapi dalam bentuk ogre."

Lalu dia tertawa terbahak-bahak.

"Akan kubunuh kau."

Cengiran nakal tersungging di wajah Yuta saat dia mendekatiku. Dia meregangkan tubuhnya, kakinya, tidak bertanya apa yang kubahas dengan Jaehyun. Yuta mengulur waktu karena gugup. Biasanya dia memang banyak bergerak dan bicara, tapi dia melakukan keduanya lebih sering bila sedang gugup.

Aku menginterupsi kegiatannya. "Kau tidak mau mengatakan sesuatu? Bersikap romantis? Meyakinkanku untuk ikut denganmu?"

2 jari Yuta menjepit pipiku seperti kebiasaannya. Dia mencibir. Tingkahnya mengubah suasana menjadi ceria. Perubahan, itulah yang dia bawa. "Apa itu perlu? Kau tidak mengusirku atau minta maaf. Itu pertanda baik kan?"

Merasa tidak nyaman, aku bergeser sedikit. Tempat tidur terasa panas. Yuta dengan sigap menolong, ekspresi cemasnya tidak dapat ia sembunyikan. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."

"Dan?"

"Dan apa? Kau belum berkampanye."

Yuta memutar bola matanya, geli. Dia unik; pandai mengarang lelucon tapi payah soal mengarang kalimat romantis. Dia malu. Yuta tipe orang yang lebih suka menunjukkan cinta lewat tindakan, atau sekali-kali, gambar yang ia rahasiakan maknanya.

Hari ini berbeda, pengecualian. Yuta membuka gulungan kertasnya, menampakkan gambar seorang gadis yang kakinya menapaki mentari. Gadis itu tertawa di antara bintang-bintang. Warna gaunnya menyatu dengan bentangan langit; biru pekat seperti malam tenang ketika kau tidak ingin melakukan hal lain kecuali berpelukan dengan kekasihmu.

Dan gadis itu adalah aku.

"Ini namanya surrealisme; aliran yang mendobrak batas logika. Mencampurkan khayalan dan realita. Orang-orang akan bilang kalau menari di matahari itu tidak masuk akal, tapi dengan imajinasi, aku bisa membuatnya jadi mungkin."

Aku sudah tahu itu, tapi aku tidak menyela. Aku suka memperhatikan Yuta membahas mengenai hal-hal yang dia suka. Cinta yang terpancar di pandangannya menghangatkan hatiku. Itu jenis cinta yang tidak berubah, tidak lekang oleh waktu. Masih sama seperti saat kami remaja. Bahkan bertambah.

"Sama dengan pasangan selingkuh. Menurut orang-orang yang sok tahu, kita tidak akan bahagia, atau bahagia tapi tidak lama. Mereka tahu apa sih? Kita yang menjalani ini. Cinta kita adalah milik kita, bukan mereka.

"Rosie," Yuta serius sekarang, menatapku lekat-lekat, menggenggam tanganku dan mengelus kupu-kupu yang ia beri. "Ayo mendobrak batas denganku. Kita buktikan orang-orang itu salah. Kita buat mereka heran dan bertanya-tanya kenapa kita masih bersama. Ayo bahagia di Osaka. Ayo ikut aku. Aku yang menyebalkan, tidak bisa memasak dan tidak suka bersih-bersih. Aku pasti akan membuatmu jengkel nanti, tapi aku juga akan membuatmu bahagia. Maukah kau memberiku kesempatan, Rosie?"

Banyaknya kebahagiaan yang kurasakan seolah bisa memenuhi Korea dengan berbagai bunga. Di hatiku, cinta mekar kembali; lebih kuat, lebih besar, lebih indah. Aku mendengar musik; simfoni merdu yang melantunkan lirik tentang sebuah negeri yang penuh kesempatan. Yang akan menerimaku karena mereka tidak tahu masa laluku. Tempat ada seorang wanita yang di pertemuan kedua kami memanggilku calon menantunya.

Kemudian, aku melihat Yuta一pria kurang ajar yang merebut hatiku dan tidak mengembalikannya. Dia bukan cinta pertama, tapi aku ingin dia jadi yang terakhir. Dia cinta yang menuntunku dewasa, mengajariku banyak hal mulai dari cara mengurus orang-orang yang mem-bully-ku sampai apa itu surrealisme.

Yuta adalah rumahku.

Dihadapkan pada pertanyaan itu, aku tak punya jawaban lain selain, "Hubungi Joy sekarang. Aku akan bicara dengannya."

Aku sudah pulang. Aku sudah pulang.

Jaerose shipper kagak papa kan? Tabahlah seperti Rose yang tabah menerima hujatan kalian 😳

Ini belom ending, kurang epilog + 1 part spesial isinya bacotan gua yang penting DIKIT.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top