50. Ignite
Nakamoto Yuta akhirnya bisa tidur nyenyak.
Ia tidak pernah menyangka akan mengalami insomnia. Normalnya, saat bertemu bantal, semua sel di tubuhnya akan secara otomatis "redup", seperti rumah-rumah yang listriknya dipadamkan, kemudian tidur. Baginya, tidur sealami bernapas. Itu bukan masalah besar.
Tapi semenjak melihat Rose jatuh, ia tak bisa memikirkan apapun selain wanita itu dan keadaannya. Yuta takut bila tidur, ia akan melewatkan sesuatu, atau yang lebih buruk, kehilangan.
Oh, betapa itu kata yang sangat jelek.
Ia tidak akan tidur. Titik. Setidaknya sampai ada kejelasan mengenai Rose. Sepanjang hari, yang dilakukannya hanya berbaring, duduk, berbaring, nonton TV dan berbaring lagi. Sesekali Yuta menghibur diri dengan mengecek ponsel Rose yang tertinggal di mobil Johnny. Wallpaper-nya membuatnya tertawa. Ia tidak tahu Rose memotretnya saat tidur. Dasar tupai nakal! Ia melihat ulang foto-foto mereka ketika belanja, mengintip kehidupan Rose sebelum ia datang, dan terheran-heran mengetahui Rose menamai kontaknya dengan nama "elang".
Lucu. Untung saja password-nya gampang ditebak.
Manakala dihinggapi bosan, Yuta keluar mencari seperangkat alat menggambar di toko dekat apartemen. Ia tidak membawa peralatannya sendiri karena mengira, perjalanannya ke Korea tidak akan lama. Pertemuan dengan Rose terlalu mudah. Keluar bar, menabrak sesuatu, lalu mendadak seluruh hidupnya berubah. Dari pria biasa yang terlalu tampan menjadi selingkuhan. Dari pelukis terkenal menjadi saksi di kantor polisi. Hidup memang penuh kejutan.
Tapi Yuta tidak menyesalinya一tidak sedikitpun.
Ini takdir, begitu pikirnya, sambil duduk bersila dan mulai menggambar. Ia tidak perlu mencari-cari inspirasi, hal itu datang sendiri. Ia membayangkan Rose dan tahu apa yang akan ia buat. Seorang gadis, menari bahagia di atas mentari. Ia memberinya judul, Dancing On The Sun.
Yuta sedang menyelesaikan tahap akhir gambar itu saat pintu apartemen di ketuk oleh Jung Jaehyun.
Kesal sekali melihatnya, membayangkan bukan cuma 1 atau 2 tahun yang ia jalani bersama Rose, tapi 7 tahun! Yuta, jujur saja, merasa iri. Karena selama ia berpisah dengan Rose, ia tidak mengencani siapapun一tidak bisa一kecuali Mina.
Mereka bicara.
Membicarakan banyak hal yang sebagian besar tentang Rose. Yuta terkejut mendengar hidup Jaehyun ternyata juga berat. Padahal semasa SMA, Jaehyun ibarat pangeran. Kemana-mana dilirik para gadis, kesayangan guru, orang tuanya kaya pula.
Aduh, takdir. Keadilannya kadang mengerikan.
Jaehyun pulang setelah mereka membuat kesepakatan. Pukul berapa tepatnya, Yuta tidak ingat karena begitu pria itu pergi一tanpa membawa ponsel Rose一Yuta merasa sangat mengantuk. Ia pindah ke kamarnya, menghadap lukisan jam dan tertidur hingga pagi keesokan harinya.
Ia tidur, seperti salah satu puisi Emily Dickinson,
A long, long sleep, a famous sleep
That makes no show for dawn
By stretch of limb or stir of lid一
An independent one
Pantas saja Johnny menggeleng-geleng saat ia bangun, langsung mencari makanan di meja makan. "Jadi kau dan Nona Rose balapan tidur? Apa kalian bertemu di mimpi?"
Yuta nyengir, duduk layaknya anak manis yang menunggu ibunya menghidangkan sarapan. "Aku capek."
"Jelas saja," gumam Johnny, meletakkan roti bakar setengah gosong di piring Yuta, dan sebotol air yang ia lempar dari lemari es. "Apa yang terjadi kemarin? Pertemuan dengan si ... si ... siapa namanya? Jaebum? Suami Nona Rose itu."
Kata "suami" membuat Yuta merengut. Mendengarnya sekarang rasanya aneh, tidak rela, karena entah bagaimana, ia takut itu akan mempengaruhi keputusan Rose. "Oke. Kami tidak bertengkar."
"Berarti gelasku dipecahkan tikus, ya?"
Yuta tersedak, batuk-batuk hebat. Ia benar-benar lupa menghilangkan jejak ulahnya atau minta ganti rugi. Membereskan gambarnya saja tidak sempat, terlalu lelah. Jika ini terjadi di rumah, pasti ibunya sudah menjewernya. "Nanti kuganti dengan pizza."
Senyum Johnny mengembang lebar. Ia selalu menyukai pizza. Bisa memakannya terus-menerus tanpa merasa bosan一apalagi jika pizza itu gratis一atau jadi gemuk. Dia punya tubuh idaman wanita. "Kau akan menemui Nona Rose?"
Menelan suapan roti terakhirnya, Yuta mengangguk. Ia bangkit, menumpuk piring kotor di tempatnya.
Siulan Johnny mengiringi gerakan Yuta yang membenahi penampilannya. Berdandan se"rapi" yang ia bisa. "Kukira kau takut melihat keadaannya."
Yuta menanggapi dengan dengusan geli nan pongah. Gengsi mengakui kebenaran, sebab harga diri yang menjulang terlalu tinggi. "Terakhir kali aku merasa takut adalah saat ibuku membawaku ke rumah sakit dan mengancam akan menyuntikku kalau aku nakal."
"Sekarang pun kau masih nakal," sahut Johnny, mengangkat gelasnya sendiri seolah mengajak Yuta bersulang. "Main-main dengan istri orang, dasar gila."
Selera humor Yuta yang unik membuatnya tertawa. Dia tidak tersinggung, tidak pula marah. 2 perasaan itu mengendap jauh bila bercakap-cakap dengan Johnny, karena Yuta menghargai teman yang jujur padanya. Mengatakan ia salah saat salah. "There is only one difference between a madman and me. The madman thinks he is sane, I know I am mad."
"Salvador Dali?"
"Dali."
Mereka melakukan tos, saling beradu kepalan tangan. Yuta yang merindukan Rose bergegas berangkat, tapi menyempatkan diri menyobek gambar Dancing On The Sun dari buku gambar dan menggulungnya. Ia akan membawa hadiah yang berbeda untuk Rose.
Cuaca di luar cerah hari ini. Langitnya tidak berwarna kelabu seperti kemarin, melainkan biru一 mengingatkannya pada air laut.
Yuta mendongak, memayungi matanya dari sinar matahari.
Hatinya bertanya pada sang bintang, apa akan ada berita bagus?
Yuta merasa matahari itu tersenyum.
Perjalanan Yuta ke rumah sakit terbilang lancar.
Ia tiba kurang dari setengah jam, berhasil tidak menabrak apapun atau siapapun, dan memarkir mobil Johnny dengan mulus. Setelahnya ia meneruskan langkah, ke kamar Rose yang masih ia ingat. Ruangan tersebut hening, tapi bukan berarti tidak berpenghuni.
Seorang wanita yang awalnya Yuta kira adalah Alice duduk memunggunginya, menggenggam sebelah tangan Rose dan memberikan tepukan-tepukan lembut, bagai sedang menidurkan bayi.
"Bibi Park."
Yuta melangkah masuk, terkejut setengah mati melihat wanita itu, walaupun bila dipikir-pikir, itu bukanlah hal aneh. Bagaimanapun, Rose putrinya, dan wajar saja seorang ibu berada di samping sang putri saat dia sakit.
Ibu Rose menoleh. "Nakamoto Yuta."
Yuta membungkuk sedikit. "Anda masih mengingat saya."
"Jangan terlalu formal." Wanita itu mengeluarkan tawa yang sangat mirip dengan Rose. "Mana mungkin aku lupa pada orang yang mengajak putriku membolos pertama kali dan dengan jujur mengakuinya?"
Menuruti permintaan Mama Park, Yuta bercanda bahwa jujur memang salah satu kelebihannya dengan bahasa yang tidak formal. Dia ingat peristiwa yang dimaksud wanita itu, saat dia mengantar Rose pulang dan mengaku kemana saja dia mengajak Rose membolos. Dulu, SOPA adalah sekolah yang ketat. 1 kali absen tanpa keterangan, pihak sekolah pasti akan menelpon orang tuamu. Karena tidak ingin Rose dimarahi, maka Yuta mengakui kesalahannya.
Ayah Rose tertawa. Ibunya menatapnya dengan wajah datar.
Sejak dulu, wanita itu sulit dibuat tertawa hingga Yuta berpikir dia tidak menyukainya.
"Kudengar kau jadi pelukis sungguhan sekarang." Mama Park kembali bicara, memilih tidak menatapnya dan masih fokus mengelus tangan Rose.
Yuta mengangkat bahu. Karena tidak ada kursi lagi, dia berdiri dan bersandar di tembok. "Bisa dibilang begitu. Aku masih suka menggambar seperti dulu."
"Dan berkelahi?"
Yuta tidak bisa tidak tertawa. "Aku dan Jaehyun hanya main-main."
Seulas senyum terukir di wajah Mama Park, menjadikannya bahkan lebih mirip dengan Rose meski wanita itu lebih mungil. "Kau pandai bicara. Mungkin itu salah satu alasan Rose belum bisa melupakanmu. Jadi," dia membalikkan kursinya. "Kudengar kalian berselingkuh?"
Tatapan mata mama Park yang ibarat pisau tajam menghujam Yuta dari tempatnya duduk, tapi dia tidak gentar membalasnya. Bicara sambil menunduk bukanlah gaya Yuta. "Benar."
"Perselingkuhan itu perbuatan bodoh."
"Semua orang boleh menyebutku seperti itu." Yuta mengalihkan pandangannya pada Rose, tupai nakalnya yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit, tertutup selimut sampai ke perut. "Tapi," dia menambahkan. "Aku tidak peduli. Rosie tidak bahagia dan aku tidak bisa diam saja. Menghalangi kebebasan seseorang sama dengan membunuhnya perlahan-lahan."
"Kebebasan." Mama Park tersenyum miring saat mengulang kata itu. "Apa benar ada hal semacam itu di dunia ini?"
"Narapidana yang memperjuangkan pembebasan bersyarat bisa menjawab Anda lebih baik dariku." Yuta menukas, berharap dia tidak terdengar terlalu kasar. "Rosie tidak menginginkan kebebasan dalam artian berlebihan, dia hanya ingin kuliah, ingin bebas keluar tanpa ditelpon setiap 2 jam sekali. Dia ingin memegang kendali hidupnya, hidup bagi dirinya sendiri dan bukan orang lain. Kebebasan adalah haknya, Jaehyun tidak seharusnya merebut itu."
"Dia benci diatur siapapun." Mama Park tampaknya memahami ucapannya dengan baik. "Mari kita sebut dia petualang. Sejak kecil, dia sering berjalan menjelajahi daerah sekitar rumah. Dia tidak takut pada apapun. Rose kita pemberani. Rose hidup dengan caranya sendiri, itulah kenapa Jaehyun sulit mengerti dirinya."
"Dan ada terlalu banyak peraturan yang harus ditaati saat seseorang menikah dan punya anak." Yuta merenung dengan pandangan yang tertuju pada langit-langit. "Itu membuatnya tertekan karena dia tidak siap menjadi istri dan ibu."
"Itu, dan masalah ruang gerak." Mama Park tidak lagi tersenyum sekarang. Di matanya, hanya ada kesedihan bagi anak yang merindukannya. "Dia tidak bisa hidup dengan ruang gerak yang serba dibatasi. Rasanya pasti seperti..."
Yuta membantunya dengan memberi usul. "Bunuh diri dengan tali yang terbuat dari emas? Orang-orang mengira dia bahagia karena dikelilingi kemewahan."
Suara tawa mama Park memenuhi ruangan bersamaan dengan tubuhnya yang bangkit berdiri. Wanita itu mengambil tasnya, menghampiri Yuta, dan menyentuh bahunya ringan. "Aku yakin kalian butuh waktu berdua."
Hendak pergi, meninggalkan Yuta dengan kesimpulan baru mengenai dirinya, Yuta menahan wanita itu dengan sebuah tanya. "Kukira Anda membencinya?"
Langkah kaki mama Park terhenti. "Alice dan hadiah-hadiahnya bisa menjawabmu lebih baik dariku. Aku tidak membencinya, aku hanya kecewa padanya." Lantas, merasa cukup menjelaskan, dia melanjutkan langkahnya. Jari-jarinya yang lentik membuka pintu yang tidak ditutup Yuta dengan rapat lebih lebar. "Apa Jepang tempat yang bagus, Yuta?"
Tepat ketika Yuta berpikir bahwa ibu Rose ternyata tidak membencinya sedalam yang Rose duga, dia mengajukan pertanyaan yang membuat kening Yuta berkerut, sebelum menjawab, "Ya, sangat bagus. Aku selalu bangga pada tanah kelahiranku."
"Kalau begitu," kata mama Park. "Lakukan apa yang harus kau lakukan."
Beberapa menit setelah ibu Rose pamit dan membiarkan Yuta sendirian dengan putrinya, Yuta mendekati Rose yang tampak seperti karya seni; cantik sekaligus tak terjangkau. Rose pergi, dan Yuta tak dapat menyusulnya meski ia menyewa kendaraan terbagus di seluruh dunia. Rose tengah beristirahat, menghindari 2 pria yang merepotkannnya selama ini.
Dada Yuta terasa sesak, sakit sekali. Kilasan peristiwa itu hadir lagi, menanamkan kebencian pada diri sendiri. Rose jatuh, dia sempat mengulurkan tangan meminta bantuan. Tapi Yuta yang berada di tempat yang sama, bebebarapa langkah darinya, gagal menyelamatkannya. Ujung jarinya pun tidak bisa Yuta sentuh. Dia gagal; hal itu menjadi cambuk, menyiksanya tiada henti.
"Okurette gomen ne. Maaf aku terlambat." Yuta tersenyum karena ia tahu Rose tidak akan senang ia bersedih. "Apa kabar, Rosie?"
Tidak ada jawaban.
Dengan hati-hati, penuh cinta, Yuta meraba luka di pipi Rose. Pipi itu dingin. Jadi Yuta mengambil remote AC dan menaikkan suhunya. "Sudah nyaman belum? Apa kau mendengar percakapanku dengan Ibumu? Apa kau senang? Kau salah mengartikan sikapnya selama ini."
Yuta terus bicara, tak mengizinkan ruangan dicekam keheningan. Tangannya merapikan buket bunga yang ia kirim melalui Johnny, bersyukur tidak ada yang membuangnya. Atau orang-orang tidak tahu saja bunga itu darinya. "Aku bertemu Jaehyun kemarin. Kami mengobrol macam-macam, bergosip tentangmu. Kurasa aku melakukan hal yang benar, Rosie. Aku memberi dia kesempatan."
"Lagipula," imbuh Yuta. "Jaehyun itu baik dan aku bukan orang jahat. Anggap saja aku selingkuhan yang punya hati nurani. Keren kan?"
Dia tergelak membayangkan Rose mendengus.
Yuta menggenggam tangan Rose, mengelus cincin kupu-kupu yang ia belikan. Ia tidak tahu Rose memakainya, tapi dia bahagia. Cincin itu adalah tanda mereka terikat tak terpengaruh jarak. "Nanti aku akan menggantinya dengan sapphire, Rosie. Sesuai janjiku. Atau cincin lain yang kau mau. Apapun..." Yuta berdeham. "Apapun yang kau mau, aku janji."
"Yang penting kau harus bangun." Pria itu memohon, suaranya amat lirih. "Bangunlah. Kau berencana tidur berapa lama? Kau sudah melewati rekorku. Kau menang. Waktunya bangun, aku punya sesuatu untukmu."
Jeda sejenak, Yuta menunduk, merogoh saku jaketnya, mencari kertas yang ia selipkan.
Tidak ada.
Yuta seketika panik, mengecek rute masuknya, khawatir kertas itu jatuh dan ia menginjaknya. Tidak ada juga. Dimana kertas itu? Dimana kertas sial itu?
"Oh..." Yuta mendongak dan mengerang. Sejak dulu ia benci rumah sakit一tempat yang dikelilingi energi negatif, roh jahat atau apalah namanya. Tempat ini tak menebarkan aura persahabatan untuknya, dan kini malah menghilangkan hadiah yang belum di lihat Rose.
"Sebentar, Rosie." Yuta meremas jari-jari Rose dengan lembut. "Tunggu sebentar, ya?"
Satu gerakan一halus, samar一membalas genggaman tangannya.
Yuta tersentak kaget.
Matanya melebar, kebahagiaannya membuncah. Harapan tumbuh di hatinya. Jantungnya berdegup tak karuan.
Rose bergerak.
Rose ... bergerak?
Yuta menatap tangan Rose dengan ketegangan yang makin lama makin meningkat. Ia putus asa. Takut gerakan itu bagian dari ilusi yang diciptakan otaknya, menyebar ke indra peraba.
Yuta mengeratkan pegangannya, berbisik, "Rosie, kau mendengarku? Lakukan lagi, ayolah. Lakukan lagi. Kumohon."
Ia mengamati.
Ia menunggu.
Ia merasa bisa hancur karena besarnya harapan dalam dirinya.
Detik demi detik berlalu.
Yuta percaya ia tidak berhalusinasi. Itu nyata! Ia pernah membaca di sebuah artikel kalau orang yang tidak sadar, kritis, koma, sebenarnya masih bisa mendengar. Beberapa orang bahkan bersaksi mereka terperangkap di tubuh mereka, terpenjara. Rose mungkin juga begitu! Dia mendengar kalimat Yuta, ingin bangun, tapi kesulitan.
"Rosie?"
Namun harapan tinggal harapan.
Rose tidak bergerak lagi.
Yuta mengamati nyaris tanpa berkedip, sampai matanya berair, tapi benar-benar tak ada gerakan. Rose masih diam.
"Sialan..." Yuta tertawa hampa, memukul kerangka besi tempat tidur sekeras-kerasnya. "Sialan!"
Ia keluar dari kamar, menyeret kemarahannya menjauh dari Rose. Ia membuka pintu, kekecewaan mengarahkan tangannya membanting benda itu. Ia tak peduli walaupun ada yang menegurnya. Yuta buru-buru turun ke tempat parkir, mengabaikan tangannya yang tergores.
Dengan emosi yang belum reda, Yuta kembali ke mobil, duduk menenangkan diri, menstabilkan pernapasan. Ia memejamkan mata rapat-rapat. Tarik napas, buang. Tarik napas, buang.
Sepertinya itu memang ilusi, akibat harapannya yang bertumpuk. Ia salah lihat, salah merasakan. Artikel yang ia baca tidak terbukti kebenarannya. Seharusnya ia lebih santai. Kemarahan tidak akan menghasilkan apa-apa.
Yuta mengusap wajahnya, mendadak merasakan dorongan pulang supaya ia bisa tidur dan melarikan diri ke alam mimpi. Tapi ia baru tiba. Ada banyak hal yang hendak ia ceritakan pada Rose一entah Rose mendengar atau tidak. Berada 1 ruangan dengan Rose saja melegakan. Yuta ingin merasakannya lebih lama, sebelum Alice atau siapapun mengusirnya.
Terlebih, menganggur di rumah Johnny tidak ada gunanya. Paling-paling ia hanya akan menonton TV, menyimak drama yang tidak ia pahami alur ceritanya. Membosankan.
Maka Yuta meregangkan badan, keluar dari mobil. Dan sesuatu berwarna putih bersih menarik perhatiannya, tergeletak di samping pedal gas. Yuta mengambilnya, tahu benda apa itu di detik-detik awal.
Kertasnya. Hadiah untuk Rose.
Rupanya tidak hilang. Ia tersenyum lega, segera menyembunyikan kertas itu di balik jaket agar aman dari salju. Ia berlari, sudah menyiapkan kata-kata yang akan ia katakan pada Rose.
Rose pasti suka.
Langkah Yuta kian cepat. Lift, seakan mendukung rencananya, mengantarnya dalam waktu singkat.
Kurang dari 3 menit, Yuta tiba.
Jaehyun telah menunggunya di depan kamar Rose. Ekspresinya tak terbaca, dan itu mengirimkan rasa tidak nyaman di benak Yuta. Ia khawatir.
"Ada apa? Rosie baik-baik saja?"
Tolong, tolong, tolong.
Tuhan tidak akan sekejam itu kan?
Jaehyun menggigit bibir, menoleh ke tempat istrinya dan一seolah dalam gerak lambat一mengangguk pelan. "Dia bangun. Yuta, Rose sudah bangun."
Johnny ini jarang banget kesorot ya, tapi gua suka dia dan karakternya. Sahabat-able banget contohnya di pic tuh. Yuta main dia nungguin 😂 dia salah satu karakter fav gua disini.
Kalo kalian paling suka siapa? 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top