46. The Betrayer

William Shakespeare pernah berkata, the saddest thing about betrayal, is that it never comes from your enemies.

Dan moment ini membuktikannya.

Jung Jaehyun dikenal semua orang sebagai sosok yang ceria. Jika Yuta punya kelebihan membuat orang lain tertawa dan memeriahkan suasana, Jaehyun juga sama, dengan cara yang berbeda. Dia seakan terbuat dari sinar matahari dan pelangi, yang memberi kesan hangat pada siapapun yang berada di dekatnya. Dia tidak terlalu lucu seperti Yuta, tapi dia punya hati yang baik. Kedewasaan yang sudah terlihat sejak remaja, serta cinta yang sangat banyak.

Itulah masalahnya.

Jaehyun bodoh. Ketika jatuh cinta, dia cenderung memberikan seluruh hatinya pada orang itu, padaku, dan tak pernah berpikir bahwa aku bisa saja mematahkan hati itu. Dia terlalu mencintai, sehingga manakala dikhianati, sakitnya pun tidak main-main.

Mata itu mengungkap semuanya; tentang seberapa parah aku menyakitinya. Jaehyun tak sekalipun menatapku begini, bahkan saat aku berusaha aborsi. Waktu itu dia tahu aku sedang kacau dan tidak sanggup berpikir jernih.

Dia memaafkanku一yang kemudian terjadi berulang kali setelah kami menikah.

Tindakanku sekarang tidak termaafkan. Takkan ada bedanya kalau aku mengambil pisau dan menusuknya tepat di ulu hati. Mungkin itu justru lebih baik, sebab luka fisik yang kasat mata berpeluang besar disembuhkan.

Sebaliknya, apa yang dapat kita lakukan untuk luka yang menggores relung jiwa? Bagaimana cara kita mengurangi rasa sakit akibat dikhianati? Tidak ada.

Namun aku tetap mencobanya. Aku merasa harus melakukan sesuatu. Aku memegang lengannya, membisikkan namanya selembut mungkin. "Jaehyun..."

Aku diabaikan. Eksistensi Yuta lebih menarik perhatiannya. Melihatku di sebuah mall adalah hal normal, biasa, tapi tidak bila itu melibatkan Yuta一yang tanda-tanda kehadirannya sebatas berupa kartu nama.

"Apa yang dia lakukan di sini?" Jaehyun bertanya, tidak mengalihkan tatapannya. Dia menunjuk Yuta, mengulang masa lalu di tempat yang berbeda.

Respon Yuta sama; tawa, sambil menyingkirkan jari Jaehyun dari wajahnya. Yuta tidak takut一tidak pernah, terlebih saat dia meyakini bahwa dirinya melakukan hal yang benar; menyelamatkanku dari penjara pernikahan ini. "Hati-hati. Kau seharusnya bersikap sopan pada seniormu. Apalagi senior yang mengenalkanmu ke istrimu. Benar kan, Rosie?"

"Kita pulang sekarang." Aku melirik Yuta dengan tatapan tajam, meminta sekaligus memerintahkan dia diam, dan menarik lengan Jaehyun sebisaku. "Akan kujelaskan di rumah. Kita pulang Jaehyun, ayolah..."

Jaehyun bergeming. Tenagaku kalah besar. Aku tak mampu menggerakkannya meski cuma sejengkal. Dia berkeras bertahan, menginginkan jawaban. "Rose, apa yang dia lakukan di sini?"

Pilu. Kian detik, pisau yang aku tusukkan menancap semakin dalam. Diwakili oleh tatapan nanarnya yang meminta penjelasan. Pertanyaan tak berwujud itu terasa berat, menyesakkan, melingkar tanpa henti menebarkan rasa bersalah. Mata Jaehyun seumpama bintang meredup. Aku tahu aku tak pantas mendapat pengampunan一walaupun sebesar butiran pasir.

Tapi Yuta, yang sudah merasakan perihnya ditinggalkan akibat kesalahan satu malam kami, tidak berniat berbelas kasih. Dia enggan hancur sendiri. Dia pikir, turut serta membawa Jaehyun yang 7 tahun bahagia di antara kami, adalah pembalasan yang adil, pula sepadan. "Jung Jaehyun, kau sungguh tidak tahu apa-apa, ya? Menyedihkan."

Beberapa untaian kata itu memantik perselisihan lama, memperbesar api lama yang belum padam. Sulit dipercaya aku melewatkan ini; fakta bahwa keduanya ibarat sepasang singa yang tidak sudi membagi wilayahnya. Tak pernah ada pertemanan. Sejak awal mereka sudah tidak cocok.

Aku menyaksikan mereka, Jaehyun yang tak stabil, menghampiri Yuta si pecandu bahaya. Telapak tangannya menyambar kerah mantel Yuta, persis di bawah lehernya dan praktis, mengundang perhatian orang-orang. "Kau benar. Aku tidak tahu kenapa kau di sini, tapi Rose sekarang istriku. Jangan menyentuhnya."

Bukannya membungkam, tawa Yuta sekali lagi berkumandang. Dia meremehkan Jaehyun, tak menganggapnya ancaman. Menyeringai, Yuta balas mendorong, pamer telinganya yang ditindik saat kembali angkat suara. "Apa? Aku tidak dengar. Kau yakin Rosie masih menganggap dirinya sebagai istrimu?"

Dari dalam dan luar toko boneka, kasak kusuk semakin santer terdengar. Asal menebak dan menyimpulkan, mereka berbisik tentang kami.

Rasa malu bergabung bersama kemarahan, menjadi kombinasi yang dahsyat. Jaehyun, pengacara yang tahu betul konsekuensi memukul seseorang, tiba-tiba lupa pada hal itu, dan bergerak menghajar Yuta. 1 pukulan ke pipinya, disusul pukulan kedua yang menyasar dagu. Dia menumbangkan Yuta, mencampakkan tubuhnya ke lantai putih dingin yang menjadi saksi bisu.

"Kau selalu banyak bicara. Seseorang harus mengajarimu caranya diam."

Aku memejamkan mata, sejenak menarik diri dari kenyataan yang menghukumku. Dunia terasa berputar-putar. Aku melihat boneka-boneka Elsa yang hendak ku beli, tapi tak bisa fokus pada wajah-wajah yang terbuat dari kain itu. Semua boneka tersebut tersenyum, berkomplot dengan semesta yang tak menjawab pertanyaanku tentang mengapa takdir merancang skenario menyakitkan ini.

Kemudian aku melihat mereka, si api dan si air yang memperebutkanku sekali lagi, dan aku pun menyadari betapa idiotnya kami. Kekanakan, bodoh, hanya dewasa menurut umur. Kami bukan seorang pengacara, pelukis terkenal, dan wanita bersuara merdu yang cocok jadi penyanyi. Kami hanya kumpulan orang tolol yang belum berdamai dengan masa lalu.

"Jaehyun," aku memegang pergelangan tangan suamiku, memintanya berbalik dan menatap istrinya yang jahat ini, pusat dari segala masalahnya. "Jaehyun, aku..."

Bahu Jaehyun naik turun dengan cepat. Napasnya tersengal. Pupil matanya memancarkan ketakutan. Dia tidak mau aku bicara. Dia menggeleng. "Jangan minta maaf. Pasti Yuta yang memaksamu bertemu kan? Yuta mengancammu. Tidak masalah, Rose. Kau tidak usah minta maaf. Aku mengerti."

Dadaku sesak menahan isak. Bibirku bergetar. Aku tak bisa membela yang satu tanpa menyakiti yang lain, tapi seperti kata Yuta, setiap kisah ada ending-nya. Dan hanya aku yang bisa membawa kami bertiga pada ending itu. Aku harus kejam, demi kebaikan kami.

Maka aku mengatakannya, seperti menekan luka yang masih berdarah dan membuatnya lebih kesakitan. "Jaehyun, ini bukan salah Yuta. Selama ini ... kami berselingkuh dan一" Wajah Jaehyun berubah pucat pasi. Tangannya merosot lunglai dari bahuku. "Maaf, Jaehyun. Kau boleh membenci dan mengutukku. Aku bersalah. Aku tidak layak untukmu. Maaf. Maaf. Maaf..."

Setelahnya aku menangis, untuk hati yang telah kupatahkan. Hati yang amat baik dan mulia. Suami terbaik, ayah yang hebat. Jaehyun adalah berlian yang berhak diperlakukan lebih baik dari ini, di pelukan seseorang yang akan menghargainya.

Orang itu bukanlah aku. Dari awal, dia tidak punya tempat. Tiada sekeping cinta pun yang tersisa sebab semuanya di ambil Yuta. Dia sudah kalah.

"Jaehyun, aku tak bisa meneruskan ini. Aku ingin bercerai. Aku tidak akan minta tunjangan perceraian atau apapun itu, aku hanya ingin bebas. Lepaskan aku, Jaehyun. Pernikahan kita tak ada ada gunanya."

"Tak ada gunanya." Jaehyun mengulang, melirik Yuta yang perlahan bangun dan mengusap mulutnya. "Tak ada gunanya? Rose, apa yang kau bicarakan? Berapa lama kau bertemu dia sehingga mau membuang 7 tahun yang kita habiskan? Dia bilang apa? Sialan, Rose, apa sebenarnya yang dia punya tapi tidak aku punya? Apa?!"

Jaehyun berteriak. Suaranya meninggi. Ini hal baru lain. Namun aku paham. Hanya sedikit kejujuran yang mudah diucapkan, terlebih diterima, dan perselingkuhan tidak termasuk di dalamnya.

"Tidak ada," jawabku jujur. Kali ini tanpa kebohongan yang di rumah sering aku persembahkan padanya. "Kalian tampan dan istimewa dan sebagainya, tapi Yuta..." Aku menoleh ke arah Yuta dan tersenyum. "Yuta membuatku tertawa lebih keras. Dia membuatku merasa cukup dan lengkap. Sesederhana itu. Aku mencintainya. Aku tidak bisa hidup tanpa dia lagi, berat, berat sekali rasanya."

"Tapi sebelumnya kau bisa kan?" Desak Jaehyun, mengguncang bahuku keras-keras didorong keputusannya. Dari dasar lubang hitam, dia mendongak, memohon supaya aku memberinya tali dan membantunya naik. "Selama 7 tahun kau bisa. Rose, sayang, bagaimana dengan Lily? Pikirkan Lily. Jangan dengarkan dia dan ayo lanjutkan rumah tangga kita, ya? Kumohon."

Di belakang kami, Yuta tergelak menanggapi pertanyaan itu. Dia terus tertawa sambil membersihkan pakaiannya di pagar pembatas, seolah kalimat Jaehyun adalah lelucon terlucu yang pernah ia dengar. "Anak, anak. Aku bosan mendengarnya. Memang kenapa kalau dia punya anak? Dia tidak boleh mengejar impiannya? Jadi Ibu rumah tangga seumur hidup? Cari alasan lain, Jaehyun. Coba lagi. Rosie tidak akan terpengaruh."

"Yuta, hentikan!"

Namun Yuta tidak akan berhenti. Dia telah menunggu saat ini, untuk menyelesaikan pertengkaran yang belum sepenuhnya usai. Mendadak semuanya jelas. Inilah tujuan Yuta. Dia sengaja membiarkan Jaehyun memukulnya agar bisa membalas tanpa bayangan akan dituntut. Aku terlambat mengingat pertanyaannya di pantai.

"Apa kau tahu hukuman yang akan kudapat seandainya aku memukul seseorang?"

Di situasi normal, dia takkan membiarkan dirinya dijatuhkan, lebih-lebih oleh Jaehyun. Yuta terlalu angkuh一entah itu kekurangan atau kelebihan. Dia tidak akan mengalah pada siapapun hanya karena rasa bersalah.

"Hentikan, kalian berdua!"

Kali kedua Jaehyun datang, Yuta lebih siap.

Dia menangkap pergelangan tangan Jaehyun di udara, memitingnya ke bawah. Belum puas, Yuta membalas sebanyak yang ia terima. Ia menekuk lengan Jaehyun di belakang punggung dan menghantamkan sikunya ke punggung itu keras-keras.

"Dasar bajingan! Bertindak seenaknya, menghalangi dia bebas. Kau pikir kau berhak memperlakukan dia sesukamu karena kalian menikah? Sana, cari wanita pendiam bodoh yang mau menuruti kata-katamu!"

Jaehyun tertawa, meloloskan diri dengan cara membalikkan tangannya ke atas, berusaha一dan gagal一menyorongkan tangan yang sama pada rahang Yuta karena ia menghindar semulus belut. Tubuhnya yang lebih kecil dan ramping sangat membantu.

"Apa yang kau tahu tentang kami? Kau seharusnya membusuk di Jepang! Kami baik-baik saja tanpamu!"

Yuta mendengus. Wajahnya memerah, tapi bukan rasa sakit atau malu, amarahlah yang menyebabkan hal itu dan kini menguasai dirinya. Amarah yang disimpan selama bertahun-tahun, meraung buas ketika akhirnya dilepas. "Berarti matamu tidak berguna kalau tidak melihat seberapa banyak dia menderita. Jual saja bangsat, kau tidak ada bedanya dengan orang buta!"

Jaehyun merangsek maju, tangannya terkepal一

Di saat yang sama, aku menyusup ke tengah-tengah mereka, masing-masing mendorong dada keduanya menjauh; cara kilat yang bisa kupikirkan di tengah situasi genting ini. "Sudah, sudah! Apa-apaan kalian? Hentikan!"

Mereka tidak mendengarkanku, pura-pura tuli.

Jaehyun mencengkeram mantel Yuta dengan jari-jarinya, menabrakkan lututnya ke perut sang mantan senior. Besarnya daya pukulan itu membuat Yuta mundur, menghantam pagar pembatas yang menjadi tempatnya bersandar.

Hanya saja, Yuta tak berlama-lama memanjakan rasa sakit, dia bangun, berdiri tegak kembali dalam hitungan detik. Bunyi derak mengerikan terdengar manakala tinjunya beradu dengan rahang Jaehyun.

Ada darah.

Cairan merah pekat tercecer di lantai dalam bentuk tetesan.

Pusing di kepalaku bertambah hebat. Telingaku berdenging. 2 orang yang aku sayangi tidak boleh seperti ini. Tidak boleh. Aku kembali menangis, sekaligus tidak tinggal diam. Aku mencoba memisahkan dengan keadaan penglihatan yang buram karena air mata, memohon, merengek. "Yuta, Jaehyun, tolonglah, jangan一"

Lalu hal itu terjadi.

Salah satu dari mereka一atau mungkin keduanya一menepisku supaya tidak mengganggu. Sesuatu mengenai wajahku dengan telak, menghempaskanku mundur. Punggungku menabrak besi dingin pagar pembatas saat aku kehilangan keseimbangan. Sepatu high heels-ku patah karena berat tubuh yang bertumpu di satu titik. Benda itu tidak sanggup menahannya dan aku terpeleset.

Tiba-tiba, aku tidak lagi memijak lantai mall yang solid. Aku terjungkal, melayang di udara dibarengi teriakan orang-orang. Sebagian hanya berteriak tanpa arti, sebagian memekik "ya Tuhan", "astaga" dan "tolong dia!". Suara-suara itu mengiringi kejatuhanku, seorang istri, ibu, anak dan adik perempuan, selingkuhan, yang tak mampu melawan gravitasi.

Aku jatuh.

Ironisnya, kejadian itu benar-benar menghentikan perkelahian Yuta dan Jaehyun. Mereka bergegas menghampiriku, berlomba-lomba mengulurkan tangan.

"Rosie!"

"Rose!"

Sekali ini, mereka tampak mirip. Wajah mereka menampilkan kengerian murni, ketakutan absolut. Mereka kompak menyuarakan kata yang sama; "Tidak!" yang juga tidak bisa menolongku. Mereka mirip, dan itu membuatku tersenyum.

Aku tetap jatuh一dengan cepat.

Jadi beginilah akhirnya.

Kisah kami tidak berakhir seperti dugaanku. Tadinya aku mengira dapat berpindah dari satu kapal ke kapal lain semudah melompati genangan air. Tadinya kukira takdir sudah sedikit berbaik hati dan memberiku pilihan. Ternyata aku salah.

Kenapa secepat ini?

Padahal aku belum minta maaf pada Lisa.

Aku masih ingin memeluk Lily.

Aku ingin bertemu Momoka dan Haruna, orang tua Yuta, Johnny yang memanggilku 'Nona Rose', Alice yang kujanjikan makanan, orang tuaku sendiri, Cherry dan Hanbin...

Apakah aku takkan bertemu mereka lagi?

Kemudian 2 orang itu...

Jaehyun yang tak kuasa berdiri dan berlutut.

Yuta yang memegangi kepalanya.

Aku menyayangi mereka dengan porsi yang berbeda. Aku tidak bermaksud menyakiti mereka, merusak pertemanan keduanya, dan sekarang ini. Mereka pasti akan menyalahkan diri meski tak ada yang perlu disalahkan.

Yuta, Jaehyun...

Maaf dan terima kasih.

Aku memejamkan mata.

Lantai dasar mall menyambutku.

Belom tamat tapi udah menjelang tamat kok :vv

Mau double update trus ketemu mas doy kagak? 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top