45. Badai

Normalnya, orang yang tinggal di tempat baru, yang tidak ia kenal, akan kesulitan tidur, tapi aku tidak mengalaminya.

Aku dan Yuta bercakap-cakap hingga larut malam, membahas bagian-bagian menyenangkan kehidupan kami, bukan bagian rumit yang menimbulkan rasa sakit. Kami membicarakan destinasi wisata di Jepang (topik yang paling aman dan indah), termasuk hutan Aokigahara. Juga Rapunzel si anjing. Kami melompat dari 1 topik ke topik lain selincah seekor katak yang melompati batu, tak ada habisnya.

Setelah itu kami tidur.

Aku tidak butuh waktu lama untuk terlelap karena jam masa seakan menghipnotisku. Aku membayangkan jarumnya bergerak, membawaku ke masa lalu. Tapi dia justru memanduku ke mimpi indah tentang sebuah negara yang tidak jauh.

Manakala terbangun, aku tidak menemukan Yuta, kehadirannya sudah digantikan oleh celana olahraga dan hoodie berukuran kecil. Dia sedang memasak一berusaha一karena dari dapur, terdengar bunyi-bunyian berisik yang mencurigakan.

Aku bergegas ke kamar mandi, membasuh tubuhku dengan cepat, berniat menyusul Yuta sebelum ia membakar apartemen Johnny.

Ternyata aku tidak perlu khawatir, karena Johnny berada di sana, mengawasi tamunya yang tidak pandai memasak. Johnny telah pulang dari tempat manapun dia menginap, dan tengah mencecar Yuta dengan pertanyaan seputar diriku.

"Jadi Nona Rose sudah menikah? Punya anak juga? Wah." Johnny sejenak kehilangan kata-kata. "Dan kalian berselingkuh? Astaga, Yuta. Aku bosan mengatakan ini, tapi kau gila. Ini kelewatan."

Yuta mencoba bercanda. "Masa? Lebih gila mana dibanding berkencan dengan 10 gadis?"

"Aku tidak begitu!" Johnny membela diri, melempar cangkang telur ke punggung Yuta yang menghadap kompor. "Apa kau serius melakukan ini? Dia memang mantanmu, tapi dengan statusnya sekarang, tidakkah seharusnya kau ... mundur?"

Nada suara Yuta berubah. Aku melihat punggungnya menegang. Kalau Johnny orang lain, aku yakin dia akan berkata, 'kenapa kau tidak urus urusanmu sendiri?' atau kalimat semacam itu, sebab dia benci diatur-atur. Kami sama. Kami mencintai kebebasan. "Aku tidak akan mundur. Jangan harap."

"Yuta." Johnny berdecak sebal, menunjuk telinganya sendiri. "Pakai telingamu dan dengarkan aku. Ini. Tidak. Baik. Turunkan egomu, jauhi dia sebelum terlambat."

Yuta tertawa, tidak berbalik. Fokus mengaduk-aduk sesuatu yang baunya lumayan. "Tidak baik untuk siapa?

"Entah, putrinya mungkin?"

Helaan napas keras meluncur dari bibir Yuta. Dia mengecilkan api, bersedekap menghadap Johnny. Dinding dapur dan posisinya melindungiku dengan baik sehingga dia tidak melihatku. "Aku juga tidak mau Lily jadi korban. Kau kira aku menginginkannya? Tapi keadaan Rosie pun tidak baik一sama sekali. Bayangkan gadis yang kau cintai menderita, kau bisa meninggalkannya?"

"Tentu saja bisa," jawab Johnny cepat. Terlalu cepat. Keraguan terdengar kental dalam 2 kata itu. "Banyak ikan di laut kan?"

"Pembohong." Tuding Yuta tajam, menyerupai pisau yang ia genggam. "Kau tidak tahu apa yang akan kau lakukan kecuali menjadi aku. Kalau dia bahagia, Johnny, aku pasti merelakannya dan pulang secepatnya ke Jepang. Tapi faktanya tidak. Tidak, sialan. Belum sebulan bertemu dia sudah sering menangis di hadapanku, padahal dulu di-bully saja dia kuat. Dia melawan. Harus serusak apa dia sampai orang-orang sadar dia tidak bahagia?"

Pantang menyerah, Johnny berdiri, memberi argumen lain sambil membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air. "Suaminya bagaimana? Menurutmu dia bisa berubah?"

Dengan kibasan tangan, Yuta menolak gagasan tersebut, bahkan tidak repot-repot mempertimbangkannya. "Mengubah karakter seseorang itu tidak mudah, kau kebanyakan nonton film remaja?"

Kuharap Johnny akan diam, menyudahi perdebatan ini. Keduanya sahabat, bersama sejak Yuta di titik terendah, aku merasa tidak enak menjadi alasan mereka bertengkar. Sayang, yang terjadi sebaliknya; Johnny lagi-lagi membantah, "Hubungan kalian salah, kau tidak paham? Anggaplah dia memilihmu, kalian pergi ke Jepang, sementara anaknya menangis. Kira-kira berapa lama kebahagiaan kalian bertahan? Kebahagiaan macam apa yang kalian dapat dengan merebut kebahagiaan orang lain?"

"Pertanyaan bagus." Yuta yang pandai bicara mengambil sendok, mencicipi apapun yang ada di panci dan mengernyit. Dia tidak suka. "Tanyakan itu pada Jaehyun. Kebahagiaan apa yang dia dapat dengan merebut kebahagiaan Rosie?"

"Lalu anaknya一"

Mulai marah, Yuta membanting pisaunya ke dinding, membiarkan benda itu terjatuh ke lantai. "Apa setelah punya anak dia tidak boleh memikirkan kebahagiaannya? Dia tidak berhak bahagia? Kasihan sekali para ibu di seluruh dunia, ya? Pantas baby blues syndrome kebanyakan di alami wanita."

Dapur itu seketika hening saat Johnny terdiam, benar-benar kehilangan kata. Mereka berhadapan. 1 bagai mengeluarkan api dari tubuhnya, yang lain mengangkat kedua tangan dengan gestur pasrah dan menyerah. Johnny meletakkan botolnya di atas meja, bungkam.

"Kau pikir aku yang jahat di sini?" Yuta mengimbuhkan, rupanya belum selesai. Suaranya terdengar getir. Dia menunduk. "Hidup tidak selalu hitam putih; suami baik, selingkuhan jahat. Memangnya apa yang kulakukan? Aku tidak membujuknya bercerai, dia menemui Sooyoung atas kehendaknya. Dia mengadu padaku meski bisa berlari ke kakaknya. Aku tidak memintanya. Yang terpenting, bukan aku yang membuatnya hidup ibarat di neraka." Yuta menggeleng. "Bukan aku, Johnny. Kau, Lisa, Chaeyeon, mengapa kalian tidak adil dan hanya menyalahkan kami?"

Aku berbalik kembali ke kamar. Aku sudah cukup mendengar.

Aku sedang menyisir ulang rambutku ketika Yuta masuk ke kamar dalam keadaan lebih tenang. Dia menyentuh bahuku, mengecup pipiku sekilas. "Pagi. Kelihatannya pakaian itu cocok untukmu."

"Pakaian lamamu, ya?"

"Tidak, aku membelinya di toko barang bekas."

Aku memukulnya menggunakan sisir, gagal mencegah diriku tertawa walaupun itu tidak lucu. Aku bangkit, membalas kecupannya dengan ciuman di pipi yang sama. Rasanya seperti mimpi, terbangun dan mendapati wajahnya. Ini mimpi yang indah. "Aku lapar. Tadi kau masak apa?"

Yuta meringis, menggaruk rambutnya yang  mencapai bahu. "Masalah. Kurasa aku membuat sup beracun."

Memberanikan diri, aku menyeletuk, "Aku tidak keberatan mencicipinya."

"Supaya kau cepat masuk surga?" Yuta bergidik, memberiku jaket yang ia ambil dari lemari dan membantuku memakainya. "Nanti aku dituduh merancang pembunuhan berencana. Kita makan di luar saja. Sekalian beli pakaian untukmu."

"Baiklah," sahutku bersemangat, menduga  tujuan utamanya adalah mencari udara segar. Dia butuh ini; jalan-jalan meredakan emosinya. Yuta bukan pemarah. Dia orang yang santai, hobi mengarang lelucon, tapi bila terlanjur, dia bisa sangat menyeramkan. "Kita berangkat sekarang?"

Kepala Yuta mengangguk. Dia mengantongi dompetnya, dan dengan persiapan sederhana itu, mengajakku keluar dari kamar.

Kami bertemu Johnny di ruang duduk, saat ia menata snack dan karton susu, tampaknya hendak menonton film seperti kemarin. Dia tersenyum ramah, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami di pameran. "Halo, Nona Rose. Akhirnya kita bertemu juga. Aku sempat mengira kau hanya khayalannya Yuta lho. Namaku Johnny Seo, aku一"

Lengannya terulur, menawarkan jabat tangan, namun Yuta lebih dulu menampar tangan itu, mendelik galak. "Tidak usah pegang-pegang, dia tahu siapa kau."

Johnny mencibir, mengecek tangannya yang putih bersih tanpa noda. "Tidak kotor kok. Kalian mau kemana? Aku boleh ikut?"

"Mall," jawabku.

Bersamaan dengan Yuta yang menyahut, "Tidak. Kau jaga rumah."

Johnny merengut menatap temannya. Dia mendengus, sekaligus menyerahkan kunci tanpa diminta. "Pergi sana. Belikan aku pizza dan americano, ya?"

"Americano di kafe bintang itu?" Tanya Yuta. Dan Johnny mengiyakan. "Oke, doakan aku tidak lupa."

"Kalau lupa kau tidak boleh masuk ke sini." Johnny mengancam, kali ini melempar Yuta dengan bantal yang hasilnya meleset. Yuta buru-buru menutup pintu serta melambai. "Awas kau!"

Persahabatan antar pria kadang sangat membingungkan.

Kurang dari setengah jam yang lalu mereka adu mulut, dan kini sudah saling bercanda. Sedangkan aku dan Lisa terhitung berhari-hari tidak bertegur sapa. Aneh sekali.

Aku tidak bermaksud mengabaikan Lisa atau enggan berbaikan. Aku hanya tidak sempat menemuinya. Selalu ada halangan. Mungkin hari ini saat yang tepat, mumpung aku tidak punya kegiatan mendesak.

"Yuta." Aku menggoyangkan tangannya yang menyatu dengan tanganku. "Bisa kita mampir ke salon Lisa? Aku merindukannya."

"Tidak masalah," ujar Yuta ringan, sambil menyeringai. "Aku yakin Lisa juga merindukanku."

"Nakal!" Aku yang mengerti maksudnya tergelak, memukul bahunya. Lisa dan Yuta, sulit menerka hubungan mereka sekarang. Sejak dulu mereka tidak akrab meski Lisa berupaya mentolerir keberadaan Yuta. Lisa kira, Yuta tak lebih dari berandalan seperti anggapan orang lain. Dia tidak pernah mau mengenalnya lebih jauh. "Kalian bertemu di reuni kan?"

Di tempat parkir, Yuta menghampiri mobil Ford merah yang ia kendarai ketika datang ke taman Dragon Ball. "Dia bereaksi mirip orang yang melihat hantu. Lisa tidak menjawab pertanyaanku tentangmu, dia terus-terusan berkata 'aku tidak tahu'."

Aku tersenyum membayangkannya. Yuta, yang menyebabkan kehebohan dengan muncul di reuni yang bukan angkatannya. Orang-orang yang berbisik ketika ia lewat, mungkin menyebutnya kekasih yang terbuang. Dan Lisa, yang membujukku tanpa kenal lelah agar menemaninya, pasti menghindari Yuta.

Aku menebak, "Dia tidak mau jadi orang yang memberitahumu. Dia kasihan padamu."

Mesin menyala dengan deruman pelan. Ban mobil menggelinding, meninggalkan apartemen dengan kecepatan yang meningkat.

"Bisa saja. Jadi aku menitipkan pesan dan beralih ke Chaeyeon." Yuta terbahak, memilih membuka jendela daripada menyalakan AC. "Aku mengganggunya karena semua orang ikut diam. Dia kelepasan bicara. Begitulah ceritanya."

"Dia bilang apa?" Seruku tajam, tanpa sengaja meninggikan suara.

Yuta tersenyum geli. Permusuhanku dan Chaeyeon merupakan rahasia publik, dan dia salah 1 orang yang paling tahu. Hanya saja berbeda dengan Jaehyun yang selalu memisahkan kami bila ada tanda-tanda pertengkaran, Yuta malah menyarankan kami meneruskannya di ring tinju. "Kau tidak ingin tahu, Rosie. Kata-katanya tidak enak di dengar."

Aku menendang pintu mobil. Aku dan Chaeyeon takkan pernah berteman一itu jelas, sejelas lilin yang takkan bisa menggantikan terangnya matahari. "Dasar penggemar berat Jaehyun!"

Tawa Yuta membahana di mobil mendengarnya. Itu bukan umpatan, tapi dia menganggapnya kocak dan tertawa sampai membungkuk. Laju Ford oleng sekian detik, hampir mengambil jalur mobil lain. Pengemudi mobil itu membunyikan klakson dan melayangkan tatapan marah, yang kami tanggapi dengan tawa. "Itu baru Roseanne Park yang aku kenal. Kau kembali jadi dirimu sendiri."

Aku cuma tersenyum.

Kami akhirnya tiba di mall, lebih cepat dari perkiraan karena lalu lintasnya lancar, ditambah gaya mengemudi Yuta. Mall ramai hari ini一orang-orang sibuk berbelanja kebutuhan tahun baru. Ini membuatku penasaran di mana aku akan merayakan tahun baruku, bersama siapa.

Esok masih abu-abu. Masa depan itu buram, tidak jelas. Lebih baik tidak membuat rencana daripada kecewa. Satu-satunya keinginanku adalah mempertahankan moment ini lebih lama. Itu saja, itu cukup.

"Langsung ke food court?" Usul Yuta, menunjuk eskalator terdekat, yang di pilar sebelahnya tertulis petunjuk letak tempat itu. Lantai 7.

Aku yang lapar setuju, mengikutinya saja. Kemarin kami hanya menyantap makanan yang Yuta sebut "menu istimewa" tapi nyatanya sekedar ramen instan dengan ekstra daging. Tidak banyak bahan masakan yang tersedia di apartemen Johnny, dan memasak bukanlah keahliannya.

Eskalator bergerak, lambat seperti bebek, mengantar kami dari 1 lantai ke lantai lain. Aku menunggu sembari mengedarkan pandangan ke sekitar, melihat baju, tas, sepatu, dan boneka yang dijual.

Boneka.

Lily suka boneka.

"Sebentar, ayo kita mampir ke sana!" Ajakku, setengah berlari menuju toko boneka yang kulihat, sebelum kami menjejaki eskalator lantai 4.

Berbagai boneka dipajang di etalase kaca toko itu, menggoda anak-anak. Mulai dari princess Disney, boneka hewan lucu, tokoh anime, hingga tokoh-tokoh kartun Amerika.
Aku mengabaikan semuanya, mencari sosok idola Lily, sang ratu es berambut pirang dan lega mendapati stoknya banyak berkat kepopulerannya.

"Ketemu!"

"Lily suka ini?" Yuta memastikan, mengetuk-ngetuk kaca. Refleksinya terpantul saat ia membandingkan boneka itu dengan boneka Rapunzel di sampingnya "Rapunzel lebih lucu."

"Kita belikan juga untuk Rapunzel." Aku memberi solusi, menariknya masuk.

Namun karena terlalu bersemangat dan kebetulan menengok Yuta, aku jadi tidak melihat seseorang yang keluar dari toko. Aku menabraknya. Atau dia menabrakku. Tidak ada bedanya. Dahiku membentur sesuatu yang padat dan beraroma lembut. Tubuhku mundur selangkah karena efeknya.

Aku mengaduh, menyentuh dahiku yang nyeri. Yuta dengan sigap menahanku, bertanya apa aku baik-baik saja.

Dan di tengah suaranya, suara lain menginterupsi, menimbulkan gelombang kejut yang sejenak menghentikan detak jantungku, merampas fungsi normal paru-paru dan menyetrum seluruh tubuh. "Maaf, aku minta maaf一"

Detik berikutnya, pemilik suara itu berhenti.

Aku dan Yuta mendongak.

Suamiku, Jaehyun, menatap kami dengan tatapan shock seakan dunia sudah tamat, seakan ada yang menamparnya dengan realita paling mengerikan. Seakan lantai mall amblas dan dia terjatuh ke lubang hitam yang sama yang menyiksaku selama ini.

Boneka Elsa yang terbungkus plastik pink untuk putri kami terjatuh dari genggamannya. Sebuah hati remuk redam. 2 hati lain terguncang, terombang-ambing di lautan yang diterpa badai.

Dengan suara gemetar, Jaehyun memastikan seolah tak mempercayai penglihatannya sendiri. "Rose...?"

Kemudian pelan, pelan, sangat pelan, dia berpaling pada Yuta.

2 kapal bertubrukan, kami bertiga hancur.

Dah tuh, kagak main kucing2an lagi :vv

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top