43. Belajar Dewasa

Ada yang berbeda dengan penampilan Jaehyun.

Ibarat melihatnya melalui kacamata yang bukan milikku; buram dan ganjil. Pertama-tama aku tidak tahu apa yang membuatnya terkesan tak biasa, sebab dari segi fisik, dia masih setampan kemarin dan kemarinnya lagi. Aku meneliti dia dari atas ke bawah, mengamatinya baik-baik. Lalu kesadaran menghantamku.

Jaehyun tidak tersenyum一sesederhana itu.

Ini perkara sepele, menjurus tidak penting karena seseorang pasti tidak tersenyum selamanya, tapi bila menyangkut aku dan Jaehyun, ini jelas merupakan hal aneh. Jaehyun selalu tersenyum. Dia ceria. Dia penghangat suasana. Di rumah, akulah yang suasana hatinya sering berantakan一entah  pengaruh menstruasi atau alasan yang aku sendiri tidak mengerti.

Bahkan ketika aku pulang terlambat dan kami berada di ambang pertengkaran, Jaehyun mampu mengubah keadaan jadi netral. Hitam ke pink. Tegang ke rileks.

Kali ini tidak.

Wajah Jaehyun tetap datar, tanpa ekspresi. Untuk pertama kalinya sejak aku menemuinya di lapangan setelah dia dan Yuta bergelut, aku tidak tahu apa yang ia rasakan atau pikirkan, dan itu membuatku dicekam ketakutan.

Dia marah. Dia sungguh marah.

"Jaehyun?"

"Duduk." Pinta Jaehyun, mengarahkan dagunya ke bangku panjang jauh dari kamar Lily, dekat pintu tangga darurat yang tertutup rapat. "Kau pasti capek kan?"

Itu benar. Usai kekhawatiranku pada Lily memudar, betisku jadi nyeri luar biasa; efek dari jarangnya aku berolahraga. "Maaf," ujarku, berharap itu bisa meredakan emosinya. "Aku salah. Aku sudah ceroboh."

Hening. Jaehyun diam menyerupai patung. Deru napasnya pelan sekali. Dia tidak lagi memakai dasi, dan kemejanya yang kusetrika pagi ini kusut tak berbentuk.

Ketakutanku meningkat. Jika ketakutan itu berwujud hewan, maka dia sedikit demi sedikit merayap ke jantungku, mempercepat degupnya.

Ini Jaehyun, aku memberitahu diriku sendiri, berupaya tenang. Tapi gagal. Rasa takutku tak terkontrol karena sosok Jaehyun mendadak terasa asing. Kemarahannya sedingin es, membekukan bagian otakku yang fungsinya berpikir rasional.

"Jaehyun一"

"Yeeun menghubungiku tadi." Jaehyun memotong, mengetukkan kakinya dengan irama pelan dan tak beraturan. "Dia tetangga baru kita, tahu kan? Kata Yeeun, 'Astaga Jaehyun, cepat pulang, rumahmu kebakaran. Aku tidak tahu di mana Rose, tapi Lily terluka. Kita bertemu di rumah sakit, ya?' kemudian mengakhiri panggilan."

Aku melipat kedua tangan di pangkuanku, ngeri meski itu telah berlalu. Bayangan tempat tinggal kami yang dilahap api belum hilang. Suara raungan api, boneka Elsa yang gosong, terbakarnya tirai penguin kami, semua terlalu menyeramkan untuk diingat. Aku bergidik.

"Mulanya aku tidak percaya," lanjut Jaehyun, fokus ke satu titik di dinding, menghindari tatapanku. "Kupikir Yeeun cuma bercanda, main-main, sampai Alice ikut menelepon dan bilang dia tidak bisa menjaga Lily karena ada urusan, juga bahwa kau tidak membalas pesannya. Jadi aku pulang, membatalkan janji penting dengan klien, karena bagiku, tidak ada yang lebih penting dibanding Lily dan kau."

Kerusakan kapal kami kian parah, itu yang terjadi. Ombaknya terlampau kuat, menghajar segala sisi yang sudah bocor, mengancam menenggelamkannya. Mungkin ini masalah waktu saja, dan kami sedang menghitung mundur tanpa sanggup mencegahnya.

"Aku kira kau keasyikan berkonsultasi dengan Cherry. Konsultasi pernikahan." Jaehyun terkekeh lirih, mengacak-acak rambutnya. "Lucunya, sewaktu aku tiba, Cherry mengaku bekerja seharian, tidak bertemu denganmu sama sekali. Yang berarti, kau bohong."

Tupainya jatuh. Terlahir sebagai pelompat handal tidak menjamin dia akan selalu berhasil. Dia telah salah mengambil pijakan. Dahan yang ia pilih terlalu rapuh, akibatnya, dia jatuh; konsekuensi atas kesombonganku yang selalu membohongi Jaehyun.

Aku sudah jatuh.

"Kau kemana, Rose?" Jaehyun akhirnya menoleh, kecewa dan terluka. Kegetiran di matanya menjelaskan lebih banyak daripada kata-kata. "Siapa yang kau temui hingga mengabaikan Lily dan berbohong?"

Hatiku seakan terbelah 2. Bagian pertama, yang mencintai kebebasan sebesar kebutuhanku bernapas, memberontak, memintaku mengakhiri semuanya. Namun bagian lain menentang keras gagasan itu, meyakinkanku supaya tidak terburu-buru, sebab ini tidak hanya menyangkut diriku.

Aku dihimpit dari 2 sisi, menjadi saksi pertarungan cinta melawan logika, yang masih diwakilkan oleh 2 orang yang sama; Jaehyun dan Yuta.

"Rose?"

Isakan dalam menyesakkan keluar dari dadaku. Air mataku gugur. Aku tidak ingin bersikap curang mengandalkan air mata ketika situasinya menjadi sulit, tapi aku tidak sengaja, atau bisa menghentikannya.

"Jangan begini." Jaehyun memohon, frustrasi dan kehilangan kesabaran. "Jangan menangis. Jawab pertanyaanku. Bukankah menurutmu aku berhak tahu? Beri aku jawaban yang masuk akal, Rose. Jawaban yang bisa kuterima, ayolah."

"Tidak bisa." Aku terisak semakin keras, mengatasi suara-suara pekerja rumah sakit yang mondar-mandir. Mulutku terasa kering. Butuh perjuangan mengeluarkan tiap kata, baik itu mengandung kejujuran atau kebohongan. "Jaehyun, aku tidak bisa. Maaf."

"Tidak?" Jaehyun tercengang. Musik yang diciptakan kakinya berhenti total. Kabut kegelapan menyelimuti wajahnya kala amarah menguasainya. "Apanya yang 'tidak'? Kita tak bisa berpura-pura ini bukan masalah besar. Ini menyangkut Lily, dimana tanggung jawabmu, Rose?"

Nyeri hatiku bertambah parah saat Jaehyun menyinggung putri kami. Lily, bayi kecilku, hartaku yang paling berharga, nyaris celaka. Padahal kejadian ini bisa dicegah. Lily tidak akan masuk ke rumah yang terbakar kalau dia tidak mengira aku perlu dibangunkan. Dia tidak tahu bahwa ibunya berada jauh, jauh sekali, sibuk mendiskusikan perceraian.

Aku gagal一fakta itu menamparku, berteriak bahwa aku bukanlah ibu yang layak.

"Maaf, Jaehyun." Aku menghapus sungai-sungai kecil yang mengalir di pipiku, menghardik diri sendiri agar berhenti. "Maafkan aku."

"Kau. Pergi. Kemana?" Penuh penekanan, Jaehyun enggan melepaskanku, bukti ia tidak luluh karena air mata. "Jawab pertanyaanku, Rose. Berhenti minta maaf."

Bagaimana aku akan menjelaskan pertemuanku dengan Joy padanya? Apakah ada kalimat yang mampu memperhalus perbuatanku? Kami terjebak di jalan buntu dan tak menemukan jalan keluarnya.

Aku selingkuh darimu, Jaehyun. Aku tadi menemui pengacara spesialis perceraian karena aku masih mencintai Yuta. Kau puas?

Aku meremas lututku, menimbulkan bekas berbentuk bulan sabit mungil di bagian yang tak dilindungi pakaian. "Tolonglah, jangan memojokkanku. Aku salah. Aku minta maaf. Aku sadar aku bukan Ibu yang baik. Tapi hentikan." Tenggorokan tercekat. Sebuah rantai bagai membelenggu leherku. "Hentikan semua ini. Kumohon."

"Mungkin kau yang harus berhenti," tukas Jaehyun tajam, memijat dahinya sendiri. Matanya terpejam sebentar. "Ada apa denganmu, Rose? Kenapa susah sekali menjawab pertanyaan ini? Sekali-kali, belajarlah berterus terang, jangan menutup diri dariku!"

Itu sulit, aku menjawabnya dalam hati, karena tak ada yang sama lagi di antara kami. Yuta mengubah segalanya. Koin 2 sisi yang membawa kebahagiaan dan kesedihan. Dia yang menawarkan kapal baru, mimpi baru, serta Osaka yang penuh pesona

Satu helaan napas panjang lolos dari bibirku. "Kau memang tidak memahamiku. Kau tidak mengerti apa yang aku mau. Jangan-jangan selama ini kita hanya sekedar berbagi rumah tanpa mengenal satu sama lain."

"Dan salah siapa itu?" Jaehyun tertawa muram. Topeng yang menutupi kami sekarang sama-sama terlepas, memamerkan sosok asli seorang ayah dan suami yang tak cukup dihargai, serta istri dan ibu yang tertekan, mendamba kebebasan. "Kau tidak memberiku kesempatan一tidak pernah."

Aku segera menyangkalnya, "Sudah kok. Hasilnya sia-sia. Aku pernah bilang mau kuliah, dan kau menolak ide itu, apa kau lupa?"

Ekspres wajah Jaehyun berubah kosong. Seakan bertemu orang asing dan dia tidak mengerti bahasanya. Jaehyun benar-benar lupa soal itu, menganggapnya usai, pula tidak penting. "Kuliah?"

"Ya, kuliah." Aku mengangguk, menatap ke arah kamar Lily, inti pembahasan ini. Cherry tengah menjaganya, menyembunyikannya dari kenyataan pahit tentang orang tuanya yang bertengkar. "Aku tak minta macam-macam, tapi katamu tidak perlu. Kau sangat menyebalkan. Aku kadang membencimu, tahu tidak?"

"Aku punya alasan untuk itu," sanggah Jaehyun, berusaha meraih tanganku. "Rose, dengar一"

Secepat tupai yang nyawanya terancam, aku menghindar. Aku berdiri, menepisnya. Menolak ia menyentuh baik kulit maupun hatiku. "Tidak, tidak. Kau yang harus mendengarkan! Aku capek sekali akhir-akhir ini, denganmu, dengan Lily. Dengan hidupku. Aku tidak mengharapkan ini一sedikitpun tidak! Siapa sih yang bersedia jadi ibu di usia 19 tahun dan gagal mengejar impian? Menurutmu aku baik-baik saja karena tidak mengeluh, ya?"

Jaehyun ikut berdiri, gusar. Normalnya, ini adalah saat ia akan mundur, meminta maaf, membujukku agar tidak bertengkar lagi. Ssst, nanti Lily mendengarnya. Tapi moment itu tidak terulang. Jaehyun membiarkan api makin berkobar一seperti rumah kami一dan berujar, "Lantas kau mau apa? Aku harus apa? Aku berusaha sebisaku membuatmu senang dengan uang, mengajak liburan tiap minggu, dan memberi apapun yang kau butuhkan. Apa yang kurang, Rose?"

"KEBEBASAN!" Jawabku jelas, menyelipkan sebanyak mungkin harapan dan hasratku di 1 kata itu, dalam 1 hembusan napas. "Aku ingin bebas bermain dengan Lisa, ingin bekerja, ingin kuliah, aku ingin kebebasanku, cepat kembalikan!"

Para keluarga pasien mulai memperhatikan kami; pasangan yang berhadapan di pojok rumah sakit, membentak, menangis. Terjebak di hubungan yang tak berpeluang diselamatkan.

"Dulu," imbuhku, memeluk diriku sendiri dan membersit hidung. "Ibuku menetapkan jam malam. Aku boleh keluar dengan siapa saja, mengerjakan tugas atau belanja, asal sudah di rumah pukul 11. Kalau aku pulang tepat waktu, ibu tidak akan bertanya apa-apa. Dia tidak mengekangku, dia menghormatiku yang butuh privasi. Aku rindu saat-saat itu, Jaehyun. Aku rindu masa remaja ketika aku tidak punya tanggung jawab besar. Itu yang kurang. Bisakah kau mengembalikannya?"

Jaehyun termangu. Menatapku nanar seolah kami ada di pinggir tebing, dan aku mencoba mendorongnya. Sepasang indra penglihatannya menyorotkan luka. Bibirnya kelu kesulitan mengucap kata. Dikhianati. Dibuang. Seluruh rasa sakit yang kuduga ia simpan untuk dirinya, meluap tak tertahankan. "Jadi kau menyesalinya? 7 tahun bersama tapi kau belum bisa menerimaku dan Lily. Kau tidak mencintai kami, benar?"

"Tentu saja tidak!" Sangkalku cepat, mundur beberapa langkah saking terkejutnya. "Aku menyayangi kalian, jangan menuduh sembarangan!"

Jaehyun yang terlanjur mengambil kesimpulan sepihak tidak mengacuhkanku. Dia menggeleng dan menggeleng, semakin menyakiti dirinya sendiri ketika bertanya, "Apa kau juga berpendapat aku sengaja membuatmu hamil? Karena aku kalah saing dari Yuta-mu? Rose, jujurlah, apa pikiran itu pernah terlintas di benakmu? Katakan, jangan berbohong lagi."

Pada saat itu, aku melakukan kesalahan besar yang tak termaafkan; alih-alih menenangkan Jaehyun dan berkata kami harus baikan, aku justru tergagap, membocorkan rahasia kelam yang menjadi pengganjal rumah tangga kami; "T-tidak..."

Bahwa aku, Roseanne Park, meragukan suamiku sendiri, tidak mempercayai Jaehyun serta sejuta kebaikannya.

Kami berdua tahu itu kebohongan lain.

Hal itu menghancurkan Jaehyun dengan cara terkejam. Cahaya di mata ekspresifnya meredup, kosong. Dia tak ubahnya bunga yang diletakkan di ruang gelap, tempat ia takkan berkembang dan layu. "Rose, Tuhan pun tahu aku mencintaimu, tapi aku tidak sekejam itu untuk memakai cara rendahan agar mendapatkanmu." Jaehyun tertawa hampa. "Aku mencintaimu sedalam lautan, tapi kau membiarkanku tenggelam."

"Jaehyun." Aku menggapai lengannya yang memunggungiku, ingin dia berbalik, menatapku, dan meyakinkannya itu tidak serius. Tapi kemudian aku berpikir, apakah tadi murni ketidaksengajaan? Ataukah itu isi hatiku yang terdalam? Aku merasa jadi manusia paling jahat di dunia. "Jaehyun, bukan itu maksudku. Maaf. Aku minta maaf."

"Sudah berapa kali kau mengatakan 'maaf' Rose?"

Aku serta-merta bungkam.

Rasa bersalah menyengatku laksana ribuan lebah. Diragukan oleh seseorang adalah masalah kecil. Kau tidak bisa memuaskan semua orang, tak peduli seberapa keras kau mencoba. Lain halnya jika yang meragukanmu ialah orang yang kau cintai ... rasa sakitnya tak terkira.

Terus menerus, itulah yang selalu kusodorkan pada Jaehyun; rasa sakit.

Aku menyingkir, membiarkan jari jemariku jatuh dari lengan berlapis kemeja putih Jaehyun, lalu menjauh. Kakiku melangkah. Satu, dua. Kanan, kiri. Hindari dokter yang melintas. Lewati kamar Lily. Entahlah apa ini keputusan yang baik, tapi aku tahu kalau Jaehyun tidak ingin melihatku. Kami butuh waktu sendiri, merenung dan berpisah sementara.

Hiruk pikuk rumah sakit tertinggal di belakang, juga Lily dan Jaehyun一yang tidak mencegahku. Dia membiarkanku pergi.

Aku masuk lagi ke mobilku yang terparkir miring, menyalakan kendaraan itu dan melajukannya di jalan raya; menuju satu-satunya orang yang bisa menjadi tempatku pulang.

Ban mobil menggilas aspal. Pemandangan di sekitarku tampak kabur. Peta ke tempat yang hanya kudatangi beberapa kali mendadak terhampar jelas di kepalaku, menuntunku kesana. Aku tahu aku tidak akan tersesat.

Stasiun Kangguk pun terlihat.

Dari situ, aku tinggal mendongak mencari apartemen yang sesuai. Apartemen 7 lantai bernama Moorim.

"Kau tidak mungkin tidak melihatnya."

Petunjuk Yuta sangat membantu. Aku menemukannya dengan cepat. Apartemen itu menjulang tinggi tak jauh dari stasiun; bangunan bergaya modern yang warnanya abu-abu pucat, memiliki balkon dan kaca-kaca gelap di setiap unit.

Ini dia.

Aku mengusap wajahku, menelepon Yuta.

Tupai memanggil elang...

Panggilan tersambung detik berikutnya, diterima oleh si pemilik telepon. Bukan Johnny, melainkan Yuta sendiri. Gelak tawa mewarnai suaranya saat ia menyapa, "Halo, Rosie? Ada apa?"

Keraguan menghampiriku. Dia sedang gembira. Haruskah aku mengacaukan harinya dan membebankan masalah ini? Aku menggigit bibir.

"Rosie?"

Lalu tiba-tiba, seperti banjir yang meluap tidak terbendung, aku menangis tersedu-sedu. "Yuta, aku di sini. Aku di sini. Maukah kau turun menemuiku? Aku membutuhkanmu."

Ekspresi gua waktu nulis chapter ini

Gua pas otw kabur karena takut digebuk jaerose shipper

Sop iler : mas doy bakal jadi cameo nanti

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top