42. Arti Lily

Secara umum, perceraian berarti : berakhirnya pernikahan antara sepasang suami istri.

Sederhana, definisinya mudah dimengerti, sedangkan prosesnya jauh lebih rumit.

Kalau sudah mantap bercerai, hal pertama yang harus dilakukan yaitu mengumpulkan berbagai dokumen penting seperti surat nikah, fotokopi akte kelahiran anak, dan kartu tanda penduduk. Semua itu dipakai untuk mendaftarkan gugatan ke pengadilan. Biayanya banyak karena meliputi biaya pendaftaran, biaya proses, serta biaya panggilan sidang一honor pengacara terpisah, tentunya.

Kemudian ada mediasi; mempertemukan penggugat dan tergugat dengan tujuan mendamaikan mereka. Orang yang ingin berpisah, dan orang yang ingin mempertahankan. Jika tidak bisa, jika membentur jalan buntu, barulah sidang dimulai, dengan menghadirkan saksi dari kedua belah pihak.

Sang hakim akan memutuskan nasib mereka.

Akan lebih mudah, kata Joy, kalau temanmu dan suaminya sama-sama setuju bercerai. Itu akan menghemat waktu, uang dan emosi.

Mustahil.

Menengok sifat Jaehyun, dia pasti akan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan rumah tangga kami. Jaehyun mencintaiku一sangat, terlalu. Itulah sisi negatifnya. Kita seharusnya tidak mencintai siapapun melebihi cinta kita pada diri sendiri. Selain karena akan membebani, juga karena di dunia yang kejam ini tidak ada yang abadi.

Perasaan manusia itu lembek, tipis, mudah beralih.

Sepersekian detik bertatapan dengan kawan baikmu yang berubah semakin tampan/cantik di reuni sekolah, cintamu mungkin akan goyah.

Contoh lain, tidak sengaja bertemu mantan pacarmu semasa SMA di sebuah bar, mampu mempengaruhimu untuk bercerai.

"Tak ada seseorang yang bisa menjadi segala-galanya bagi orang lain."

Aku tidak ingat nama pengarang kutipan tersebut, tapi menurutku dia benar. Jangan berharap dirimu dan cintamu saja cukup. Butuh banyak usaha mempertahankan pasanganmu, apalagi bila kalian bersama karena sebuah alasan dan keterpaksaan.

Aku meringkuk di kursiku lama setelah Joy berlalu, enggan meninggalkannya dan menghadapi dinginnya salju di luar sana. Kepalaku penuh dengan sampah kenyataan dan racun realita.

Uang merupakan satu diantaranya, disusul hak asuh Lily.

Kalut, bingung, gusar, menyatu membentuk badai yang hanya bisa kurasakan. Aku tidak mengerti, aku tidak paham. Sejak kapan bahagia jadi serumit ini?

Aku berjalan di jalan ini
Tak ditemani apapun selain serpihan hati
Menanggung dosa masa lalu sendiri
Tiada yang mengasihi
Tiada pula cara kembali
Suara tanpa wujud bertanya, bertahan atau pergi?

Jawabanku keluar dalam bentuk tangis tak terkendali.

Atraksi menangis histerisku telah membuat pegawai kafe star blossom khawatir. Mereka mengira aku sakit atau butuh bantuan. Salah satunya memberiku berlembar-lembar tisu, bertanya apakah aku yakin bisa mengemudi pulang.

Kukatakan padanya ya, aku bisa, walaupun aku sama sekali tidak yakin dan tidak mau pulang.

Yuta adalah tujuanku sekarang. Aku ingin dia menenangkanku.

Namun ketika mengecek ponsel yang sejak pagi dalam mode silent, 8 pesan dari Alice memenuhi layarku.

"Rose, aku tidak bisa menjaga Lily, ada urusan penting."
"Kau dimana sih, jelek? Kenapa tidak membalas?"
"Rose, jangan sampai Lily sendirian di rumah, kasihan nanti dia bingung."

Dan pesan-pesan lain.

Lily. Jam berapa ini? Aku berangkat pukul setengah 11 dan kini ... 14.01. Lily sudah pulang sejam yang lalu. Gawat. Aku melempar ponselku ke kursi sebelah, segera tancap gas menuju rumah.

Jaehyun sering berkata bahwa Lily terlalu kecil untuk ditinggal tanpa pengawasan. Usianya belum genap 7 tahun. Dia pintar, dia jarang menyebabkan masalah一kecuali menebarkan mainannya dan membuat aku serta Jaehyun tersandung一tapi ini tetap tidak baik.

Aku harus buru-buru sampai, di sisi lain, tidak boleh panik.

Memang hal buruk apa yang bisa terjadi?

Sekitar 1 jam pergi, Lily mungkin sedang bermain bersama Eunhee atau teman-temannya. Dia punya banyak teman. Kalau lapar, ia tinggal membuka lemari es dan melahap snack yang kubeli dengan Yuta. Lemari es kami penuh. Sisa sarapan pun banyak.

Tenang, santai.

Aku menarik napas panjang, berusaha berpikir positif. Percuma menyalahkan Alice. Dia punya urusan penting, itu wajar. Yang salah adalah aku.

Tidak, itu juga tidak benar.

Tak ada yang harus disalahkan. Aku capek menyalahkan diriku sendiri.

Hampir tiba.

Aku menekan pedal gas lebih dalam, mengabaikan sumpah serapah pengemudi lain yang mobilnya nyaris bersenggolan dengan mobilku, kemudian berhenti beberapa meter di samping rumah.

Halamanku, tempatku biasa parkir, kini dipenuhi orang sehingga aku tidak dapat parkir di sana. Mobil berwarna merah panjang yang sirenenya meraung-raung berbunyi memekakkan telinga.

Pintu rumahku terbuka, dan petugas pemadam kebakaran keluar masuk, membawa slang-slang besar bagai anaconda.

Apa ... ini?

Para penonton saling berbisik.

Kediamanku kacau balau; asap hitam tebal membumbung ke udara, menyengat mata dan hidung yang membuat sebagian orang batuk. Jejak-jejak kaki petugas mengotori lantai, memecah genangan air dengan sepatu-sepatu mereka.

Tirai bergambar penguin yang mulanya menutupi jendela terbakar, dilalap api merah jahat yang mengunyahnya perlahan. Kacanya pecah, jatuh menghujani kelopak bunga Lily yang merupakan hadiah dari ibu Jaehyun untuk cucunya.

Seorang pria yang tampaknya senior sibuk menyerukan perintah pada anak buahnya, menunjuk titik tertentu.

Dari posisiku berdiri, aku melihat boneka Elsa, sang ratu es. Aku tahu boneka itu memiliki noda gelap di pinggangnya yang tidak bisa hilang dengan deterjen apapun karena tumpahan kopiku. Tapi itu tidak mengurangi rasa suka Lily. Dia selalu tidur dengan boneka itu dan takkan pernah membiarkan Elsa tergelak dengan gaun gosong.

Dimana pemiliknya?

"Permisi!" Aku melesat, mendekati petugas senior yang wajahnya berhias jelaga, mendahului petugas lain yang hendak bertanya entah apa. "Dimana Lily? Dia seharusnya di sini!"

Petugas senior itu mengerjap tidak mengerti. Ia mengusap dahinya, kebingungan. "Anda bicara apa? Pergilah, jangan menghalangi pekerjaan kami."

Dia berusaha menyingkirkanku tapi aku menolak. Aku bertahan, mencengkeram lengannya karena panik. "Tidak, tidak. Tolong dengarkan! Aku pemilik rumah ini, kenapa bisa terbakar? Apa vandalisme?"

"Vandalisme." Si petugas terkekeh. Sepasang mata gelapnya bertatapan dengan rekannya, dan ia menyeringai. "Butuh penyelidikan resmi, tapi menurut saya, sumber kebakaran ini adalah korsleting listrik karena seseorang lupa mencabut kabel setrika."

Kabel setrika.

Benar. Aku menyetrika sebelum berangkat. Apa aku sudah mencabutnya? Apa aku sudah mengembalikannya ke rak? Aku lupa. Ya Tuhan, aku lupa.

Ketakutan berwujud tangan besar mengerikan meremas hatiku keras-keras. "Lalu bagaimana dengan Lily? Dia anak perempuan 7 tahun, kira-kira setinggi ini, rambutnya panjang, pakai seragam sekolah hijau. Dimana dia? Dimana??"

"Entah," jawab petugas tersebut acuh tak acuh. "Tidak ada anak-anak waktu kami datang, benar kan?"

Rekannya yang lebih muda dan lebih ramah membantah itu. "Ada, tapi dia sudah dibawa ke rumah sakit oleh tetangga yang pertama kali melaporkan kebakaran. Aku tidak bertanya nama rumah sakitnya, maaf."

Pada saat yang sama, sesuatu meledak; merusak genteng rumah hingga menimbulkan lubang besar. Turunnya salju tak banyak membantu. Sang api menang, ia memamerkan keperkasaannya dengan merusak lebih banyak barang, meraung bak binatang buas. Kebakaran meluas.

Petugas senior mengumpat.

Tetanggaku menjerit.

Aku tidak tinggal diam. Aku berlari ke mobilku yang kuncinya masih tergantung di lubangnya, menghidupkan kendaraan itu. Ponselku menyala. Seseorang menelpon, tapi aku tidak bisa membaca namanya karena mataku buram oleh air mata.

Lily, apa yang terjadi?

Bayiku. Satu-satunya anakku. Versi kecil diriku yang susah sekali di ajak makan. Kenapa dia sampai masuk rumah sakit?

Ujung-ujung jariku berubah dingin. Paru-paruku menyempit seolah aku kehabisan napas ketika menyelam. Tetes-tetes air mata jatuh ke mantel, membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang makin lama makin banyak.

Ketakutan ini berbeda.

Aku bahkan tidak setakut ini saat orang tuaku tahu aku hamil. Ini tidak sama一jauh lebih dahsyat, lebih banyak. Seperti mimpi buruk yang terburuk, menjadi kenyataan.

Sisi ibu dalam diriku memberontak marah, mengutuk-ngutuk dengan segala umpatannya.

Ini salahmu, ujarnya geram, Lily terluka dan ini salahmu!

Aku tidak membela diri, terus mengemudi, meski merasa tidak sanggup mengetahui keadaan Lily. Bagaimana kalau dia terluka parah? Kena sambaran api yang merusak kulitnya?

Bayangkan membuka pintu rumahmu dan mendapati rumah itu terbakar. Papa bekerja. Mama menghilang.

Lily pasti takut sekali.

"Minggir!" Aku meneriaki pengguna jalan lain, frustrasi, memukul-mukul setir sampai tanganku sakit. "Tolong minggir!"

Kepalaku nyeri. Aku pusing. Ingin berhenti sejenak dan menenangkan diri. Tapi tidak bisa. Aku takkan tenang sebelum sampai di tempat kerja Cherry dan memastikan Lily tidak apa-apa. Aku yakin Lily dilarikan ke rumah sakit itu, sebab letaknya paling dekat dengan rumah.

Kami lumayan sering kesana. Sekedar mengusik hari Cherry, jarang sebagai pasien. Lily kuat; absennya di sekolah karena sakit bisa dihitung jari.

Dia akan baik-baik saja kan? Dia harus baik-baik saja.

Lampu lalu lintas akhirnya berubah hijau, ban mobilku menggilas aspal dengan cepat. Spedometer-nya menunjuk angka 100 km/jam. 110. 120. Terus meningkat. Persetan dengan orang lain. Jika terjadi hal buruk pada Lily, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.

Tidak akan pernah.

Bangunan tinggi putih rumah sakit mulai tampak. Laksana oase di gurun pasir. Lily ada di sana, aku bisa merasakannya.

Lily...

Terburu-buru, aku turun dari mobil, tidak repot-repot mencabut kuncinya. Bahuku menabrak bahu seseorang dalam perjalanan ke meja informasi. Dia menggerutu, aku mengabaikan.

Tunggu Mama, nak.

Lee Hyori, teman Cherry yang kukenal menyapaku dengan senyum khas pelayan publik. Dia tahu aku. Biasanya saat aku muncul Hyori akan menelpon ruangan Cherry dan memberitahunya kehadiranku.

Kali ini lain. Dia malah berdiri, ketakutan mewarnai wajah dan suaranya. "Rose! Kau kemana saja? Lily一"

"Dimana dia?"

"Sebentar," pinta Hyori, menunduk ke arah komputer usangnya. Kesepuluh jarinya yang terampil bergerak lincah di atas keyboard, mengecek data pasien, mencari dokumen atas nama Lily Jung... "Lantai 5, kamar nomor 14."

"Terima kasih," ucapku singkat, bergegas menuju lift. Lantai 5, kamar 14. Lantai 5, nomor 14. Aku terus mengulang kata-kata itu bak sebuah mantra, lalu menekan tombol di sebelah kanan lift.

Terlalu lama.

Aku berdecak, memutuskan pakai tangga darurat. Kakiku bergerak cepat melahap anak tangga, 2 sekaligus. Kadang 3. Napasku terengah-engah. Keringat mengucur membasahi keningku.

Jari-jariku yang licin berkat keringat mendorong pintu kamar nomor 14 hingga terbanting menghantam dinding. Semua orang terkejut.

Mereka adalah Jaehyun, yang duduk di sebuah kursi biru memegang ponselnya. Cherry, yang awalnya tertawa sambil bertepuk tangan.

Terakhir, seorang anak perempuan manis mirip Jaehyun, duduk di tempat tidur pasien dengan wadah es krim besar yang di hari normal tidak akan diperbolehkan, karena dapat membuatnya sakit gigi.

Lily tersenyum, membuka tangannya lebar-lebar menyambutku, "MAMA!"

Tangisku tumpah tak tertahankan.

Aku dihampiri rasa lega yang amat besar sampai nyaris pingsan. Aku mendekap Lily seperti saat ia masih bayi一erat, kuat. Aku tidak sanggup melepasnya sedikit saja. Masih takut, masih khawatir.

Terlebih melihat kaki kirinya yang diperban tebal, isakanku bertambah lantang. Dahinya ditempel plester bermotif lambang cinta. Lengannya tergores. Dan ada luka lain di lipatan sikunya. Dia terluka. Bayiku terluka. "Kenapa bisa begini? Cherry, apa ini parah? Meninggalkan bekas? Kau sudah memberinya antibiotik khusus anak?"

Yang ditanya mengangguk. Ekspresinya yang biasanya jenaka kini serius. Alis tebal Cherry berkerut. "Sudah. Kakinya retak, Rose, tapi secara keseluruhan dia akan sembuh. Lily anak yang hebat, iya kan?"

Putriku mengangguk penuh semangat. Menepikan es krim ke atas laci. Wajahnya merah. Ia pasti habis menangis, tapi sekarang tersenyum untuk Mamanya yang tidak becus ini. "Aku tidak apa-apa kok. Papa sudah membelikan es krim, kue sus cokelat, dan permen. Papa bilang aku harus cepat sembuh supaya kita bertiga bisa ke Disneyland bertemu Elsa!"

"Disneyland?" Aku menciumnya berkali-kali, merapikan rambutnya yang tidak pernah mau di potong pendek. Supaya sama dengan Elsa, katanya. Dia bahkan pernah bertanya pada Lisa apakah wanita itu bisa mewarnai rambutnya jadi pirang. "Kita akan ke sana kalau kau mau, kemanapun. Tinggal bilang, ya? Apa Lily mau sesuatu yang lain?"

Gelengan. Lily justru memelukku hingga jantung kecilnya seirama dengan jantungku. Selain obat, samar-samar tercium bau asap dari tubuhnya. "Mama saja. Jangan kemana-mana. Tadi aku mencari Mama ke kamar. Aku kira Mama tidur, tapi Mama tidak ada."

"Lalu?"

"Dia beralih mengambil Eunhee, dan jatuh ketika menuruni tangga. Tangisannya membangunkan tetangga lebih cepat dari api, karena tak ada yang sadar rumah kita terbakar."

Seseorang melanjutkan. Bukan Lily. Bukan Cherry. Tapi Jaehyun, yang menatapku dengan sorot mata dingin dan tajam.

"Cherry," imbuhnya. "Bisakah kau menjaga Lily sebentar? Aku mau bicara dengan Rose."

Cie konflik cie:3

Update terakhir tahun 2019 neh, ngetiknya ampe tangan cenat cenut saking ngebutnya 🤧 Trus buat yang belom tahu bin kepo, Lily itu artis gaes. Nama aslinya Shin Rin Ah, gua nonton dia di drama Legend of The Blue Sea sama Item. Ini ig-nya :

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top