41. In The Name Of Love

Barangkali, jauh, jauh dalam hatinya, Jaehyun sadar hubungan kami merenggang. Bahwa laju kapal yang kami kendarai tidak semulus dulu. Mulai goyah. Ada yang salah.

Ia sadar, hanya saja, tak tahu harus memperbaiki bagian yang mana.

Perasaan itu ada, menempel seperti noda membandel yang sulit dihilangkan,  mendorongnya untuk memelukku entah sejak kapan. Kulitnya terasa hangat di lenganku, napasnya menggelitik tengkuk. Tapi pelukannya terlalu erat, terlalu dekat, sehingga aku beringsut menjauh, mundur teratur dan mengambil ikat rambut.

Kakiku menggantung beberapa senti dari atas lantai kamar. Bayanganku terlihat di cermin meja rias. Satu hari lain yang melelahkan bagi ibu rumah tangga di mulai. Di kepalaku, jadwal apa yang harus dilakukan tersusun satu persatu. Cukup banyak, dan itu tidak membuatku gembira. Tidak, bila dibandingkan dengan jam-jam menyenangkan yang kuhabiskan bersama Yuta di pantai.

Waktu, kenapa cepat sekali berlalu justru di saat aku paling ingin mempertahankannya?

Aku bangkit berdiri dengan rambut yang diikat asal-asalan. Meregangkan tubuh sejenak, mempersiapkan tulang-tulang ini untuk pekerjaan tanpa bayaran. Belum-belum, aku sudah diterjang ombak kelelahan, dan suara Jaehyun menambah kuat gelombang ombak itu, "Rose, semalam pulang jam berapa?"

Semalam, dia tertidur ketika aku menyusup masuk ke rumah diam-diam. Lily juga. Nyaris semua lampu padam. Jendela gelap gulita, tampak bagai mata raksasa yang mengintip dari kegelapan. Aku terdiam lama setelah berada di samping Jaehyun, sulit tidur. Sampai aku tergoda mengintip ponsel yang ia genggam di tangan kanannya. Ponsel itu membuka ke halaman pesan, menunjukkan sebaris kalimat yang tidak pernah Jaehyun kirimkan, "Kau dimana? Kenapa belum pulang?"

Tapi aku tidak pernah menerima pesan itu. Dia tidak mengusikku.

Betapa melegakannya.

Sebagai gantinya, kini aku harus mengarang alasan mengapa aku menghilang nyaris seharian. Meninggalkan Lily bersama Alice, yang harus membuang gelas yang pecah ke tempat sampah. "Jalan-jalan sebentar. Tidak apa-apa kan?"

Jaehyun tak lekas menjawab. Ia berguling, menarik selimut kami bersamanya. Sprei jadi semakin berantakan. "Seharusnya kau tidak pulang terlalu malam."

"Aku pulang jam 9."

"Itu tergolong malam. Aku khawatir karena kau tidak meninggalkan pesan."

"Oke." Aku menarik napas dalam-dalam, menahan protes yang berada di ujung lidahku. Kata-kata ibarat bisa pada ular; berbahaya, mematikan. Aku terlalu lelah untuk bertengkar karenanya. Lagipula, memang aku yang salah. "Maaf. Bisakah kita tidak bertengkar sekarang?"

Jaehyun tersenyum geli. Kekesalannya luruh secepat air melarutkan gula. Lenyap tak bersisa, menyisakan senyum manisnya. "Kau mau menjadwalkannya kapan?"

"Nanti," jawabku acuh tak acuh, meraih salah satu kemeja dari lemari yang mestinya kusetrika kemarin. "Mau pakai yang ini?"

Dia mengangguk, meringankan tugasku dengan membereskan tempat tidur. Sementara aku keluar mengambil seragam Lily.

Menyetrika. Memasak. Bersih-bersih. Aku benar-benar bingung mengapa ibu rumah tangga disebut tidak bekerja. Mereka yang bilang begitu harus diberi bunga, disertai potnya. Dasar bodoh.

Sambil melakukan ketiganya sekaligus, aku mengecek ponselku. Menemukan pesan Yuta yang bertanya apa aku sudah bangun. Lisa belum merespon panggilanku, sedangkan Alice mengancam enggan menjaga Lily lagi sebab aku lupa membawa makanan yang kujanjikan.

Tahan. Tahan dulu. Mereka bisa menunggu. Aku mengabaikan kakak dan selingkuhanku itu, menunda keinginan menghubungi Lisa. Karena ada satu orang yang harus menjadi prioritas.

Joy.

Aku tahu melakukan itu artinya aku melangkah lebih dekat ke kata "perceraian". Membuang segala harapan keluarga ideal bagi Lily. Kalau kami bercerai, dialah yang paling tersakiti. Menjadi korban keegoisan orang-orang dewasa. Aku yang ingin bahagia, tapi Jaehyun tak bisa mewujudkannya.

Keadaannya kini berbeda dibanding 7 tahun lalu一aku punya pilihan. Pilihan yang tak dimiliki diriku di usia 18 tahun, dibawa oleh pria yang berkata bahwa hidupku adalah milikku.

"Bahkan seorang ibu pun harus memikirkan dirinya sendiri."

Yuta benar. Dia benar. Setidaknya, aku perlu mencoba. Bertemu Joy bukan berarti aku yakin bercerai. Datang ke sebuah restoran tidak mewajibkanku membeli makanan yang mereka jual. Aku boleh melihat-lihat.

Maka usai menarik napas panjang, aku menghubungi Joy, selagi Jaehyun masih di kamar, belum menyelesaikan apapun yang dia kerjakan.

Satu sentuhan samar, kami pun terhubung.

Memanggil Joy...

Aku memejamkan membiarkan warna hitam sekelam malam memenuhi pandangan. Gelap, gelap. Tapi saat aku fokus, ada sesuatu yang mewujud dari sana. Mirip cahaya senter yang makin lama makin dekat. Putih, sesuatu yang terang.

Apa itu?

Ah, tali. Ternyata tali! Itu tali biasa; tak bermotif, murni, membentang panjang. Ini tidak nyata, aku tahu. Namun tetap saja, aku tersentak ketika tali tersebut tiba-tiba terputus, disambar api merah一seperti rambut Yuta一yang menghanguskannya seketika.

Mataku kembali terbuka.

Khayalan konyol.

Aku menggeleng, cepat-cepat mendekatkan ponsel ke telinga ketika Joy menjawab, "Halo? Siapa ini?"

"Joy! Aku Rose, temannya ... kita pernah bertemu di taman Dangyeong. Apa kau ingat?"

"Rose?" Joy mengulang, di antara riuh percakapan yang mengganggu. Dia di luar ruangan rupanya, mungkin mengumpulkan materi persidangan. Sepagi ini, tapi punya tujuan yang jelas. Enaknya... "Rose siapa? Tidak, tidak, jangan dijawab. Biar aku menebaknya. Taman Dangyeong, ya? Hm ... kurasa orang yang kutemui di taman cuma Yuta-kun saja dan oh! Rose pacarnya Yuta itu? Rambut panjang, tinggi dan cantik?"

Pipiku bersemu merah mendengar pujian itu. Khas pengacara sekali一pandai bicara. "Benar. Maaf menggangu, aku ingin bertemu denganmu. Kalau kau tidak keberatan, maksudku..."

"Soal apa? Kau mau konsultasi?" Joy tertawa, sama menawannya seperti saat menyaksikannya langsung. "Bisa, bisa. Aku tidak sibuk hari ini. Temui aku di kafe star blossom. Jam 11, bagaimana?"

"Di mana kafe itu?" Harapanku membuncah. Tidak perlu membuat janji! "Aku akan datang!"

"Minta Yuta mengantarmu, dia tahu tempatnya."

Aku meringis, khawatir Lily datang sebelum kami selesai bicara. Bunyi-bunyi ribut yang berasal dari pintu pink-nya itu menjadi tanda dia akan keluar sebentar lagi. Bahaya. "Ini urusan wanita. Hanya kau dan aku."

"Begitu, ya?" Suara Joy berubah jadi bisikan, nadanya penuh persekongkolan, seolah kami hendak merencanakan perampokan bank. "Baiklah. Akan kukirim alamatnya. Yang terlambat harus membayar makanan, setuju?"

"Setuju." Aku terkekeh, terhibur sekali karena Joy mengingatkanku pada Lisa. "Terima kasih, Joy."

"Sama-sama pacarnya Yuta!"

Salam yang manis itu mengakhiri panggilan kami. Sambungan terputus. Aku lanjut menyetrika, bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.

Jaehyun tidak akan curiga kalau aku berhenti tersenyum seperti orang gila. Aku mengontrol ekspresiku sampai terlihat biasa saja. Poker face, istilahnya. Dan beruntung, dia baru muncul sekitar 10 menit setelah aku memasukkan ponsel ke saku. Makanan belum siap, sedangkan kemejanya sudah.

Aku menyerahkan kain itu padanya, bonus memakaikan dasi. Hidungnya yang sempurna beradu dengan hidungku saat Jaehyun membungkuk, memberi morning kiss yang cukup lama sampai Lily mengernyit dan berujar, "Jorok!"

Kami tertawa一setidaknya, aku berusaha tertawa一karena selanjutnya aku sibuk memikirkan kebohongan yang akan kuucapkan.

"Jaehyun, aku mau ke tempat Cherry siang ini. Boleh?"

Keningnya berkerut. Dimple manisnya memudar. Seharusnya aku memberi jeda beberapa hari, setelah kemarin keluar tanpa izin, tapi ah, aku tidak bisa menundanya. Aku tidak tenang一sangat. "Kau sering keluar akhir-akhir ini, siapa yang menjaga Lily sepulang sekolah?"

"Alice," jawabku cepat, menepuk-nepuk dada bidang Jaehyun. Merapikan bagian kemejanya yang terlipat. "Dia baru mengajar lagi senin depan, aku sudah menelponnnya."

Solusi ini tak lantas membuat Jaehyun lega. Ia tidak melepaskan pandangannya dariku, menandakan ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. "Cherry belum kembali bekerja? Ayah bilang rumah sakit selalu kekurangan tenaga kerja dan kelebihan pasien, jadi para dokter biasanya tidak dapat cuti lama."

Tawa gugupku keluar. Sial, aku tidak tahu itu. Mestinya aku bertanya dulu pada Cherry. "Aturannya beda di setiap rumah sakit. Kau tidak bisa menyamaratakan. Jadi boleh tidak? Cherry ingin konsultasi soal pernikahan. Kasihan dia. Terlalu lama sendiri membuatnya bingung."

"Oh begitu." Jaehyun yang mengira dirinya paham tersenyum jahil. Kerutan jelek yang mengusik ketampanannya hilang. Dia mengizinkan, dengan catatan aku tidak pulang terlalu malam.

Aku tidak berjanji, tapi aku berkata padanya akan menyelesaikan tugas rumah. Jadi ketika aku berangkat, lantai sudah di vakum, dapur rapi, dan semua pakaian selesai disetrika.

Capek.

Kenapa tidak ada cuti untuk ibu rumah tangga?

Kafe star blossom yang Joy maksud adalah sebuah bangunan dari bata merah sederhana yang ada di jalan Saeki-dong. Tidak sulit menemukannya karena lokasi tempat itu dekat Lotte mart. Mencari Joy  lebih mudah lagi, karena penampilannya一dengan pakaian semi formal serba hitam一sangat mencolok. Pengacara berwajah bak artis itu melambai ketika aku tiba, memintaku mendekat.

"Rose!" Sama seperti saat kami berkenalan, Joy menjabat tanganku erat, penuh percaya diri. Menggoyangkannya dengan semangat ke kanan dan kiri. "Apa kabar? Apa kabar? Aku kaget kau menghubungiku. Kangen, nih?"

Aku tertawa一mustahil tidak melakukannya bila bersama Joy. Keceriaannya menular, dia membawa virus kebahagiaan. "Hei, maaf merepotkan. Kau pasti sibuk, tapi aku malah mengajakmu bicara hal tidak penting."

"Maaf apa sih!" Joy memukul lenganku menggunakan buku menu, sembari memanggil pelayan. "Santai saja. Tapi kita makan dulu, ya? Aku lapar."

"Bukan masalah," ucapku ringan, meski aku tak yakin bisa menelan apapun. Dekorasi kafe yang ceria dan suasananya yang hangat tidak sanggup mengusir keteganganku. Bayangan tali yang putus itu hadir terus, mirip nyamuk nakal yang harus di pukul dengan raket listrik.

Aku hanya pesan minum. Joy Neo coffee, ditambah kalguksu porsi besar. Dia makan sangat banyak dan lahap. Aku sampai kagum dibuatnya.

"Kau yang bayar kan?" Dia mengedipkan sebelah matanya. "Salahmu terlambat 2 menit."

Aku hanya mengangguk. Aku merasa mual一tapi tak ada hubungannya dengan cuaca. Ini rasa bersalah yang mengganjal, karena memakai uang dari Jaehyun untuk mendiskusikan perceraian.

"Nah." Setelah puas menghabiskan potongan daging kalguksu-nya, Joy mengaduk kopi miliknya yang tinggal setengah gelas. Menghirup aroma minuman itu sejenak. "Kau mau bicara apa, Rose? Jangan bilang kau menabrak seseorang atau melakukan tindakan kriminal lain dan sekarang butuh pengacara."

"Apa aku punya tampang kriminal?" Balasku, pura-pura tersinggung, sambil mendorong rambut ke belakang. Rambut yang sudah terlalu panjang...

Aku harus segera menemui Lisa. Harus.

"Tidak," jawab Joy tenang, menyilangkan kakinya. Tampak semakin anggun. "Tapi mungkin Yuta mengajakmu melanggar hukum bersama. Semua orang juga tahu dia berandalan sejati."

"Tepat sekali." Aku mengangguk sependapat, takkan pernah lupa bagaimana Yuta mengajak gadis 16 tahun membolos ke pameran. Atau saat dia menawariku soju, walaupun dia mengaku bercanda. "Sayangnya bukan itu, Joy. Aku ingin bertanya padamu tentang perceraian."

Punggung Joy jadi lebih tegak. Wajahnya berseri-seri mendengar kata yang memiliki konotasi negatif itu. Seharusnya aku sudah menduganya; jarang ada teman Yuta yang normal. "Kau datang pada orang yang tepat. Siapa yang mau bercerai? Boleh aku tahu?"

"T-teman." Aku tergagap mengucapkan satu kata tersebut, merasa kembali ke masa lalu, ketika membeli test pack yang kemudian menghancurkan hidupku. "Dia bermasalah dengan suaminya. Mereka tidak cocok lagi, semacam itu."

"Oh." Joy mengangkat bahu, tidak terkejut. Tidak pula mengatakan omong kosong, misalnya, kenapa temanmu buru-buru? Mungkin hubungan mereka masih bisa diperbaiki. Tidak, sebaliknya, ia bertanya, "Apa temanmu selingkuh?"

Kejatuhan meteor pun takkan semengejutkan ini.

Rahangku terbuka lebar, dengan konyolnya berpikir Joy bisa membaca pikiran. Atau Yuta memberitahunya一sengaja atau tidak. Meski itu mustahil, karena Yuta bukan tipe pengumbar rahasia. Tidak ada untungnya pula. Dia tidak mungkin melakukannya. Aku yakin, sebesar keyakinanku pada matahari yang akan tetap bersinar besok.

Lalu darimana Joy tahu?

"Tutup mulut, Rose." Joy terbahak, hampir tersedak tetes-tetes terakhir kopinya. Gelas cantik kafe ini kemudian ia letakkan di atas meja, dengan suara denting pelan. "Aku cuma menebak! Perselingkuhan itu ada di peringkat pertama alasan yang disebutkan klienku, unggul jauh dari kekerasan dalam rumah tangga, makanya aku tahu."

"Begitukah?" Aku ikut tertawa, mendadak tegoda membenturkan kepalaku ke tembok. Membaca pikiran, apa aku sudah gila? Panik sungguh musuh besar manusia, membuat kita jadi tidak rasional. "Aku tidak menyangka..."

"Aku juga tidak." Joy mengakui dengan tatapan menerawang ke atas. "Dulu, pertama kali menerima kasus perceraian, aku tidak suka. Menurutku, orang-orang yang tidak setia itu menjijikkan. Seenaknya saja bermain-main dengan ikatan suci, tidak tahu diri."

Aku menelan ludah, tidak tahu harus merespon bagaimana. Termasuk Yuta, bila berada di sampingku, belum tentu bisa membalas ucapan itu. Sebab Joy benar. Kata-katanya tidak mengandung dusta.

Orang yang tidak setia一menjijikkan.

Aku menjijikkan.

"Tapi." Joy tersenyum lagi, menatap mataku lekat-lekat lewat mata lebarnya yang indah, tanpa riasan. "Ada seorang pria yang mengubah pikiranku. Klien yang diremehkan istrinya karena penghasilannya rendah. Kau tahu apa yang pria itu katakan?"

Aku balas menatapnya, itu saja. Tidak berani merespon. Bernapas saja sulit. Dadaku sesak. Lututku lemas. Jika aku trenggiling, aku pasti sudah menggelinding keluar dari sini sejak tadi. Aku takut...

"Dia bilang, 'Nona Park, tolong jangan menilai para pelaku perselingkuhan buruk sebelum kau tahu alasannya. Karena rumah yang pondasinya bagus tidak akan mudah runtuh. Aku, dan banyak orang lain di luar sana selingkuh bukan karena ingin, tapi karena kami merasa lebih nyaman. Atas nama cinta, adakah yang salah dari itu?'"

Aku tertegun. Inti jiwaku yang paling dasar一yang bahkan tidak dapat dicapai Jaehyun一seolah baru saja dibuka Joy dan ia baca keras-keras. Mengumumkan pada seluruh dunia, bahwa aku tidak seburuk yang mereka kira. Aku, kliennya, Kristen Stewart, dan banyak orang lain di luar sana. Banyak.

Lihat dan dengar, ujar Joy secara tidak langsung, mereka sama dengan kalian, para pembenci, yang ingin bebas mengekspresikan perasaan.

Atas nama cinta, jika 2 insan telah saling berbagi rasa, mengapa ada orang-orang yang berpikir berhak mencegah kami bahagia?

Jujur ya kawand2, gua sebenernya kagak tega bikin Jaehyun gini. Tapi ini disesuain sama dia, karena gua suka bikin ff yang mirip karakter aslinya. Kan Jaehyun kalem tuh, dia juga daddy-able sekali dan cocok jadi suami idaman 😳😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top