40. Hey, Playgirl

Hidup itu penuh kejutan.

Kadang, kau sedang bersantai di kamarmu saat tiba-tiba mendapat kiriman paket buku dari teman yang kau kenal lewat internet.

Kadang, kau mengambil cuti sakit meski sebenarnya sudah sembuh, lalu adikmu menelpon, memintamu menjaga keponakan.

Atau kadang, kau bahagia, berdua bersama orang yang kau cinta, ketika datang orang yang sama sekali tidak kau suka.

Hidup itu penuh kejutan一aku mengerti, tapi ini bukanlah jenis kejutan yang kunginkan. Setelah aku menikah dengan Jaehyun, hubunganku dan Chaeyeon yang  dulu berada di fase "saling tidak suka" berubah menjadi "saling benci luar biasa". Di matanya, aku nyaris tak ada bedanya dengan penjahat yang sering dia jebloskan ke penjara, dan dia memastikan aku tahu itu; lewat matanya, ucapannya, atau nada bicaranya.

Sekarang pun, Chaeyeon mengeluarkan tatapan merendahkan itu, bersikap seakan ia lebih baik dariku. Dalam beberapa hal, mungkin ia benar. Mungkin ia tepat. Tapi sampai kapanpun, aku takkan mengakuinya.

"Lama tidak bertemu, Chaeyeon. Sedang apa kau di sini?"

Chaeyeon mendengus seakan aku serangga yang hinggap di pakaian mahalnya. Dia sengaja pamer hasil fotonya; aku saat naik ke punggung Yuta, aku dan Yuta dari posisi berpelukan, juga aku yang menunjukkan ketidaksukaan dari mataku. Semuanya di ambil dari sudut yang pas dan menangkap profil kami dengan baik. Jaehyun takkan butuh waktu lama mengenali Yuta jika melihatnya.

Jika.

"Kau mau apa dengan foto-foto itu?"

Chaeyeon mengabaikanku cukup lama. Ia pura-pura sibuk mengeluarkan pasir dari sepatunya, menepuk-nepuk benda itu sampai kembali bersih. "Rumahku ada di dekat sini, Rose. Kau lupa?"

"Tidak," sahutku santai dan datar. "Aku tidak tahu dan tidak peduli."

"Masa?" Senyum Chaeyeon berubah menjadi tawa. Ia mundur ketika air laut hendak menyapanya, sementara aku yang telah basah bergeming. Terlanjur. "Berarti dunia sudah benar-benar gila. Bagaimana bisa pasangan selingkuh terang-terangan menunjukkan kemesraan mereka? Kau tidak malu? Tidak merasa bersalah?"

Ada banyak jenis jawaban yang bisa kuberi untuk pertanyaan tersebut一yang sarkastik, tajam, sampai yang manis namun akan membuat Chaeyeon kian marah. Tapi karena ia tadi menghindari pertanyaan keduaku,  aku memilih melakukan hal yang sama. "Kenapa kau peduli terhadap suami orang lain?"

Wajah Chaeyeon mungkin mulai memerah sekarang. Entahlah, aku hanya menebaknya, karena aku menunduk, sibuk menyusuri daftat kontak di ponsel Yuta.

"Karena kau menyia-nyiakan dia! Karena kau tidak menghargainya! Selama ini aku bersabar, karena kupikir Jaehyun bahagia bersamamu. Tapi aku salah一kau justru selingkuh darinya, di saat kau harusnya menyiapkan makan siang untuk putrimu!"

"Putri kami." Aku meralat, mengingatkan Chaeyeon pada fakta yang enggan ia sebutkan. Senyumku muncul kala menemukan kontak yang kuinginkan. Joy. Yuta menamainya "Sooyoung" seperti yang kuduga. Segera, aku menyalinnya ke ponselku, sembari melanjutkan, "Mana yang menurutmu lebih buruk, wanita yang menyukai pria yang punya istri, atau wanita yang selingkuh karena tidak bahagia?"

Menabur garam di atas luka. Membakar layar kapalku sendiri. Tak ada bedanya. Sebagian diriku tahu ini bukan ide bagus, tapi bagian lain一yang menyukai konflik dan balas dendam一memintaku melanjutkannya. Dia, sisi jahat itu, menyeringai mendapati dagu Chaeyeon tidak lagi terangkat angkuh. Kesombongan itu harus dihapus darinya.

Lagipula dia telah berubah sangat banyak. Jung Chaeyeon, 6 tahun kemudian, enggan menyembunyikan rasa tidak sukanya padaku, kecuali dari Jaehyun. Dia adalah karma dalam bentuk manusia, yang tidak membiarkanku hidup tenang terlalu lama.

"Kau ini memang pemberani atau sok berani? Kau mestinya bersikap baik padaku. Percayalah kalau kubilang aku tidak segan mengirim foto-foto ini pada Jaehyun."

Aku tidak meragukannya, sama sekali. Aku hanya tidak takut一itu intinya. Mereka yang takut merupakan orang-orang yang memiliki banyak hal dan tidak ingin kehilangan. Sedangkan aku tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan.

Ibuku membenciku. Cita-citaku direnggut. Kebebasanku dicuri. Apa yang harus aku takutkan?

Maka aku menegaskannya, "Jangan harap aku mau berlutut dan memohon-mohon di kakimu, Chaeyeon. Itu mustahil."

Laut seolah tertawa.

Suaranya riuh; diwakili oleh ombak yang menghantam karang一menggerus batu tersebut sedikit demi sedikit, dengan ketenangan yang mengerikan. Biru yang cantik itu bersatu bersama kawan baiknya, sang angin, menciptakan nyanyian yang menggetarkan, menjadi bukti bahwa mereka tak perlu badai untuk mengintimidasi. Kemarahan yang sesungguhnya, dapat tercermin tanpa terlalu meluapkan emosi.

Senyum Chaeyeon menghilang. Ia sudah meremehkanku sehingga tidak menyangka respon semacam ini yang akan ia dapat. "Kalau begitu aku kirim sekarang, ya? Sekalian saja aku sebar foto kalian di internet."

"Untuk apa?" Aku tetap tidak menoleh padanya meski urusanku sudah selesai, agar ia tahu sepenting apa ia bagiku; nol. "Mau pamer kau punya bakat fotografi?"

"Kristen Stewart," Chaeyeon mendendangkan nama itu dengan ceria, namun jari-jarinya yang mencengkeram ponsel tampak memutih saat ia semakin geram. 2 wanita yang sama-sama berarti bagi Jaehyun kini berhadapan. Ia seharusnya melihat ini. Aku mau ia melihatnya, supaya tahu siapa yang akan ia bela. "Kau pasti tahu Kristen kan? Skandal perselingkuhan yang membuat karirnya meredup? Dia dihujat habis-habisan. Disebut perusak rumah tangga orang. Kau rela Yuta mengalami hal serupa?"

"Karir itu ibarat kastil yang terbuat dari tumpukan domino, Rose."

Suatu hari, ketika Alice marah pada kepala sekolah yang memecat temannya karena kesalahan sepele, ia menggerutu padaku, seraya mengoleskan kutex ke kukunya. "Membangunnya sulit, tapi menghancurkannya tidak butuh waktu lama. Kesalahan kecil, ketidakberuntungan, atau kecerobohan, bisa meruntuhkan kastil itu seketika."

Ungkapan itu sepenuhnya mengandung kebenaran.

Aku yang tidak kuliah atau bekerja bisa memahaminya dengan baik. Ada banyak benda rapuh di dunia ini, dan karir masuk dalam daftar. Lebih tipis dari kertas manapun. Sangat lemah.

Meski begitu, Chaeyeon salah kalau mengira dirinya sudah menang. Ancamannya bagai sehelai bulu di antara kakiku; menggelikan.

"Kau tidak akan melakukannya, Chaeyeon. Aku tidak sebodoh yang kau kira."

"Kenapa tidak?" Ia menyalak. Uap dingin keluar dari mulutnya bersama kalimat penuh amarah itu. "Kau pikir aku tidak berani karena itu akan membuat Jaehyun sedih? Dengar Roseanne Park, kau tidak layak untuknya, dan dia harus tahu itu!"

"Lalu siapa yang layak? Kau? Lucu sekali." Aku tergelak, mengulang kalimat Yuta di hadapan Jaehyun, merasakan kepuasan mutlak melihat Chaeyeon tersentak. Dia tidak lebih baik dariku, dan dia harus tahu itu. "Dengar Jung Chaeyeon, hanya karena tidak kuliah, bukan berarti aku tidak mengerti hukum. Memotret seseorang memberimu hak cipta, tapi kau tidak boleh menyebarkannya tanpa izin orang dalam foto. Itu melanggar undang-undang dan privasinya. Kau bisa dihukum paling lama 2 tahun penjara dan denda jutaan won, apa aku benar?"

Tentu saja aku benar.

Pertanyaan itu tidak butuh jawaban. Banyak orang yang mengetahui pasal populer itu, apalagi pengacara seperti Chaeyeon. Dia pasti lebih paham.

Chaeyeon enggan mundur dengan mudah. Ia membalas tak kalah garang, bak harimau yang mengamuk. "Kau belum pernah menontonku di persidangan kan? Aku mungkin menemukan cara untuk menghindarinya. Jangan terlalu percaya diri!"

"Oh, aku yakin kau pengacara yang hebat," pujiku, dengan suara yang amat sangat manis, ditambah tepuk tangan pelan sebagai efek dramatis. "Aku tidak akan melarangmu. Tapi."

Kakiku mendekat. Badai bergemuruh dalam dadaku ketika ia menyebut Yuta. Tupai bukan hewan yang berbahaya, tapi untuk melindungi sesuatu yang ia anggap berharga, siapapun, hewan apapun, akan berubah jadi ganas. Tak terkecuali aku. Terutama aku.

"Kau sebaiknya tidak mengujiku, aku bukan orang baik. Sentuh Yuta, sentuh karirnya, dan aku bersumpah akan menyewa setiap pengacara hebat di negara ini untuk menghancurkanmu juga. Aku tidak akan berhenti sampai kau menangis dan menyesal. Ingat itu. Kaulah yang seharusnya jangan terlalu percaya diri."

Bahkan di telingaku sendiri, aku terdengar menyeramkan. Kejam. Tidak berperasaan. Namun mengingat cerita Yuta tentang bagaimana ia bersusah payah menjual lukisan pertamanya, simpatiku lenyap. Ini  sepadan. Tak ada yang boleh mengusik Yuta一aku tidak akan membiarkannya, terlebih jika aku dijadikan alasan.

Seperti halnya dia menyelamatkanku dulu dan kali ini, aku akan melindunginya, dengan segala cara yang kubisa. Dari Chaeyeon. Atau ... Jaehyun.

Chaeyeon mendengus. Berpura-pura peringatanku tidak berefek apapun padanya, tapi caranya memalingkan wajah, membetulkan tatanan rambutnya, menandakan dia tahu aku tidak main-main. Bahwa aku bisa sangat nekad kalau aku mau.

Posisi kami jadi sejajar sekarang, walaupun ia sedikit lebih unggul. Chaeyeon bisa menunjukkan foto-foto itu pada Jaehyun kapan saja, walaupun aku tidak yakin ia sanggup. Dia teramat mencintai Jaehyun yang menganggapnya sebatas sahabat.

"Kau sinting. Membela Yuta sampai separah itu. Apa kau akan bereaksi sama untuk Jaehyun seandainya dia berada di situasi yang tidak menguntungkan?"

"Bukan urusanmu!" Aku membentak kesal, mendadak malas meneruskan perdebatan bodoh ini. Chaeyeon sudah merusak pemandangan. Terserah dia mau berbuat apa. Aku ingin pergi, menjauh darinya, sebelum aku menyerah pada niat jahat dan mendorongnya ke laut.

Aku berbalik一

一langsung beradu mata dengan Yuta.

Pria yang jadi sumber konflik itu berdiri tenang dengan bibir melengkung ke atas, satu alis terangkat. Kedua tangannya masing-masing memegang kelapa berukuran sedang, pasti berat, tapi ia nyaris tak bersuara atau bergerak. Seolah lupa cara melakukannya, hingga Chaeyeon menyapa, "Kau lagi. Aku tahu kau akan menyebabkan masalah saat melihatmu untuk kali pertama. Katakan, Yuta, bagaimana rasanya jadi selingkuhan?"

"Asyik sekali," jawab Yuta sopan, berbaik hati menawarkan kelapa untuk Chaeyeon, tapi mendapat penolakan darinya. Jadi dia mengopernya padaku. "Itu memancing adrenalin. Kau harus coba一jadilah selingkuhan Jaehyun daripada sekedar penggemar setianya."

Chaeyeon mendelik. Menatap kami bolak-balik. Bingung memutuskan akan menghina siapa dulu, dan akhirnya menyadari, dia hanya akan membuang-buang tenaga dan waktu kalau tetap di sini. Helaan napasnya menegaskan ia letih. Suaranya terdengar lirih. "Kalian memang pasangan yang cocok. Kuharap kalian bisa bersama dan enyah secepatnya ke Jepang."

"Belikan tiketnya dong." Yuta menggoda. Si tampan yang sulit dikalahkan siapapun bila menyangkut urusan bicara. "Atau kau bisa beli makanan di restoran sebelah sana. Jaehyun tentu tidak akan suka adiknya kelaparan."

Setimpal.

Dia memukul, Yuta balas mendorong. Insting utama manusia adalah melawan saat diserang一baik secara fisik atau mental, tapi karena Yuta tak pernah sekalipun menyakiti perempuan, dia memakai cara lain; kata-kata. Pisau tak terlihat yang menancap tepat sasaran.

Tatapan Chaeyeon mencerminkan apa yang kurasakan padanya; benci dan muak. Ia menghentakkan kaki ke arah ia datang, berniat pergi. Kalimat terakhir yang kudengar darinya sebelum ia meninggalkan kami adalah, "Ceraikan Jaehyun, Rose. Jangan mempermainkannya seperti ini. Tidakkah kau lelah bermain-main?"

Memang melelahkan.

Sembunyi-sembunyi untuk bertemu. Berbohong terus-menerus. Menjalani kehidupan yang membuatku jemu. Chaeyeon tak bisa membayangkan betapa lelahnya aku.

Dia hanya peduli pada Jaehyun一lebih dari aku, kurasa.

"Kau tidak suka kelapanya?" Yuta bertanya, berusaha menghiburku yang masih terpaku mengamati punggung Chaeyeon. Menebak-nebak apa dia mau pulang ke rumahnya, atau menemui Jaehyun di kantornya. "Aku dapat yang manis, bagaimana denganmu?"

Berpaling, aku menyesap kelapa pemberian Yuta. Membiarkan cairan yang agak asam itu mengaliri tenggorokanku. Minuman terbaik untuk dinikmati di pantai. Nyaris seketika, aku merasa jauh lebih tenang. "Kau mendengar ucapannya tadi? Jangan khawatir, dia tidak akan menyebarkan foto kita. Sangat tidak lucu kalau pengacara jadi tersangka."

Yuta tertawa一tawa lebar yang selalu membuat matanya menyipit, membentuk bulan sabit. "Aku tidak tahu kau tertarik pada hukum."

"Aku cukup sering membaca buku Jaehyun." Aku mengakui, mengenang masa lalu ketika aku sudah menyerah menghadapi orang-orang yang bertanya tentang Lily. "Meski harus kuakui itu membuatku bosan."

"Begitu ya." Yuta mengangguk-angguk, mirip Maneki Neko yang diletakkan di toko-toko. Dengan pengecualian, rambutnya tidak berwarna emas. "Apa kau tahu hukuman yang akan kudapat seandainya aku memukul seseorang?"

Aku berhenti minum, menjauhkan sedotan berwarna pink dari bibirku. "Siapa yang mau kau ajak berkelahi?"

"Seandainya." Yuta mengulang, memberi penekan ekstra di kata tersebut. Namun cengiran itu tak bisa membohongiku; ia tidak sedang bercanda. "Aku kan bilang seandainya."

Dia tidak suka berbohong, tidak pula pandai melakukannya. Kecurigaanku pun bangkit seperti air pasang, dan hal itu kulampiaskan dengan menjewer telinganya. "Jangan nakal, Yuta. Kau sudah dewasa."

Yuta mengaduh, meminta ampun ketika aku memelintir telinganya yang dihiasi banyak koleksi tindikan kerennya. "Johnny! Johnny! Dia yang aku maksud, Rosie. Aku kadang ingin memukulnya kalau dia menggangguku."

"Benarkah?" Aku memiringkan kepala ke satu sisi, melepaskan telinganya. Kemudian terbahak mengingat metode Johnny membangunkannnya sampai ia mengumpat. Kutebak, dia melempar Yuta menggunakan sesuatu. "Biarkan dia memukulmu lebih dulu."

"Kenapa?" Yuta mengernyit, tidak menyukai gagasan tersebut. Dia kompetitif. Dia benci kalah. Bila diminta memilih antara melawan saat dikerjai atau dihukum guru, tanpa keraguan sedikitpun aku yakin dia akan memilih yang kedua.

Tapi aku punya alasan mengatakannya. "Jaehyun pernah bilang, kalau pukulan pertama selalu dianggap penyerangan. Yang kedua, baru pembelaan diri. Jadi kalau kau ingin menghajar orang tanpa di tuntut, provokasi dia dulu."

"Oh," Yuta terkekeh. Wajahnya berubah lebih cerah, bersaing dengan sang mentari. "Aku ahlinya soal itu."

Itu yurose di pantai, kalo ini Jaehyun sama Lily asique.g

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top