39. M

Keindahan pantai itu seolah berasal dari dimensi lain.

Saat melihatnya, aku tak percaya ada orang yang mau repot-repot pergi ke terapis untuk menyembuhkan depresi mereka, padahal ada cara yang lebih sederhana. Datanglah ke pantai, hirup aroma garamnya, dan serahkan semua pada laut. Dia akan melakukan tugasnya dengan amat lembut, menyeret habis kesedihan dari benakmu yang sudah kusut.

Kemudian yakinlah, kau akan baik-baik saja.

Pantai seperti tempat ajaib一tempat yang bisa membuatmu percaya bahwa dongeng itu nyata. Memberi harapan. Menunduklah, dan sadari bahwa pasir putih itu tetap cantik meski diinjak oleh banyak kaki. Lalu dongakkan kepalamu, tengok sang matahari. Dia sendiri, tapi menjadi bintang paling terang di seluruh galaksi.

Tak ada yang tak mungkin di dunia ini.

Aku menatap semua itu sambil bicara pada ponsel, berusaha merayu Alice agar mampir ke rumah dan menjaga Lily. Dia terkejut awalnya, karena biasanya aku jarang keluar rumah, dan ketika melakukan itu pun, seringnya bertiga. Tapi setelah mengecek jadwalnya dan iming-iming imbalan makanan enak, ia setuju.

Satu masalah selesai.

Aku merasa lega usai Alice mengambil beban itu dariku, lalu menoleh pada Yuta. Waktu tak perlu dikhawatirkan sekarang. Hanya ada aku dan dia, juga cerita tentang Mina.

Namun bukannya segera membahasnya, Yuta justru berkata, "Lautnya indah, ya?"

Tangan kanannya bergerak, membungkus tangan kiriku yang sedikit dingin karena angin. Air laut yang ia maksud menjilat kaki kami, buihnya menyusup ke sela-sela jari kaki, mengingatkanku pada patung putri duyung di taman Perselingkuhan. Hal-hal ringan, aku hanya ingin memikirkan yang seperti itu. Bukan cinta yang rumit, atau gelas yang pecah di rumah. Maka aku mengangguk tanpa suara.

"Tahu apa yang lebih indah?"

"Apa?" Aku mendampinginya berjalan di sepanjang tepi pantai yang sepi pengunjung karena bukan hari libur. Pantai bukanlah tempat favorit di musim dingin, tapi karena aku mencari ketenangan, aku tidak mengharapkan tempat lain. "Batu karangnya?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Senyumku," jawab Yuta, dengan kepercayaan diri yang rasanya lebih banyak dari ikan di laut. Ia menunjukkan senyum yang ia banggakan itu, sebelum aku memukulnya hingga hampir jatuh.

"Apaan sih!" Aku mendelik, pura-pura jengah meski itu tidak salah. Senyum Yuta memang indah. Healing smile-nya efektif menghilangkan segala resah. "Mina! Ayo ceritakan tentang Mina!"

"Haruskah?" Yuta bertanya walaupun mengerti tak bisa lagi menunda. Dia tahu aku akan terus mengungkitnya sampai rasa penasaranku luntur. "Namanya Mina Sharon Myoui. Lahir dan pernah tinggal di luar negeri sama sepertimu. Dia ... bisa dibilang princess di dunia nyata. Jenis orang yang bisa membuat orang lain iri."

Aku menyimak dengan seksama, mendengarkan tiap kata. Dalam kepalaku, muncul gambaran gadis muda yang wajahnya tidak terlalu khas Jepang. Gadis yang, dari cara Yuta membicarakannya, punya hubungan yang canggung dengan dia.

Mina, apa kau sesuai dugaanku?

"Keluarganya kaya, Rosie. Ayahnya sering masuk majalah bisnis dan berkali-kali diwawancarai TV nasional. Dia cantik. Warga kelas atas istilahnya. Aku bertemu Mina saat membawa Rapunzel vaksin di vet."

Oke, berarti kemungkinan Mina semacam sepupu jauh Yuta bisa dicoret. Ia orang baru dalam hidupnya, yang dipertemukan oleh Rapunzel, anjing manis yang sudah menerima hadiah dariku. Unik juga. Tidak biasa. Terdengar seperti sesuatu yang akan terjadi di drama.

"Dan?"

"Dia mantan pacarku."

Oh.

Ini adalah saat langka dimana aku tidak suka perkiraanku benar. Akan lebih baik jika Mina sekedar teman. Padahal wajar Yuta punya pacar. Aku tak bisa mengharapkan dia setia pada gadis yang meninggalkannya tanpa alasan. Pada aku, yang mengkhianatinya lebih dulu.

7 tahun itu sangat lama. Dia pasti kesepian tanpa pasangan. Seharusnya aku tak perlu cemburu.

Namun aku tetap cemburu.

Menyadari dirimu sudah digantikan adalah perasaan yang amat buruk.

"Seperti apa dia?"

Paham suasana hatiku berubah, Yuta tersenyum menenangkan. Berkata jangan khawatir lewat sentuhan tangannya di kulitku. Bahu kami yang bersentuhan menegaskan bahwa masa lalu tidak ada artinya. Dia bersamaku. Milikku. Begitupun sebaliknya.

"Sepertimu," ujar Yuta, sembari tertawa. Suaranya yang menyatu dengan debur ombak menjadi simfoni yang merdu. Memanjakan telingaku. "Kau patokanku, Rosie. Aku selalu mencari seseorang yang mirip denganmu; gadis yang mengumpat ketika kesal, tidak malu makan banyak di depanku, dan pemberani. Apa adanya."

Bayanganku buyar. 1 kata yang diucapkan Yuta dan deskripsinya bertentangan, membuatku bingung. "Aku kira dia anggun dan manis seperti princess?"

"Tidak, tidak." Yuta tertawa lebih keras, menoleh sekilas pada boneka alienku yang berperan sebagai penjaga sepatu kami. Ketiganya masih baik-baik saja. Jadi dia mengajakku berjalan lebih jauh. "Dia keras kepala. Mina menentang Ayahnya untuk jadi ballerina, dan membuktikan bisa sukses dalam bidang itu dengan uangnya sendiri."

Kalau aku bisa bersiul, aku pasti sudah bersiul sejak tadi. Tapi karena tidak bisa, aku hanya berkomentar singkat, "Wah, mandiri."

"Ya." Yuta menggeleng dengan isyarat lelah. "Saking mandirinya, dia membuatku merasa tidak dibutuhkan."

"Aduh." Gantian aku yang meringis, menepuk-nepuk punggungnya saat ia berlagak menangis. Rupanya bukan aku saja yang mengalami kegagalan dalam bercinta. Yuta juga. Hanya saja, reaksinya menjadikan suasana ini lucu alih-alih menyedihkan. "Bagaimana bisa?"

Yuta mengusap air mata khalayannya, beralih menendang-nendang air sampai celanaku basah. Mengharapkan dia diam terlalu lama sama saja berharap elang menyantap bangkai; tidak mungkin. "Ketika ada masalah, Mina lebih sering cerita pada temannya karena enggan merepotkanku. Hal yang sama terjadi waktu apartemennya mengalami kebakaran kecil, aku justru tahu itu dari Johnny. Dia tidak terbuka padaku, Rosie. Kadang dia sangat sibuk dengan baletnya hingga aku dilupakan. Lalu setelah itu, dia akan datang lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Mina tipe gadis yang bisa berdiri tanpa bantuan siapapun, termasuk aku."

"Itu bagus kan?" Aku membela Mina mengikuti naluri, ketika paham betapa miripnya kami. Kecemburuanku padanya hilang, berubah menjadi simpati. "Tak ada salahnya bersikap mandiri."

Yuta memukulku pelan, tepat di bagian tengah keningku, disertai kekehan geli. "Aku setuju. Tapi jangan sampai berlebihan. Itu akan memberi kesan kalau pacarnya tidak berguna atau tidak cukup dipercaya."

"Mana ada yang namanya 'mandiri berlebihan'!" Aku protes, mengelak dari siraman Yuta sebelum mengenai bajuku. Kemudian ia berjongkok, mengisyaratkanku supaya naik, yang aku turuti dengan senang hati. "Menghadapi gadis seperti itu, kau perlu memberinya lebih banyak perhatian, jangan menyerah dan minta putus!"

"Dia yang minta." Yuta mengakui, kembali menampilkan tampang sedih yang kocak. "Ceritanya panjang, tapi intinya Mina ingin kami melangkah ke jenjang yang lebih serius. Sebagai sesama orang dewasa, katanya. Untuk apa menunggu?"

"Dan kau tidak mau?"

"Tidak siap," ralat Yuta, menghindari tidak hanya tuduhanku, tapi juga cangkang kerang yang agak terbenam dalam pasir.  "Waktu itu usia hubungan kami baru setahun, menurutku terlalu awal. Aku tidak mau main-main soal pertunangan, apalagi pernikahan. Sayangnya Mina malah berpendapat aku belum move on darimu, dan tidak betul-betul mencintainya. Ya sudah, kami putus."

Setahun. Aku tidak tahu harus lebih terkejut karena apa; lamanya mereka bersama, atau fakta bahwa aku terlibat dalam kandasnya hubungan Yuta dengan gadis yang tidak kukenal. Memang apa yang kulakukan? Membuat Mina cemburu lewat lukisanku? Tapi kalau pacarmu menyimpan lukisan mantan selama kalian berhubungan, pasti tidak enak juga ya...

"Kau mencintainya?" Aku menanyakan hal terpenting sekaligus yang paling menakutkan bagiku. Terlalu penasaran untuk menyimpannya dalam benakku saja. Karena ada banyak sekali jenis cinta; cinta platonis, cinta karena membutuhkan, atau cinta yang hadir karena terbiasa.

Jujur saja, aku tak percaya diri.

Aku menyembunyikan wajahku di leher Yuta yang hangat sewaktu ia menjawab, "Dulu kupikir iya, sekarang tidak."

"Kenapa...?"

Kedikan bahu Yuta mendahului jawaban dari bibirnya. "Alasannya sederhana; aku tidak sedih saat kami putus, cuma menyesal karena tidak bisa membuatnya bahagia. Berbeda denganmu."

Ingatanku serta-merta melayang pada telepon Momoka.

"Yuta murung terus..."

"Tidak semangat makan..."

"Membakar lukisannya. Semua. Bahkan ada yang di robek dengan pisau..."

Cintanya padaku ternyata sebesar itu. Masih sangat kuat. Tidak hilang meski ia berada dalam pelukan gadis lain selama setahun.

Johnny benar一cinta milik Yuta adalah cinta sejati.

Aku menatapnya dari samping. "Jadi kalau aku mau ikut denganmu ke Jepang boleh tidak?"

Jeda. Yuta berdecak, menurunkanku dari punggungnya. Ia memilih menatapku langsung saat memberi jawabannya, mencubit kedua pipiku. Satu hal lagi yang takkan hilang; kebiasaan kecil ini. "Seharusnya aku yang bertanya begitu. Roseanne 'Rosie' Park, kalau aku mengajakmu ke Jepang, kau akan bilang apa?"

Kupu-kupu berterbangan di perutku mendengar kalimat itu; bukan jenis biasa, melainkan kupu-kupu bersayap biru seperti cincin yang ia beri. Kesedihan dari Jaehyun lenyap, digantikan semangat baru.

Satu kakiku kini berada di kapalnya, tapi aku tak ingin menariknya kembali. Aku tersenyum. Aku nyaris melompat-lompat. Jika menuruti kegilaan, aku pasti sudah menyeretnya menuju bandara sekarang.

"Yuta," aku mengecupnya untuk kedua kali, tepat di bibir. Kemudian pipi. Kemudian dagu. Wajah tampan milik orang yang kucintai, si pencuri hati. "Aku akan bilang, 'ayo kita pergi kesana, bersama'."

Seumur hidup, rasanya aku tak pernah seyakin itu.

Yuta memelukku, lebih erat, jauh lebih erat dari biasanya. Saat dia merengkuh pinggangku, aku merasa seperti sedang memanjat tangga yang akan membantuku keluar dari lubang hitam ini. Sepotong tali penyelamat. Sebuah lentera. Pelukan yang terasa sangat pas, dia tambah dengan untaian janji manis. "Aku akan membawamu keluar dari sini, Rosie. Tempat ini bukan untukmu. Kau berharga, kau berarti, dan kau layak berada di tempat yang akan memperlakukanmu dengan lebih baik."

Suaraku teredam dada Yuta saat membalas ucapannya. "Tidak akan ada lagi Rose si wanita murahan atau anak tidak berguna?"

Yuta melepas pelukan kami mendengar kata-kata yang kudengar dari teman-temanku, bahkan ibu. Rambutku yang tidak diikat berterbangan kemana-mana, dan ia menyelipkannya ke belakang telinga. "Orang-orang sebaiknya tidak mengatakan itu bila aku berada di dekatmu."

Kepalaku mendongak ke langit dan aku tertawa. "Senang rasanya punya pahlawan pribadi."

"Mulai sekarang kau akan selalu punya." Dia berkata serius, yang tentu saja, tidak pernah bertahan lama karena selanjutnya dia nyengir dan memberikan ponselnya padaku. "Tapi untuk saat ini, pahlawanmu harus ke kamar mandi. Di mana tempatnya?"

Aku mengerutkan hidung. "Kurasa di tempat kita melihat kelapa tadi."

"Kau mau?"

"Apa? Ke kamar mandi juga?"

Yuta memutar bola matanya menanggapi leluconku yang tidak tertolong. "Satu alasan lagi kenapa kau harus cepat pergi; supaya aku bisa mengajarimu cara melawak yang benar." Lantas dia mundur dan melambai. "Aku segera kembali."

Aku menyaksikan dia makin lama makin menjauh. Kakinya meninggalkan jejak samar di pasir, sebelum terhapus oleh debur ombak. Kemeja birunya mengibas-ngibas tertiup angin. Seiring waktu, sosoknya jadi titik kecil berwarna biru karena dia berlari一yang tidak mengherankan, Yuta selalu jadi pelari yang cepat sejak dia SMA.

Bibirku tidak bisa tidak tersenyum memperhatikan itu, sekaligus ingat seberapa lincah dia dulu saat bermain bola di lapangan sekolah.

Bersamaan dengan itu, suara jepretan kamera terdengar dari belakang, membuatku refleks berbalik.

"Halo, Rose."

Aku mengerjap. Silau oleh sinar itu yang sejanak, memaksaku untuk memejamkan mata.

"Tersenyumlah. Kurasa Jaehyun lebih suka melihatmu tersenyum."

Seorang gadis berpakaian modis, yang penampilannya terkesan ganjil di pantai ini karena dia terlihat seperti akan mendatangi fashion show, mengangkat kamera ponsel miliknya dan memotretku sekali lagi.

Jung Chaeyeon, si teman lama.

Cuma mau bilang, gua suka banget sama rambut panjang Yuta

Trus ini juga

Dah cocoque jadi bintang iklan Dove belom? 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top