38. Gelas Yang Pecah
Note : foto di part ini karya @winnieyaa ya. Auk ah dia baek banget, baru baca ini tapi udah mau repot2 bikin editan yurose buat bahan halu gua, huhuhu sekali lagi makasih ea! Silahkan cek ig-nya kawan, buat nyegerin mata 😳👍
Ponsel itu bergetar dan bergetar di genggamanku一seperti hewan yang keracunan dan sekarat.
Aku menatapnya. Aku hanya menatapnya. Melihat tulisan "elang" muncul di layar, berusaha menghubungiku untuk ketiga kalinya. Bukan Yuta namanya kalau menyerah begitu saja. Kadang aku bertanya-tanya, apakah semua kesamaan kami-lah yang membuatku tertarik padanya? Karena aku tanpa sadar sudah melihat diriku sendiri dalam dirinya?
Keras kepala. Pembangkang. Benci diatur. Kami ibarat cermin. Sementara Jaehyun justru sangat berbeda denganku. Aku setuju jika dalam sebuah hubungan, perbedaan itu diperlukan, tapi jika terlalu banyak, apa jadinya?
Pasangan itu akan terus berbenturan. Saling menyakiti karena 1 pihak sering mengalah. Kesulitan memahami satu sama lain. Tak ubahnya air dan minyak.
Itulah yang terjadi di rumah ini. Itulah yang terjadi pada kami.
Aku membenturkan kepalaku ke dinding kamar mandi beberapa kali, kembali bersembunyi dari Jaehyun dan Lily. Sejujurnya, aku bingung harus senang atau tidak karena Yuta mendengar percakapan tadi. Perasaanku kacau berantakan. Dadaku ditikam kekecewaan.
Tapi aku sadar aku tidak bisa terus menghindari Yuta, tak ada gunanya pula. Aku butuh dia, untuk memperbaiki hatiku yang telah dirusak lagi oleh pria yang sedang makan di meja dapur.
Jaehyun tak bisa menyalahkanku karena melakukan ini. Dialah yang mendorongku untuk melakukan ini.
Kau yang salah, Jaehyun.
Aku mengusap air mataku sebelum sempat menetes, menjernihkan tenggorokanku, lalu akhirnya一setelah 5 kali一menerima panggilan dari Yuta.
"Halo?"
Dia diam. Mula-mula diam. Helaan napasnya terdengar berat di seberang sana. Seolah ia turut merasakan rasa sakitku.
Tidak, bukan seolah, Yuta pasti mengerti.
"Aku baik-baik saja, Yuta. Jangan khawatir. Ini cuma masalah kecil kok."
"Menurutku tidak begitu." Seandainya suara Yuta punya pengaruh pada cuaca, seluruh Korea pasti sudah diselimuti salju karena dinginnya nada yang ia gunakan. "Kau tidak baik-baik saja, Rosie. Kirim alamatmu, aku akan menjemputmu dari kubangan sampah itu."
Kubangan sampah?
Aku tertawa, melirik keseluruhan kamar mandiku yang lebih mirip kamar mandi hotel berbintang. Ini bukan kubangan sampah. Ini sangkar berlapis emas yang sudah mengurungkan begitu lama. Mewah, sekaligus mencekik.
"Tidak perlu." Aku menunduk, mengusap hidungku yang terasa gatal. "Jaehyun belum berangkat, kau mau apa? Bertengkar dengannya lagi?"
"Rosie." Yuta menggeram, mengucapkan namaku dari sela-sela gigi yang terkatup. Kemarahannya adalah angin yang semakin kencang dan jadi lebih kencang lagi. Dia membiarkannya tidak terkendali, siap menghancurkan apa saja. Seekor elang perkasa di tengah badai, berteman dengannya. "Kirim alamatmu sekarang, kau dengar aku? Jangan membantah kalau kau masih mau bicara denganku."
"Iya..." Aku menutup mulutku menahan isakan. Tidak bisa menangis dengan bebas meski berada di rumah. Mungkin tempat ini sebenarnya tak pernah menjadi rumahku, hanya tempat singgah sesaat yang tidak membuatku betah. "Iya, Yuta, datanglah kesini. Tolong jemput aku ... kumohon..."
"Segera." Yuta berjanji. Diiringi keteguhan yang sangat kuat, senyata udara yang kuhirup. "Tunggu aku sebentar, Rosie."
Selalu, aku percaya padanya.
Kami saling mengakhiri panggilan setelah aku memberitahunya lokasiku. Ini nekat, tapi aku tak peduli. Ini gila, tapi aku putus asa. Apa yang terjadi, maka terjadilah.
Aku keluar dari kamar mandi usai memperbaiki penampilanku, berganti peran dari wanita yang hancur menjadi istri dan ibu yang ceria. Aku sudah sangat pandai melakukannya, kurasa aku punya peluang jadi artis. Berakting ternyata tidak sesulit perkiraanku.
Aku tersenyum pada Jaehyun. Aku menanggapi semua celoteh Lily. Namun ketika Jaehyun menciumku sesaat sebelum berangkat kerja, aku tak bisa mencegah diriku untuk memalingkan wajah.
Jaehyun, kau menyakitiku.
Kalau takdir sedang melucu, Jaehyun dan Yuta bisa saja bertemu.
Lalu api permusuhan mereka akan menyala lagi一jauh lebih besar, mungkin sampai menimbulkan ledakan yang tidak hanya berimbas pada kami bertiga, tapi juga Lily, tokoh baru dalam kisah lama ini.
Yuta datang seperti hujan di hari yang cerah; begitu mendadak, mengagetkan.
Aku tidak menduga dia akan tiba secepat ini, belum genap 5 menit setelah Jaehyun pergi. Tanganku tengah membereskan peralatan makan saat pintu terbuka, disusul langkah kaki yang sudah begitu akrab.
Drap, drap.
Ia mendekat. Muncul di dapurku dan menatap keseluruhan tempat ini dengan tatapan merendahkan. Mengamati, menilai. Lalu mengernyit, menunjukkan ia tidak suka. Jarak rumah dan Geonam-dong cukup jauh, jadi pastilah ia hanya bersiap-siap sebentar, sebelum mengebut kemari. Rambutnya yang disisir asal-asalan menjadi buktinya.
Suaranya yang tidak ramah bertanya, "Mana Jaehyun?"
Si pemberani. Selingkuhan yang tidak kenal takut.
"Kau terlambat," jawabku, seraya mengambil gelas susu Lily yang hanya tinggal beberapa tetes. Aku mengangkatnya hingga sejajar dengan wajah, mengamati cairan cokelat di dalamnya terombang-ambing mengikuti gerakanku. Bayangan Yuta jadi tampak lucu jika dilihat dengan cara ini. "Dia sudah pergi."
Yuta menggeleng, mengusap dahinya dalam usaha untuk menenangkan diri. Tapi begitu melihat salah satu foto keluargaku一ulang tahun Lily tahun kemarin, dimana Jaehyun tersenyum di foto itu一umpatan akhirnya keluar dari mulutnya. "Kusattare! Tuhan itu memang adil. Jaehyun punya wajah tampan dan kekayaan, tapi supaya tidak terlalu sempurna, Dia memberinya otak yang tidak cukup pintar untuk berpikir bahwa kau butuh kebebasan. Kenapa tidak sekalian saja meletakkanmu dalam sangkar? Tolol."
"Sudahlah." Aku merentangkan lengan memeluknya, terlalu malas membela Jaehyun atau menertawakannya. Gelas terjepit di antara kami selagi aku menghirup parfum yang menguar darinya. Tubuh Yuta yang tidak setinggi Jaehyun memudahkanku untuk mengistirahatkan kepala di bahunya. "Itu tidak penting."
Padahal penting.
Kebebasan itu bersifat mutlak, hak semua manusia一juga hewan一bahkan sebelum lahir. Jaehyun tidak berhak merenggutnya dariku, tak peduli apa statusnya. Tapi aku tak ingin membicarakan ini, karena hanya menghadirkan rasa kasihan pada diri sendiri. Dan itu, merupakan yang terburuk dari semuanya.
"Tentu saja penting, Rosie." Yuta menggerutu, tidak setuju. Menatap tajam Jaehyun di foto seperti petinju yang akan mematahkan tulang lawannya. Aku benar-benar bersyukur Jaehyun sudah berangkat. Pertemuan mereka tak diragukan lagi, pasti berakhir buruk, tak peduli meski mereka sama-sama sudah dewasa. "Sudahlah, kita pergi saja. Kau bisa gila kalau lama-lama terkurung disini."
"Sebentar." Aku berbalik, hendak meletakkan gelas dan piring kotor lain di tempatnya, juga menata sisa lauk yang tidak habis di rak makanan. Meski sangat ingin, aku tak bisa pergi seenaknya. "Aku harus一"
Yuta memotong ucapanku, tidak dengan kata-kata, melainkan tindakan; sebelum aku sempat mengantisipasi, ia lebih dulu merebut gelas dalam genggamanku dan melemparnya dengan keras ke dinding. Memecahkannya seketika. 1 gelas utuh, langsung hancur menjadi puluhan bagian yang merosot dari dinding, hingga ke lantai. Beberapa serpihan terkecil menyebar lebih jauh ke bawah meja. Sementara pecahan yang lebih besar teronggok menyerupai bagian tajam pisau yang bisa melukai. Berbahaya. Untukku. Untuk kami.
Aku terkesiap menyaksikannya. "Yuta!"
Sedikitpun, Yuta tidak terlihat menyesal. Apa yang tercermin di matanya adalah kepuasan murni. Segera, dia menarik tanganku yang kini bebas, menuju ke arah pintu keluar. "Kita pergi. Sekarang. Biar Jaehyun yang mengurus itu."
"Lalu bagaimana dengan Lily?" Aku mengeluarkan ponselku dari saku dan melirik layarnya. Masih ada 5 jam sebelum sekolah Lily usai, tapi mengingat banyaknya waktu yang pernah kuhabiskan dengan Yuta, aku takut itu tidak cukup dan akan membuat kami pulang terlambat. Lily pasti kebingungan kalau tidak mendapati aku di rumah nanti.
Namun, pertanyaan tersebut malah semakin memicu kemarahan Yuta. Aku salah jika mengira ia tak bisa lebih marah dari ini. "Hidupmu adalah milikmu, Rosie, bukan orang lain! Bahkan seorang ibu pun harus memikirkan dirinya sendiri. Apa kau ingat kapan terakhir kali kau bebas jalan-jalan tanpa mengkhawatirkan siapapun?"
Jawabannya adalah tidak.
Sesederhana itu. Aku tak perlu berpikir lama atau ragu. Karena meski aku tak mengharapkan ini, aku melakukan tugasku dengan baik. Gambaran saat aku makan sambil menyuapi Lily, membatalkan janji ke bioskop karena takut mengganggu orang lain dengan tangis bayi, atau saat aku buru-buru pulang dari liburan dengan Alice setelah Jaehyun bilang Lily sakit, masih sangat segar dalam ingatanku.
Kalimat Yuta tadi terasa seperti tamparan.
Membuatku bingung, sebenarnya hidup macan apa yang kujalani selama ini?
Mereka yang belum menikah kebanyakan mengira menjadi ibu rumah tangga itu menyenangkan. Mengurus anak, rumah, lalu bersantai. Pasti itu yang mereka bayangkan. Mudah. Namun pernahkah orang-orang itu berpikir bahwa hal yang dilakukan terus-menerus bisa jadi membosankan, bahkan bersantai sekalipun?
Jam-jam kosong ketika kau tak melakukan apapun akan membunuhmu perlahan, membuatmu merindukan masa-masa sebelum menikah, ketika kau hanya perlu mengkhawatirkan 2 hal : dirimu sendiri, dan impianmu.
Jadi jika kau tetap berharap jadi ibu rumah tangga, maka pastikan kau tak punya suara jahat dalam kepalamu yang berbisik bahwa hidupmu menyedihkan.
Hati-hati pada apa yang kau harap, karena kau mungkin menyesalinya.
Kami berkendara一sepasang jiwa yang seharusnya bersama. Kepingan puzzle yang sempurna. Tanpa tujuan. Melanggar aturan.
Sssst, ini petualangan, katanya.
Aku dan dia. Melupakan sejenak bahwa aku memiliki segudang tanggung jawab, bahwa aku seorang ibu dan istri. Juga kenyataan, bahwa kami tak punya hubungan lagi.
Aku tak memikirkannya一aku tidak bisa memikirkannya, sungguh. Karena saat aku berjalan bersama Yuta, setelah kami singgah di sebuah toko boneka yang sangat jauh dari rumah, hal terakhir yang ada di kepalaku hanya kebahagiaan yang membuncah, sangat banyak, banyak, hingga meluap-luap.
Dia membelikanku boneka alien biru yang memiliki satu antena. Sedikit aneh memang, tak heran dia tertawa melihatnya. Tapi aku suka karena makhluk itu jadi seperti memakai baling-baling bambu Doraemon.
"Seleramu memang tidak biasa," Yuta mengejek, menjewer telinga boneka milikku sebelum aku balas memukulnya. "Pantas saja kau bisa bertahan dengan Jaehyun sampai 7 tahun."
"Tapi aku mencintaimu," sahutku cepat, tidak menunduk, tidak memelankan suara. Aku menatapnya lekat-lekat, agar ia tahu aku tidak bercanda. "Aku mencintaimu. Bukan dia."
"Aku juga."
Angin kencang berhembus, menyapa kami saat Yuta merespon tak kalah serius. Angin itu mungkin berasal dari pantai, yang tak jauh dari sini. Pemilik toko boneka tadi yang bilang, dia menyarankan kami ke pantai itu, yang dia klaim bisa menyegarkan pikiran.
Angin tersebut kemudian menggerakkan rambut Yuta hingga menutupi mata. Aku, didorong refleks, membetulkannya dengan jari-jariku, merapikannya lagi. Tapi setelah selesai, Yuta justru menahan tanganku, mengecupnya dengan lembut, seolah seluruh dunia dan isinya tidak penting.
Tindakan yang sama pernah dilakukan Jaehyun di rumah sakit. Bedanya, bersama Yuta, hal ini jadi lebih indah.
"Aku juga mencintaimu, Rosie. Bodoh sekali kan? Padahal kau sudah menikah, dan aku bisa menemukan penggantimu kalau aku mau. Tapi aku tidak bisa一apalagi setelah semua ini. Boleh tidak kalau aku jadi jahat dan berharap kau dan Jaehyun berpisah?"
Hatiku rasanya terpilin.
Rasa sakit dari masa lalu kini kembali; lebih kuat, lebih dahsyat. Sebenarnya tak pernah pergi. Selalu ada, selalu menemani. Aku hanya telah belajar bagaimana cara untuk berdamai dengannya, meyakinkan diri bahwa aku akan menebusnya nanti.
Tapi hadirnya Lily menjadi rintangan bagi kami.
Wajah putriku mendadak muncul, mencegahku menyetujui ucapan Yuta. Mama, apa Mama tidak sayang padaku? Aku terpaksa mengalihkan topik karena tidak tahu harus menjawab apa. "Penggantiku? Siapa itu? Seseorang yang namanya Mina, ya?"
Yuta nyaris tersedak ludahnya sendiri mendengar nama itu. Nama sederhana yang telah dipakai banyak orang, tapi tetap cantik, seperti Rose.
Aku penasaran apa Mina juga punya arti yang sama denganku. Ini adalah saat yang tepat untuk mencari tahu. Menggali sedikit demi sedikit masa lalu Yuta, saat kami masih begitu jauh.
"Kau tahu darimana soal Mina? Oooh...!" Yuta awalnya bingung, tapi setelah ingat, ia menepuk dahinya sambil tertawa. "Johnny kan? Kau mendengar percakapanku dengan Johnny?"
Aku mengangguk, memeluk boneka alienku lebih erat, mempersiapkan diri untuk jawabannya. "Jadi siapa dia?"
"Mina," Yuta menggaruk kepalanya sambil menatap langit sejenak; kanvas indah yang dilukis oleh Tuhan. Ada banyak gambar yang bisa kau temukan kalau mengamati. Awan-awan itu merupakan karya seni yang bisa menjadi apa saja, tergantung sudut pandang tiap orang. "Mina adalah..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top