37. Elang

Kalau kebohongan punya rasa, menurutku rasanya akan seperti besi berkarat; pahit, tajam, memuakkan.

Dalam kurun waktu 25 tahun, aku sudah berulangkali mencicipinya. Awalnya dari keinginan untuk terhindar dari masalah, menyalahkan Alice atas kekacauan yang kubuat. Tak lebih dari sekedar insting anak kecil yang enggan dimarahi. Lalu beranjak remaja, berubah untuk alasan-alasan yang kurang terpuji.

Aku mau mengerjakan tugas, bu. Padahal aku pergi berbelanja.

Tadi ada kelas tambahan. Padahal yang sebenarnya terjadi; aku bersenang-senang di pesta.

Semakin dewasa, aku semakin mahir berbohong. Aku tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Aku tahu bagaimana membuat orang lain mempercayaiku. Di dunia ini, hanya sedikit orang yang tahu kapan tepatnya aku berkata jujur.

Ibu sudah pasti masuk dalam daftar, mendapat predikat pertama. Alice di posisi 2, dengan mata memicingnya yang tajam.

Jaehyun? Tidak.

7 tahun menikah, aku sering berbohong padanya. Untuk alasan yang sederhana; ingin sendirian. Ingin libur menjadi ibu dan istri. Ingin jalan-jalan tanpa gangguan.

Sebaliknya, Yuta ada di nomor selanjutnya. Nomor 3.

Aku ingat pernah gagal merancang kejutan ulang tahunnya, karena ia lebih dulu mengendusnya. Atau saat aku pura-pura menghilangkan buku sketsanya. Hal yang sama berlaku ketika aku menyimpan masalah, dia akan langsung tahu.

Inilah yang membuatku ragu untuk menelpon Yuta. Bingung harus jujur atau mengarang alasan yang akan membuatnya tenang.

'Shoujiki wa isshou no takara'.

Dia mengajariku supaya jujur. Mengatakan kebenaran meski di saat yang tidak terasa benar. Sebab, kebohongan hanya akan melindungimu sementara. Lalu kembali untuk menghancurkanmu saat kau kira semua sudah usai. Dia menipu. Tapi kebenaran tidak. Kau hanya akan merasakan sakit di awal, setelahnya, ketenangan.

Baiklah, jujur saja kalau begitu.

Ragu-ragu, aku melirik ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Sinar lampu menyusup dari celah bagian bawahnya. Jaehyun dan Lily belum bangun. Ini saat yang tepat untuk minta maaf pada Yuta. Semakin cepat, semakin baik, agar dia tahu betapa aku menyesal.

Aku meraih ponselku, mencari kontak bernama "elang" dan menelponnya.

Elang. Sang hewan pemberani yang mampu terbang tinggi, setia, dan yang paling luar biasa, berteman dengan badai. Tidak seperti burung lain, elang menyukai tantangan dan angin kencang, sehingga ia selalu mencari badai untuk mengistirahatkan sayapnya.

Menurutku, itu cocok untuk Yuta.

Panggilan diterima setelah 3 kali percobaan, namun yang mengangkat bukanlah Yuta. Suara asing sekaligus tidak menyapa telingaku.

"Halooo? Johnny di sini. Ada yang bisa kubantu?"

Aku tak bisa menahan senyum. Johnny yang sudah bersikap baik dan ramah padaku di pertemuan pertama. Aku ingin bertemu dengannya lagi. "Mm ... Yuta?"

"Sedang tidur. Atau pingsan. Tidak ada bedanya. Tunggu sebentar."

Pukul 06.05. Ini jelas masih terlalu pagi untuk Yuta yang merupakan makhluk nokturnal. Aku cepat-cepat menggeleng. "Tidak, tidak perlu一"

Tapi Johnny ternyata tidak mendengarnya. Dia lebih dulu berteriak, "YUTA, BANGUN BERENGSEK!" disusul suara gedebuk yang membuatku bertanya-tanya apa yang dia lakukan.

Apapun itu, usahanya terbukti efektif membangunkan Yuta walaupun diiringi sumpah serapah dalam bahasa Jepang.

"Santai dong, pendek. Marah-marah terus tidak baik buat kesehatan. Ada yang menelponmu nih."

"Siapa?" Yuta bertanya, dengan jejak kantuk yang belum menghilang.

"Mina, dia mau pamer cincin pertunangan," jawab Johnny, terbahak keras yang terdengar seperti "bwahahaha!".

Sementara aku bertanya-tanya siapa itu Mina. Teman? Mantan? Aku belum tahu terlalu banyak tentang Yuta versi dewasa, terutama mengenai hal-hal yang berlabel penting. Rasa penasaran bergelantungan di otakku, menggoda dan mengejek di saat yang sama. Kemungkinan Yuta berkencan dengan gadis lain sangat besar. Dia tampan. Dia baik. Dia punya segalanya.

Lagi-lagi, kenapa aku tidak pernah menanyakannya? Kemudian aku sadar bahwa aku tidak siap mendengarnya.

"Minggat sana," gerutu Yuta, lupa apartemen siapa yang dia tempati. Bayangan wajahnya yang sedang melotot galak langsung muncul di kepalaku. "Sebelum aku menendang pantat jelekmu."

"Menendang dengan apa?" Sahut Johnny, menanggapinya dengan tawa. "Kakimu yang pendek?"

Suara gedebuk tadi kembali menyusup ke telingaku untuk kedua kalinya. Kali ini mereka lebih ribut sampai menjatuhkan sesuatu. Atau mungkin itu seseorang, karena selanjutnya Johnny mengeluh dan Yuta mengambil alih ponselnya. "Rosie?"

Suaranya berubah lebih lembut.

Di pagi yang dingin ini, hatiku menghangat karena reaksi itu. "Maaf mengganggu tidurmu."

"Kemana saja kemarin? Aku menunggumu."

Aku menunduk. Rasanya seolah ada gumpalan besar yang tersangkut di tenggorokanku, menghalangi kata maaf yang akan kukeluarkan. "Yuta," suaraku bergetar dan aku benci itu. "Semalam, aku tertidur dengan Jaehyun dan"

Aku berhenti. Apa yang sudah kukatakan?

Aku menutup wajahku menggunakan tangan. Ini seperti kembali ke masa lalu tapi dengan cara yang lebih buruk; berusia 16 tahun lagi, tak bisa memilih antara Yuta dan Jaehyun. Selama bertahun-tahun, rupanya aku tumbuh dewasa sangat sedikit dan itu membuatku malu. "Maaf." Di detik ini suaraku pecah. "Aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Aku tertidur. Itu tidak sengaja, sungguh! Hanya saja一"

"Tidak apa-apa, itu bukan masalah besar."

"Kau juga bilang begitu soal kartu nama!" Sekarang aku membingungkan diriku sendiri dengan balik memarahi orang yang tidak bersalah. "Kenapa kau santai sekali? Kau seharusnya marah padaku!"

Mengganti posisinya, berjalan ke suatu tempat, Yuta memberiku tawa ringan. "Kau jujur. Itu hal yang bagus."

"Tapi..."

Yuta menyeruput kopi paginya hari itu, aku yakin karena tidak seperti Jaehyun, dia lebih suka kopi dibanding minuman lain. "Tidak perlu merasa tidak enak. Saat ini, aku tidak punya hak untuk marah. Kau istrinya. Dia suamimu. Aku mengerti."

Tubuhku merosot dan aku harus berpegangan pada tepi meja makan agar tidak jatuh. Lewat permukaannya, aku melihat wanita muda yang matanya menunjukkan kebenaran kata-kata Yuta; memancarkan kesedihan. Bibir wanita itu tertekuk ke bawah dalam gerakan yang mungkin bertahan abadi. Wajahnya kuyu, begitu ... tidak bersemangat sampai aku tidak tahan menatapnya terlalu lama. "Adakah sesuatu yang bisa kulakukan untukmu?"

Yuta dengan lihai mengalihkan topik mendengar permohonan dalam nada suaraku. "Ayo kita ke jimjilbang, kau yang harus membayarnya, barulah kita impas."

"Jimjilbang?"

Jimjilbang, sauna dan spa khas Korea, yang sering membuat penampilan spesial di drama. Dengan berbagai fasilitas yang beragam mulai dari kolam air panas, stan makanan, ruang tidur dan banyak lagi.

Aku mencari-cari ke dalam ingatan kapan terakhir kali kesana, tapi yang terlintas di benakku adalah bayangan seorang wanita yang duduk di sofa, menonton acara komedi yang ia harap dapat membuatnya tertawa, sekaligus menunggu putri dan suaminya pulang. Aku tidak ingat.

"Baiklah一"

Aku membuka mulut, hendak menyetujui ajakan Yuta, namun suara langkah kaki yang mendekat mengurungkan niat itu dan Jaehyun muncul, mau tidak mau, memutus komunikasi kami.

"Nanti kutelepon lagi."

Aku berpamitan tanpa menyebut namanya, lantas mengakhiri panggilan diam-diam, tanpa melihatnya.

"Pagi," sapa Jaehyun. "Apa sarapannya?"

"Pancake?" Aku nyengir sambil menunjuk pancake yang telah matang di meja, masih hangat. Hanya tinggal diberi madu dan buah.

Jaehyun tersenyum. Dia suka. Dia tidak pilih-pilih makanan. Dengan patuh duduk di kursinya yang biasa sebelum menyadari Lily tidak ada. "Lily belum bangun?"

"Sudah. Pasti sebentar lagi keluar. Kau duduk saja." Aku menggenggam ujung jas tangan Jaehyun, mencegahnya ketika dia  akan menyusul Lily. "Aku mau bicara."

"Oke." Senyum Jaehyun belum luntur saat ia meletakkan garpu yang akan ia gunakan. Ini kesempatan bagus karena suasana hatinya sedang bagus pula. Aku harus mengatakannya. Harus berani.

Jadi aku menarik napas panjang, mengumpulkan nyali. Menyentuh tangannya yang berada dekat denganku, memberi remasan lembut. "Kalau一hanya kalau, ya一aku ingin..." Aku harus berhenti disini. Gugup setengah mati. Penolakan adalah hal yang asing untukku; biasanya dia selalu mengiyakan keinganku, tapi aku khawatir kali ini berbeda. "Aku ingin ... kuliah ... menurutmu bagaimana?"

Terjadi keheningan.

Aku memperhatikan setiap perubahan kecil ekspresi Jaehyun baik-baik, menebak jawaban sebelum ia mengatakannya; kerutan di kening, senyum yang menghilang, alis yang nyaris bertaut. Apakah ini pertanda buruk? "Kenapa tiba-tiba?"

Tanggapan ini bukanlah sesuatu yang kubayangkan sebelumnya. Tanggapan ini membuat punggungku berkeringat. Aku takut, aku takut. Rasanya seperti berada di tepi jurang dan menunggu Jaehyun untuk menyelamatkanku.

Aku berusaha tetap berpikir positif. "Tidak ada apa-apa sih. Tapi kan sekarang Lily sudah cukup besar ... mungkin aku bisa kuliah? Aku akan mengambil kelas pagi saat dia sekolah. Dan jika terpaksa, kita bisa menitipkan dia pada ibumu, atau mencari pengasuh yang benar-benar kompeten. Kalau perlu memasang cctv di rumah. Boleh...?"

Jaehyun diam. Lama sekali.

Keheningan ternyata bisa sangat menakutkan. Mengisi pikiranku dengan berbagai asumsi buruk. Tapi yang benar saja. Ini Jaehyun! Dia baik一selalu baik padaku. Dia akan mengerti dan setuju. Memberi kebebasan agar aku bisa bernapas. Memberiku kesempatan. Dia tidak punya alasan untuk menolak.

Dia tidak akan menolaknya一aku yakin.

Tapi perkiraanku salah.

"Bukannya aku tidak memperbolehkan, Rose."

Ucapannya jatuh seperti bola penghancur yang meluluhlantakkan harapan yang kubangun dengan hati-hati. Membuat tanganku terlepas dari tangannya dan menggantung bagai benda tak berguna di samping tubuh. Aku mendadak merasa kehilangan arah. Tanah di kakiku amblas dan menelanku bulat-bulat.

Halo lagi, lubang hitam.

"Tapi kau tahu sendiri usia 0 sampai 12 tahun adalah fase penting dalam pertumbuhan anak-anak. Lily masih sangat membutuhkanmu. Dan ibuku..." Jaehyun meringis. "Dia menyukai Lily, tapi punya kesibukan sendiri. Aku khawatir kita tidak bisa melakukan itu."

Aku menatapnya dengan tatapan kosong. Kata-katanya tidak bisa kupahami. Aku ingin marah, berdiri dan mengguncang tubuhnya, bertanya kapan dia akan melihatku sebagai manusia, bukan cuma ibu bagi Lily. Aku ingin berteriak padanya bahwa aku sudah memikirkan Lily, sialan, sampai mengorbankan masa depanku malah!

Dan dia pikir itu tidak cukup?

Harus sampai dimana pengorbananku?

"Lagipula untuk apa?" Jaehyun bertanya ringan, berusaha menghiburku dengan kalimat yang payah. "Kau mau kuliah supaya bisa bekerja? Rose, itu tidak perlu."

PERLU. Aku menjerit dalam hati. Marah pada diriku sendiri karena mulutku justru terkunci. Pada iblis yang tertawa tepat di telingaku, berujar, "Apa kubilang. Kau seharusnya tidak usah mencoba."

Darahku rasanya mendidih karena amarah. Bukan jenis amarah yang biasa kurasakan, tapi amarah dingin yang bercampur kekecewaan. Menggerogoti simpati yang kumiliki untuk Jaehyun, memusnahkannya.

"Kita tidak punya masalah finansial," lanjut Jaehyun. "Aku bisa membiayaimu. Sekarang dan nanti. Kalau bosan, kau bisa pergi ke gym atau kelas yoga atau berbelanja. Pilih saja. Aku akan membayarnya. Apa kau kekurangan uang?"

"Tidak..." Aku berhasil memaksakan kata ini meluncur dari bibirku yang kelu, dengan suara yang amat pelan. Kuku-kuku jariku menancap di telapak tangan, menyebabkan rasa sakit hingga menghilangkan desakan untuk menangis.

Lalu, menghadirkan senyum palsu.

Namun seperti biasa, Jaehyun tertipu. Menganggapku baik-baik saja. "Kalau kau butuh uang katakan padaku, ya? Mencari uang itu tugasku, kau tidak perlu khawatir."

Aku mengangguk, merasa sedikit linglung. Itu, dan sesak. Paru-paruku seakan menyempit. Aku seperti di lempar ke sebuah sangkar gelap yang tidak menyediakan banyak udara. Tapi kalau dipikir-pikir, apa bedanya? Aku adalah gurita, yang berhasil bertahan dari proses kehamilan yang menyakitkan, dengan tentakel sehat yang masih bisa dan layak digunakan, tapi berada dalam sangkar emas. Aku terperangkap. Tak bisa mengarungi lautan luas.

Bingung dan canggung, aku meraih gelas air di depanku dan menghabiskannya. Tanganku yang lain mencengkeram ponsel erat-erat hingga benda itu tergelincir dan jatuh ke bawah meja.

Aku menunduk untuk mengambilnya.

Lalu mematung melihat tampilan panggilan telepon yang belum terputus.

Yuta mendengar semuanya.

Tau kagak sih, saking bingungnya gua tuh sampe bikin ending 2 versi. Buat Yuta sama Jaehyun (Rose dapet happy ending semua), tapi bingung mo pake yang mana hadoh 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top