36. Malam Untuk Jaehyun
Air itu terasa dingin di wajahku, nyaris menyengat. Tetesannya mengalir turun dari dahi, pipi, seperti air mata hingga jatuh ke wastafel. Aku jadi tampak seperti orang yang menangis.
Aku kembali teringat gambar yang dibuat Yuta tadi siang. Gambarnya telah jauh berkembang, lebih bagus, lebih detail一aku tidak heran一tapi yang menimbulkan tanda tanya di otakku adalah, kenapa dia mengukirku di kertas dengan ekspresi sedih?
Di gambar Yuta, aku berbaring beralaskan rumput. Arsiran tebal di sekitarku memberi nuansa malam yang gelap. Aku sendirian, dan untuk melengkapi keadaan suram itu, aku mengangkat tanganku ke atas, berusaha menggapai apapun yang dibayangkan Yuta, tapi jelas aku gagal karena mataku ia buat berkaca-kaca dan redup.
Kenapa? tanyaku, yang ia jawab setelah memandangku lama sekali, beginilah aku melihatmu, Rosie. Kau bermata sedih.
Itu sudah berjam-jam yang lalu, sedangkan sekarang pukul 8 malam.
Ini saat-saat yang berbahaya. Menit-menit sebelum kau jatuh tertidur, pikiranmu akan dipenuhi oleh hal-hal yang tak seharusnya kau pikirkan. Seakan kegelapan membuat benak jadi rapuh, sehingga monster-monster mengerikan dapat merangkak keluar dari celah jiwa tergelapmu.
Bagiku, sang monster berwujud kata-kata Yuta. Harapan dan semangat yang ia beri.
Aku berusaha keras tidak memikirkannya, mengenyahkan monster itu. Tapi sulit. Sangat sulit. Setiap kali menengok cermin, aku terus terbayang kehidupan yang tidak kumiliki, sebagai model dan psikolog, yang memberiku sensasi tidak nyaman dengan statusku sekarang. Rasanya seperti memakai pakaian yang jelek; aku sangat ingin melepasnya.
Aku sadar betul bahwa tak ada pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi ibu, tapi jika aku mengharap lebih, apakah itu salah?
Bukankah sudah menjadi hak manusia untuk bebas? Tidak peduli meski dia seorang ibu, seorang istri atau malah keduanya?
Aku harus bicara dengan Jaehyun.
Benar.
Kuusap wajahku dengan handuk kecil di gantungan, lantas keluar dari kamar mandi. Ini dia. Santai saja. Jaehyun tidak akan marah kalau aku menjelaskannya. Dia jarang sekali marah! Dia bahkan (mungkin) akan mengerti, berkata, "Baiklah, Rose, kau boleh kuliah. Kau bebas menentukan pilihan."
Itu layak dicoba kan?
Bagaimanapun, aku harus mengeluarkan racun ini dari kepalaku.
Kuhirup napas panjang, lalu tersenyum. "Jaehyun..."
Dia mendongak dari laptop di pangkuannya, membalas senyumku. Sebuah batang putih lollipop ada di mulutnya. Pasti punya Lily. Hari ini dia pulang terlambat, tampak kelelahan. Perasaan tidak ingin menggangu serta-merta membuat nyaliku menciut.
Mungkin aku perlu menundanya supaya tidak mengacaukan suasana hatinya?
Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Lebih baik basa-basi sedikit. Jangan langsung ke inti.
"Itu permen apa?" tanyaku gugup, menyingkirkan bantal yang menghalangi agar bisa bersandar di dadanya. Posisi ini normalnya selalu dimulai oleh Jaehyun, karena aku tak pernah berinisiatif memeluknya lebih dulu.
Jaehyun memijat area dahi yang ada di antara matanya. Capek. Mengantuk. Aku kasihan padanya. "Mau coba?"
"Hm?" Aku kebingungan, tidak sempat bertanya lebih jauh karena Jaehyun lebih dulu menciumku. Menempelkan bibirnya di bibirku, menularkan rasa permen berwarna merah yang ia pegang.
"Coba tebak rasanya."
"Candy kissing challenge?" Aku menjewer telinganya saat ia menyeringai, tapi mengikuti permainannya. Selingan sebelum membahas topik yang serius. "Strawberry?"
"Salah." Jaehyun menggeleng, mengulum permen itu lagi, dan menciumku untuk kedua kali. "Ini salah satu buah yang kau suka. Dapat?"
Terlalu singkat. Aku tidak bisa menebaknya kalau secepat itu. Kutarik ia mendekat, dan menyatukan bibir kami lebih lama. Kali ini aku lebih berkonsentrasi, sembari menebak-nebak buah apa yang warnanya merah. "Apel?"
"Salah lagi." Jaehyun tertawa. "Kau tidak sengaja tidak tahu kan?"
"Mana ada!" Aku menyikutnya sekeras mungkin, merengut karena 2 alasan : A, aku sudah sudah sikat gigi, dan B, ini tidak mudah. Yang kurasakan hanya manis; entah itu dari permennya atau dari bibir Jaehyun. Jadi aku tidak tahu. "Ulangi!"
Kami kembali berciuman, dengan mata terbuka yang menimbulkan sensasi berbeda. Jantung kami berdetak seirama. Pandangan kami terpaku pada satu sama lain. Aku bisa melihat pupil gelap Jaehyun yang seolah berkilauan, merasakan lengkung bibirnya ketika ia tersenyum, mengisap bibir bawahku, turut memainkan lidahnya yang kurang ajar itu, hingga permainan ini berubah jadi lebih liar.
Hampir tidak lagi menjadi Candy kissing challenge.
Aku beringsut menjauh di saat yang tepat, mengusap mulutku yang kini lengket. Dengan sengaja, meniru Joy dan meninju bahunya. "Nakal! Apa itu semangka?"
"Benar," adalah jawabannya, tapi itu tak mencegah Jaehyun untuk mengecup puncak kepalaku, dan gantian bersandar seakan ia adalah Lily. Dasar laki-laki. Mereka tak pernah dewasa. Salah besar kalau orang-orang mengira aku punya 1 anak, faktanya, aku punya 2; Lily, dan bayi besar yang merangkap sebagai suami. Yang sangat manja tepatnya. Jago menggoda pula. "Rose?"
"Apa?" Aku merespon sambil mengedarkan pandangan ke rak buku yang memuat buku-buku koleksi kami. Salah satunya bersampul hitam, sudah rusak, dan seharusnya dibuang saja, tapi aku punya kenangan dengan buku itu sehingga aku membiarkannya tinggal.
"Mau buat adik untuk Lily?"
Jaehyun bertanya; santai sekali. Terlalu santai malah.
Sedetik kemudian dia merengek ketika aku memukulnya dengan bantal berkali-kali.
"Apa sih, Jung Jaehyun! Dasar mesum! Byuntae!"
"Aku kan hanya bertanya..." Wajah Jaehyun berubah memelas. "Jangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, aku bisa menuntutmu nanti."
"Biar!" Aku menjulurkan lidahku untuk mengejeknya, menangkup pipinya hingga ekspresinya berubah lucu. Kalau sudah begini, ia jadi lebih menggemaskan dibanding mainan squishy manapun. "Kau ini! Ternyata tidak menyesal sama sekali, ya?"
"Kenapa harus menyesal?" Jaehyun tampak terkejut. Mata membelalaknya adalah sesuatu yang sungguh-sungguh dilihat dari pandangan seorang pembohong ulung sepertiku. Ini sudah sangat melenceng dari tujuan awal, tapi aku sangat penasaran akan jawabannya.
Pertanyaan soal apa-aku-boleh-kuliah harus dipinggirkan sejenak.
Setidaknya untuk malam ini.
"Yah ... kalau bukan karena aku, kau pasti bisa kuliah di Amerika. Berkenalan dengan cewek pirang cantik, punya anak pirang juga. Dan一" aku cepat-cepat menutup mulut Jaehyun saat ia akan protes. "Dan tidak akan ada yang menertawakanmu karena jadi Ayah di usia muda ... seperti teman-teman kuliahmu dulu. Iya kan?"
"Darimana kau tahu?" Jaehyun tidak menyanggah. Sebaliknya, ia terlihat sangat tenang. Merespon dengan kepala dingin topik menyakitkan ini.
Aku membisu. Aku tidak mau mengatakan padanya bahwa dulu, aku pernah datang ke kampusnya untuk mengantar 1 buku yang kukira penting. Tapi ketika tiba, tentu saja aku tidak bisa masuk sembarangan. Jadi aku mendekati gerombolan mahasiswa yang berada di dekat gerbang, dan bertanya apakah mereka mengenalnya.
Mereka terbahak一dengan suara yang kalau boleh kutambahkan, tidak enak didengar.
"Jung Jaehyun dari jurusan hukum? Bah, jangan dekat-dekat dengannya, dia sudah punya istri dan anak!"
"Korban pergaulan bebas!" Yang lain menyahut, menyemburkan tawa yang menjijikkan, seolah bertanggung jawab atas perbuatanmu adalah tindakan yang buruk. "Padahal tampangnya polos, ya? Siapa yang menyangka dia seperti itu?"
"Benar tuh!" Ujar cowok terakhir, yang juga berusaha menyentuhku. "Lebih baik kau denganku saja, ya?"
Aku menatap mereka dengan tatapan geram yang tidak repot-repot kusembunyikan. Kata-kata kotor itu, mulut yang mengocehkan sampah tentang salah satu orang paling baik yang kukenal, suamiku, berani-beraninya mereka?
Aku pergi dari sana, tapi setelah menghajar mereka dengan buku (yang untungnya tebal) yang kubawa sampai buku itu rusak (aku beralasan Lily menjadikannya mainan).
Lalu aku pulang naik taksi, menangis karena marah serta terguncang. Bukan cuma karena sikap kurang ajar yang aku terima, tapi mencakup fakta bahwa selama ini, Jaehyun pun tidak baik-baik saja. Ia ikut menderita, mengalami masalah sosial berhadapan dengan masyarakat yang kejam, namun dia memilih tidak menunjukkannya pada aku dan Lily yang waktu itu masih bayi.
Di rumah, ia selalu jadi ayah ceria tanpa masalah.
Rupanya itu tidak sepenuhnya benar.
"Rose?"
"Tidak." Aku memeluknya supaya ia tidak memaksa. Aku tidak mau mengingat atau membicarakan itu lagi. "Rahasia."
Kami terdiam. Bertahan di posisi ganjil-tapi-nyaman itu, tidak bergerak sedikitpun. Kami membiarkan hanya suara napas kami yang mengisi kamar, bersama dengung pelan si pendingin ruangan. Rasa manis yang kurasakan tadi perlahan-lahan hilang ditelan pembicaraan yang pahit ini.
Seharusnya aku tidak membahasnya.
Merusak suasana saja.
"Maaf." Aku memeluk Jaehyun semakin erat, menenggelamkan wajah di ceruk yang ada di bawah dagunya. Meminta maaf lagi untuk kesalahanku yang tak ada habisnya, karena tidak cukup peduli padanya dulu. Dan karena berselingkuh darinya sekarang. "Aku selalu jadi masalah untukmu, ya?"
"Bukan salahmu." Jaehyun menenangkan, mengusap air mata yang tak kusadari sudah turun entah sejak kapan. Atau untuk siapa; diriku sendiri, Jaehyun, atau justru Yuta yang turut menjadi korban dalam kisah ini. "Bukan salahmu, Rose. Aku tidak menyesal. Mereka tidak tahu apa-apa. Hidupku sempurna dengan adanya kau dan Lily. Aku tidak akan menukar kalian demi Ivy League, cewek pirang Amerika, atau apapun. Kau tidak perlu merasa bersalah."
Sayangnya aku memang salah di sini. Yang membuat ini semakin rumit, adalah karena walaupun aku sadar perbuatanku tidak benar, aku tidak bisa menghentikannya. Cinta itu api. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dikendalikan.
"Rose, lihat aku." Ketika aku tidak kunjung menjawab, Jaehyun meraih daguku agar aku menatapnya. Dia tersenyum, memamerkan senjata andalannya yang sering meluluhkan hatiku; dimple. "Kita memang menikah karena alasan yang tidak romantis, tapi aku bahagia bersamamu, jadi jangan merasa bersalah atau menyesal. Buang semua itu jauh-jauh. Aku ingin kau bahagia juga dan kau harus bahagia, kau mengerti? Katakan saja apa yang kau butuhkan."
Apa yang kubutuhkan adalah Yuta, lelucon-lelucon payahnya, pelukan hangatnya, dan tak satupun dari itu yang bisa Jaehyun beri. Menyedihkan sekali rasanya saat kapal yang kami tumpangi sudah memasuki daerah berbahaya dan Jaehyun bahkan tidak menyadarinya. Dia kira, kami masih baik-baik saja hanya karena keadaan stabil ini sudah terjadi begitu lama.
Oh, hati, kenapa kau tidak jatuh cinta pada Jaehyun saja?
"Kau bodoh." Aku menyusuri sisi samping wajah Jaehyun dengan jariku, berpura-pura itu adalah kaki dan dia adalah bukit yang aku daki. "Kau seharusnya tidak jatuh cinta padaku."
"Sudah terjadi." Jaehyun berujar tenang, memejamkan mata saat aku mengubah sentuhanku menjadi elusan lembut di rambutnya, yang selalu ia suka. Dia menguap. "Salahkan pesonamu yang terlalu kuat."
Lengannya menyusul dengan melingkari punggungku. Jaehyun menyentuhkan dahi kami, mengirimkan ciuman terakhir sebelum tidur, dan berbisik, "Jangan kemana-mana. Tidur saja."
Dia mengatakannya karena terkadang, aku menderita insomnia dan aku akan mondar-mandir di rumah; minum, nonton TV, membaca buku.
Aku tak tega untuk berkata padanya bahwa aku memang harus kemana-mana. Ponselku ada di di ruang duduk, tersimpan dalam tas bersama peralatan makan yang belum di cuci. Aku perlu menjemputnya nanti, pukul 11. Meluangkan waktu untuk pria lain yang tak kalah penting.
Kupikir, aku akan mencuri waktu tidur sebentar, karena meski jaraknya jauh, aku yakin suara ponselku akan menjadi alarm yang efektif berkat telinga sensitifku.
Tapi selagi aku menunggu Jaehyun resmi terlelap, aku tidak tahu bahwa ponselku kehabisan baterai dan dia hanya sanggup berbunyi sebentar sebelum kemudian mati tanpa sempat membangunkanku.
Jadi saat Yuta menelpon, aku malah meringkuk di pelukan Jaehyun.
Reader lama pasti tahu apa yang ilang pan HAHAHAHA bentar w mau ketawa dulu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top