35. Sang Spesialis Perceraian

Siang.

Matahari sudah tinggi di atas kepala. Sinarnya yang dilemahkan musim dingin otomatis disaring oleh pohon yang menaungi kami. Pohon itu memberi perlindungan dan kenyamanan bagi aku dan Yuta, yang masih bertahan di tempat yang sama, dengan selimut kusut dan wadah-wadah makanan kosong yang ditumpuk di satu tempat.

Sementara itu, patung sang putri duyung tersenyum tanpa henti, setia memegang gucinya yang terus mengeluarkan air. Seekor burung cokelat nakal mendarat di kepalanya, menatap para pengunjung taman yang bisa dihitung jari.

Mereka adalah anak-anak yang terlalu aktif, belum cukup umur untuk sekolah, bersama ibu atau pengasuhnya yang terlihat stres. Sisanya merupakan turis yang kebetulan berkunjung, dilihat dari cara mereka berfoto dan memotret pemandangan. Karena bukan hari libur, hanya sedikit yang datang kemari, ke taman perselingkuhan ini.

Taman perselingkuhan.

Tawa tertahan keluar dari mulutku meski itu sebenarnya tidak terlalu lucu. Tidak, itu bahkan sama sekali tidak lucu. Aku wanita dewasa, aku punya seorang putri, tapi lihatlah apa yang kulakukan sekarang sementara Jaehyun bekerja untuk kami.

Aku berduaan dengan Yuta. Tidur di pangkuannya selagi ia menggambarku di sebuah buku sketsa. Tersenyum seolah tak punya dosa.

Ini salah. Amat salah. Sebagian diriku yang masih waras menyuruhku untuk mengemasi barang secepatnya, pergi dari sini. Aku harus minta maaf pada Jaehyun. Dia akan memaafkanku一aku tahu itu一apalagi kalau kubilang aku akan berhenti menemui Yuta. Yuta akan kembali ke Jepang, sedangkan aku kembali ke rutinitasku yang membosankan tapi damai.

Tapi kemudian aku melihat Yuta一rambut merah panjangnya yang mirip api, garis wajahnya yang sempurna, serta cara matanya memandangku一dan suara itu pun hilang. Menjadi semakin pelan dan lenyap.

"Rosie?"

"Hm?" Aku menjawab sambil memainkan  game menembak di ponselnya, sebab bosan dengan ponselku sendiri yang hanya terisi game untuk anak-anak.

"Kenapa kau tidak kuliah?" Dengan satu lutut yang terangkat, menjadi alas seadanya, Yuta terus menggambar. Tidak menoleh saat mengajukan pertanyaan itu. Entah karena dia terlalu fokus atau memang menghindari tatapanku.

Padahal, itu tidak masalah. Aku malah menunggunya mengajukan pertanyaan ini. Aku ingin bercerita padanya, meminjam lagi telinga yang aku yakin takkan pernah menilaiku seperti orang lain.

"Saat Lily lahir," aku memulai, terheran-heran sebab rupanya aku bisa membaca instruksi game yang disetel Yuta dalam bahasa Jepang dengan lancar. "Aku jadi pemalas karena mudah lelah. Berdiri terlalu lama saja membuatku capek. Setiap hari, aku hanya diam di rumah, menunggu Jaehyun pulang agar bisa bergantian menjaga Lily. Begitu terus hingga beberapa bulan. Kami tak pernah membicarakan kuliah, dan aku membiarkannya."

"Jadi dia tidak menyarankan?"

"Tidak." Aku tertawa. Jaehyun bahkan jarang membiarkanku melakukan apapun, apalagi aktivitas di luar ruangan. "Yang mengungkit soal itu justru ibuku. Dia datang tiba-tiba, mengejutkan kami. Lalu bertanya kapan aku berencana kuliah dan universitas mana yang kuinginkan. Dia bilang, dia bisa mencari pengasuh untuk Lily."

"Itu bagus kan?" Tanya Yuta, disertai bunyi srek srek samar tiap kali pensilnya beradu dengan halaman bukunya.

Aku tidak menjawab, mataku terpejam. Hanya perlu beberapa detik untuk kembali menyelam ke moment itu. Mengingat ekspresi ibu yang menolak menggendong Lily, seakan Jaehyun hendak memberinya lap piring kotor, bukannya bayi yang jelas-jelas cucunya. Dia datang untuk memberiku kesempatan kedua, bukan demi tujuan lain.

Ibu tidak peduli secantik apa Lily; bulu matanya yang terlalu panjang untuk ukuran bayi, pipi kemerahannya, bibirnya yang sudah hobi mengerucut sejak dia bayi. Ibuku membenci Lily dengan alasan yang sama ibu Jaehyun membenciku; menurutnya, Lily adalah pengganggu.

Aku juga ingat bagaimana Jaehyun membasahi bibirnya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan ibu. Mencari kata paling sopan dan tepat. "Kurasa Rose tidak perlu kuliah. Lily masih terlalu kecil untuk ditinggal. Dan aku tidak percaya pengasuh."

Dia benar, tentu saja. Sudah banyak kasus pengasuh yang melakukan kekerasan pada anak yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka bisa saja lalai一entah sengaja atau tidak. Dan selembut apapun mereka, tak ada yang bisa menggantikan sentuhan seorang ibu.

Berbekal keyakinan ini, Jaehyun melanjutkan, "Ayahku akan membantu finansial kami, sampai aku bisa bekerja. Rose tidak akan kekurangan apapun一aku janji tidak akan membiarkannya kekurangan apapun. Bibi tidak perlu khawatir."

Saat itu, ibuku mengerjap. Tampaknya ia tidak mengerti apa yang Jaehyun katakan, dan menoleh padaku supaya aku membantu menerjemahkannya. Ia mau aku menolak, membantah ide itu dengan segenap sikap keras kepalaku yang ia kenal.

Apa yang kulakukan? Aku balas melempar kejutan dengan diam.

Aku bersikap seperti patung, nyaris tidak bergerak kecuali untuk bernapas. Bukan karena aku tidak ingin kuliah, tapi karena aku tidak yakin bisa. Aku masih dalam tahap depresi, dibayangi hantu-hantu masa lalu. Ditambah lagi, aku malas bertemu orang lain karena aku lelah dengan pertanyaan, "Kau punya anak di usia semuda ini?".

Semua sindiran mereka membuatku kembali memikirkan jembatan.

"Memang bagus," ucapku, setelah menelan ludah yang terasa pahit. "Tapi Jaehyun tidak setuju. Dia tidak ingin meninggalkan Lily pada pengasuh."

Pensil Yuta berhenti bergerak. Mulutnya terbuka, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari sana. Ia tidak punya sanggahan, sebab, kebenaran logika berpikir Jaehyun tak bisa disangkal.

Tanpa alasan yang kumengerti, aku tersenyum walaupun air mata mengancam menuruni mataku untuk kesekian kalinya. "Sejak itulah Ibu lepas tangan dariku. Dia tidak ingin tahu tentangku lagi. Baginya, aku adalah anak yang mengecewakan."

Begitulah.

Cerita sedih lain dalam hidupku.

Aku memakukan pandangan pada mata Yuta, orang pertama yang mendengar ini, dan mendadak aku menangis. Bulir-bulir besar air mata berguguran seperti hujan deras. Aku merasa sesak. Luka di hatiku berdenyut menyakitkan.

"Lebih nyaman begini kan?" Itulah yang dikatakan Yuta saat ia membimbingku ke dadanya, tempat aku tak bisa memikirkan hal lain selain betapa alaminya ini terjadi, seakan aku adalah potongan puzzle yang jatuh ke lubang yang tepat. "Kau boleh menangis kalau kau mau."

"Aku merindukan Ibuku." Aku mengadu, disertai isakan memalukan yang tak bisa kuhentikan. "Rasanya seolah dia sudah pindah ke negara lain tanpa mengajakku, Yuta. Dia jauh. Bagaimana kalau dia terus membenciku?"

"Itu tidak mungkin." Yuta menghiburku dengan keyakinan dan semangat yang tidak kumiliki, menebarkan pemikiran positif ke sudut-sudut hidupku yang gelap. "Ayolah, Rosie. Kau hanya perlu membuktikan kalau kau bukan orang gagal seperti anggapannya. Kau punya banyak potensi. Kau pintar. Jaehyun tidak adil memintamu jadi ibu rumah tangga saja."

"Tapi aku tidak punya cita-cita lain." Terbata-bata, aku menyahut. Mengusap pipiku yang basah dan memarahi diriku sendiri karena bersikap kekanak-kanakan. "Aku cuma ingin jadi penyanyi."

"Bagaimana dengan model?"

Model?

"Aku punya banyak kenalan di dunia model di Jepang. Pasti tidak akan sulit mendapat pekerjaan untukmu."

Aku tertawa lemah. "Mana bisa? Aku tidak kuliah. Usiaku 25. Sudah terlambat."

"Tidak, belum." Yuta menggeleng kuat-kuat, meremas tanganku dalam genggamannya. "25 itu masih muda. Kau masih memiliki kesempatan untuk mekar. Bayangkan, Rosie..."

Aku membayangkannya.

"Kau melakukan pemotretan di Bali atau Paris atau Dublin. Berpose di depan kamera. Berjalan di atas catwalk. Orang-orang akan memotretmu, memuji betapa cantiknya dirimu."

Model Roseanne Park.

Aku berusaha melihat diriku sebagai model. Di Jepang, yang merupakan negara mode. Aku akan memakai pakaian karya desainer ternama, membuat diriku jadi lebih berguna. Aku bisa mengibaskan majalah yang memuat fotoku dihadapan para tetangga berisik yang selama ini membicarakan dan memandangku rendah.

Menjadi model!

"Model Park, kau mau gaun Chanel atau Dior?"

"Model Park, cepatlah, kau harus dirias!"

"Model Park, mari pergi ke pulau eksotis untuk pemotretan berikutnya!"

Menjadi model memang tidak sebanding dengan penyanyi, tapi...

"Kau juga bisa kuliah sambil melakukan itu." Yuta mengimbuhkan, memenuhi kepalaku dengan gagasan yang memabukkan. Yang teramat indah sampai terasa seperti ilusi. "Kau selalu tertarik dengan psikologi kan? Kenapa tidak dalami saja bidang itu? Model ditambah psikolog. Kecantikan dan kepintaran. Itu cocok untukmu."

"Benarkah?" Satu kata itu keluar dengan suara yang mencicit. Mencerminkan keraguanku, yang telah lama kehilangan kepercayaan diri. Butuh waktu untuk menemukannya lagi. "Menurutmu aku bisa menjadi ... semua itu?"

"Ya." Yuta menjawab mantab. Tersenyum bagai malaikat. Membawa harapan untuk diriku yang kukira hanya bisa menjadi ibu rumah tangga. "Menurutku kau bisa menjadi apapun asal berusaha keras. Mungkin kau akan gagal beberapa kali, tapi kalau mencoba terus, aku yakin kau akan berhasil nanti."

Kami bertatapan.

Yuta ternyata tidak hanya menyediakan kapal, tapi dia juga memberiku tangga untuk turun, agar aku tidak terluka. Tinggal aku saja yang harus mengumpulkan keberanian, apakah akan ikut dengannya atau tidak, menuju sebuah utopia bernama Osaka, yang penuh kesempatan dan peluang.

Takkan ada yang menyebutku wanita murahan, atau menghakimiku karena hamil di usia belasan. Aku dapat meninggalkan masa lalu yang buruk ini jauh-jauh, melambaikan tangan pada semua catatan kelamku dan membangun semuanya dari awal lagi.

Itu ... luar biasa.

Bibirku tersenyum karena gambaran menakjubkan itu. Angan-anganku terbang menembus awan-awan. Aku melayang, hampir bisa merasakan diriku jadi bintang yang terlahir kembali, hingga seseorang, suara pekikannya yang menyapa telinga, menarikku dan mengembalikanku ke bumi.

Seorang gadis lincah yang tingginya sama mengesankannya denganku, menubruk Yuta dari samping dan membungkusnya dalam  pelukan erat dengan kedua lengannya yang ramping. "YUTA-KUN!"

Siapa dia?

"Joy?" Yuta yang tak kalah terkejut membalas pelukan itu. Dia tidak kelihatan tidak enak atau yang lebih buruk, takut karena terpergok pacarnya yang lain.

Pacar.

Kenapa aku tidak pernah menanyakannya?

Gadis yang dipanggil 'Joy' itu meninju bahu Yuta dengan akrab. Tas besarnya terbuka, dan kertas-kertas yang sebagian ujungnya terlipat mengintip dari sana. Tapi gadis itu tidak menyadarinya karena terlalu asyik melemparkan pertanyaan demi pertanyaan pada Yuta. "Sedang apa kau di sini? Kencan, ya? Kencan? Kau baru kembali beberapa hari dan sudah punya pacar? Oh, benar-benar luar biasa!"

Seorang pria berperawakan sedang dengan pembawaan yang lebih tenang tersenyum sungkan, seakan gadis berpakaian kuning layaknya sinar matahari cerah itu biasa menghampiri orang seperti ini. Es krim yang tengah dalam proses mencair berada di masing-masing tangannya, jadi dia hanya mengangguk sebagai sapaan.

"Bernapaslah saat bicara," saran Yuta, menanggapi si gadis dengan cara yang mengingatkanku pada adiknya, Haruna. Lantas dia mendongak. "Kun, apa kabar?"

Pria es krim mengangkat 1 es krimnya seperti seseorang yang mengangkat segelas sampanye. Aku memperhatikan ketika tersenyum, dia ternyata punya dimple sama seperti Jaehyun. "Hebat. Kau mengadakan piknik?"

"Ini perayaan ulang tahun." Yuta terbahak, menggerakkan 2 jarinya dalam gaya "peace". "Tapi hanya dihadiri 2 orang."

Perhatian Joy seketika beralih pada wadah makanan yang kusiapkan, selimut kami, terakhir aku, yang masih memproses apa yang terjadi. Tangannya yang berujung ke jari-jari berkuteks hijau terulur padaku. "Hai, perkenalkan, namaku Joy一"

"Sebenarnya Sooyoung," potong Yuta.

"Joy!" Tegas Joy, mendelik pada Yuta dan menghadiahinya tinju kedua. "Panggil aku Joy saja. Aduh, maaf mengganggu acara kalian. Yuta ini tetanggaku dulu. Dia bahkan mengadakan pameran di galeri ibuku. Apa kau pacarnya Yuta?"

Setengah mati berharap wajahku tidak merona mendengarnya, aku membalas uluran tangan Joy yang ia sambut dengan jabatan kuat penuh rasa percaya diri. "Panggil aku Rose saja."

"Kau sendiri sedang apa?" Yuta balik bertanya. "Tidak punya sidang untuk dikerjakan? Joy ini pengacara, Rosie, tapi khusus kasus yang tidak penting."

"Enak saja!" Joy protes, memukul Yuta untuk kali ketiga, kali ini cukup keras untuk membuatnya menjauh. "Perceraian itu juga penting! Itu menyangkut hidup 2 orang. Dan aku kadang mengerjakan kasus lain kok!"

"Tapi seringnya?"

"Ya ... perceraian sih hehehe." Joy tertawa kikuk, menggaruk rambutnya yang sebatas bahu. Satu earphone biru terpasang di telinganya, yang lain menggantung di dada. "Bisa dibilang aku adalah spesialis perceraian. Tapi tak apa, yang penting dapat bayaran besar, benar kan, Sayang?"

Kun yang masih berdiri dan tangannya kini dihiasi lelehan es krim, menggeleng-geleng. Dagunya diarahkan ke samping, ke arah yang aku tahu merupakan tempat parkir mobil. "Hakim akan memberimu ceramah tentang sikap disiplin kalau kau terlambat lagi."

"Kau benar." Joy mengiyakan sembari memberengut. Wajah bayinya yang sudah imut semakin sulit ditebak usianya. Dia berdiri, mengecek tasnya sekilas, tak lupa memeluk Yuta dan aku bergantian一yang mengagetkanku hingga terdiam kaku sampai Yuta tertawa. "Sudah dulu, ya. Aku harus pergi. Dan Rose." Sebelah mata Joy mengedip. "Kalau kau sudah menikah dan ingin bercerai, hubungi saja aku."

Dia bercanda.

Bercanda.

Tapi aku bisa merasakan tatapan Yuta yang tertuju padaku.

Joy kemudian berdiri, meraih lengan Kun, si pacar atau tunangan atau malah suaminya. Mereka pamit. Lalu ia memasang lagi earphone-nya yang sempat terlepas, dan bernyanyi di setiap langkahnya :

Jangan melihat ke arahku seperti itu
Kami hanya saling cinta, itu saja
Jangan membenci kami
Tinggalkan kami berdua.

Buat yang pen tau, lirik lagu itu dari lagunya song ji eun - dont look at me like that 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top