34. Dosa Manis Yang Lain
Ingat, tidak boleh menghujat yurose disini. Ntar Rose nya marah neh
Aku terbangun ditemani suasana hati yang buruk. Perasaan jengkelku belum hilang meski aku sudah membawanya tidur bagian kedua一yang kulakukan di kamar tamu. Aku marah, saking marahnya sampai membentak Yuta yang bilang itu bukan masalah besar.
Yuta mengira ini hanya soal kartu nama. Padahal bukan. Aku tidak suka Jaehyun mengusik apa yang menjadi milikku一entah sesepele apa barang itu.
Rumah disebut tempat ternyaman karena disana, kau bisa melakukan apa yang kau mau. Menyimpan barang yang kau inginkan. Aku, pencinta kebebasan, mengharapkan Jaehyun untuk memberi privasi padaku. Hal sederhana. Apanya yang sulit?
Ya, dia punya alasan untuk khawatir. Dan ya, perilakunya bisa dimaklumi. Tapi itu tak menghapus fakta bahwa dia salah. Apa karena menikah dia jadi merasa berhak melakukan apapun pada barang-barangku? Bahwa sekarang aku tidak punya lagi "kepemilikan pribadi"?
Nah, tidak seperti itu.
Kemarahan ini, pada akhirnya mendominasi. Muncul bagai api yang membakar rasa bersalah yang seharusnya kurasakan. Tidak. Sejujurnya, aku tak merasakan apapun saat bangun pukul 6 pagi dan memasak sup rumput laut, dilanjutkan dengan membuat fairy bread一kue tart versi Australia yang sebenarnya hanya roti tawar biasa, dengan olesan mentega dan sprinkles warna-warni一untuk seorang laki-laki yang bukan suamiku.
Lisa ternyata benar; aku sedang bermain dengan api.
Dan omong-omong tentang Lisa...
Aku jadi ingat kami belum berhubungan lagi sejak bertengkar di kamar Lily. Apa kabar dia sekarang? Aku mengambil ponselku di sebelah oven, menelponnya. Kami harus segera berbaikan sebelum ini jadi semakin buruk.
Ayo, Lisa, angkatlah.
Aku menunggu.
5 detik.
10.
20一
Suara membosankan seorang operator menjawab, berkata Lisa tidak bisa dihubungi dan akan mengalihkan panggilanku ke kotak suara.
Oke, ini jadi semakin menyebalkan saja.
Aku nyaris membanting ponselku saat Jaehyun muncul dari kamar. Sudah rapi, tampan seperti biasa. Dia tersenyum menghirup bau roti bakar yang sudah kusiapkan. Di bibirnya, terselip sebuah tanya, "Kenapa?"
"Tidak apa-apa." Aku berdusta, menghindari kontak matanya dengan menambahkan garam dan lada ke sup rumput lautku. Setelah dicicipi, aku lega rasanya tidak terlalu buruk untuk ukuran orang yang lebih suka makan daripada memasak.
"Siapa yang ulang tahun?" Kening Jaehyun berkerut. Selain fakta aku jarang mau repot-repot memasak, pasti karena dia terkejut aku punya teman yang ingin kurayakan ulang tahunnya. Ketika bergeser mendekat, dia sudah memegang sendok, hendak mencicipi juga.
Sup rumput laut. Atau miyeok guk, dianggap sama pentingnya dengan kue tart oleh orang Korea. Ini hidangan wajib di acara ulang tahun. Itulah kenapa Jaehyun langsung tahu tujuanku memasaknya.
"Tolong." Aku membentuk penghalang posesif di sekeliling panci. "Jangan. Ini untuk temanku. Dia teman dari rumah lama. Kau tidak mengenalnya, dan ada roti lain untukmu."
"Begitu." Jaehyun mengangguk-angguk, memasang dasinya seraya berjalan ke meja makan yang sudah penuh hidangan. Aku tak melupakan kewajibanku meski akan pergi dengan Yuta. Aku tetap memikirkan ia dan Lily. "Apa dia yang kau telepon kemarin? Sekitar tengah malam?"
"Apa?"
Aku berhenti membereskan dapur. Punggungku menegang, berharap tadi hanya salah dengar. Jaehyun berbeda denganku, dia bukan tipe orang yang mudah dibangunkan. Jadi seharusnya dia tidak tahu...
"Aku terbangun waktu itu. Nada deringmu keras sekali. Tapi aku diam saja karena masih mengantuk, walaupun heran kau menerima telepon malam-malam begitu."
Sial 2 kali dalam sehari. Aku mengumpat dalam hati. Lalu cepat-cepat menggantinya dengan doa agar Tuhan tidak terus-menerus mengujiku. Ini mestinya jadi hari yang menyenangkan! "Y-ya. Itu memang dia. Jangan khawatir, dia perempuan kok."
Peraturan pertama dalam berbohong : tatap mata orang yang bohongi.
Yang kedua : bicaralah dengan mantap, jangan terbata-bata.
Aku sudah melanggar 2 peraturan itu karena kaget. Tidak siap. Tidak bisa mengeluarkan keahlianku. Akibatnya, Jaehyun menoleh dengan wajah heran. Diam cukup lama hingga Lily datang.
Membuatku berpikir,
Apa sang tupai sudah jatuh?
Apa Jaehyun mulai curiga?
Pertama kali aku ke taman Dangyeong, adalah saat usiaku 16 tahun一di masa aku masih sangat muda dan lugu. Yuta yang mengajak, kami naik sepeda ke sana. Bukan motor atau mobil, tapi sepeda biasa yang dalam setiap kayuhannya, Yuta mengeluh bahwa aku seberat gajah.
Dengan segera kami mengklaim secara sepihak bahwa bangku yang ada di bawah pohon berbatang tebal serta dinaungi lampu berbentuk bola yang memancarkan cahaya kuning seperti Dragon Ball adalah milik kami.
Dan di bangku itu, meski sebenarnya tidak boleh, aku dan dia mengukir inisial nama kami. Y & R, dibubuhi lambang "love" yang salah satu sisinya bengkok.
Hal kecil dan sederhana itu bisa membuat kami tertawa dulu.
Memberi tanda bahwa itu adalah singgasana Yuta dan Rosie, tempat kami membicarakan apa saja一pelajaran, teman menyebalkan, atau masa lalu yang tidak menyenangkan, sebagai sesama murid yang pernah sial. Kadang, Yuta hanya sekedar melukisku, sedangkan aku mengerjakan tugas.
Tak heran, ketika menginjakkan kaki kembali ke taman setelah 7 tahun lamanya, aku dihantam gelombang deja vu yang sangat kuat. Ratusan kenangan berlomba hadir, hantu-hantu masa lalu, seperti slide yang digeser terlalu cepat.
Aku bisa melihat diriku sendiri di sana. Ya, di sana! Tertawa di samping Yuta seakan ia memiliki seluruh keindahan dunia dan tak lagi butuh apa-apa.
"Tugas yang kau bantu dapat nilai jelek, senpai!"
Dia membelalakkan matanya dengan dramatis dan yang semakin lucu, menirukan tingkah guru Lee! "Murid Roseanne Park, kau yakin itu tugas yang aku kerjakan?"
Kenangan lain muncul.
"Yuta, ayo kita berpisah."
"Sebenarnya ada apa denganmu?"
Aku berkedip; semuanya hilang.
Masa lalu memang tidak sepenuhnya menyenangkan. Tapi lihatlah hari ini! Cuacanya sangat cerah untuk standar bulan oktober. Pengunjung taman tidak terlalu ramai. Dan tempat favoritku dengan Yuta masih kosong. Ini saat yang tepat untuk piknik.
Aku mulai bersiap-siap.
Yuta datang pukul 08.59. Semenit lebih awal setelah semuanya rapi. Aku melihatnya keluar dari sebuah mobil Ford Mustang berwarna merah, yang serasi dengan rambutnya. Mencolok, tapi cocok. Dia tidak perlu menoleh ke titik lain. Tubuhnya hafal mana arah yang harus ia tuju dan ia tersenyum secerah anak-anak yang baru diberi es krim padaku.
"Kejutan!" Aku menyambutnya dengan senyum lebar pula, merentangkan tangan ke selimut bermotif Pikachu yang kusiapkan, lengkap dengan makanan di atasnya. "Suka tidak? Suka kan? Suka?"
"Kau membuat semua ini?" Ia bertanya. Matanya yang berbinar menunjukkan kekaguman dan kebahagiaan. Dan aku berpikir, demi senyum menawan itu, tak ada yang tak layak untuk dijalani. Atau dalam kasusku, seseorang untuk ditinggalkan.
"Sebentar, sebentar!" Aku buru-buru meraih pemantik api yang kubeli di jalan. Karena Jaehyun tidak merokok, kami tidak punya barang seperti ini di rumah. "Tunggu, dan jangan bernapas terlalu keras!" Aku terpaksa memukul Yuta karena dia tampaknya iseng ingin meniup lilin dengan udara dari hidungnya.
Perlahan-lahan, sangat hati-hati, aku menyalakan lilin angka yang berdiri di tengah-tengah fairy bread. 1 tusuk gigi menancap di salah 1 kue, mengibarkan bendera kertas mungil bertuliskan "terima kasih sudah lahir" yang kubuat setelah Jaehyun pergi. "Ini dia."
Yuta tertawa.
Di sebuah pesta yang hanya dihadiri kami berdua, aku menyanyikan senandung lagu ulang tahun berbahasa Jepang. Kami bertepuk tangan, gembira tanpa perlu mengundang banyak orang. Justru orang-orang yang tidak mengenal kami-lah yang menjadi saksi saat Yuta meniup lilinnya dengan 1 hembusan napas panjang.
Setelah itu kami baru ingat dia belum mengucapkan permohonan, yang malah mengakibatkan kami tertawa lagi.
"Ulangi, ulangi!" Tuntutku, kembali mengambil pemantik api, berniat menyalakan lilin sekali lagi.
Yuta menolaknya dengan gelengan kepala singkat. "Tidak perlu. Permohonanku sudah terkabul. Ada kau di sini."
"Yah, kehadiranku memang membawa berkah sih, kau senang?" Aku berkata sok, langsung berteriak sedetik kemudian usai Yuta menempelkan fairy bread ke pipiku, mengotorinya dengan mentega yang ikut mengenai rambut. "Stop, stop, hei!"
Para pengunjung taman kontan menoleh pada kami.
Tapi kami tidak berhenti, melanjutkan perang roti hingga butiran-butiran sprinkles yang cantik menghiasi wajah dan pakaian kami. Sebagian jatuh ke rumput dan selimut, terlihat seperti mutiara-mutiara mini yang jadi korban pergumulanku dan Yuta.
Kami一dalam posisi berbaring一terdiam sejenak dengan napas terengah, terlalu banyak tertawa. Saling nyengir pada satu sama lain, seperti sepasang orang bodoh yang rambutnya bau mentega dan dagunya dihiasi remahan roti. Ini dosa manis lain dengan orang yang berbeda, yang takkan kusesali.
Ada bunga kebahagiaan yang mekar di hatiku saat ini, untuk apa menyesal?
"Lihat dirimu." Yuta terkekeh, memainkan sejumput rambutku menggunakan jarinya. "Kau sudah menikah, punya anak, suamimu adalah adik kelasku di SMA, tapi aku malah memintamu menemuiku?" Tawanya bertambah kencang, mengejek ironi dan kesialan yang melekat pada kami. "Aku pasti sudah gila."
Sambil menelan roti yang lebih banyak kuhabiskan sendiri, aku menyetujui ucapannya. "Aku yakin banyak orang yang mengatakan itu padamu."
"Terlalu banyak." Yuta tidak mengelak, atau membiarkanku makan dengan merebut rotiku. "Tapi ini pertama kalinya aku berpikir mereka benar, dan kau tahu apa yang lebih gila?"
Aku merasa aku tahu jawabannya; karena kegilaan yang sama mengalir di sepanjang pembuluh darahku. Alasan itu adalah sesuatu yang melanggar norma, standar benar yang ditetapkan oleh entah siapa dan dipercayai sebagian besar masyarakat. Namun aku diam, mengunci tiap kata di bibirku, karena aku ingin terus mendengar Yuta dan hatinya bicara.
Yuta beringsut lebih dekat, melepaskan belitan jarinya di rambutku, tidak puas, dan beralih memegang pipiku di posisi yang sama Jaehyun mengelusnya kemarin. "Jangan salah sangka, Rosie, tapi aku tidak peduli pada Jaehyun atau Ibumu yang menyeramkan. Aku hanya peduli padamu. Semua ini," dia berbisik di telingaku, mengirimkan hembusan napas yang menggelitik dan mencuri 1 kecupan singkat di pipi. "Aku tidak menyesalinya."
"Tidak?" Udara seolah menipis. Api dan api bergesekan, meraung dan membumbung kian tinggi. "Tidak sedikitpun? Orang-orang akan mengira kita pasangan kejam yang sempurna."
Sahutan Yuta terdengar seperti bunyi retihan kayu yang terbakar, dari sebuah pondasi rumah yang jelas bukan tandingan api yang sedang mengamuk. "Orang-orang siapa? Kenapa kau berpikir aku peduli pada pendapat orang-orang?" Yuta mengucapkan 'orang-orang' seolah itu adalah sejenis penyakit. "Mereka tidak tahu apa yang terjadi padaku setelah kau pergi."
Halaman lain buku kehidupan Yuta yang masih abu-abu bagiku, sebatas bayangan yang tidak aku ketahui kebenarannya, tiba-tiba terbuka, dan aku terlalu penasaran untuk menyingkirkan godaan membacanya. "Apa yang terjadi?"
"Aku kacau." Yuta mengetuk sisi samping pelipisnya, mengisyaratkan kekacauan itu dengan memutar-mutar jari telunjuknya membentuk pusaran angin. "Aku pulang ke rumah, tapi bingung bagaimana tepatnya aku sampai di sana. Ibuku menanyakan kabarmu, dia tidak percaya saat kubilang kita sudah berpisah."
Ibu Yuta. Nakamoto Sayuri. Aku kenal dia; wanita ramah yang selalu memanggang kue untukku bila aku mampir. Kue favoritku adalah kue sus, yang dia bentuk mirip cangkang kerang dan diisi banyak cokelat.
Yuta meneruskan, "Aku kuliah untuk menghindarinya dan ternyata itu bukan ide bagus. Salah satu temanku bercanda apakah aku putus dengan pacar Korea-ku. Dia pikir itu lucu, jadi aku memukulnya supaya dia diam dan mengirimnya ke dokter gigi."
"Asyik tidak?"
"Oh, asyik sekali." Yuta melirikku dari sudut matanya dan menunjukkan senyum khas murid nakal yang sangat dinantikan hari kelulusannya oleh para guru. "Aku belajar darimu, kalau ada yang macam-macam hajar saja dia, benar kan?"
"Pastinya."
Aku mengulum senyum, menatap lampu taman Dangyeong yang tidak lagi bulat, melainkan berbentuk mirip sangkar burung dengan atap hitam.
7 tahun berlalu, bangku kami sudah tidak ada, diganti bangku besi yang sandarannya berhias mural. Ada air mancur di tengah taman dengan patung putri duyung yang membawa guci. Dan dari guci itulah air memancar. Bunga-bunga tumbuh subur dengan beraneka warna yang memukau. Kuning, merah, putih一warna-warna pelangi yang cantik, dibatasi border stone agar tidak terinjak pengunjung.
Tempat ini banyak berubah. Tapi entah bagaimana, tampak berbeda sekaligus sama. Seperti rumah yang direnovasi agar lebih baik; kesan nyamannya tidak hilang.
"Bulan-bulan pertama itu sangat berat, Rosie." Yuta mengubur wajah di rambutku, bicara lewat celah helaian-helaiannya. "Aku bahkan tidak bisa menggambar sama sekali. Apa gunanya? Aku sudah kehilangan kritikus pribadiku yang selalu bicara jujur dan jahat."
"Aku tidak jahat!" Aku memprotes, yang kurasa bukanlah pembelaan yang bagus karena selanjutnya aku tidak bisa mencegah tanganku untuk tidak memukul perutnya.
"Oh ya, kau memang jahat." Yuta mengerang dan menggosok-gosok bagian yang aku yakin sebenarnya tidak sesakit itu. "Kau meninggalkanku. Kau membuatku merasa buruk, bertanya-tanya apa salahku. Dan sekarang kau membuatku jatuh cinta lagi?" Dia menjepit hidungku menyerupai capit kepiting. "Semoga Tuhan mengampuniku, tapi sungguh, kau membuatku gila, Rosie, hingga ke titik dimana aku merasa takut."
"Kau一takut?" Aku tersedak tawa. Gagasan bahwa Yuta takut terdengar menggelikan. Itu mustahil; sejauh aku mengingatnya, Yuta terbuat dari keberanian setebal baja yang tidak akan patah. "Pada apa? Aku?"
Dia menggeleng. Cahaya matahari bersinar di rambutnya dari sudut yang pas saat ia menyentuh bibir bawahku dengan jarinya, membelainya dengan lembut. "Pada ini." Dia lagi-lagi mendaratkan kecupan kilat, yang bertahan lebih lama dari yang pertama. "Dan pada diriku sendiri."
Rasa hangat yang dia tinggalkan di bibirku mengundangku untuk tersenyum. "Kenapa?"
Menanggapi pertanyaan ini, bibir Yuta merangkai senyum miring layaknya elang yang menukik turun, tahu bahwa usaha apapun yang dilakukan mangsanya, takkan berhasil menyelamatkan hidupnya. "Karena aku mau kau tetap bersamaku, dan aku akan melakukan apa saja untuk itu."
Sampek sekarang gua belom nemu pic Yuta Rose barengan, tapi dapet ginian doang dari dr Cherry gua udah seneng lho
Sepertinya mereka memang ditakdirkan berjodoh di ff ni 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top