32. "Torn Between Two Lovers"
Sudah 7 tahun berlalu.
Tapi aku masih ingat hari pernikahanku dengan baik.
Biar kuberitahu padamu, aku dan Jaehyun menikah di musim semi. Saat bunga-bunga mekar dan serbuk mereka bertebaran di jalanan. Ada awan berbentuk balon yang pamer keindahannya di langit. Angin sejuk berhembus, menyambut para tamu yang terkagum-kagum. Segala macam hiasan ada di sana, yang tidak ada adalah 2 orang yang paling kuinginkan berada di sampingku : Yuta dan ibu.
Jaehyun tampan sekali waktu itu. Dia nyaris tak melepas tanganku dalam usahanya berbagi rasa nyaman. Dia mencoba (dan gagal) membuat aku dan ibunya bicara akrab, alih-alih menatap sinis dan saling membuang muka. Tanpa berharap lebih jauh, aku tahu kami tak punya peluang membentuk hubungan yang positif. Dia membenciku di hari pertama aku bertemu dengannya. Dan aku membenci diriku dengan kadar yang sama, kalau bukan lebih, karena aku tahu dia benar; aku mengacaukan hidup anak laki-lakinya.
Ayahnya, nah, merupakan kebalikannya. Dia dokter seperti Cherry, dan mereka punya selera humor yang ngerinya, mirip. Dia menghiburku dengan kisah-kisah lucu di rumah sakit, contohnya ketika seorang pria iseng mengintip kamar mayat, lalu lari terbirit-birit, sambil berteriak "ZOMBIE!" karena mengira ada mayat hidup. Padahal itu hanya petugas forensik yang tertidur.
Ayahku sendiri menyaksikan dengan tenang, tanpa semangat. Berada jauh dari rekan kerja dan laptop yang belakangan jadi pelariannya, dia duduk di pojok tanpa kata namun tak sanggup berada di sana hingga akhir acara. Saat dia kira aku tidak melihat, dia menyelinap pergi dan tidak pernah kembali.
Sebaliknya, Lisa dan Alice jadi yang paling berisik dengan memujiku tiap 5 menit. Berkata aku adalah wanita paling cantik hari itu. Mereka menggodaku soal bulan madu seraya cekikikan.
Aku tersenyum. Aku menanggapi seadanya. Dalam hati aku ingin melarikan diri, atau setidaknya menangis meraung-raung. Aku ingin menjerit! Melemparkan kue berhias patung pengantin yang berada di depanku sampai hancur dan menyuruh semua tamu minggat karena aku tidak mau menikah. Di dadaku, terdapat lubang penyesalan yang sangat dalam karena telah membuang atau membakar hadiah dari Yuta dengan harapan konyol itu bisa membantuku lupa padanya.
Hasilnya nol besar.
Semua kenangan tentang Yuta一mulai dari kepingan besar moment-moment yang kami lewati bersama sampai kepingan kecil seperti caranya minum yang mengangkat jari kelingkingnya一memenuhi otakku layaknya sekumpulan kupu-kupu hitam; mereka indah, tapi jahat. Semua rasa sakit itu membuatku bertanya-tanya bagaimana aku akan hidup dengan duka sebesar ini?
Aku tidak bahagia.
Suasana hatiku semakin rusak setelah aku menemui teman-teman (apakah mereka bisa disebut teman?) sekolahku, yang tahu sedikit mengenai aku, Yuta, dan Jaehyun.
Awalnya mereka bersikap normal, memberi pujian dan selamat. Mereka bilang aku beruntung sebab menikah dengan Jaehyun.
Namun hanya beberapa menit setelah itu, mereka mulai bergosip.
"Dia hamil kan? Lihat saja perutnya! Lagipula, alasan apa yang membuat dia menikah dengan Jaehyun dan meninggalkan senpai tersayangnya kalau bukan hamil?"
"Aku tidak menyangka Roje orang seperti itu!"
"Kasihan Yuta. Oh, dan Chaeyeon juga! Dia tidak hadir di sini, pasti masih menangis. Roje, ckckck, benar-benar kejam!"
Seru sekali pokoknya.
Mereka mengubah pikiranku kalau bukan guru Lee saja yang pandai mengoceh. Tidak, lupakan guru Lee, mereka jauh, jauh lebih hebat. Mengoceh kesana-kemari, dengan volume suara yang tidak bisa dikatakan berbisik. Kemudian mengubah topik ketika aku lewat seolah aku punya masalah pendengaran dan tidak bisa mendengarnya.
Saat itulah aku menyadari bahwa makhluk paling mengerikan bukanlah beruang atau hiu atau buaya, melainkan manusia.
Terlebih manusia yang tidak sadar jika kata-katanya bisa membunuh.
Sejak pernikahanku berantakan, aku cenderung menganggap semua pernikahan itu sama; membosankan, payah pula. Biasanya, bila ada teman kami yang menikah, aku meminta Jaehyun datang sendiri, lebih memilih hadir di pemakaman yang menurutku lebih menarik.
Tapi karena kali ini pernikahan Cherry, aku mempersiapkan diri dengan baik. Mengeluarkan gaun yang hampir jadi barang pusaka dari lemari, memakai make up lagi, dan membeli kado yang menurutku akan dia sukai.
Sesuai rencana, aku datang lebih dulu bersama Lily, Jaehyun menyusul setelah menyelesaikan urusannya dengan Chaeyeon.
Hari ini cuacanya bagus. Hadiah dari Tuhan untuk Cherry. Matahari bersinar terang, tidak terik, dengan udara yang sedikit dingin karena sudah memasuki akhir Oktober.
Gedung yang menjadi lokasi pernikahan pun pas; tidak terlalu besar, tapi tetap mewah tanpa terkesan berlebihan. Selera Hanbin memang bagus. Cherry sih tidak akan mau repot-repot mensurvei tempat. Memasak untuk dirinya sendiri saja malas.
Pasangan aneh, mereka itu.
Yang perempuan adalah dokter cerewet dengan kemampuan bicara seperti Eminem, sedangkan yang laki-laki merupakan penulis lagu terkenal yang suka ke kebun binatang, tapi takut pada serangga.
Aku tidak habis pikir.
Beruntung, di tempat yang ramai ini, aku tidak terlalu sulit menemukan keduanya. Cherry, dengan gaun putih yang memiliki renda di bagian bahunya, tampak mencolok, seperti angsa di tengah-tengah para bebek. Dia kelihatan cantik sekali. Maksudku, Cherry memang cantik, tapi dia jauh lebih cantik saat ini. Bahkan dengan ekspresi masam di wajahnya.
Hanbin lain lagi; dia tersenyum cerah bak orang yang baru memenangkan lotre. Di usia muda, dia telah mendaki jalan terjal menuju kesuksesan dan sedang menikmati hasil kerja kerasnya sekarang. Berwajah setampan idol yang sering menyanyikan lagu-lagu ciptaannya, menurutku Cherry takkan bisa menemukan suami yang lebih baik, terutama karena setiap kali mereka bertatapan, aku melihat pemujaan yang besar di mata Hanbin. Bonus lainnya, dia tampan. Dan orang tampan itu sedang melambai ke arahku sekarang. "Rosiiieee!" katanya, terlalu keras, terlalu heboh. Dan cepat-cepat meralatnya begitu aku mendelik. "Ups, maaf. Aku lupa!"
Aku memukulnya dengan kado yang kubawa. Dia tidak lupa. Hanbin hanya suka menggodaku karena tahu aku tidak suka ada orang yang memanggilku Rosie. Pria itu membungkuk, menggendong Lily dan mencium kedua belah pipinya. "Apa kabar, princess? Kalian terlambat!"
Lily terkekeh. Selalu senang bertemu Hanbin. Yang tak mengherankan, ia adalah tipe orang yang mudah disukai. "Tadi Mama pakai make up lama sekali!"
"Benarkah?" Hanbin pura-pura terkejut, menutup mulut dengan satu tangan. "Ih, padahal mau pakai make up atau tidak kau lebih cantik darinya, ya?"
Putriku tertawa.
"Akhirnya kau menikah juga," aku menyapa Cherry sambil menusuk-nusuk dimple-nya, kebiasaan karena hidup dengan Jaehyun. Cherry punya satu, letaknya di pipi kanan. Yang kini tak terlihat karena ia merengut. "Hey, kenapa ini? Orang-orang nanti mengira kau terpaksa menikah dengannya."
Cherry, dengan kepala yang diletakkan di meja, mendengus tidak anggun. "Memang. Aku menikah karena kasihan pada Hanbin yang sudah melamarku 57 kali. Dan sekarang aku menyesal karena ternyata menikah itu bikin capek."
Aku menoleh pada pria yang kami maksud, menyikut lengannya pelan. "Wanita macam apa yang kau nikahi?"
"Wanita yang sama sekali tidak romantis." Hanbin kompak melakukan tos denganku. "Sebentar, aku mau mengambil kue untuk Lily. Kau mau sesuatu, Rose?"
Aku menolak tawarannya, membiarkan mereka berlalu sambil membicarakan tokoh kartun entah apa. Kemudian duduk di kursi di depan Cherry, ikut merebahkan kepala. "Jadi?"
Cherry menunda jawabannya karena menguap. Pengantin yang mengantuk di hari pernikahannya sendiri. "Jadi apa?"
"Kalau punya anak kau mau memberinya nama apa? Apel atau jeruk?"
"Salah semua. Anak pertamaku nanti akan bernama Durian Kim. Bagus tidak?"
Tawaku pecah. Lagi-lagi merasa heran pada diriku sendiri karena mau berteman dengannya. Kepribadian kami benar-benar bertolak belakang, tapi lucunya justru itu yang membuat kami cocok. "Dasar gila." Aku melemparinya dengan segenggam tisu, yang dengan mudah ia hindari. "Saran saja ya, sebaiknya tunda punya anak. Bersenang-senanglah dulu dengan Hanbin. Karena punya anak itu ... melelahkan. Jauh lebih melelahkan dari ini."
"Sungguh?" Cherry merespon sambil mencongkel kotoran di kukunya, lalu mendongak dan menatapku dengan tatapan serius. "Apa kau mengatakan itu karena bertengkar dengan Jaehyun?"
"Aku? Tidak kok. Tidak." Aku tergelak untuk kedua kalinya, meski berpikir apakah aku perlu mengganti 'tidak' dengan 'belum'? Bukan berarti aku mau bertengkar dengan Jaehyun. "Kami baik-baik saja."
Namun pada saat yang sama, suara jahat dalam kepalaku membantah dengan berkata, pembohong.
Jika diibaratkan gelas, maka status pernikahanku seperti gelas yang rapuh. Lebih buruk lagi, mulai retak, tanpa aku tahu bagaimana cara memperbaikinya.
"Itu cuma saran." Aku menunduk, menghindari mata Cherry. "Aku bercanda."
Cherry yang gagal mendeteksi kebohonganku mengangguk. Dia Ikut tertawa karena reaksiku. "Santai saja. Aku juga bercanda. Sekali melirik wajahmu saja sudah aku tahu kau bahagia. Tidak seperti biasanya yang murung."
"Sungguh?" Aku menyentuh pipiku sendiri tanpa sadar. Tidak tahu harus lebih terkejut karena apa; fakta bahwa selama ini Cherry (ataukah semua orang?) menilaiku murung, atau komentarnya soal aku yang terlihat bahagia. Apa itu benar?
Aku memang merasa bahagia akhir-akhir ini....
"Hm! Pasti karena Jaehyun dapat kasus besar lalu punya banyak uang ya? Ayo mengakulah..." Cherry menebak asal, mencubit lenganku sambil nyengir lebar.
Seolah mantra yang jadi kenyataan, Jaehyun tiba-tiba datang. Muncul di pintu gedung, kontan menarik perhatian orang-orang. Setelan jas yang ia pakai biasa saja, tapi ketampanannyalah yang luar biasa. Apalagi dia menata rambutnya dengan gaya comma hair, menampakkan dahinya yang mulus. Penampilan favoritku. Pasti sengaja.
Aku tersenyum, melambaikan tangan.
Dia membalasnya, membuat beberapa wanita-wanita yang ada di dekatnya menoleh seperti efek domino.
"Susah tidak punya suami setampan itu?" Cherry menaik-turunkan alisnya, dengan lagak yang membuatku malah ingin memukulnya, dan omong-omong, memang itulah yang kulakukan.
Jawaban pertanyaan itu, tentu saja : tidak. Jaehyun yang tidak sadar betapa tampan dirinya itu suami yang baik. Berangkat dan pulang bekerja tepat waktu. Tidak pernah aneh-aneh. Kalau harus terlambat, dia pasti memberitahu alasannya, pergi dengan siapa dan kemana. Demi menebusnya, dia akan membelikanku dan Lily oleh-oleh dan hadiah.
Aku jadi tak bisa marah.
Kalau direnungkan, rumah tangga kami ibarat jalan yang terlalu mulus, karena Jaehyun selalu menghindari konflik sebisa mungkin. Minta maaf walaupun dirinya benar, cari aman dengan tidak membesar-besarkan masalah apapun. Kami hidup dengan baik. Rumah tangga kami terdengar seperti sesuatu yang akan diidamkan wanita lain.
Kuakui, ada saat dimana aku bahagia bersama Jaehyun.
Tapi...
"Lihat tuh." Kalimat singkat Cherry memutus lamunanku. Membawaku kembali ke dunia nyata, menengok Jaehyun dan Hanbin, yang sedang bicara tidak jauh dari kami. Terbahak pelan, khas laki-laki jika berkumpul. "Sudah seperti 2 tahun tidak bertemu."
"Duo dramatis." Aku tertawa melihat Lily makan kue cokelat dan mengotori pipinya di gendongan Hanbin. "Dia itu, sepertinya一"
Aku bicara lagi, hendak balas menggoda Cherry dengan berkata bahwa Hanbin tampaknya suka anak perempuan, tapi Cherry mendahului, dia menyela ucapanku. "Rose, apa saat sekolah di SOPA kau punya teman yang pandai melukis?"
Teman? Melukis? Aku memiringkan kepala mendengarnya. "Kenapa?"
Cherry meraih ponselnya yang berbaring di atas meja, membuka kuncinya untuk mencari-cari sesuatu. Keningnya yang berkerut menandakan ia berusaha mengingat sebuah kejadian. "Seminggu yang lalu aku dan Hanbin iseng ke pameran. Orang-orang bilang pelukisnya terkenal. Dan memang karyanya bagus sih, ada satu yang menarik perhatianku. Kau tidak akan percaya ini, tapi sungguh, lukisan yang kulihat itu mirip denganmu! Beda gaya rambut saja. Di bagian poni."
Aku membeku, sekujur tubuhku bagai dirambati untaian es tajam yang dinginnya menusuk.
Melirik Lily yang memamerkan kuenya, dan Jaehyun yang semakin mendekati kami. Perasaan ngeri merambati punggungku, ketika kesadaran bahwa ini bisa berujung buruk menerpa tanpa ampun.
Yuta.
Tak salah lagi. Cherry membicarakan dia.
"Pokoknya perempuan dan laki-laki. Salah satunya punya nama yang lucu."
Jadi merekalah yang dia maksud!
"Kebetulan," lanjut Cherry, tidak melihat ekspresiku yang panik karena masih mengecek ponsel. "Waktu itu pelukisnya ada. Namanya ... hmm siapa, ya? Nakamura, atau Nakara atau ... sesuatu, pokoknya nama belakangnya Yuta! Atau jangan-jangan Yuto? Aku jadi bingung."
Aku tidak menjawabnya, sibuk berpikir dan berpikir, juga memaki keadaan meski tahu itu sia-sia. Lagi, aku melakukan kesalahan dengan mengabaikan kalimat Yuta yang sekilas tampak tidak penting. Terlalu fokus pada lautan yang luas, membuatku lupa mendongak melihat awan mendung yang menyusup hadir diam-diam.
Badai ternyata datang lebih cepat dari yang kukira.
Secepat ini!
"Siapapun itu, dia bilang kalian teman lama, tapi putus kontak setelah kau lulus. Dia minta tolong supaya kami memberi kartu namanya padamu. Kami juga sempat berfoto. Apa kau kenal dia?"
"Kenal siapa?" Jaehyun akhirnya sampai di tempat kami, rupanya turut mendengar beberapa kalimat Cherry. Lalu bertanya dengan wajah polos yang mengirimkan hantaman rasa bersalah ke hatiku.
Aku terlambat. Terlalu lama berpikir. Tak bisa mengantisipasi datangnya badai yang muncul dalam bentuk kata-kata Cherry. Mulutku malah terkunci. Tubuhku diam tak bergerak. Menarik Cherry pergi pun percuma, karena masih ada Hanbin.
Aku adalah penumpang yang tak berguna, terkulai tak berdaya ketika kapal mengalami guncangan hebat, yang mungkin berpotensi merusak.
Aku tak bisa apa-apa.
"Ini." Cherry mengangguk puas setelah berhasil menemukan apa yang ia cari. Lantas mengarahkan layar ponsel dalam genggamannya pada Jaehyun. "Teman lama Rose. Mungkin kau kenal juga. Kalian kan satu sekolah."
Wajah Jaehyun berubah pias. Keceriaan meninggalkan wajah itu layaknya pelangi yang tidak punya banyak waktu di dunia ini.
Saat aku mengintip, itu sebenernya adalah foto biasa; Cherry tersenyum konyol. Hanbin mengacungkan jempolnya. Orang yang terhimpit di tengah merekalah yang membuat foto itu menjadi sesuatu yang celaka.
Itu Yuta, berdiri di depan lukisan yang ia buat untukku. Helaian rambut merah terangnya agak menutupi mata, tapi itu benar dia! Aku memperhatikan bagaimana dari foto pun, kilatan nakalnya tidak bisa disembunyikan dan senyumnya seakan mengejek Jaehyun dari sana.
Dia kembali一dan kini Jaehyun tahu itu.
Mau kenalan sama dokter Cherry? Nih dia orangnya :
Mari kita doakan supaya dia cepet kawin beneran
1 Amin = 1 doa, awokwokwok 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top