31. Rose Yang Mekar
Tutup matamu. Tarik napas perlahan. Rileks. Jangan pikirkan apapun, dan turuti saja perintahku. Sudah? Nah, sekarang bayangkan kau ada di sebuah kapal.
Bukan sembarang kapal, melainkan kapal besar yang begitu megah. Jauh lebih megah dari Titanic. Dengan dinding yang terbuat dari emas, begitu berkilau hingga membuat matamu silau. Lantainya berlapis karpet indah penuh bunga. Semua yang ada disana dibuat khusus untukmu. Terbaik dari yang terbaik. Nahkodanya yang, wow, sangat tampan itu, dia memperlakukanmu seperti ratu. Ini, katanya, memberi segala hal yang kau butuhkan. Uang? Makanan enak? Tinggal sebut saja! Kau bisa memiliki semua asal tetap tinggal dengannya, dan mengurus putri kecilnya yang manis一harga yang harus kau bayar.
Tapi apa jadinya jika berada di kapal itu tidak membuatmu senang?
Kau bosan. Kau jenuh. Pikirmu, sayang melewatkan lautan yang luas ini dengan hanya berdiam diri di kapal. Jalur yang dipilih nahkoda itu terlalu tenang. Sama sekali tidak menantang. Terlebih, ikut dengannya membuatmu tidak bisa kemana-mana. Gerakanmu serba terbatas. Menyesakkan.
Lalu suatu hari, datang kapal lain yang mendekat. Sederhana, lebih kecil, dengan bendera berlambang sayap kebebasan di tiangnya. Nahkoda kapal itu一sambil tersenyum nakal dan menggoda一memanggilmu. Mengulurkan tangannya yang sedikit kotor karena cat. "Ayo, ayo, nona! Ikutlah denganku, kita berpetualang!"
Kau bertanya, "Bagaimana caranya?"
Yang dijawab dengan santai oleh si nahkoda, "Lompatlah! Aku tidak akan membiarkanmu terluka, setelah itu kita bisa menjelajahi lautan, mencari arus yang akan menjadikanmu pelaut hebat. Kau tertarik?"
Kau tertarik?
Bayangkan. Bayangkan.
Jika pilihan itu ada di tanganmu, apa yang akan kau lakukan? Setia sebagai ratu dengan hidup membosankan, atau berubah jadi pelaut hebat yang menyongsong kebebasan?
Ada kehangatan familiar yang melingkupiku saat melihat Yuta.
Percaya atau tidak, aku merasakan hal-hal yang dideskripsikan oleh para novelis ketika tokoh mereka jatuh cinta; kupu-kupu yang menggelitik perut, penglihatan yang fokus pada satu objek sementara lainnya blur, dunia yang dipenuhi warna pink, detak jantung yang meningkat. Semuanya. Singkat saja dengan satu kata : kebahagiaan.
Apalagi saat ia menyentuh tanganku, memutarku seolah kami sedang berada di lantai dansa. Sekali, dua kali, lalu tiga. Aku jadi pusing! Tapi aku merasa sebahagia domba di ladang luas. "Kau sudah lama di sini?"
Yuta menunda jawabannya dengan menunduk lebih dulu, menatap tangan kami. Saat itu, tanpa diberitahu, aku paham apa yang ia pikirkan; bahwa ini salah. Tapi untuk bahagia, adakah yang "benar" dan yang "salah"? Siapa yang menetapkan itu? Manusia yang tak tahu kisah kami? Orang yang melihat status dan hidupku dari luar?
Oh persetan.
Kita semua sama-sama punya dosa. Tak ada yang berhak menghakimi yang lain. Terima saja.
Aku senang Yuta tidak melepasnya, memang itulah yang kuinginkan.
"Lumayan. Kurasa kalau menanam padi, aku pasti sudah bisa memanen padi itu sekarang."
"Ih, berlebihan!" Aku menyikut rusuknya dengan sengaja dan keras. Kami berjalan bersama bergandengan tangan, di antara orang-orang yang tidak mengenal kami. Di mata mereka, mungkin aku dan Yuta terlihat seperti pasangan biasa. Yang menyadarkanku, bahagia rupanya sederhana. Sangat sederhana.
"Makan, yuk?" Ajak Yuta, sesudah puas berakting seperti Neymar Jr. dengan dramatis. "Sudah sarapan?"
Ini dia alasanku melewatkan masakan Jaehyun; ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Tentu aku menggeleng menanggapi, dan menunjuk ke sebuah kedai es krim yang tidak jauh dari kami. "Tapi beli itu dulu, ya?"
Yuta, sebagai orang yang santai, menurut saja aku menyeretnya kesana-kemari. Ikut mengantre bersama pengunjung mall lain yang ingin es krim di pagi menjelang siang yang hangat.
"Dia mau matcha," ucapku, pada pelayan yang menanyakan pesanan.
Yang dibalas oleh Yuta, menunjukku seraya berkata, "Cokelat dengan choco chips untuknya" tanpa melihat buku menu.
Pelayan itu tersenyum.
Selera kami tidak berubah selama bertahun-tahun.
Kemudian, untuk menentukan siapa yang membayar, aku dan dia berhadapan. Saling mengangkat tangan dan...
"Gunting, batu, kertas!"
"Gunting, batu, kertas!"
"Aaahhh...!" Aku menepuk kepalaku sendiri, menyesal mengeluarkan batu. Sementara Yuta yang tadi membentuk tangannya jadi 'kertas' seketika terbahak, seakan baru saja memenangkan undian mobil.
Si pelayan tertawa. "Silahkan."
Aku menyerahkan kartu kreditku untuk membayar, menerima es krimku yang dari tampilannya sudah menggoda. Kuraih satu choco chips, dan memasukkannya ke mulut. Luar biasa. Sejak kapan es krim jadi semanis ini?
Sifat iseng Yuta kembali kambuh dengan es krim di tangannya. "Kurasa aku harus berterimakasih pada Jaehyun. Dia tidak pernah pelit sejak dulu."
"Oh, hentikan." Aku memutar bola mataku dengan cara yang takkan bisa terdefinisikan sebagai anggun. "Kau memang tukang cari keributan."
"Itulah aku." Yuta justru menganggapnya pujian. Dia tertawa, menggiringku keluar dari kedai sesaat setelah speaker yang mereka sediakan mendendangkan sebuah lagu yang terdengar akrab di telingaku. "Apa ini? Bigbang kan? Top of the world?"
When did we start, start losing the spark between us
We're like a drained cola that's lost it's fizz
I'm not hanging myself for such a love一
"Tonight." Aku meralatnya, masih menghafal lagu yang dirilis tahun 2011 tersebut, yang artinya, sudah 8 tahun lalu. "G-Dragon pernah membanting gitar saat menampilkan lagu itu. Keren."
Yuta tersenyum geli. "Ow, penggemar sejati!"
"Tentu saja." Aku menjilati es krimku sebelum menetes ke tangan. "Sayang sekali aku tidak bisa jadi hoobae mereka. Padahal sejak tahu tentang audisi, aku selalu membayangkan berkolaborasi dengan Taeyang. Hidup memang payah."
Keheningan membuntuti kalimat itu.
1 menit terlambat, ketika setengah dari es krimku sudah habis, aku baru menyadari bagaimana kedengarannya ucapan itu dan merasa ingin menampar diriku sendiri. "Maaf. Aku terlalu banyak mengeluh, ya?"
"Tidak, tidak. Bukan masalah. Dengar," Yuta memintaku berhenti dan kami bersandar bersisian di dinding kaca mall yang setinggi pinggang. "Itu bukan mengeluh namanya. Berhentilah jadi jiplakan Ibumu dan berusaha terlihat kuat sepanjang waktu. Apakah kau bahkan pernah menceritakan ini pada seseorang?"
"Percuma."
"Apanya yang percuma?"
Aku berbalik dan mengelap tanganku menggunakan tisu yang melingkar di sekitar cone. "Yuta, semua orang berpikir aku baik-baik saja. Bahwa dengan punya suami tampan dan kaya, aku dijamin bahagia. Mereka tidak ... mengerti, kalau cita-cita yang ada sejak remaja, tidak akan bisa terganti dengan harta. Mereka tidak mengerti." Aku menelan ludah. Rasa manis es krim pun tak bisa menutupi pahitnya perasaan ini. "Seandainya saja aku punya kesempatan..."
Yuta membuang es krimku ke tempat sampah dengan cara menendangnya melihat aku sudah kehilangan minat. "Tapi kau tidak punya kesempatan mencobanya."
"Ya, dan itulah yang membuat segalanya lebih buruk." Aku menghembuskan napas panjang dan menatap ke bawah, pada barisan pengunjung yang di antaranya banyak yang berpasang-pasangan. "Lebih baik aku mencoba dan gagal daripada tidak mencobanya sama sekali. Tapi aku tidak punya kesempatan, seperti katamu. Dan aku menghabiskan seluruh hidupku bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika aku benar-benar ikut audisi."
"Menurutku..." Yuta membasahi bibirnya, tampaknya tidak tahu harus meneruskan atau diam saja. Keraguan membayangi matanya namun ia mengusir itu secepat kedatangannya. "Kemarilah."
Dengan senang hati, aku menyusup masuk ke tempat paling pas untukku sekaligus pelukan paling nyaman di dunia. Dahiku menggesek bahan lembut jaket hitamnya dan aku tersenyum. "Terimakasih sudah kembali, Yuta. Terimakasih karena tidak membenciku, dan terimakasih untuk ini."
"Ini?"
Aku mendongak, menangkup pipi tanpa dimple-nya dengan kedua tanganku. "Meminjamkan telinga. Selama ini tidak ada yang mendengarkanku一tidak Ibu, Alice atau Lisa."
"Kasihan sekali." Yuta menampilkan wajah bersimpati. "Mungkin sebaiknya aku membuka klinik terapi khusus wanita yang pernikahannya gagal. Itu bisa jadi pekerjaan sampingan yang bagus."
Bola mataku berputar. Suasana sedih luruh dan lenyap, dan aku mengangkat lututku untuk menendangnya. "Kau tidak bisa serius lebih dari 10 menit, ya?" Tapi mau tidak mau aku tertawa.
Apa kubilang, bahagia itu sederhana, asal kau bersama orang yang tepat.
"Butuh gula tidak?"
Sembari mendorong troli bak seorang pembalap hebat, Yuta bertanya. Diselingi gumaman lagu "Tokyo Drift" yang salah satu kata di liriknya diganti dengan kata lain, membuatku terkikik. "Gula?"
Aku mengangguk meski tidak yakin. Tadi pagi aku tidak membuat daftarnya. Tapi salah satu keuntungan punya suami seorang pengacara, aku bisa belanja sebanyak yang kumau. Jadi ada atau tidak, bukan masalah. Lagipula, ini kan untuk keluarga kami.
"Cih," Yuta segera bergerak mengambil gula, menggantikan peran Jaehyun yang bila ikut, akan menggendong atau menggandeng Lily. "Banyak sekali belanjaan Ibu rumah tangga ini!"
Aku memandang troli yang sudah hampir penuh, hasil pencarian kami selama setengah jam, dan menyadari dia benar. Troli itu didominasi oleh snack. Yang lain adalah buah, sayur, sereal, susu Lily, dan beberapa kebutuhan dapur lain. Padat dan sesak, padahal kami masih belum selesai. "Maaf merepotkanmu."
"Hei, tidak masalah." Yuta tersenyum tenang, mendorong troli ke rak lain. "Aku juga tidak punya kegiatan apa-apa."
"Pameranmu?"
"Oh itu." Kami berhenti, Yuta meraih 1 botol soju berukuran sedang, menawarkannya padaku dengan menggoyangkan botol itu. Tapi aku tidak mau. Aku tidak pernah minum di depan Lily walaupun ingin一itu merupakan salah satu caraku jadi ibu yang baik. "Ada Johnny yang mengurusnya."
"Jadi kau tidak harus hadir di sana?"
Tidak, adalah jawaban Yuta. Tapi dia mengisyaratkannya dengan cara yang lucu; hidung berkerut, gelengan yang membuat rambut merah panjangnya bergerak. Aku semakin gemas saja. "Sebenarnya aku cuma datang sekali ke pameran, di hari pertama. Dan sekarang aku ingat, waktu itu ada yang mengenali lukisanmu. Katanya mereka adalah temanmu."
Kakiku terhenti tiba-tiba dan troli orang di sebelah kami nyaris melindasnya.
Ini mengejutkan一maksudku kabar itu. Sejak menikah, aku tak banyak menjalin kontak dengan teman-temanku, baik dari sekolah atau rumah lama. Bisa dibilang, aku menghindari mereka karena alasan pribadi. Hanya Lisa yang bertahan, tapi hubungan kami pun sekarang agak kacau dan terancam rusak tanpa bisa diperbaiki.
"Siapa?"
Yuta berusaha ingat. Mengetuk dagunya, memandang langit-langit, tapi akhirnya menyerah dan menunjukkan cengirannya. "Lupa! Pokoknya perempuan dan laki-laki. Salah satunya punya nama yang tidak biasa. Aku sempat berfoto dengan mereka dan memberi kartu namaku, supaya mereka meneruskannya padamu."
"Tapi kita sudah bertemu."
"Benar. Untung waktu itu kau menabrakku dengan pintu mobilmu."
"Enak saja!" Aku melotot. "Memang siapa yang jalan sambil bermain ponsel? Itu salahmu!"
Tahu betul dirinya jarang menang dalam perdebatan melawan aku, Yuta mendengus. "Ya ya ya, terserah. Kalau pasta, butuh tidak?"
Aku diam, mengeluarkan ponselku dari tas kecil yang kubawa.
"Rosie? Pasta bagaimana?"
"Yuta?"
Dia menoleh, di saat yang sama ketika aku membuka fitur kamera dan memotretnya.
Klik!
Tidak protes, dia malah berpose, membentuk tanda "peace" dengan kedua jarinya. Aku memotretnya lagi, 2 kali berturut-turut.
Di foto ketiga, dia tersenyum malu tanpa menatap kamera. Membuatku tertawa.
"Hasilnya bagus tidak?"
"Sempurna!" Pujiku tulus, kemudian merapat lebih dekat dengannya. "1, 2, 3. Kimchi...!"
Klik!
Disaksikan puluhan bungkus pasta, pengunjung lain yang sibuk berbelanja, aku dan Yuta mengukir kenangan baru serta menumbuhkan 1 ikatan yang kukira telah layu; cinta kami.
Kalau dirangkum, perjalanan kebohonganku berjalan seperti ini : tiba di mall pukul 09.55, beli es krim, sarapan yang lebih cocok disebut makan siang di restoran Jepang (dia memaksaku makan banyak supaya pipiku gendut lagi), lalu belanja. Dilanjutkan dengan jalan-jalan sampai kakiku pegal sembari bercanda, aku menyempatkan diri melihat-lihat pakaian (aku beli 1 gaun biru, Yuta 1 jaket, dan 1 kemeja untuk Johnny), baru kemudian pulang.
Semua itu memakan waktu 6 jam, jauh lebih lama dibandingkan waktu yang kuhabiskan di liburan mingguan keluargaku.
Untung Jaehyun tidak curiga. Dia mengira aku butuh me time一bukannya itu sesuatu yang salah, dia hanya tidak tahu aku menghabiskan me time itu dengan siapa. Tapi sungguh, aku jadi merasa jauh lebih baik. Seperti bunga di masa puncaknya, bunga yang sedang mekar.
Aku tidak sanggup untuk tidak tersenyum mengingat apa saja yang kami lakukan, sambil berganti pakaian setelah mandi.
Jaehyun, duduk di tempat tidur di belakangku, berkata, "Tadi Cherry kesini."
"Benarkah?" Raut wajah dokter cerewet yang mengubah hidupku 7 tahun yang lalu seketika muncul di kepala. Cherry. Kami memang berteman sejak saat itu, dan pertemanan tersebut menular pada Jaehyun. "Ada apa?"
Jaehyun menjawab dengan mengeluarkan sebuah kertas berbungkus plastik dari laci, menyerahkannya padaku. Berhias gambar boneka salju yang menggemaskan dan kucing lucu yang merupakan hewan favorit Cherry, aku terkejut mendapati bahwa itu ternyata adalah undangan pernikahan.
Cherry Kim
&
Kim Hanbin
Untuk Rose, yang digambarkan sebagai gurita dengan alis tebal, sehingga terlihat dia sedang marah. Dan Jaehyun, penguin dengan eye smile yang lucu.
Dasar.
Aku tergelak, ikut senang dengan berita baik ini. "Akhirnya mereka menikah juga! Si Cherry itu, dia sudah tua, memang sudah saatnya menikah!"
Jaehyun mengangguk setuju. Dia tahu bahwa Cherry adalah orang yang mengubah pikiranku mengenai aborsi, dan selalu berterimakasih padanya soal itu. "Acaranya 2 hari lagi. Aku ada urusan dengan Chaeyeon, tidak apa-apa kalau kau naik taksi bersama Lily? Nanti kita bertemu di sana."
"Oke," sahutku santai. Tidak ambil pusing.
Senyum Jaehyun pelan-pelan menghilang. "Sungguh?"
"Hm!" Aku mengangkat jempolku untuk meyakinkannya. Sebenarnya dia ikut atau tidak, bukan masalah untukku. Aku tidak mau memaksanya kalau dia sibuk.
Tapi Jaehyun rupanya salah menanggapi itu. Dia tertawa, dengan cara yang menunjukkan tidak sepenuhnya bercanda. Ada sedikit kemurungan yang terselip, berusaha ia tutupi. "Wah, enaknya punya istri yang tidak cemburuan, ya?"
Ada yang kangen sama dokter Cherry kagak neh??
Hujat aja tuh, emang hanbin kegantengan buat dia 😡
Saksikan kebacotannya di part depan ya 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top