30. Rahasia Dengan Kucing

Tidak tahu sejak kapan, aku kesulitan tidur di jam yang normal akhir-akhir ini.

Tidak hanya hidupku yang jungkir balik, tapi siklus tidurku juga; terlelap di siang hari, mata terbuka lebar saat dunia dan kebanyakan penghuninya beristirahat. Setiap kali diperintahkan terpejam, otakku malah mengirimkan kilasan kenangan masa lalu yang pantas dilupakan, seolah berkata,

Rose, kau ingat saat ibu menolak menggendong Lily?

Atau ketika kau merasa kesepian sekali di awal pernikahanmu?

Oh, dan bagaimana soal bisikan teman-teman waktu tahu kau hamil? Tidak lupa kan?

Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya aku akan terjaga sepanjang malam, menghibur diri dengan menonton salah satu koleksi film Jaehyun. Mencoba melupakan dengan mengalihkan pikiran. Biasanya ditemani secangkir susu hangat.

Kali ini berbeda.

Lupakan soal film. Ganti susu dengan kopi yang diberi 1 setengah sendok gula. Aku punya cara lain mengusir insomnia, bersama Eunhee yang berbaring denganku di kamar tamu yang gelap. Sesekali dia  berusaha mencakar jempol kaki yang sengaja kugerakkan, sementara aku menggenggam ponsel dan mengetik, "Yuta, kau sudah tidur?"

Hampir tengah malam. Orang lain akan menilai mengirim pesan di jam seperti ini tidak sopan. Namun aku kenal Yuta; dia sering begadang, menonton pertandingan sepak bola, atau menggambar ketika rumahnya dalam keadaan tenang. Katanya itu bisa membuatnya lebih berkonsentrasi.

Balasan datang kurang dari 2 menit, berupa sebuah panggilan masuk yang mengejutkan.

"Angkat tidak, Eunhee?"

Eunhee hanya menatapku dengan matanya yang berwarna kecokelatan. Dia mengeong saat aku menggaruk bagian bawah dagunya.

Kuanggap itu sebagai "iya".

Panggilan diterima.

"Halo?"

"Rosie?"

Desiran hangat melintasi dadaku saat disapa panggilan khusus itu. 7 tahun tak mendengarnya, tidak akan ada yang tahu seberapa dalam lautan rindu terbentuk dalam hatiku一untuknya, juga untuk caranya memanggil namaku. "Ya. Ini aku."

Yuta tertawa di seberang sana, di一aku masih sulit percaya一negara yang sama denganku. Kami menghirup udara yang sama pula dan aku tak bisa membayangkan berkah yang lebih baik dari ini kecuali bertemu dan berada di sampingnya. "Sudah kuduga. Aku menunggumu sejak tadi."

"Maaf." Aku meringis. "Lily tidur agak larut karena besok libur."

"Bagaimana denganmu? Kenapa kau belum tidur?"

"Hanya karena." Aku menghela napas seraya melengkungkan punggung ke belakang dan jatuh di antara bantal-bantal empuk yang terbalut pillow case ungu. "Bulannya terlalu indah untuk dilewatkan malam ini."

Dan itu memang benar. Dari posisiku, aku bisa melihatnya melalui jendela yang menghembuskan angin malam. Bulan itu menggantung di langit memancarkan cahaya kuning misterius, mengingatkanku bahwa dulu, aku dan Yuta biasa duduk di ayunan rumahnya memperhatikan bintang-bintang sambil main tebak-tebakan.

Suatu kali, dia menyebabkanku sakit perut usai menjawab pertanyaanku tentang "fried apa yang paling enak" dengan "fried day" sehingga aku tertawa terbahak-bahak. Di hari yang sama, dia memberiku lukisan sepasang kekasih di bawah bulan yang kemudian dipajang ibuku di ruang tamu.

Lukisan itu sudah tidak ada sekarang, walaupun bila ada yang bertanya, aku pasti bisa menggambarkannya dengan mendetail karena kenangan bertahan lebih lama daripada benda-benda.

"Apa kau masih suka menggambar langit, Yuta?"

"Oh ya." Dia mengeluarkan tawa lucu. "Langit adalah objek yang cukup umum bagi pelukis yang beraliran surrealisme. Lagipula kebiasaan lama sulit dihilangkan."

"Seperti kenangan?"

"Seperti cinta masa SMA." Yuta berpendapat, si pelukis yang selalu berpikir dengan kerangka romantis. "Kau mau jadi modelku lagi kapan-kapan?"

Aku mengulum senyum dan melirik ke samping, menyaksikan Eunhee telah tertidur dan membawa rahasiaku ke dalam mimpinya. "Aku tidak keberatan, asal bayarannya sesuai. Lalu karena kau sudah melukisku tanpa izin dan memajangnya di pameran, sepertinya aku pantas dapat bayaran melimpah."

"Tuntut saja aku." Yuta mengubah suaranya menjadi terluka. "Tapi kau bahkan belum mengambil lukisan itu!"

"Kau benar! Kita terlalu banyak bergosip tadi!"

Suara kami kompak melebur dalam tawa, mengisi malam dengan candaan yang akan disebut Lisa "pembicaraan tidak berkualitas". Dia tidak tahu saja; berbincang dengan Yuta adalah kebahagiaan sederhana, kesenangan yang tidak perlu melibatkan uang atau barang-barang mewah.

Malam itu一pagi itu, selama 2 jam, aku tertawa lebih sering bersamanya dibanding seminggu yang kuhabiskan dengan Jaehyun. Dan di akhir panggilan, Yuta mengirimiku sebuah gambar bunga yang menumbuhkan hati. Macam-macam warna yang terlalu indah untuk dunia ini mengelilingi bunga hati itu disertai beberapa ekor kupu-kupu yang sayapnya seakan terbuat dari cahaya. Dia bertanya, "Bagaimana menurutmu, sensei?"

Kami kembali ke kebiasaan di masa lalu; aku bernyanyi untuknya, dia membalas dengan gambar yang meminta saran atau kritik dan kadang-kadang usulan judul yang menarik.

Aku menyimpan analisisku untuk besok, tapi aku menjadikan gambar itu sebagai wallpaper. Di sebelah Jaehyun yang terlelap, aku mengubah password ponselku agar ia tidak bisa melihatnya dan tertidur dengan ponsel yang bersandar di dadaku.

Rasanya seolah-olah Yuta memberiku hati yang baru sebab yang lama telah dihancurkan takdir.

"Sedang apa?"

Ketika mimpi indah bersedia melepasku dan aku terbangun, aku masih belum bisa menghentikan bibirku untuk tersenyum.

Nyanyian Jaehyun yang mengusikku mendahului alarm tidak menggoyahkan senyum itu. Suaranya bagus一lembut dan tegas menyerupai cokelat yang mencair一begitu pula suasana hatiku. Tidak perlu merusak pagi indah ini dengan marah-marah. Terlebih, karena Jaehyun tengah memasak saat aku tiba di dapur.

"Masak kimbap. Lily yang mau." Jaehyun menjawab, memamerkan piring berisi makanan hasil karyanya一entah berisi apa, tapi kelihatannya enak. "Sini, cobalah."

Aku tak perlu diminta 2 kali. Segera, aku berlari kecil, menghampiri Jaehyun dalam beberapa langkah. Sejujurnya dia cukup pandai memasak, dan tidak jarang, kami mengadakan lomba dengan Lily yang menjadi jurinya.

Aku tidak terkejut saat setelah menggigit 1, perutku bergemuruh meminta lebih banyak. Perpaduan nasi, sosis, dan daging membuatku mengacungkan jempol untuk penghargaan. "Enak! Tapi kenapa tidak pakai wortel?"

"Habis." Jaehyun menunjuk ke lemari es dengan jarinya, tanpa nada menuduh bertanya kenapa aku belum belanja.

"Lupa." Aku melemparkan senyum penuh sesal, teringat koran yang mengalihkan perhatianku dari kegiatan yang seharusnya kulakukan beberapa hari yang lalu.

Jaehyun tersenyum lagi, menyuapiku kimbap kedua sampai mulutku penuh. Ia kelihatan lebih segar pagi ini, tidak pucat. Obat yang kubeli jelas sudah bekerja. "Aku bisa mengantarmu. Jalan-jalan minggu ini sepertinya harus ke minimarket, tapi Lily pasti setuju ke tempat manapun yang ada es krimnya."

"Hm?" Aku harus mengguyur kimbap dengan air lebih dulu untuk bicara, hampir saja tersedak berkat refleks menggeleng. "Tidak, kau masih sakit."

"Aku sudah lebih baik." Jaehyun membantah, mengarahkan tanganku ke dahinya agar lebih meyakinkan. Suhunya memang sudah jauh menurun. "Benar kan?"

"Ti-dak!" Aku menyentil dahinya dan membentuk pose larangan dengan jari telunjukku. "Aku akan belanja sendiri, kau di sini saja."

"Tapi一"

Tapi sebelum dia menyuarakan sanggahan yang lebih kuat, aku buru-buru berbalik dengan alasan mau mandi. Aku melesat ke kamar, melewati pintu pink kamar Lily yang  tertutup rapat. Ini hari minggu, semuanya serba santai. Kami bisa sarapan jam 8, atau malah jam 9. Kemudian pergi ke suatu tempat bertiga.

Sayangnya karena Jaehyun belum sepenuhnya sembuh, tradisi itu tidak bisa dilakukan.

Sembari bersenandung, aku mengetikkan sesuatu di ponselku, lantas masuk ke kamar mandi. Belum pernah rasanya aku sesemangat ini untuk membeli isi lemari es.

Aku punya sebuah rencana.

"Cinta kita yang seperti bermain dengan api..."

Aku butuh waktu hampir 20 menit untuk bersiap-siap一sebenarnya bisa dipersingkat kalau tidak pakai make up, tapi aku ingin terlihat cantik hari ini. Lebih cantik dari biasanya一bukan lagi wanita kurus berkulit pucat.

Pilihanku jatuh pada sepasang celana panjang dan jeket Levi's biru, yang kupadukan dengan kaus putih. Tas hitam tersampir dibahu, berisi ponsel dan dompet. Sedangkan rambutku terikat ke belakang dengan pita yang senada dengan tas.

Seperti ini, tidak terlalu mencolok kan? Aku tidak mau Jaehyun curiga.

Aku mematut penampilanku di cermin berulangkali, barulah setelah itu menemui Jaehyun yang duduk ditemani Lily di meja makan. Bertiga dengan Eunhee, mereka menjadi trio yang asyik mengunyah sarapan yang terlambat. "Lily, Mama mau belanja. Kau temani Papa saja, ya?"

Kepala Lily menggeleng kuat-kuat. Satu kakinya turun dari kursi. "Mau ikut!"

"Hey, tidak usah. Lihat tuh." Jariku teracung menunjuk Jaehyun yang secara ajaib masih terlihat tampan dengan rambut berantakan dan pakaian kusut khas orang bangun tidur. "Papa masih sakit. Kau tega meninggalkan dia sendirian?"

Bibir Lily mengerucut, bimbang.

"Nanti Mama belikan Oreo rasa strawberry, yogurt dan jelly yang banyak, bagaimana?"

"Hmmm..." Lily mulai dihinggapi keraguan. Ia melirik Jaehyun dan aku bergantian; ayah yang dia sayangi dan es krim yang dia suka berkompetisi dalam benaknya.

Jadi?

"Dengan permen, ya?"

"Oke!" Aku melakukan gerakan hormat, mengecup pipinya dengan suara muach yang keras, lalu berganti pada ayahnya. "Aku berangkat sekarang?"

Jaehyun diam sebentar, menyentuh kelopak mataku yang dihias eyeliner一sesuatu yang langka. Ekspresinya tampak heran. "Tumben pakai make up. Tidak mau sarapan dulu?"

Aku menggeleng, tertawa gugup. Dan karena tidak ingin berbohong, aku tidak menjawab pertanyaan itu, memilih pergi diiringi lambaian ceria.

Hal terakhir yang kulihat sebelum meninggalkan rumah adalah senyum polos Jaehyun yang tidak tahu apa-apa, dan Lily yang mengira aku hanya pergi untuk belanja.

Padahal bukan.

Ini adalah perjalanan kedua yang diselipi setitik kebohongan dalam acara belanja. Ini hari libur yang kucuri supaya aku bisa jalan-jalan dengan orang yang aku suka di tengah-tengah orang-orang yang tidak mengenal kami. Ini jeda sejenak dari rutinitas yang melelahkan, ini liburan dari kenyataan!

Ayo, ayo, ayo.

Jariku mengetuk setir dengan tidak sabar.

Aku tidak mau membuatnya menunggu.

Kami janji akan bertemu jam 10 di mall, dan一untungnya一 aku berhasil sampai disana 5 menit lebih awal. Setelah memarkir mobil, aku pun turun, melangkah seakan melayang ke surga. Kakiku terasa ringan.

Mall yang baru buka satu jam yang lalu masih terbilang sepi, tapi tetap saja sudah banyak pengunjung yang berdatangan. Aku berniat mengeluarkan ponsel untuk mencarinya, sebelum mataku tiba-tiba menangkap kilau rambut merah terang  seorang pria yang duduk di kursi dan tak dapat menahan kantuknya.

Sekali lihat saja, aku tahu itu dia. Aku tahu dengan keyakinan yang teramat besar bahwa untuk urusan mengenalinya, aku tidak mungkin keliru.

"Yuta!"

Benar saja, Yuta menoleh.

Healing smile-nya perlahan muncul, menyambut kedatanganku.

Waktu bagai menyusut. Jarum jam bergeser  mundur dan semua hukum alam jadi tak berlaku. Cinta kami menentang ketidakmungkinan, menguraikannya, karena saat Yuta meraih tanganku, aku mendadak lupa pada statusku一ibu, istri一dan hal itu terlepas dariku layaknya seseorang yang mencopot jaketnya.

"Halo, modelku." Yuta menggerutu. "Jika kau terus tampil mempesona seperti ini, Rosie, jangan salahkan aku kalau aku menculikmu ke Jepang."

Nyonya Jung siapa? Mamanya Lily siapa?

Di detik ini, aku hanya Rosie milik Yuta.

Rose kan gurita
Jaehyun penguin
Kalau Yuta cocoknya apaan? 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top