29. Rose : 25
2019 一 MASA KINI
"Jadi begitulah. Bukan kisah yang bagus kan?"
Mencoba tidak mengasihani diri sendiri, aku membalut dukaku dengan tawa. Secara refleks menggigiti kuku, seolah itu bisa mengurangi rasa malu. Berapa lama pun mengendap, kenangan masa lalu ternyata masih bisa menyiksaku. Sakitnya begitu nyata, membuat air mataku menggenang.
Jangan. Jangan. Jangan. Aku harus kuat. Sudah cukup aku menangisi ini. Waktunya berhenti. Menangis hanya akan membuatku jadi jelek, pantulan diriku di kaca spion membuktikannya; seorang wanita, ibu dan istri dengan pakaian ber-merk yang terlalu besar一karena aku jadi semakin kurus. Kulit pucat akibat jarang terpapar sinar matahari, mata yang memerah.
Cantik apanya?
Jaehyun bohong.
"Aku marah sekali padamu. Dan kebetulan saja Jaehyun ada. Kurasa..." Aku ragu. Mengambil jeda sejenak dengan menatap ke kejauhan, lebih tepatnya pada sepasang murid sekolah yang baru keluar dari lokasi pameran. Aku penasaran apakah mereka membolos atau pulang lebih cepat. "Kurasa aku akan tetap melakukannya meski dengan orang yang tidak kukenal."
"Jadi sejak awal Jaehyun sekedar pelampiasan?" Yuta akhirnya merespon. Ekspresi di wajahnya masih tidak terbaca dan dia masih pendengar yang baik, hanya menyela beberapa kali. Selebihnya diam dengan rahang mengeras, yang sempat menimbulkan ketakutan dalam diriku.
"Benar." Untuk pertama kalinya, aku mengakui itu pada dunia, melepas topeng sok baik yang kukenakan. "Aku memang jahat. Sekarang kau tahu aku orang macam apa."
Bukannya menjawab, Yuta malah mengeluarkan dengusan yang lebih mirip tawa. Dia rupanya sedang memperhatikan 2 murid sekolah tadi; yang laki-laki tengah memasangkan helm pada gadisnya, lalu mengatakan sesuatu hingga dia terkikik. Keduanya tampak bahagia, khas orang yang dimabuk cinta. "Mirip dengan kita, kau ingat?"
Tentu saja aku ingat. Tidak perlu ditanya lagi. Bagaimana aku akan lupa moment saat dia mencegatku di halaman sekolah dan berbisik dengan gaya orang yang hendak memberi suap, "Ada pameran seniman keren di dekat sini. Mau bolos ke sana? Aku sudah pinjam pakaian Momoka untukmu."
Tapi aku yang dulu, gadis yang menanggapi tawaran Yuta dengan mata berbinar yang lapar petualangan, sudah hilang, digantikan sosok baru yang hidup tanpa semangat. Menjalani hari demi hari hanya karena harus, tidak punya tujuan.
Aku yang ceria, yang mudah tertawa, di mana kau kini?
"Menurutku, Rosie." Ketika pasangan yang mengingatkanku pada kami di masa lalu itu pergi, Yuta menghadapku. Tanpa diduga, sudut bibirnya melengkung ke atas. "Kau hebat, kuat, dan jelas tidak jahat. Banyak gadis yang akan lebih memilih aborsi, bukannya bertanggung jawab."
"Kau tidak dengar, ya? Aku hampir saja aborsi kalau bukan karena Cherry一"
"Pada akhirnya tidak kan?" Dia memotong. Tidak terlihat marah sedikitpun, atau yang lebih buruk, jijik. Sorot matanya sehangat matahari yang sedang bersinar. Mencairkan es yang membungkus hatiku. "Pilihanmu sudah tepat. Aku bangga padamu."
"Kau tidak membenciku?"
"Maunya sih begitu." Yuta melakukan salah satu kebiasannya yang lain; mengacak-acak rambut. "Tapi tidak bisa. Aku hanya kecewa kau tidak jujur sejak dulu."
Kejujuran. Bukan hal yang bisa diharapkan dari pembohong ulung sepertiku. Namun aku punya alasan untuk itu, yang一sampai saat ini一kuanggap benar. "Aku tidak mau kau berpikir aku lebih memilih Jaehyun. Itu kecelakaan, sungguh. Aku sangat menyesalinya."
"Bahkan meski Jaehyun sangat tampan dan kaya dan luar biasa?"
Hening. Butuh waktu untuk memikirkan jawabannya. Ya, yang tadi dikatakan Yuta benar. Dan ya, Jaehyun kadang membuatku bahagia. Tapi masalahnya bukan ada pada dia; ini sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ada di hati. Kehadiran Lily-lah yang menyatukan kami. Cuma itu. "Aku tidak mencintainya."
"Kenapa?" Yuta bersandar di kursinya, menaikkan satu kaki di atas lutut. "Dia memperlakukanmu dengan baik kan?"
Aku mengangguk cepat, terbayang makanan-makanan yang sering Jaehyun bawa sepulang bekerja, perhatiannya saat aku hamil, juga hadiah-hadiah kecil darinya yang selalu membuat Alice berkata iri. Dia, Lisa, dan banyak orang mengira hidupku sempurna一bila dilihat dari luar.
Sangkar tetaplah sangkar. Tak ada burung yang dengan senang hati memasukinya一setidaknya burung yang pintar.
"Aku kehilangan banyak hal karena menikah dengannya. Kasih sayang Ibu, mimpiku jadi penyanyi dan ... kau. Semua itu tidak bisa ditukar dengan apapun一takkan pernah."
"Tunggu." Yuta terkejut. Matanya melebar manakala menemukan celah dari kisah yang sengaja tidak kurinci karena membicarakan itu terasa sakit. "Jadi kau dan Bibi masih bertengkar?"
Aku mengiyakan sambil menahan sengatan rasa nyeri di dada. Kekecewaan berbeda dengan kemarahan; hanya waktu yang bisa mengikisnya. Dalam kasus ibu, dia butuh waktu yang sangat lama. Aku telah mengecewakannya dengan cara terburuk dan dia belum memaafkanku untuk itu. "Ibu sepertinya lupa dia punya 2 anak. Dia pergi ke Melbourne di hari pernikahanku, dan jika Alice tidak memaksa, kurasa dia tidak akan pernah menengok Lily. Hahaha lucu sekali, ya?"
Yuta tidak tertawa.
"Ah, maaf." Aku mengusap sudut mataku yang basah, sebelum air mata terlanjur menetes. Lalu terdiam sebentar, melihat tanda putih jelek yang melingkar di jari manisku. "Apa tidak lucu? Aku masih belum pandai mengarang lelucon. Maaf."
Lawan bicaraku nyengir, yang segera berubah menjadi tawa. Orang lain pasti akan menawarkan kalimat penghiburan biasa (bukan berarti aku pernah bercerita) tapi Yuta adalah Yuta. Dia berbeda. "Jujur saja, Rosie, kisah hidupmu benar-benar menyedihkan. Menikah dengan orang yang tidak kau cintai, gagal meraih cita-cita sebelum mencobanya, bahkan dibenci oleh Ibu sendiri. Kau ini, ternyata sedang berada di neraka, ya?"
"Jahatnya..." Aku pura-pura marah, yang hanya bertahan 3 detik sebelum ikut terbahak. Tawa Yuta selalu menular. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa membawa keceriaan di suasana yang menyedihkan ini, tapi karena itulah aku merindukannya. "Mungkin kau benar. Nerakaku bernama pernikahan."
"Ha! Dan kapan kau berniat keluar dari sana?"
Ketika kau membawaku keluar, aku ingin menjawab begitu, bukan karena mau bersikap romantis, melainkan minta tolong; permohonan dari seorang wanita yang putus asa, yang setelah sekian lama, merasakan kembali keinginan untuk hidup. Selama ini, aku mengira hidupku sudah tamat, berakhir. Bahwa karena berada di neraka terlalu lama, aku tak punya kesempatan lagi untuk melihat surga.
Salah besar.
Yuta di sini, menggenggam sebuah lentera dan dia mengulurkan tangannya padaku.
Tapi sebelum kalimat itu resmi meluncur dari bibirku, ponselku berbunyi. Lagunya berjudul "Forever Young" dari girl group debutan YG. Disertai tampilan panggilan masuk, dan nama "Jaehyun".
Yuta mengintipnya dan menyeringai. "Kau mau aku pergi?"
Sebelah tangannya ada di pegangan pintu.
"Tidak!" Aku menggeleng, ngeri mendengar apapun yang berhubungan dengan pergi darinya, jadi aku hanya membentuk gestur "ssstt" agar dia diam. "Jaehyun, aku kan sudah bilang一"
"MAMA!"
Suara melengking khas anak-anak milik Lily terdengar menggelegar menyapa telinga.
"Mama di mana? Kenapa belum pulang? Kapan mau pulang? Tadi aku dapat nilai A di pelajaran menggambar lho, Mama harus melihatnya!"
"Itu..." Aku mengawasi reaksi Yuta selagi menjawab, lega mendapatinya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan Lily. "Iya, sebentar lagi. Papa baik-baik saja?"
"Huh!" Dengusan keras mengiringi kalimat Lily selanjutnya. Aku bisa membayangkan dia merengut dengan pipi yang menggembung. Mungkin sambil ditemani Eunhee, si teman baru yang berbulu. "Dia tidur terus. Tidurnya juga jelek, mulutnya terbuka lebar seperti hewan yang pernah kita lihat di kebun binatang. Pokoknya jelek!"
Aku tertawa. Sifat menggoda Lily sering Jaehyun sebut diperoleh dariku dan di saat tertentu, kupikir dia benar. "Sana, suruh dia makan. Jewer telinganya kalau tidak mau."
"Gampang, asal Mama membelikanku es krim nanti."
"Cokelat atau vanilla?"
"Vanilla!"
"Siap, kapten! Sudah dulu, ya?"
"Oke. Dah, Mama. Hati-hati di jalan!"
Panggilan terputus.
Tiba-tiba aku merasa tertekan. Aku merasakan ilusi ada rantai yang mengikatku sampai aku tidak bisa bergerak. Sekarang aku sungguh menjadi kupu-kupu tanpa sayap. Selain orang tua, impian, dan cinta, hal berharga lain telah diambil dariku; kebebasan.
Aku tidak tahu apa lagi yang tersisa untukku sebelum sadar bahwa aku sudah tidak punya apa-apa. "Selamat datang di pertunjukan komedi hidup ibu rumah tangga..."
"Jam bermainmu habis?"
Yuta terkekeh, bermaksud menghibur sebab aku mendadak murung. Dia memang paling bisa diandalkan soal itu. Aku takjub pada seberapa mudah ini terjadi; keakraban kami terjalin kembali, seolah dia tidak pernah pergi dan jarak 7 tahun sama sekali tidak penting.
"Cinderella harus pulang."
"Padahal belum tengah malam." Dia mencibir, memberiku hadiah sederhana sekaligus amat berarti berupa tepukan di kepala. Sentuhan tangan itu, aku sangat merindukannya. "Jangan sedih begitu. Kita tidak akan berpisah secepat ini."
"Tapi pameranmu hampir usai..." Aku tak ingin bersikap manja, seperti diriku di usia belasan, tapi tanpa bisa dihindari, suaraku keluar mirip rengekan anak-anak. Mewakili kesedihan yang tak bisa kusimpan sendiri. 2 kali pertemuan sama sekali tidak cukup. Aku menginginkan lebih.
"Sini." Yuta mengeluarkan sebuah pulpen yang terselip di saku kemejanya, dan meraih tanganku. Kulitku berubah menjadi kanvas sedangkan pulpen itu adalah kuasnya."Kau bisa mampir kapan saja. Jangan malu-malu."
"Geonam-dong?" Aku membaca 2 kata pertama yang ia tuliskan, sambil mengingat-ingat daerah yang ia maksud. "Jauh juga."
"Dekat stasiun Kangguk." Yuta membantu, memberi lebih banyak petunjuk. "Di sana ada apartemen 7 lantai. Kau tidak mungkin tidak menemukannya. Yang nomor 609 punyaku. Yah, sebenarnya punya Johnny. Apa aku sudah cerita tentangnya?"
Gambaran seorang pria super tinggi yang menyapaku di pameran hadir di benakku ketika Yuta menyebut nama itu. Johnny Seo, si raksasa yang ceria. "Ya, sudah."
"Aku tinggal dengannya di Korea dan aku tidak berniat buru-buru pulang. Kalau kau kesulitan mencarinya." Yuta menunjuk tanganku, kemudian mendekatkan jari jempol dan kelingkingnya ke telinga, membentuk telepon. "Hubungi aku."
Geonam-dong, apartemen Moorim, no. 609. Dekat stasiun Kangguk. Aku membaca tulisan Yuta berkali-kali, memastikan semua kata dan angka terekam di otakku dengan benar. Sehingga kalau terhapus keringat, itu tidak akan jadi masalah.
Dan nomor itu! Aku tersenyum. Memikirkan hari-hari lawas dimana Yuta dan aku saling bicara lewat ponsel sebelum tertidur. Nyaris setiap malam一main tebak-tebakan, bicara mengenai film, merangkai janji pertemuan.
Masa lalu dengannya sangat indah. Kami memang tidak bisa kembali kesana, tapi bagaimana kalau mengulanginya, dan berusaha mendapat akhir yang berbeda?
Kalau kau punya anak yang masih kecil, susah sekali menjaga rumah dalam keadaan rapi一tidak peduli berapa kali dibersihkan. Jadi aku hanya setengah kesal saat melihat mainan Lily, lengkap beserta boneka Elsa-nya yang sangat ia sayangi tersebar di ruang duduk layaknya pasir yang bertaburan di pantai.
Dia sedang bermain Lego saat aku sampai, membentuk istana. Eunhee meringkuk di sebelahnya layaknya pengawal pemalas. Dia tidak mendongak saking seriusnya. Barulah saat mendengar bunyi langkah kakiku, dia bangkit dan cepat-cepat berlari menyambut seperti terjangan tornado. "Mama!"
Spontan, aku membuka lenganku lebar-lebar untuk memeluknya. Menenggelamkan wajah di rambutnya yang panjang, berbau shampoo dengan aroma strawberry. "Kenapa lama sekali?"
Aku mempertahankan pelukanku lebih lama dari biasanya, mencubit pipi gendutnya. Bayi yang dulu tidak dikehendaki siapapun sudah tumbuh dengan baik, memberiku alasan untuk hidup dan kebahagiaan yang melimpah. Dia memang lahir dari kesalahan dan sebelum itu membawa banyak masalah, tapi aku tidak menyesalinya sekarang. Dia memiliki sebagian hatiku yang ada sejak aku mendengarnya menangis pertama kali. "Lily..."
"Apa?"
"Walaupun kau nakal sekali, tapi sebenarnya Mama menyayangimu. Sangat, sangat, sayang. Kau itu hadiah terindah dari Tuhan. Maaf jarang mengatakannya, ya?"
Mata lebar Lily mengerjap kebingungan. Mirip dengan ibuku. Hidung dan bentuk dagunya adalah warisan dari Jaehyun. Sedangkan kontribusiku hanya ada di bibir. Tapi di dalam, dia adalah jiplakan persis diriku saat masih kecil. Ceria. Aktif. Hobi menghadiahi orang tuanya sakit kepala. "Tidak apa-apa. Aku tahu kok. Aku kan anaknya Mama."
"Mama siapa?"
"Mama Rose yang cantik dan Papa Jaehyun yang jelek."
Kami tertawa, semakin keras saat Jaehyun menyahut dari kamar, "Aku dengar itu, awas saja kalian!"
Ini Rose sama Eunhee
Nama Eunhee gua ambil dari ikannya yang mati. Kasian lhoh, sampe nangis si mbak mawar, tapi tetep lucu 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top