27. Mereka Kira Dia Beruntung
Hari sudah cukup larut saat aku dan Jaehyun menuju ke rumah.
Jarum jam bergulir ke angka 9. Kami, 2 titik debu bila dilihat dari luar angkasa, partikel yang tidak terlalu penting kecuali bagi orang yang mencintai kami, sedang berkendara di mobil yang dipinjam Jaehyun dari ayahnya dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana ia meminta izin untuk itu.
Ini seperti perjalanan menuju jurang一semakin dekat ke rumah, semakin dekat pula maut yang menantiku, yang mau tidak mau, akan kami hadapi juga. Aku bertanya-tanya apakah ini yang dirasakan para terpidana mati yang digiring ke ruang eksekusi. Kupikir, aku mengerti; bagaimana denyut nadimu menggila, perasaan ingin berteriak serta meminta seseorang mengakhiri ini karena kau muak dan ingin pikiran jahatmu diam一aku merasakannya, dan ini membuatku gila.
Demi mengalihkan pikiran, aku menoleh pada Jaehyun, yang mengejutkanku dengan kemampuan mengemudinya yang luwes dan ahli. Dia tidak terlihat gugup atau melanggar peraturan apapun sehingga polisi patroli yang sempat kami jumpai tidak punya alasan menghambat perjalanan kami.
Perjalanan ini sebegitu mulusnya sampai-sampai aku hampir termakan ilusi bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Yang tentu saja, tidak benar.
Kami sudah menghilang 3 hari, apanya yang baik-baik saja dari itu? Aku ternyata butuh waktu lebih lama dari yang mau kuakui untuk mengumpulkan keberanian menemui ibu.
Jaehyun membolos bersamaku, berpikir bersamaku, bicara pada si bayi seolah dia akan memberi memberi solusi bukannya menjadi sumber masalah, lalu di hari ketiga siang ini, memutuskan pulang.
Ponselnya berbunyi terus, ia tidak bisa menghindari orang tuanya selamanya.
Namun saat aku menawarkan ikut dengannya, dia tidak mengizinkan. Dia bilang, ini masalahnya. Aku tidak boleh stres. Aku lebih baik tidur. Aku lebih baik melakukan apapun yang kusuka di rumah yang aman ini.
Dia kembali beberapa jam kemudian dengan wajah murung yang tak bisa disembunyikan dan mobil keren yang terparkir di halaman.
"Kau baik-baik saja?" Aku bertanya seperti orang tolol sebab bingung harus berkata apa.
Dia mengangkat bahu dan tersenyum. "Ada masalah dengan motorku. Aku pinjam mobil Ayah."
Mobil?
"Tapi bagaimana dengan orang tuamu?"
Jaehyun malah berbalik ke dapur dan mengambil segelas air dari sana. "Tenang saja, aku tidak akan di usir ke jalanan, Rose. Aku kan anak tunggal."
Setelah itu dia tertawa, menghindari kontak mata denganku dan tidak mau membicarakan mereka lagi. Itulah saatnya aku paham bahwa Jaehyun memang tidak pandai berbohong, tapi dia jagonya merahasiakan sesuatu. Seandainya saja aku tidak melihat bekas kemerahan di pipinya, aku tidak akan tahu bahwa pertemuan itu tidak berjalan lancar.
Hidup kami bergeser ke arah kekacauan.
Karena menurutku sudah terlanjur, lebih baik aku ikut menceburkan diri saja. Toh, kami sudah sama-sama basah. Tidak ada gunanya menunda eksekusiku lebih lama, kecuali mungkin ini akan membuatku gila sungguhan.
Jadi aku menarik tangan Jaehyun, mengambil kunci mobilnya, dan berkata, "Ayo kita ke rumahku. Kita selesaikan semuanya hari ini."
Begitulah mengapa kami berada di mobil ini.
"Kau siap?" Jaehyun yang tidak melepaskan tanganku sejak awal bertanya. Dia mengerem di depan rumahku, di samping mobil ayah yang rupanya sudah pulang.
Apakah aku harus bersyukur karena itu?
Aku berusaha tersenyum. "Siap atau tidak hadapi saja."
Kalau mau bersikap berani, seharusnya aku juga menghadapi ini sendiri seperti Jaehyun. Dia sudah punya cukup banyak stok stres untuk berbulan-bulan dan aku tidak perlu menambahkan stres dari orang tuaku, tapi aku ketakutan. Dengan dia di sampingku, rasa takut itu sedikit berkurang. Aku senang Jaehyun bersedia ikut.
Rasanya, baru kali ini rumahku terlihat menakutkan alih-alih hunian yang nyaman. Aku baru meninggalkannya selama 3 hari tapi tiba-tiba merasa asing di sini? Seolah rumahku tidak mau menerimaku lagi.
Itu konyol.
"Alice?" Aku tidak berani memanggil orang tuaku meski untuk merekalah kami datang. Aku memimpin Jaehyun masuk lebih dalam, menengok ruang duduk. "Alice?"
Alice ada di sana. Sedang nonton TV dengan ayah di sofa terpisah dengan tatapan datar padahal acara yang disetel adalah acara komedi.
"Rose!" Serta-merta dia berdiri. Matanya membelalak melihat Jaehyun. "Ya Tuhan! Kau kemana saja sih? Apa kau tidak tahu kami sangat khawatir?!"
Aku melirik ayah dari sudut mata. Hatiku mencelos saat dia membisu, menatap tajam Jaehyun tanpa bicara sepatah katapun. Dia tidak terlihat khawatir sama sekali.
"Aku jalan-jalan sedikit," jawabku asal, yang dalam beberapa hal, memang benar. Aku hanya tidak mengakui bahwa acara jalan-jalan itu juga berlangsung ke rumah sakit. "Mana Ibu?"
Ibu muncul dari belakang mengenakan salah satu gaun tidurnya yang berwarna seperti es krim vanilla. Dia membawa 2 gelas teh yang ia bagi dengan ayah dan tatapan tajam yang sama yang ia tujukan pada Jaehyun. Ini menyakitiku; bagaimana mereka membenci Jaehyun karena tidak sanggup membenciku terlalu banyak. "Kau sudah pulang."
Pernyataan, bukan pertanyaan, tapi aku mengangguk. "Ya."
"Duduklah."
Aku dan Jaehyun duduk, berharap rasa legaku tidak terpancar terlalu jelas karena bersyukur ibu tidak mengusir kami. "Ibu, aku minta maaf."
Ibu menyeruput tehnya lebih dulu. "Untuk apa? Dan kenapa kau mengajaknya?"
"Jaehyun一"
"Aku kemari untuk membuktikan bahwa aku serius ingin bertanggung jawab." Jaehyun meyelaku, menautkan jari-jemarinya. "Aku sudah mengajak Rose menikah."
Saking tegangnya situasi ini, Alice yang normalnya selalu punya lelucon-lelucon garing pun terdiam tertular kegelisahan kami. Di sebelahnya, ayah memijat dahinya dan menggeleng. "Menikah? Kalian tidak tahu apa arti kata itu. Kalian masih terlalu muda. Pernikahan bukan perkara main-main."
Aku setuju dengannya, tapi tidak bersuara. Aku memfokuskan pandangan pada sebuah lukisan cat air berupa sepasang kekasih di dunia biru; tanah biru, langit biru, hingga batas keduanya kabur一nuansa sendu dan menenangkan yang kuat. Bulan purnama sempurna menyinari mereka dan sebatang pohon sakura di sebelah mereka. Sementara di langit, cupid yang berhasil melaksanakan tugasnya terbang menjauh. Scene yang berasal dari kisah nyata digambar Yuta dengan cat putih untuk seluruh tubuh kami; si pria menggenggam sebuket bunga di belakang punggungnya, hendak memberikan itu pada si gadis.
Ibu telah mengambilnya dari kamarku karena menilai lukisan itu terlalu indah untuk dipajang di kamar saja. Melihatnya, mataku berkaca-kaca.
Detakan jantungku menggaungkan satu-satunya nama yang aku ingin bersanding dengan namaku di ikatan pernikahan bahkan seandainya dunia berakhir; Yuta, Yuta, Yuta.
Apa yang harus kulakukan, Yuta?
Jaehyun menjawab, "Bukan tidak tahu, tapi belum tahu. Kami akan belajar tentang itu dan mengurus anak, karena kami akan jadi orang tua."
Tawa ibuku keluar menyusul ucapannya. "Rose tidak mau jadi orang tua. Hanya karena kau siap, bukan berarti dia juga."
Aku terpaksa membantah ibuku untuk yang satu ini一hal yang jarang terjadi karena selama ini aku menganggap ibu tahu apa yang terbaik bagiku. "Ibu, aku berubah pikiran. Aku tidak mau aborsi. Aku minta maaf."
Ekspresi di wajah ibuku belum pernah kulihat sebelumnya一dikhianati, sakit hati. "Tidak mau?"
"Aku tidak mau," ulangku, namun tidak berhasil mengatakannya dengan tegas. "Aku tidak mau jadi pembunuh kejam. Bayiku berhak hidup dan aku akan memberi apa yang pantas ia dapatkan; kelahiran." Aku mengusap pipiku dan menatap pakaian tidur ibu, teringat semasa kecil, aku suka sekali menghirup wanginya sambil memeluknya. "Ibu, tolong mengertilah."
Tapi ibuku tidak mau mengerti dan menepis kata-kataku dengan lambaian tangan. "Nak," katanya. "Bagaimana Ibu akan mengerti jika kau berencana bunuh diri?"
Alice mencoba memadamkan amarah ibu dengan menepuk-nepuk bahunya. "Ibu, kita tengah membicarakan cucumu sekarang. Bukan anak orang lain, tapi anaknya Rose. Cobalah lihat dari sisi itu."
Ibu bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda dia mendengarnya. "Kau menolak aborsi, itu sama saja dengan melilitkan tali di lehermu. Rose, ayahmu benar; kau tidak tahu apa-apa."
Dia berdiri gusar. Lututnya menyenggol tepi meja dan gelas yang diletakkan di pinggirnya terjatuh. "Apa kau bisa melanjutkan hidup dengan bahagia di antara bayang-bayang teman-temanmu yang meraih cita-cita mereka? Kau pasti akan merasa iri. Kau akan dihantui penyesalan karena tidak pernah sekalipun mencoba meraih cita-cita itu. Kau akan mendapat tatapan aneh dari orang-orang karena saat mengantar anakmu ke sekolah, kau jadi yang termuda di antara ibu lain. Bisakah kau menanggungnya? Hidup," ibuku menyimpulkan, "Bukan soal tentang cinta atau semata-mata menjadi pahlawan. Pikirkan dirimu sendiri!"
"Aku tahu, Ibu, tapi一" Tapi kemudian aku menangis.
Aku takut mendengar kalimat ibuku, menyadari itu bisa saja jadi ramalan masa depanku yang terwujud tidak lama lagi. Aku tidak mau hidup seperti itu一membunuh diriku sendiri demi menyelamatkan bayiku, tapi adakah pilihan alternatif?
Kepalaku mendongak berpaling pada ibu dan melihat betapa miripnya kami; aku dan dia, kami ambisius. Sekali menetapkan tujuan, kami akan mengejarnya tanpa henti. Ibu mengajariku untuk jadi gadis yang selalu mengedepankan logika dan membuang hal-hal sentimental yang akan menghalangi kami.
Ibu ingin aku jadi Rose yang dia kenal. Rose yang sempurna dan pintar. Tapi saat ini aku tidak tahu lagi siapa diriku. Aku hilang. Di sisi lain aku melihat Jaehyun, kebenaran tentang bayi kami. Di sisi seberang, aku melihat ibu yang ingin aku bahagia.
Apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang dariku?
Bisakah semua orang berhenti mendorongku melakukan apa yang mereka mau?
"Rose." Ayah memanggilku dengan suaranya yang dipenuhi kekecewaan dan perasaan pasrah. "Apa kau yakin menginginkan ini? Kau mau menikah dengannya?"
Aku memaksa kepalaku mengangguk. "Ini perbuatan yang benar."
Tawa ibuku bertambah keras. Dia mengangkat tangannya dengan pose menyerah. "Baiklah. Kalau kau pikir dirimu layak jadi orang tua, silahkan saja. 2 tahun lagi一"
Berhenti, berhenti, BERHENTI!!
"一ibu ingin tahu apakah kau masih bisa tersenyum ketika anakmu menangis dan rumahmu kotor. Ibu ingin tahu apa kau bisa menonton acara yang melibatkan penyanyi yang suaranya tidak lebih bagus darimu一"
Aku menutup kedua telingaku, ingin memblokir kata-kata ibu.
"一ibu ingin tahu apakah kau tidak menyesal memilih jalan ini." Dia tidak terdengar marah lagi, melainkan kasihan. "Ini pilihanmu, maka tanggung akibatnya sendiri."
Lalu dia berderap pergi.
Ibuku meninggalkanku dengan cara yang membuatku berpikir ini adalah sesuatu yang permanen. Dia menghukumku dengan hukuman paling mengerikan di dunia; pengabaian.
Apa yang terjadi pada pertemuan terakhirku dengan Yuta hanya menegaskan dia benar; aku memang sedang bunuh diri.
Jadi gaes, bagian yang nyeritain keluarga Jaehyun itu gua hapus karena gua ngerasa humornya maksa banget. Dari awal nuansa ff ini tuh serius, jadi sekalian aja gua bikin serius semua. Plus, dulu ada yang komen kalo dia pengen bagian keluarga Rose itu ditonjolin lebih sering, yaudah gua bikinin deh 🙏😇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top