25. Mama Gurita

Mau dengar kisah sedih?

Mari. Mendekatlah. Akan kuceritakan kisah tentang salah satu pasangan paling tolol di dunia hewan; gurita bawah laut. Aku menyebutnya begitu karena yang jantan akan mati setelah berhubungan seks, meninggalkan betinanya seorang diri dalam keadaan hamil.

Ouh, kasihan sekali.

Mama gurita yang malang ini kemudian harus mencari tempat yang aman untuk melahirkan. Ia berenang terus, terus, di dinginnya air laut yang penuh pemangsa. Lalu setelah ketemu, dia akan menunggu sampai temperatur airnya pas untuk melahirkan. Mungkin sambil mengingat-ingat kekasih yang telah lama pergi. Atau meratapi nasib buruk yang akan segera terjadi.

Karena proses melahirkan mereka tidak sama dengan manusia.

Gurita bawah laut bisa melahirkan lebih dari 50 ribu telur, yang dia keluarkan dalam waktu sebulan. NON STOP! Dan selama itu, dia tidak akan keluar dari tempatnya. Melindungi telur-telur tersayangnya. Sambil sesekali membersihkan mereka dari alga dan kotoran.

Tidak peduli meski kekurangan nutrisi membuat tubuhnya semakin kecil dan kulitnya memucat putih. Ia enggan pergi. Karena baginya, mempertahankan anak-anaknya tetap aman adalah prioritas. Barulah saat semua telur menetas, ia akan meniup mereka setinggi mungkin ke udara, bersamaan dengan napas terakhir yang terhembus.

Tamat.

Apa kesimpulannya?

Jika kau pikir gurita bawah laut itu bodoh, maka kau sama denganku. Sudah tahu hamil bisa membuatnya mati, tapi dia tetap keras kepala. Menukar nyawa untuk kesenangan sesaat.

Duh.

Aku, Roseanne Park, tidak akan mau jadi seperti itu.

Lebih baik aku jadi belalang betina, yang memakan kepala pejantannya setelah ia puas, demi memenuhi kebutuhan nutrisinya. Bukan karena egois, tapi sebelum memikirkan orang lain, bukankah kita harus memikirkan diri sendiri dulu?

Aku terbangun. Masih pusing. Merasa seperti baru saja berenang bermil-mil jauhnya tanpa henti. Mataku terbuka. Kemudian terpejam lagi. Sinar putih dari lampu membuatku silau. Sialan. Dan suara-suara itu? Sungguh mengganggu.

Dimana ini?

Dan yang lebih penting, apa yang terjadi?

Kebingungan, aku bangun dengan bertumpu pada siku. Berada di tempat asing yang tidak kau kenal sudah cukup buruk. Terlebih bangun di tempat asing yang penuh dengan orang asing pula. Buruknya jadi bertambah 2 kali lipat. Membuat kepalaku tambah sakit. Tanganku juga jadi kaku.

Oh, tidak.

Tunggu dulu.

Ternyata tanganku terasa begitu karena ada jarum infus yang menancap di sanaentah sejak kapan. Jarum infus. Jarum infus. Berarti ini rumah sakit. Yah, bukan tempat yang buruk. Tapi akulah yang merasa buruk. Buruk dan berantakan, hingga di level dimana aku ingin sekaligus takut melihat cermin.

Tapi pertama-tama, aku haus. Sangat.

Aku menoleh ke samping, mencari-cari. Namun suara seseorang yang tiba-tiba hadir berhasil merebut perhatianku.

"Oh, sudah sadar, ya?"

Tersenyum seceria anak-anak yang baru saja diberi permen, seorang gadis muda menyingkap tirai yang memisahkanku dari orang lain sekaligus memberi sedikit privasi. Dia mengenakan jas putih yang一tidak salah lagi一adalah jas dokter yang warnanya sudah pudar.

"Kau pingsan di pinggir jalan beberapa jam yang lalu, ingat tidak? Hahaha pasti tidak ya. Bodoh sekali aku. Tapi tenang saja, aku sudah menghubungi seseorang, dan dia bilang akan segera datang menjemputmu."

Banyak bicara. Itu kesan pertamaku padanya. Aku diam dan menatapnya dengan wajah datar, bingung harus merespon bagaimana.

"Ini ponselmu," kata gadis itu, menyerahkan benda yang aku sendiri tidak sadar membawanya. "Istirahatlah dulu. Saat hamil, kau tidak boleh terlalu lelah atau terlambat makan. Kasihan bayimu nanti."

Bahas saja bayi. Dan kau pasti bisa merusak suasana hatiku. Seolah aku perlu diingatkan soal itu. Padahal jika ada kesempatan, aku ingin sekali melupakan fakta bahwa aku hamil一bahkan bila itu artinya aku harus pingsan di pinggir jalan.

"Biarkan saja." Aku berdeham pelan, ketika suara yang keluar lebih pelan dari yang ku mau. "Biar. Toh, sebentar lagi dia akan mati."

Dokter yang kelihatannya terlalu muda untuk jadi dokter itu mengerutkan kening. Kami berdiri dalam jarak dekat, jadi aku dapat melihat mata kecoklatannya yang indah. Bening. Amat ekspresif. "Bicara apa kau ini?"

Bicara pada orang asing memang kadang lebih mudah. Namun mendadak aku takut mengungkapkannya. Malu hadir sebagai faktor kedua. Apalagi saat itu 2012, ketika aborsi masih merupakan hal ilegal di Korea. Butuh waktu beberapa tahun untuk merubahnya. Aku kembali bungkam, menyesal mengoceh terlalu banyak.

"Hei." Bersikap sok akrab, dia meraih sejumput rambutku dan menariknya. "Itu bukan kehamilan yang direncanakan, ya?"

Aku mendengus. Siapapun kurasa akan tahu kalau usiaku masih belasan. Orang bodoh macam apa yang mau punya bayi di usia semuda ini? "Menurutmu?"

Dokter itu berkacak pinggang. Pose yang mengingatkanku pada ibu saat dia marah. Kerutan di keningnya semakin dalam一tanda dia siap memulai perdebatan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi kalau berani berbuat, kau harus berani bertanggung jawab."

Peribahasa lama. Membosankan. Sebentar lagi dia pasti akan berkata bahwa "bayi itu tidak bersalah" dan semacamnya. Karena orang seperti dia mudah ditebak. Lebih dulu memikirkan si bayi dan abai pada keadaanku. Tidak mau mengerti. "Aku tidak bermaksud melakukannya."

"Tetap harus bertanggung jawab." Dia berkeras, dengan ekspresi dan nada suara menyerupai Alice. Membuatku berpikir mereka mungkin bisa jadi teman baik. "Aborsi bukan solusi. Itu hanya pembunuhan yang sangat kejam."

Siapa yang tidak tahu? Aku menyanggah dalam hati. Tapi coba saja katakan itu pada korban pemerkosaan, atau gadis sepertiku, yang akan hancur kalau meneruskan kehamilannya. Hidup tidak selalu lurus. Kadang, kau harus berbelok dan berbuat hal yang kejam. Menghadapi semuanya dengan realistis dan dingin. "Aku tahu, Dok. Sekarang pergilah. Aku capek."

Dokter-yang-entah-siapa-namanya itu berdecak sewaktu aku merebahkan tubuh lagi. Dia berdiri layaknya seorang guru, sedangkan aku adalah murid nakal yang tidur di jam pelajarannya. "Bangun." Suara tegas itu memerintah. Tangannya mengambil tabung infusku dan menyingkap selimut yang menutupi kaki. "Ada yang ingin kutunjukkan padamu."

"Tidak mau!" Aku, yang kesulitan hanya untuk duduk, tentu menolak. Tapi sebagai orang yang sehat, dokter itu menang. Dia berhasil memaksaku turun dari tempat tidur, lalu menyeretku berjalan di koridor rumah sakit yang ramai.

Sebagian besar adalah keluarga pasien, beberapa dokter berwajah lelah, dan para perawat yang menatap penasaran. Tak seorangpun berniat menghentikan, terlepas dari aku yang memberontak dan memasang wajah minta tolong. Seakan dokter ini sudah biasa menyeret-nyeret pasien一atau mungkin memang begitu.

"Apa-apaan sih?!" Aku protes. Aku marah. Tidak etis orang sakit diperlakukan begini. Dia sendiri yang berkata aku tidak boleh terlalu lelah, dan kini malah membawaku kemari, ke ruangannya, saat aku seharusnya istirahat.

Menyebalkan. Tapi karena terlanjur sampai, serta tidak yakin bisa kembali ke tempat tidurku seorang diri tanpa pingsan tahap kedua, aku mengikutinya masuk.

Di dalam, tampaklah ruangan sederhana yang cukup luas. Ada meja cokelat di tengah-tengah. Dan di atasnya, tumpukan buku bersampul gelap (sepertinya novel horor), sekotak donat yang tutupnya terbuka sedikit, dan laptop. Ada juga papan nama dari kayu bertuliskan, "DR. CHERRY KIM" beserta gelarnya.

Aku tertawa, dengan cara yang sengaja kubuat terkesan mengejek. "Cherry? Nama macam apa itu? Aneh sekali. Jelek!"

Cherry membalasnya dengan senyuman. Sangat manis "Benarkah? Padahal aku suka nama itu lho. Setidaknya Cherry lebih imut daripada Rose, yang mungkin sudah di pakai 50 juta orang."

"Darimana kau tahu一" Aku berniat bertanya, lalu mengurungkannya. Aku lupa tadi dia menelpon seseorang untuk menjemputku, dan siapapun itu, tampaknya sudah memberitahu namaku padanya. Huh. Kesal. Kesal. Kesal!

"Duduk." Cherry memberi perintah lagi, kali ini lebih halus. Aku menurut hanya karena aku ingin melirik donatnya lebih dekat. Aku lapar namun enggan mengakuinya. "Sebelum memutuskan aborsi, apa kau sudah tahu bagaimana prosesnya? Itu tidak seperti minum obat dan bayimu hilang secara ajaib. Lihat ini."

Lihat apa? Dengan terpaksa, aku mengalihkan tatapanku dari makanan dan menghadap ke depan, ke arah laptop yang Cherry miringkan untukku. Laptop yang menampilkan gambar bayi merah mungil yang berdarah-darah. Anggota tubuh terpotong-potong. Bayi-bayi yang belum sempurna dan mati. Pembuluh darah mereka yang mirip serat kapas...

Aku mengernyit, langsung membuang muka. "Singkirkan! Apa itu?"

"Bayi korban aborsi, sayang," jawab Cherry tenang. Seolah kami sedang membicarakan keterlambatan kereta yang datang atau pergantian musim.

Tidak punya jawaban untuk itu, aku diam. Dalam kepalaku, tiba-tiba terbayang kaki-kaki kecil yang menendang-nendang. Kulit putih yang belum terjamah kotornya dunia. Dan seraut wajah bayi yang mungkin mirip aku atau Jaehyun. Anak ... kami.

"Secara umum," Cherry menjelaskan tanpa diminta, sesekali menggerakkan kursinya ke kanan-kiri dan mengangkat 1 tangannya, menunjukkan 5 jari. "Cara aborsi terbagi menjadi 5 metode. Yang pertama adalah sunction. Penyedotan. Alat serupa vakum, berbentuk tabung, akan dimasukkan ke rahim, lalu menyedot janin yang masih sangat kecil. Saking kuatnya, tubuh janin biasanya sampai hancur tercabik-cabik. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada. Dia belum bisa berteriak, atau menghindari alat itu. Hanya bisa pasrah, dibuang bagai sampah. Oleh ibunya sendiri, yang ia harap melindunginya. Menyedihkan, ya?"

Rasa bersalah yang kukira sudah kukubur dalam-dalam mendadak bangkit一lebih kuat dan besar. Lubang hitam yang mengurungku selama beberapa hari ini jadi semakin sempit, dan menyuarakan beberapa kata kejam ibarat gema dalam gua; Pembunuh. Orang jahat. Tidak punya hati.

Mataku terasa panas.

"Metode yang kedua," lanjut Cherry, tidak memperhatikan gelenganku yang meminta dia berhenti. "Memakai racun garam. Ya. Kenapa terkejut begitu? Garam memang tidak berbahaya untukmu, tapi jika disuntikkan ke dalam rahim, maka akan meracuni janin, yang baru saja mulai belajar bernapas. Racun itu juga akan membakar kulit lembutnya yang rapuh, membuatnya terbakar hidup-hidup. Bukan dalam hitungan menit, tapi nyaris selama 1 jam. Dia akan meronta. Mungkin sambil bertanya-tanya apa salahnya. Tapi kemudian, rasa sakit itu membunuhnya, mengeluarkan dia secara paksa dengan tubuh menghitam. Untuk selanjutnya dibuang di kuburan sampah tanpa nama. Oh, tapi masih ada yang lebih kejam lagi, yaitu一"

"Sudahlah..." Aku menutup kedua telingaku dan menangis, tidak sanggup mendengar lebih banyak. Terlalu menyakitkan. "Tolong hentikan..."

Cherry, bagai ratu di singgasananya, bersandar di kursi, mengetukkan jari dalam irama pelan. "Kenapa? Bukankah itu yang mau kau lakukan?"

Benar. Aku mengakuinya. Itu memang benar. Tapi mendengar betapa mengerikannya proses aborsi itu, aku jadi takut. Ditambah ingatan tentang kata-kata Alice...

'Bayi itu punya tubuh sendiri dan dia berhak untuk hidup!'

Aku ragu.

Merasa tidak tega setelah tahu.

"Belum terlambat untuk berubah pikiran." Seulas senyum ramah terulas di bibir Cherry, melembutkan fitur wajahnya yang sudah manis. "Jangan aborsi, apapun masalahmu. Tapi kalau kau nekat..."

Kalimatnya menggantung. Tangannya terangkat, dia menghela napas panjang. "Maka kau tidak pantas di sebut manusia. Melainkan monst一"

Monster. Aku menyelesaikan kata itu sendiri, saat kalimat Cherry disela oleh ketukan yang terkesan mendesak. Kulihat baik-baik tampilan laptop yang belum berubah, memaksa mataku tidak berpaling. Lalu menyadari bahwa julukan Cherry一monster一 memang pas bagi siapapun yang membunuh bayi dengan metode sekejam itu.

Termasuk aku.

Monster yang tidak punya hati.

Sebenarnya aku hampir jadi apa?

"Sebentar." Sementara aku terus menangis, Cherry berdiri untuk mengurus si pengetuk pintu. Sepatunya beradu dengan lantai menimbulkan bunyi 'tuk', disusul deritan pintu yang terbuka.

Membawa 1 suara yang tidak asing.

"Ah, permisi. Aku mencari seseorang. Namanya Roseanne Park. Tadi ada perawat yang bilang dia ke sini."

Jaehyun?

Aku berbalik sembari menghapus air mata di pipi, tepat waktu ketika Dr. Cherry minggir, hingga Jaehyun bisa melihatku.

"Rose?" Jaehyun mengerjap. Sepertinya tidak yakin. Tapi setelah sadar bahwa aku adalah aku, dia segera berlari, melewati Cherry, untuk memelukku dengan sepasang tangan yang di lapisi seragam sekolah kami.

Dan yang kurasakan hanya aman.

Kenapa nama dokternya kiyowo? Soalnya gua minjem namanya dia nih : Leherecenggondok gpp ya non, sekalian ngartis bentar sama naik pangkat.gg 🌚

Jadi kalo ada yang keliru, hujat dia aja tuh, salah sendiri ilang pas mau gua tanya macem2 😡

Ps : spoilernya emang buat part depan, soalnya ini dah panjang bener awokwokwok :vv

Ps 2 : mari hentikan hujatan ke Rose karena disini dia syudah insap 🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top