23. She Was Broken
Saat seseorang menerima kabar buruk一kematian, perceraian atau kecelakaan orang terkasih一biasanya mereka akan mengatasinya dengan Lima Tahap Kedukaan, yang dikemukakan oleh Dr. Elisabeth Kubler-Ross dalam bukunya "On Death and Dying".
Tahap pertama adalah Denial. Yang kedua Anger. Bargaining. Lalu Depression. Baru kemudian Acceptance.
Tiap orang berbeda; ada yang mengalaminya secara urut, ada yang acak. Dalam hal ini, kurasa ayahku berada di tahap nomor 2, mungkin mengira Jaehyun sedang membuat lelucon konyol yang tidak masuk akal. Ibu, sebaliknya, menyangkal dengan tawa. Sedangkan Alice tercengang tanpa kata.
Tak ada yang memekik gembira.
Bayi yang tak diinginkan oleh siapapun tentu takkan disambut dengan suka cita.
Jangan harap ada tawa.
Jangan berekspektasi mendengar teriakan bahagia.
Yang ada hanya luka, tergambar di mata mereka.
Ibu terus tertawa, mencoba mengenyahkan kalimat Jaehyun yang jatuh seperti batu besar yang menghancurkan rumah kami. "Bicara apa kau?" Tanyanya. "Siapa yang hamil?"
Jaehyun menatap ibuku lekat-lekat. Tubuhnya tampak tegak, siap menghadapi resiko dari perkataanya. Badai sudah datang, namun dia tidak menghindarinya atau melarikan diri. "Bibi, aku minta maaf. Itu kesalahanku."
Pembohong.
Kami tahu betul siapa yang memulai lebih dulu. Siapa yang memiliki ide tolol melakukan seks dan siapa yang harus disalahkan. Itu aku. Bukan dia. Mestinya aku mengatakan itu, meralatnya. Tapi sudah kubilang aku pengecut, yang tidak berani mengaku, dan justru berlindung di balik punggung Jaehyun.
"Mustahil!" Suara ibuku meninggi. "Rose tidak kelihatan hamil sama sekali. Akhir-akhir ini dia memang sering muntah, tapi itu karena sakit! Pasti bukan hamil!"
Jaehyun memejamkan matanya sejenak, menoleh padaku seakan perlu izin untuk menjawab. Padahal itu tidak perlu. Mau berhenti sekarang juga percuma. "Itu benar." Dia meyakinkan ibuku, menyentakkannya dari penyangkalan rapuh yang berusaha ia pertahankan. "Kami melakukan kesalahan, tapi bayi itu tidak. Akulah orang yang paling bersalah di sini."
Ibu mengabaikannya, melewati Jaehyun dan langsung menarikku yang masih mematung. Kukunya mencengkeram lenganku hingga menimbulkan bekas berbentuk bulan sabit. "Rose, lihat Ibu," pintanya tegas. "Itu bohong kan? Jaehyun asal bicara saja kan? Cita-citamu jadi penyanyi, jadi kau tidak mungkin hamil. Benar?"
Aku hanya menangis. Betapa aku berharap bisa berbohong saat ini. Akan kulakukan apa saja jika ada cara.
"Jawab, sayang." Desak ibu, mengeratkan cengkeramannya. "Katakan kau tidak hamil. Kau masih anak-anak. Itu tidak boleh terjadi!"
Alice mengusap wajahnya sekali, turut meletakkan tas kuliahnya di atas meja makan, bersebelahan dengan tas kerja ayah. "Hentikan, bu." Kalimat itu ia ucapkan dalam usahanya menengahi kami. "Kau menyakitinya."
Dunia ibu dan kakak perempuanku seolah terpisah; membuat mereka tidak bisa saling mendengarkan. Alih-alih berhenti, ibu semakin mencecarku. "Sudah cukup bercandanya. Jujurlah. Ini tidak lucu lagi."
"Bibi一"
"Waktunya kau pergi, Jaehyun." Ayah bicara untuk pertama kalinya, memotong apapun yang akan dikatakan pria itu dengan nada yang ditelingaku terdengar menakutkan. "Ini urusan keluarga. Jangan ikut campur."
Saran itu bahkan tidak dipertimbangkan. Jaehyun menolak. Dia membangkang dengan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan pergi. Bayi itu anakku, jadi aku berhak di sini."
Amarah ayahku naik dengan cepat setelah mendengarnya. Geram, dia menarik kerah seragam Jaehyun kemudian dengan kasar mendorongnya ke arah pintu. Nyaris menjatuhkannya. "Pergi. Kehadiranmu tidak diperlukan."
"Ayah, sudahlah..." Menyakitkan sekali rasanya melihat Jaehyun diperlakukan seperti ini, padahal dia tidak sepenuhnya bersalah. Aku menyingkir dari ibuku, memegang tangannya. "Jaehyun pergi saja, ya? Lebih baik kau pulang."
Pertama Yuta. Lalu ayah. Dan sekarang Jaehyun. Aku menyebabkan banyak masalah di hidup banyak orang. Wajar jika Jaehyun membenciku. Kukira inilah dia; moment ketika dia menjauh dan mundur. Aku adalah beban yang tidak harus dia tanggung. Aku sumber kekacauan dan masalah, untuk apa dia bersamaku? Tapi saat mata kami kembali bertemu, aku tak melihat penyesalan di sana. Dan ia tetap menggeleng. "Aku tidak akan membiarkanmu sendiri. Kita melakukannya bersama, berarti harus menanggung ini bersama pula."
"Aku mengerti." Aku sungguh mengerti; seberapa dalam dia mencintaiku, kata 'tanggung jawab'-nya yang bukan sekedar omong kosong. Aku mengerti semuanya, selain mengapa dia mencintaiku sebesar ini usai apa yang kulakukan padanya. "Tapi kau harus pergi. Aku harus menyelesaikan ini dengan keluargaku."
"Rose..."
"Kumohon." Aku bersikeras. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir."
"Kau yakin?"
Tidak. Tapi aku tahu menyingkirkan Jaehyun dari badai ini merupakan hal yang tepat. Untuk sekali ini aku ingin mengambil pilihan yang benar一dengan menanggung ini seperti seharusnya. Aku akan mengambil bagian tanggung jawabku. "Ya. Kau lebih baik pulang."
Jaehyun meraihku ke dalam pelukannya. Dia tidak berkata-kata apa-apa lagi kecuali memelukku dengan erat. Dia memberiku kehangatan, cinta yang tidak layak kudapatkan, dan janji menghadapi ini berdua yang disuarakan melalui tindakan serta kata-kata singkat, "Aku mencintamu一selalu."
Lantas dia melepaskan pelukannya dan menghadap orang tuaku.
"Paman, bibi," meski di usir dengan kasar oleh ayahku, Jaehyun tidak lupa untuk membungkuk hormat pada mereka. "Sekali lagi aku minta maaf. Tolong jangan terlalu keras pada Rose. Aku mencintai putri kalian dan pasti akan bertanggung jawab."
Dia tersenyum一aku tidak tahu bagaimana dia masih bisa melakukannya. Dengan berat hati dia terpaksa melepas tanganku. Tapi di detik-detik terakhir, jari telunjuk kami bagai menempel dan saling terkait. Butuh waktu memisahkannya.
Ketika akhirnya bisa, Jaehyun memutar tubuh. Aku melihat bahunya terkulai saat berbalik. Dan dari matanya, ada setetes air mata yang meluncur jatuh yang segera ia hapus.
Bahu yang kuat itu runtuh; dia menangis.
"Chaeyoung."
Setelah Jaehyun menghilang dari pandangan, pergi tanpa ia kehendaki, ayah memanggilku dengan nama asliku yang hanya digunakan di situasi tertentu. Misalnya, ketika aku berkata kotor saat masih anak-anak, atau ketika aku ketahuan merusak barang Alice dan tidak mengaku.
"Jadi itu benar? Kau hamil?"
Aku mengangguk pelan-pelan meski tidak ingin, meski yang paling kuinginkan tak lain adalah kabur dari kenyataan ini. Aku ingin bangun; mimpi buruk ini terlalu mengerikan. "Ya. Jaehyun tidak berbohong."
Ibuku menarik sebuah kursi untuk duduk, menghujamku dengan tatapannya yang menghakimi. "Sudah berapa lama?"
Aku tidak kuasa menjawabnya. "Aku menyesal. Maafkan aku..."
"Kau sudah tidak waras?" Aku berjengit kaget ketika ibu memukul permukaan meja dengan tangannya. "Kau pikir jadi orang tua di usia 18 tahun itu menyenangkan? Kau pikir kau sudah cukup dewasa untuk punya anak?"
Di antara keluarga kami, ibu memang yang paling emosional, berkebalikan dengan ayah yang lebih tenang dan pendiam. Namun saat ini ayah tidak berusaha menenangkannya, karena ia sendiri pun kesulitan menenangkan diri. "Chaeyoung," ucapnya pahit. "Ayah kecewa padamu."
Satu dari sekian banyak kalimat terburuk yang bisa didengar seorang anak dari orang tuanya. Kecewa一kata jelek itu sangat tajam. Dia menjelma jadi pisau yang menusuk hatiku tanpa jeda, menggemakan bisikan-bisikan jahat yang sama; bahwa aku kekecewaan terbesar bagi orang tuaku. Aku mencoreng wajah, harga diri, dan kepercayaan murni mereka terhadapku.
Ya Tuhan. Siapa aku dan di mana diriku yang dulu?
"Hentikan." Alice menyahut dan berdiri. "Jangan memojokkannya. Aku yakin Rose tidak sengaja melakukan itu. Dia, gadis culun macam dia yang hanya berani mengundang Lisa ke kamarnya?" Alice tergelak. "Ini kesalahan. Dan kita semua berhak dimaafkan atas kesalahan kita."
"Jangan bodoh, Alice." Tatapan kemarahan ibuku berpindah-pindah antara aku dan kakakku. "Hamil bukan masalah sepele."
"Kau tidak memikirkan masa depan adikmu?" Ayah mengambil alih, bicara dengan nada yang jarang sekali ia gunakan. "Kau pikir dia cocok mengasuh bayi saat seharusnya bisa jadi penyanyi?"
Penyanyi...
Aku menutup wajahku dengan tangan, merasa sesak mendengar kata itu.
"Kenapa menangis?" Ibu bangkit berdiri dengan gerakan cepat dan tiba-tiba. Begitu cepat sampai kursinya jatuh menghantam lantai. "Ini salahmu sendiri. Kau一" Tangan kanannya melayang di udara dan sebelum aku menyadari apa yang akan dia lakukan, tangan itu mendarat di pipiku lalu menamparku keras-keras. "Memalukan!"
"Bu, sudahlah! Berhenti!"
"Bagaimana bisa kau jadi seperti ini?!" Ibuku berteriak, mendorong Alice yang berusaha menghentikannya. "Kau anak yang baik. Kau pergi ibadah secara rutin. Kau belajar tanpa disuruh. Itu sebabnya Ibu tidak memintamu mengikuti les macam-macam. Karena Ibu pikir kau sudah pintar!"
Menyusul kursi yang semula ditempati ibu, aku terjatuh. Tamparan ibuku teramat keras sehingga aku kehilangan keseimbangan dan terhuyung. Kakiku yang goyah tidak bisa menopangku. Aku mendarat di lantai yang dingin sementara pipiku terasa panas.
"Gadis bodoh!" Ibu, wanita terkuat yang kukenal ikut menangis. Tidak akan ada yang paham sehebat apa itu menyakitiku menyadari akulah penyebab menetesnya air mata tersebut. "Apa Ibu pernah memaksamu dapat nilai bagus, Chaeyoung?! Apa ibu pernah menghalangi saat kau mau bermain dengan teman-temanmu? Kau itu anak kesayangan! Kau selalu dimanja! Kenapa kau membalas dengan ini?!"
"Maaf..." Kata 'maaf' itu tidak berguna一aku tahu. Tapi aku terus mengatakannya semata-mata karena aku tidak tahu harus apa. Aku tersesat. Aku hancur di dalam. Di jiwaku, ada luka besar yang tertoreh dan terasa perih seiring tiap tarikan napas. "Maaf, maaf..."
Ibu menatapku dengan mata yang dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan, mungkin sedang mencari-cari gadis kecil yang dia suapi es krim saat melihat kangguru di Melbourne, yang selalu membuatnya bangga dengan nilai-nilainya tapi kini tidak ada. Kami sama-sama kehilangan gadis manis itu. Hanya untuk digantikan sosokku yang kini nempermalukannya. "Maafmu tidak bisa memperbaiki apapun!"
Ibuku terisak. Lantas membalikkan badan dan berjalan ke kamarnya. Pintu ditutup dengan kencang, meredam suara tangisnya.
Hanya beberapa detik berikutnya, giliran ayah. Dia membawa kunci mobilnya padahal biasanya tidak pernah absen makan malam bersama keluarga. Itu tradisi di rumah kami; makan malam adalah waktunya kami bercanda dan menceritakan hari masing-masing. Sekarang berbeda. Sekarang dia bahkan tidak sanggup melihat wajahku.
"Ayah..."
Semua rengekanku diabaikan. Ayah tetap pergi. Menjauh dari anak yang bermasalah ini.
Saat aku menoleh pada Alice, dia terlihat sedang menumpu tubuhnya di meja dan menangis tanpa suara.
Hancur sudah.
Semuanya berakhir.
Dengan langkah lunglai, aku kembali ke kamar, harus berpegangan pada dinding untuk tiba di sana. Lampu yang masih gelap cocok sekali dengan suasana hatiku. Tapi ada sebagian cahaya dari jendela yang menyusup masuk ibarat tamu asing.
Berkat cahaya itu, aku bisa melihat pantulan diriku di cermin meja rias. Mata bengkak, rambut berantakan, pakaian kusut. Aku terlihat luar biasa kacau.
Apa gadis di cermin itu benar-benar aku?
Yang benar saja.
Aku melanjutkan langkah ke lemari, mengambil sepatu pertama yang berhasil diraih tanganku lalu melemparkannya ke cermin dan membuatnya hancur berkeping-keping.
Nah, begini lebih baik.
Jauh lebih baik. Aku tidak tahan melihat gadis bodoh itu. Dia bukan aku. Aku tidak kenal dia dan aku tidak mau melihatnya lagi.
Aku merasa sangat kotor hingga di titik dimana aku jijik melihat diriku sendiri.
Jadi gini, Rose emang salah dan beberapa pemikiran dia kagak bakal gua benerin. Tapi salah satu tujuan gua nulis ini buat ngasih tau kalo manusia ya manusia, bukan malaikat. Tolong liat cerita dari sisi dia juga ya ✌️☹️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top