22. Kupu-Kupu Tanpa Sayap
Yeehaw! Update spesial ultah gua nih yang ke 21 hiyahiya 🤧
Ucapin dong gays *EHEM*
"Yakin mau beli? Harganya mahal lho."
Sudah 10 menit sejak pesan itu masuk, tapi aku belum membalasnya karena takut dengan jawabanku sendiri. Keraguan mendadak datang, padahal tadi aku sangat yakin memilih jalan ini. Berkali-kali aku menghidupkan ponsel, lalu mematikannya setelah mengetik "aku", dan akhirnya hanya berbaring telentang, menatap langit-langit kamar yang gelap. Lampu sengaja kumatikan, tirai jendela pun belum disibak.
Semalam, aku tidak tidur, sibuk mencari obat aborsi lewat internet. Butuh waktu lama, kesabaran tingkat tinggi, dan serangkaian acara menangis karena merasa bersalah, tapi aku berhasil menemukannya.
Tanpa identitas, ada seseorang yang bilang bisa membantuku, bersedia mengirimkannya secepat mungkin, asal aku membayar mahal. Siapapun dia, tidak tahu bahwa bukan uang masalahnya. Aku kasihan pada bayi ini, juga mengkhawatirkan Jaehyun, yang pasti tidak setuju.
Si bayi memang tidak punya salah apa-apa, tapi kehadirannya akan menyebabkan masalah. Aku tak bisa memilih dia tanpa membuang impianku. Begitupun sebaliknya. Salah satu harus dikorbankan, dan aku sudah menetapkan pilihan yang kuharap benar.
Dunia ini kejam. Kau tidak bisa bertahan dengan melakukan hal yang "baik" saja.
Seperti anak jalanan yang terpaksa mencopet untuk makan.
Murid sekolah yang mencontek agar dapat nilai bagus.
Ada pula gadis yang harus aborsi supaya hidupnya normal lagi.
Maaf, nak...
Orang egois sepertiku belum layak dipanggil 'mama'.
Aku menghapus air mataku, memaksa jari-jariku bergerak membalas pesan itu dengan alamat rumah serta bukti pembayaran.
Selesai.
Tak kusangka uang yang kukumpulkan untuk menyusul Yuta justru dipakai membeli obat aborsi. Apa boleh buat.
Aku menenggelamkan wajahku di bantal, merasakan dingin yang tak ada hubungannya dengan suhu udara. Dingin ini begitu terasa, nyaris membuat menggigil, sehingga aku berlindung dalam selimut, sampai suara ibuku menginterupsi.
"Rose?" Panggilnya. "Ada tamu untukmu."
Tamu? Aku melirik jam yang tertempel di dinding seberang. Pukul 6 pagi. Siapa yang bertamu bahkan sebelum aku sarapan? Menggangu saja. "Aku pusing. Suruh dia pulang."
"Itu Jaehyun. Keluarlah."
Jaehyun. Tentu saja. Setelah kemarin mengirim puluhan pesan dan menelpon tanpa henti, mestinya aku tidak terkejut dia datang. "Tidak mau," jawabku, lebih seperti rengekan. "Katakan padanya aku sakit."
"Tapi dia ingin sekali bertemu denganmu. Kau tidak kasihan?"
"Bu..."
"Baiklah, baiklah," ibuku menghela napas. "Keras kepala sekali. Dasar anak nakal."
"Aku belajar darimu," sahutku asal, dengan nada yang一sungguh一tergolong pelan, tapi telinga ibuku ternyata menangkapnya.
"Bilang apa tadi??"
"Tidak kok, tidak!" Aku buru-buru berkilah sebelum dia marah. Memancing emosi ibuku di jam segini akan berakibat buruk. Bisa-bisa dia sengaja memasak makanan yang tidak enak, yang akan berimbas pada menderitanya seluruh keluarga. Bahaya.
Sambil mengomel, ibuku pergi, meninggalkanku sendirian lagi. Kalau di hitung, ini hari ke 4 aku tidak masuk sekolah, tapi dia sudah menelpon wali kelas, jadi aku bisa bersantai. Rencananya, aku mau masuk saat ujian, setelah semuanya beres.
Aku menguap. Kantuk mengetuk-ngetuk kesadaranku, berniat merampas dan menyeretku tidur. Aku capek一tidak sekedar secara fisik. Banyak hal terjadi minggu ini dan tak satupun yang membuatku gembira. Ini minggu yang berat.
Waktunya tidur一melarikan diri ke alam mimpi yang kuharap lebih ramah.
Tanganku bergerak meraba-raba sakelar, mematikan lampu. Kepalaku baru saja mulai menghitung domba ketika pintu di ketuk untuk kedua kalinya.
Aku protes, "Bu, pokoknya aku tidak mau menemui Jaehyun!"
Hening sejenak.
Kemudian, "Rose, ini aku."
Jaehyun? Aku terduduk tegak, berharap hanya berhalusinasi karena mengantuk. Tapi kata-kata berikutnya yang kudengar meyakinkanku bahwa itu benar-benar dia.
"Buka pintunya. Kita bicara sebentar, ya?"
Tuhan rupanya mau menambah rasa bersalahku jadi 2 kali lipat. Sebagian diriku tahu kemunculan Jaehyun tidak terelakkan, sebagaimana aku tahu percakapan ini takkan berakhir menyenangkan. Namun aku memilih memberinya kesempatan. Aku turun dari tempat tidurku yang aman dan berjalan ke sumber suara.
"Jangan menghindariku seperti ini," Jaehyun memohon. "Ayo bicara. Aku tidak akan marah."
'Aku tidak akan marah'...
Yuta juga pernah mengucapkannya.
Aku bersandar di pintu, tidak membukanya meski ingin karena tidak punya keberanian. Kata berani tampaknya sudah semakin jauh dari jangkauanku. Aku benar-benar berubah jadi pengecut一satu fakta yang terasa bagai pukulan menyakitkan.
"Sejak kapan kau tahu, Rose?" Ketukan Jaehyun di pintu sudah berhenti, tapi kata-katanya masih terus mengalir menyebrangi jurang yang selama ini kami biarkan melebar. "Apakah sejak kau tidak masuk sekolah? Aku minta maaf. Pasti sulit untukmu, ya?"
Sulit sekali. Aku mengiyakan tanpa suara, teringat banyaknya air mata yang kutumpahkan sampai untuk membuka mata saja, rasanya sakit. Apakah dia turut merasakan? Membenci dirinya sebanyak aku yang membenci diriku?
"Aku minta maaf." Ulang Jaehyun lirih, tak peduli aku mendiamkannya. "Sikapku kekanakan. Aku menjauh di saat kau membutuhkanku. Seandainya aku tahu, aku takkan pernah berbuat begitu. Ini salahku. Tapi sekarang aku tahu, dan aku ingin memperbaiki hubungan kita. Biarkan aku一" kata terakhirnya berubah jadi bisikan. "Bertanggung jawab."
Aku menggeleng dari balik pintu yang memisahkan kami. "Itu tidak perlu."
Jaehyun terdengar terkejut一entah karena jawabanku atau aku yang tiba-tiba menyahut. "Apa?"
"Kau tidak perlu melakukan apa-apa." Aku menenangkannya, karena sejatinya, yang kuinginkan bukanlah pertanggungjawaban, tapi hidup normalku yang dulu. "Pergilah, nanti kau terlambat ke sekolah."
"Tidak sebelum bicara denganmu." Jaehyun membantah, memukul (tidak bisa lagi disebut mengetuk) daun pintu demi menegaskan ucapannya. "Kita harus bicara. Berhenti mengatakan hal aneh dan buka pintunya."
"Kita sudah bicara."
"Bukan ini maksudku一"
"PERGI!" Aku membentak keras, melakukan apa yang harus dilakukan; membuatnya membenciku alih-alih memberi harapan palsu. Untuk masa depan kami一rencananya kuliah di luar negeri dan rencanaku jadi penyanyi一ini merupakan yang terbaik.
Mengapa dia tidak kunjung paham? Aku sedang berusaha menyelamatkan kami berdua!
"Rose..." Menyadari dia tidak memiliki pilihan lagi, apalagi bersikukuh karena kehadiran orang tuaku, Jaehyun ikut menghela napas seperti ibu. "Baiklah. Aku pergi. Tapi jangan lakukan hal buruk padanya. Pada ... dia."
Insting seorang ayah?
Aku menggigit kuku jari telunjukku yang sudah tidak rata, enggan berbohong jika tidak perlu.
"Nanti aku akan datang lagi," Jaehyun berpamitan, mengetuk pintu sekali sebagai tanda. "Jangan lupa makan, ya? Telepon aku kapanpun kalau kau butuh sesuatu. Aku mencintaimu, Rose."
Kupu-kupu itu hewan yang indah, tapi juga lemah.
Mereka tidak punya taring, cakar, bisa atau alat pertahanan diri lainnya. Hanya ada sayap yang bisa menghindarkan dari pemangsa一itu pun tidak menjamin efektif. Tidak cukup.
Aku jadi bertanya-tanya, kenapa Yuta memilih hewan rapuh ini, dan bukannya hewan lain yang lebih garang? Misalnya singa? Hiu? Buaya? Dia bisa saja membeli cincin dengan permata biasa. Itu kan tidak kalah bagus.
Sejak Yuta memintaku menebak sendiri artinya, aku belum bisa berhenti memikirkan ini. Mungkin karena kupu-kupu bisa terbang bebas? Lalu dia berharap aku bisa seperti hewan cantik itu一meraih kebebasan hingga ke langit tertinggi?
Masuk akal. Aku menyukainya.
Kalau tidak bebas, apa gunanya hidup?
Inilah yang ada di benakku saat melihat foto Yuta bersama Rapunzel一seekor anjing berwarna cokelat yang menjadi anggota baru keluarganya.
Ia mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat anjing itu. Dan menamainya dengan nama Princess karena Rapunzel berjalan seperti Miss Japan.
Yuta sangat bersemangat saat bercerita tentangnya. Sempat menawarkan mau membelikanku anjing sejenis jika aku mau. "Kau bisa menganggapnya sebagai penonton sewaktu kau latihan bernyanyi. Anjingmu akan jadi anjing paling beruntung karena bisa setiap hari mendengar suaramu."
Aku tertawa, terpaksa menolak karena Alice alergi一itu sebabnya aku hanya punya ikan di masa remajaku di Melbourne. Sebagai gantinya, aku janji akan datang ke Osaka, untuk berkenalan dengan Rapunzel dan memberinya pakaian yang lebih cocok, daripada pakaian Superman yang ia kenakan di foto.
Ia setuju, meminta Rapunzel mengucapkan "Terimakasih" dengan bahasanya.
Setelah itu kami memutuskan sambungan, dan aku termenung di sini一di sebuah jembatan yang tidak jauh dari rumah. Aku butuh menghirup udara segar sekaligus menenangkan pikiran.
Kakiku menuntunku kemari.
Pemandangannya bagus. Air di bawahku terlihat berkilau terkena sentuhan cahaya lampu jalan. Permukaannya memantulkan bayangan bulan sabit yang tersenyum dari langit. Angin berhembus pelan, membuat sebagian rambut yang sudah kuikat acak-acakan. Sementara di belakang, kendaraan berlalu-lalang menuju berbagai tujuan.
Suasananya sempurna.
Seandainya bisa, aku ingin tinggal lebih lama, tapi sebentar lagi keluargaku pulang. Kami punya rencana makan malam bersama, karena ayah dengan polosnya berpendapat makanan enak bisa membantuku sembuh.
Aku tidak keberatan一berpikir itu bisa menjadi jalan keluar kilat menghindari Jaehyun yang tidak mau menyerah. Sifat keras kepalanya menampakkan diri.
Aku harus segera pergi untuk menghindari pertengkaran lain.
Rupanya aku tidak seberuntung itu.
Memiliki rencana jahat kelihatannya sudah membuatku sial. Jaehyun berada di depan pintu rumah ketika aku tiba. Seorang pria asing berseragam berdiri di sampingnya, menyodorkan sebuah kotak dan meminta tanda tangan.
Aku tertegun melihatnya, jantungku berdetak kencang. Harapan terbit layaknya matahari cerah di musim panas. "Itu paket untukku?"
Kemunculanku sedikit mengagetkan Jaehyun, tapi ia tersenyum. "Iya. Tapi tidak ada nama pengirimnya."
Tanganku langsung terulur meraihnya一rasanya seperti memegang sebuah hadiah yang tak ternilai. Keinginan memastikan isi kotak tersebut teramat besar, jadi aku segera masuk ke rumah, merobek kertas pembungkusnya di ruang duduk.
"Apa itu?" Tanya Jaehyun, mengikutiku dari belakang, menjinjing ranselnya.
Mulutku tidak bisa menjawab. Perhatianku terarah sepenuhnya pada 3 tabung mungil yang ada dalam kotak. Masing-masing punya jumlah obat yang berbeda, dengan warna yang berbeda pula. Dan ada kertas kecil disana, yang setelah kubaca berisi instruksi obat mana yang harus di minum kapan. Orang itu ternyata tidak berbohong. Aku selamat. Aku selamat!
"Obat apa ini?" Tak mendapat jawaban, Jaehyun mencari tahu sendiri. Matanya menyipit.
"Bukan apa-apa!" Mulai tersadar dari euforia, aku menyembunyikan kertas ketikan itu di belakang punggung, dan berniat merebut tabung yang di pegang Jaehyun. "Hanya vitamin. Berikan padaku."
Sikap diam Jaehyun yang tiba-tiba membangkitkan rasa takut. Dalam situasi normal, dia tidak akan menolak memberiku apapun. Kata 'tidak' seakan menghilang kalau aku yang meminta. Namun kini, dia menatapku curiga, dan secara mendadak mengambil 2 tabung yang tersisa. "Kenapa vitamin tidak ada merk-nya?"
Rasa panikku semakin menjadi-jadi. "Karena itu vitamin khusus! Untuk wanita hamil memang berbeda. Kau mengerti kan?"
Tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Jaehyun mengamati sekali lagi semua obat-obatan itu, meremasnya begitu keras hingga menimbulkan retakan di salah satu tabung. "Jangan minum obat sembarangan. Nanti akan kubelikan vitamin lain."
"Tidak usah. Yang itu saja. Kembalikan, Jaehyun."
Jaehyun justru mundur beberapa langkah, melirik jalan yang mengarah ke dapur di mana suatu kali, ibu pernah mengajaknya mencicipi masakannya. "Ini lebih baik di buang. Sepertinya jelek."
"Jangan..." Kepanikan itu meletus ibarat granat yang meledak; menebarkan perasaan frustrasi kemana-mana. Aku marah. Aku tidak mau pasrah dan mencoba merebutnya. Kutarik seragam Jaehyun, tapi dia tidak goyah. Langkahnya tetap mantap; pemuda yang lebih tinggi dan kuat, yang tidak sebanding denganku. Dia dengan mudah menghalangi dan tidak mengindahkan semua permohonanku.
"Jaehyun, tolonglah. Itu punyaku! Kau mau apa sih? Apa yang akan kau lakukan?!"
Pertanyaanku terjawab beberapa detik kemudian. Aku terlambat mengantisipasi ketika Jaehyun berjalan ke tempat cuci piring, menyalakan keran, lalu tanpa ragu, tanpa tahu betapa berartinya mereka bagiku, membuka satu-persatu tabung, dan menjatuhkan obat-obatan itu ke air.
Air mengucur deras. Ada yang dari keran, ada pula yang dari mataku. Sekitar 10 obat yang bisa jadi penyelamatku terbuang sia-sia, diluruhkan tanpa ampun oleh air. Baunya yang khas menyebar di udara beberapa saat, sebelum hilang.
Hilang.
Begitu juga harapanku.
"Kau sudah gila?!" Jaehyun berteriak geram, membuang tabung yang sudah kosong di tangannya. "Bagaimana bisa kau mau membunuh bayi itu?!"
Air mata mengaburkan pandanganku saat aku menunduk memungut tabung itu dan mendekapnya di dadaku. "Kenapa kau lakukan ini padaku?"
"Karena dia bayiku juga! Karena dia berhak dan pantas hidup!" Dada Jaehyun naik-turun dengan cepat. "Rose, untuk sekali ini saja berhentilah jadi egois!"
Tangisku pecah tak terkendali. "Lalu bagaimana denganku?" Tawa yang selanjutnya keluar dari tenggorokanku adalah tawa mengerikan milik gadis yang histeris, yang kehilangan pijakan dan jatuh ke laut ganas mengerikan. "Kau pikir aku egois? Kau pikir ini hanya tentang aku dan impian kecilku ke Jepang bersama Yuta? Jaehyun, pernahkah kau berpikir bahwa aku punya cita-cita yang ingin kuwujudkan?"
Jaehyun ikut tertawa seperti malaikat dan iblis di saat yang sama; dia menyelamatkan 1 nyawa demi nyawa lain. Dia mengorbankan aku, menganggapku tak lebih penting dari si bayi yang terbentuk dari kesalahan 1 malam kami. "Ini salah! Apapun itu一ini bukan jalan keluarnya! Bagaimana kalau kau saja yang berpikir, memikirkan ini," dia menggerakkan tangannya menyapu keseluruhan dapur. "Bahwa kau hampir jadi pembunuh yang membunuh bayimu yang tak bersalah?"
Dua hal bertentangan bertabrakan; bayi yang ingin Jaehyun lindungi, dan mimpiku yang perlahan-lahan sedang mati. Aku berteriak, melempar tabung itu ke dadanya. "Jadi kau ingin aku melepas cita-citaku? Bahkan sebelum aku mencobanya? Dengar dirimu sendiri一dengar siapa yang egois!"
"Rose, tenanglah dulu一"
"Tidak!" Aku sedang hancur dan dia menyuruhku tenang? Bagaimana caranya?
Bunuh saja aku一itu jauh lebih baik. Cita-citaku jadi penyanyi sejak remaja, kemana aku harus melangkah saat itu hilang? Itu adalah tujuanku hidup. Itu adalah keinginan yang paling kudambakan. Apakah masih ada gunanya orang yang hidup tanpa tujuan, terkatung-katung di dunia yang kejam ini, yang pasti akan berbisik-bisik menghinamu ketika tahu kau hamil di usia 18 tahun?
Bunuh saja aku. Aku membuka mulut hendak mengatakan itu pada Jaehyun, memintanya mengambil pisau dan mengakhiri semua ini. Apa bedanya? Seluruh harapanku sudah ia buang di wastafel di belakangnya, tak menyisakan apa-apa.
Bunuh saja aku. Tapi sebelum mengatakannya, suara pintu yang terbuka menghentikanku.
Dari sini, aku bisa mendengar Alice yang terbahak-bahak, tawa ayah yang lebih sopan, dan ibu yang seperti biasa mengambil peran sebagai pelawak.
Mereka datang.
Saat melihatku yang masih belum bisa mengontrol air mata, lebih buruk lagi, histeris dan meraung, Alice segera menghampiriku. "Ada apa ini? Kenapa kau membuatnya menangis?"
"Jaehyun?" Ibu berusaha mendapat perhatiannya, sementara ayah meletakkan tas kerja di meja makan. Semua jejak keceriaan keluargaku lenyap tak bersisa.
Jaehyun berani mendongak, namun orang pertama yang dia pandang adalah aku. Matanya berbicara banyak, dipenuhi oleh tekad. Mata itu memberitahuku bahwa dia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan bayinya. Apapun.
Percuma saja mencegahnya.
"Paman, bibi, Alice," katanya, menatap para pemilik nama bergantian. Dia menelan ludah dengan susah payah, tapi akhirnya mampu mengucapkan kalimat yang sangat ku takutkan. "Rose hamil. Dan itu anakku."
Dia melakukannya; dia baru saja membunuhku.
Panjang bat buset dah 😂 Semoga gak ada yang ketiduran ea xixixixixi 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top