21. Pelik
Jadi begini : penduduk Korea punya kepercayaan soal reinkarnasi.
Mereka percaya bahwa apa yang terjadi di masa kini, bisa jadi merupakan imbas dari perbuatanmu di masa lalu. Istilah kerennya : kau akan menuai apa yang kau tabur. Dan melihat apa yang terjadi sekarang, aku jadi berpikir, orang macam apa aku di kehidupan sebelumnya? Apa yang sudah kulakukan hingga dihukum seperti ini?
Kadang-kadang, aku memang membantah orang tuaku, berbohong pada mereka, dan menjahili Alice hingga dia marah. Tapi siapa yang tidak melakukan itu? Adakah orang yang benar-benar baik di dunia ini?
Tidak.
Namun beberapa orang justru dihukum lebih berat dari yang lain, meski kesalahan mereka hanya sedikit. Tidak bermaksud mengasihani diri sendiri, tapi saat melihat Lisa yang tercengang memegang test pack-ku, aku mulai berpikir dunia sangat tidak adil. Itu, dan terlalu kejam padaku.
"Rose, apa ini?" Lisa bertanya. Keterkejutan tergambar jelas di matanya yang melebar. Test pack itu hampir jatuh, seolah terlalu berat untuknya.
Aku memejamkan mata, bersiap masuk ke dalam pusaran mimpi buruk lagi. Lubang hitam itu, jika punya wajah, pasti sedang menertawakanku keras-keras.
Samar-samar, terdengar bunyi ketukan kedua, tapi baik aku dan Lisa tidak bergerak untuk menengok siapa lagi yang bertamu.
"Rose, apa ini?!" Untuk kedua kalinya, Lisa bertanya, namun dengan nada suara yang semakin naik dan tajam. Ia mendekat, mencengkeram lenganku erat. "Ini punya siapa?? Hei, jawab aku!"
Benar. Punya siapa? Aku tak seharusnya memiliki benda menjijikkan itu. Test pack tersebut sebenarnya milik gadis gila yang melakukan hal gila pula dengan Jaehyun. Bukan aku. Sungguh. Kuharap bukan...
"Rose!" Panggilan Lisa berubah jadi bentakan. Tangannya meraih bahuku, mengguncangnya dengan gerakan yang tidak bisa dibilang lembut. "Jawab dong! Kenapa diam saja sih? Ini bukan punyamu kan?"
Menolak hancur sekarang, saat ini juga, aku memilih tersenyum. Dan ketika itulah aku sadar, bahwa hal kecil yang dulu dengan mudah kulakukan mulai terasa sulit. Padahal hanya tersenyum. Padahal baru Lisa. Tapi aku bisa merasakan bagaimana duri-duri yang menjadi pertahanan diriku satu persatu gugur, menjadikanku mawar biasa yang rapuh. "Bukan," begitu pelan, suaraku keluar berupa bisikan. "Sudah jelas bukan. Ada-ada saja kau. Jangan bercanda."
"Lalu?" Lisa kembali menghujaniku dengan pertanyaan, mengangkat test pack tinggi-tinggi seperti pengacara yang menyodorkan barang bukti. "Apa ini?"
"Itu..." Otakku kosong. Tak ada kalimat yang bisa kugunakan untuk menipu. Sebagian diriku tahu berbohong sia-sia saja, selihai apapun aku mengucapkannya. Dan kenyataan itu membuatku bungkam, menunduk semakin dalam.
"Astaga, Rose..." Tidak habis pikir, Lisa menggelengkan kepala. Ada sejumput rambut yang menghalangi matanya, tapi ia tidak menghiraukan. Fokusnya tertuju padaku, pada perutku. "Pantas saja kau sering muntah. Pantas saja kau tidak pernah meminjam pembalut lagi. Ternyata ini sebabnya. Kau ham一"
"Lisa," aku memotong, menghentikannya mengucapkan kata mengerikan itu. Kata yang bahkan tidak berani kuucapkan pada diriku sendiri. "Ini hanya salah paham. Kau tidak mengerti."
Percuma.
Sorot mata Lisa menunjukkan rasa tidak percaya yang bercampur dengan keraguan. Ia menatapku seakan tak pernah melihatku sebelumnya, mungkin mengingat-ingat saat aku muntah, mengeluh capek, atau sewaktu aku terpaksa menepi di pelajaran olahraga, lalu menyatukan semua itu menjadi satu kesimpulan yang hampir ia suarakan tadi.
"Apanya yang salah paham? Ini sudah jelas. Aku juga sempat mencurigainya, tahu? Tapi aku tidak menanyakannya karena takut menyinggungmu. Dan kupikir itu tidak mungkin. Kau tidak mungkin sebodoh itu..."
"Tentu saja tidak!" Memaksakan tertawa, aku justru merasakan air mata yang menggenang di mataku, mengancam turun dalam satu kedipan. "Itu punya teman. Punya teman, oke? Dia mengetesnya di sini karena takut ketahuan. Itu saja. Ayo, berikan padaku."
Tubuh Lisa yang mematung memudahkanku mengambil test pack dari tangannya. Ia tak berusaha mencegah, malah membiarkan aku mendekap alat tersebut di dadaku, meski tahu itu takkan menyembunyikan kebenaran yang pahit ini. Jantungku berdetak cepat sekali, lebih cepat lagi saat Lisa bertanya, "Siapa ayahnya, Rose?"
Seraut wajah seorang pria yang sedang tersenyum muncul saat mendengar pertanyaan itu.
"Ayahnya." Lisa mendesak "Apa itu Yuta? Tidak banyak pria yang dekat denganmu. Pasti Yuta kan? Aku yakin dia orangnya."
"Bukan," aku menangis sekarang, mengeluarkan bulir-bulir air mata yang mengingatkanku pada hujan di hari itu. "Yuta tidak salah..."
"Bohong," sanggah Lisa, mengambil langkah-langkah panjang ke tempat tidur, ke arah ponsel kami yang berbaris bersebelahan. "Kau tergila-gila padanya. Mustahil kau melakukan itu dengan orang lain."
"Lisa..." Sembari terisak, aku menarik tangan Lisa, mencoba menghentikannya yang hendak mewujudkan ketakutan terbesarku; menelpon Yuta, memberitahu orang yang justru paling tidak boleh tahu. "Hentikan! Bukan dia orangnya! Dengarkan aku dulu!"
Tapi Lisa seolah tuli. Dengan kekuatan yang mengejutkan, ia mendorongku agar tak menghalangi, nyaris membuatku jatuh jika aku tak berpegangan pada laci. "Lepas!" Katanya, tegas. "Biar aku yang bicara dengannya. Aku sendiri yang akan berangkat ke Jepang dan menghajarnya jika dia sampai tidak mau bertanggung jawab. Lihat saja nanti!"
"BUKAN DIA!" Frustrasi dengan semua ini, aku berteriak di sela-sela air mata yang terus mengalir. "Bukan dia! Sudah kubilang bukan Yuta! Kenapa kau tidak percaya padaku?!"
Lalu didorong amarah yang memuncak tinggi bagai ombak di laut, aku melemparkan test pack ke sembarang arah. Benda sialan yang menjadi sumber masalah itu menghantam dinding, menimbulkan suara 'ctak' pelan sebelum gaya gravitasi menariknya ke bawah. Aku melihatnya berputar-putar beberapa kali di lantai, lalu diam sepenuhnya ketika menabrak sebuah sepatu berwarna abu-abu.
Pemiliknya kemudian membungkuk, meraih test pack dengan sebelah tangan yang kulitnya sangat putih.
Jawaban atas pertanyaan Lisa sudah datang.
Itu Jaehyun.
Sebelum memutuskan mau jadi penyanyi, aku sama seperti remaja-remaja lain; pernah berada di fase labil cita-cita. Mulai dari dokter, guru一karena ingin jadi lebih keren dari Alice, sampai psikolog, yang dipengaruhi oleh satu faktor sederhana; ketertarikan terhadap pola pikir manusia.
Aku selalu takjub mengetahui seberapa kompleksnya cara berpikir wanita一yang lebih sering menggunakan otak kanan, dibanding laki-laki yang kebalikannya. Apalagi saat membaca sebuah buku berjudul 'Men Are From Mars, Women Are From Venus' yang mengupas habis topik tersebut.
Laki-laki mengandalkan logika.
Perempuan dengan perasaan.
Aku tahu itu.
Tapi ketika berhadapan dengan Jaehyun, semua pengetahuanku seolah lenyap. Aku tak bisa menebak apa yang mungkin ia pikirkan dengan otak kirinya sekarang. Ekspresinya tak terbaca.
Bahkan saat mata kami bertemu, aku dengan bodohnya malah mengingat kenangan di hari itu. Bagaimana lengannya mendekapku, rasa bibirnya yang pernah mengecupku, dan kehangatan napasnya yang mengenai pipiku saat dia berkata dia mencintaiku.
Semua itu indah. Meski sebentar.
Seperti pelangi.
"Jaehyun..." Aku bergumam, lalu diam. Tidak tahu harus berkata apa.
Kuharap Jaehyun akan tertawa, atau setidaknya tersenyum, menganggap ini tak lebih dari lelucon jelek yang tidak sengaja ia dengar. Aku dan kenaifanku berharap dia tidak mendengar apapun, lalu kami bertiga bisa bersikap seperti biasa.
Tapi tidak.
Dia tetap berwajah serius. Perlahan meletakkan bungkusan putih berisi entah apa yang dibawanya, lalu menunduk, meneliti test pack lama sekali. Jauh lebih lama dari yang diperlukan.
"Lisa," katanya lirih, nyaris tak terdengar. "Kalau garisnya ada 2 itu artinya positif hamil, ya?"
Tak ada satupun dari kami yang menjawabnya.
Lisa yang juga terkejut dengan kemunculan Jaehyun hanya membuka mulutnya tanpa ada suara yang keluar. Reaksi pria itu yang bisa dibilang tenang membingungkannya. Tapi segera, setelah semua teka-teki sudah jatuh ke tempatnya, dia pasti akan mengerti.
Mengerti bahwa sahabatnya ini sama sekali tak seperti yang ia kira.
Aku jenis wanita terburuk; tidak sekedar menghancurkan harapan orang tuaku, aku turut merusak masa depan Jaehyun, semua rencana yang telah ia bangun.
Tega-teganya aku melakukan itu?
"Rose," Jaehyun kembali bicara, mengalihkan perhatianku dari Lisa. Dengan tas yang masih ada di punggungnya, ia mendekat. Cukup dekat untuk memelukku jika ia mau. 180 senti dan 168 bertemu. Aku harus mendongak agar kontak mata kami tidak terputus. "Kenapa tidak bilang?"
Dia tidak marah ternyata.
Suaranya masih selembut tadi, tidak meninggi sedikitpun. Tapi respon ini malah semakin membuatku ingin menangis.
Sebersit pikiran muncul bagai setitik cahaya dalam lubang gelap yang mengurungku; Jaehyun terlalu baik. Aku tidak layak untuknya.
Mungkin aku memang tidak layak untuk siapapun, termasuk Yuta.
"Apa harus seperti ini dulu supaya aku tahu?" Dia menambahkan, mengepalkan tangan yang menggenggam test pack. Benda itu menjadi bukti dari hasil kesalahan kami yang kusesali setiap hari.
Aku masih diam. Aku menunduk, tidak berani membalas tatapannya. Rose yang berani bersembunyi jauh di belakang, terikat dalam kegelapan, dan tidak bisa menyelamatkanku kali ini.
"Kau benar-benar egois." Jaehyun tertawa parau. Selagi aku masih membisu, ia terus mengeluarkan kata-kata menyakitkan, yang sialnya tidak sepenuhnya salah. "Itu anakku kan? Berarti aku berhak tahu. Bagaimana bisa kau merahasiakannya?"
Aku mengatupkan tanganku di depan mulut dalam usaha menahan isakan.
Kamar ini ibarat menyempit dan menghimpit, dan aku terjebak di antaranya, kesulitan bernapas. Terlebih saat Lisa bertanya, "Tunggu, APA?! Jadi bukan Yuta Ayahnya?"
Giliran Jaehyun yang diam, membuang muka ke samping, langsung bertemu pandang dengan fotoku dan Yuta yang kupajang di dinding dalam bingkai berhias gambar beruang dan rumah kayunya. Terdapat kesedihan di matanya, memahami apa yang telah kami lakukan akan menyakiti orang lain.
Bukan cuma Yuta.
Ada orang tuaku.
Orang tuanya.
Alice.
Ini jauh lebih buruk dari yang kami kira.
"Maaf." Aku mengatakannya sambil terisak-isak. Membenci diriku yang telah menyeret Jaehyun dalam bencana ini. Benci pada diriku yang seenaknya saja, berpikiran pendek, dan bodoh. Benci. Sangat benci. "Jaehyun, aku minta maaf. Akan kuselesaikan masalah ini sendiri. Aku sungguh minta maaf..."
Wajah tampan Jaehyun berubah tegang. "Sejak kapan kata 'masalah' menggantikan kata 'bayi'? Kenapa menyebutnya begitu? Rose." Tangan yang sama yang memegang test pack berusaha menggapaiku, tapi aku menghindar. "Rose, apa maksudmu?"
Aku menggeleng dan menggeleng. Aku mengambil langkah mundur ke pintu kamar. Kepalaku pusing, tapi aku bersikeras berlari, menjauh dari siapapun yang mendesakku dan mimpi buruk yang tiba-tiba menjelma jadi kenyataan. Semua ini membuatku takut dan terpukul, menyadari bahwa ternyata aku tidak seberani yang selalu kubanggakan.
Aku hanya pengecut yang hobi melarikan diri.
Juga harus melakukan aborsi.
Rose versi gua ini memang tydak biasa
Tapi jan hujat dia yak :(
Mending hujat gua aja udah gpp kok
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top