19. Awal Mimpi Buruk
Lihat aku.
Lihat tubuh ini.
Apakah aku terlihat seperti orang yang hamil? Tentu saja tidak. Berat badanku memang naik, tapi hanya sedikit, sehingga tidak ada yang menyadarinya. Pinggangku tetap ramping seperti dulu. Perutku pun rata. Tidak menonjol.
Aku membeli test pack hanya untuk memastikan saja. Hasilnya sudah pasti negatif. Maksudku, astaga, aku baru akan menapaki tangga kesuksesan dan tiba-tiba terjegal insiden tidak diduga ini? Tuhan tidak sekejam itu.
Lebih baik kena penyakit berbahaya daripada hamil. Karena sakit bisa disembuhkan. Tapi hamil? Itu akan merusak keseluruhan hidupku! Aku takut hanya dengan memikirkannya. Pokoknya tidak boleh!
Tolonglah, Tuhan...
Aku memejamkan mata, menarik napas panjang. Lalu dengan pelan, sangat pelan, tangan kiriku bergerak mengambil test pack pertama, memeriksa jumlah garis yang ada di alat itu.
Semoga 1.
Semoga 1.
Semoga 1.
Mataku kembali terbuka.
Garisnya ada 2.
Oh, lucu sekali. Aku tergelak. Inilah kenapa aku membeli 3 barang tadi, karena aku takut ada yang rusak. Sudah kuduga. Seharusnya mereka mengecek produk mereka secara berkala. Atau mungkin pekerja itu sengaja memberikan barang yang tidak layak untuk membuatku takut?
Haha. Sangat lucu.
Memangnya dia kira aku akan tertipu?
Masih sambil tertawa, aku meraih test pack kedua, berharap alat yang ini akan menunjukkan hasil yang kuinginkan.
Ternyata sama saja.
Rusak lagi.
Payah. Payah. Payah.
Aku langsung membuangnya ke belakang, membuat alat itu membentur pintu kamar mandi yang sudah kukunci.
Test pack terakhir sekarang menjadi harapan terakhirku. Yang ini tidak mungkin salah.
Tapi tidak ada perubahan. Semuanya positif.
Itu artinya aku ... hamil?
Hamil di usia 18 tahun.
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan dan terbahak keras. Yang benar saja. Lelucon macam apa ini? Lakon komedi macam apa yang sedang dipaksakan semesta untuk kumainkan?
Bahkan dalam fantasi terliarku, aku tak pernah membayangkan hal ini. Sama sekali. Saat teman-temanku membicarakan soal menikah dan punya anak, aku selalu menertawakan mereka, karena aku punya rencana yang tidak kalah indah.
10 tahun lagi, aku ingin jadi penyanyi sukses; melakukan tur dunia; berkunjung ke banyak negara bagian di Amerika atau keliling Eropa,
berdiri di atas panggung megah dengan puluhan ribu penggemar yang menikmati suaraku.
Aku menggeleng.
Ini pasti mimpi. Ya, tidak salah lagi. Lebih tepatnya mimpi yang amat buruk. Tapi tidak apa. Aku akan segera terjaga. Sebentar lagi. Tidak mungkin aku terus tidur kan? Tidak mungkin aku terjebak selamanya di sini.
"Bangun!" Aku menampar pipiku keras-keras, mencubit pahaku yang masih terbalut rok seragam sekolah. "Ayo bangun, Rose!"
Rasanya sakit.
Dan aku masih di tempat yang sama.
Aku mengerjap. Air mata mengaburkan pandanganku. Satu tetes kemudian melucur turun, terus hingga ke lantai yang berwarna putih. Isakan keluar tanpa bisa dicegah. Aku merasa seperti baru saja terjatuh ke lubang hitam, tanpa ada harapan untuk keluar. Sejauh apapun aku mengulurkan tangan, mimpi-mimpiku terbang bagai percikan kertas yang terbakar.
Semuanya gelap. Menyesakkan. Pintu masa depanku yang bersinar cerah seketika tertutup, digantikan pintu menuju neraka bernama penyesalan.
"Bodoh," aku memaki diriku sendiri, menghantamkan test pack dalam genggaman berkali-kali ke tembok, hingga tanganku terluka. "DASAR BODOH!"
Apa yang sebenarnya kupikirkan waktu itu? Berbuat seenaknya tanpa memikirkan resikonya? Lihat apa akibatnya sekarang! Aku hamil, dengan seorang pria yang bahkan tidak kucintai dan lebih parahnya, sedang menjauhiku.
Padahal sebentar lagi aku akan ikut audisi.
Padahal orang tuaku menaruh harapan besar padaku.
Dan Yuta...
Bagaimana dengan Yuta? Dengan rencana kami?
"SIALAN!"
Aku berteriak, meluapkan segala amarah dan perasaan frustrasi dalam dada, meski tahu itu takkan mengubah keadaan. Lupakan soal audisi. Pada kenyataannya, aku sudah kalah sebelum bertanding. Tidak akan ada penyanyi Roseanne Park. Tidak ada pula kabar baik yang bisa kuberikan pada Yuta atau orang tuaku.
Semuanya rusak...
Dan itu salahku.
Bukan orang lain, melainkan aku sendiri. Seandainya aku lebih dewasa, ini tidak akan terjadi. Seandainya aku tidak mencari kesenangan sesaat, aku pasti tidak akan hamil. Seandainya, seandainya ... percuma saja berandai-andai!
Sudah terlanjur.
Apa yang harus kulakukan?
Memberi tahu orang tuaku?
Tidak. Aku lebih baik mati daripada melakukan itu. Selama ini aku selalu menjadi anak yang dibanggakan ibu dan ayahku, tidak pernah mengecewakan mereka. Yang mereka tahu, Rose adalah anak yang baik. Rose punya cita-cita menjadi penyanyi, dan mereka mendukungnya dengan segala cara.
"Apapun yang kau inginkan, Nak," begitu kata ibuku.
Aku jatuh terduduk, menutup telinga dengan kedua tangan. Air mataku terus mengalir, mewakili hatiku yang berdenyut sakit. Aku tidak mau hamil. Aku tidak mau berpisah dengan Yuta. Aku tidak mau membuat orang tuaku sedih.
Bagaimana ini?
Rasanya pundakku baru saja diberi beban yang sangat berat. Aku terlalu muda untuk menahannya. Aku tidak sanggup.
Aku takut beban itu pada akhirnya akan menghancurkanku perlahan-lahan.
Pagi一aku mengetahuinya dari sinar mentari yang bertamu lewat jendela kamarku. Waktu berputar tanpa ampun di saat aku ingin dia berhenti; aku terombang-ambing di dalamnya.
Aku terbangun di atas tempat tidurku, tidak mengerti bagaimana aku bisa berbaring di sini, atau apakah kamar mandi telah dibereskan. Kepalaku sakit. Ada banyak pemikiran yang melintas di sana; dari yang masuk akal sampai yang terdengar gila. Tapi samar-samar aku ingat, aku menangis lama sekali semalam. Dan karena itu, sekarang kepalaku pusing bukan main.
Mustahil berangkat sekolah. Membayangkan bertemu Jaehyun saja sudah membuat nyeri di kepalaku semakin parah. Aku belum siap memberitahu Jaehyun, di luar fakta dialah yang paling berhak tahu. Selain aku, dinding-dinding kamarku yang menjadi saksi bisu, tidak ada yang boleh tahu. Setidaknya sampai aku memutuskan nasib si ... si ... bayi.
Mempertahankan atau membuangnya.
Aku meletakkan tangan di perutku, meski tahu aku tidak akan merasakan apa-apa. Dia masih terlalu kecil, namun bayangan bahwa ada sebuah kehidupan yang sedang tumbuh bersamaku adalah perasaan yang ... indah一jika saja kehidupan itu tidak hadir di waktu yang salah.
Itu pilihan yang sulit. Aku sadar, pilihan manapun yang kuambil, akan berujung pada penyesalan yang mungkin bertahan seumur hidup.
Mengapa hanya karena 1 kesalahan seluruh hidupku terancam rusak?
Aku mendongak, mengalihkan tatapan ke meja riasku. Di sana, ada sebuah kertas yang menjadi motivasiku selama ini. Kertas yang di tempel dengan magnet berbentuk tupai bertuliskan tanggal audisi dan jamnya, serta kalimat penyemangat dari Alice dan Lisa.
Audisi di YG!!!
Tanggal 09 september, jam 10
-Semangat Rose, aku pasti akan menjadikanmu cantik nanti, supaya kau menang!
-Semoga kau lulus agar tidak perlu lagi tinggal di rumah dan menghabiskan banyak makanan^^
Apakah aku sudah benar-benar kalah?
Mataku mulai berkaca-kaca hanya dengan membacanya. Terlalu menyakitkan. Tapi sebelum sempat menetes, aku cepat-cepat menghapusnya karena pintu yang terbuka tiba-tiba.
"Kau tidak sekolah?" Ibuku bertanya, sudah mengenakan pakaian kerjanya. Di usianya yang sudah paruh baya, dia masih secantik dulu. Beberapa kali, orang-orang malah mengira dia adalah kakakku dan Alice, bukannya orang tua kami.
Aku menggeleng, menarik selimut menutupi sebagian wajahku. "Sakit."
Tidak terlihat khawatir, ibuku justru tampak geli. Ia duduk di dekatku, berdecak pelan. "Sepertinya ada yang patah hati sampai menangis terus kemarin."
"Tidak kok." Ini jauh lebih buruk. "Aku dan Yuta tidak punya masalah."
"Sungguh?" Tatapan mata penuh selidik ibuku kembali, mengamatiku dari setiap sisi dan sesaat, aku takut一 entah bagaimana一dia akan mengetahui rahasiaku. Ibu adalah orang yang paling mengerti aku. Dari dialah, aku hampir tidak bisa menyembunyikan apapun. "Lalu bagaimana dengan Jaehyun?"
Benar. Bagaimana dengan Jaehyun? Di mana dan apa yang dia lakukan sementara aku tergolek tak berdaya di tengah reruntuhan mimpiku yang hancur?
"Hanya penasaran saja," imbuhnya. "Kenapa Jaehyun tidak pernah datang lagi? Dulu dia sering sekali mampir. Apa kalian bertengkar?"
Apa kami bertengkar? Sejujurnya aku tidak tahu. Hubungan kami rumit, dan pasti akan jadi semakin rumit setelah ini. Kalau aku saja sulit menerima bayi ini, bagaimana dengan Jaehyun?
Mungkinkah dia mau bertanggung jawab?
Kalau tidak bagaimana?
Aku menghela napas, berusaha menutupi keadaan kami yang kacau dengan kebohongan. Benci sekali rasanya harus merahasiakan banyak hal dari wanita yang sudah melahirkanku ini. "Dia sibuk belajar untuk ujian. Nanti juga datang."
"Yah, dia itu memang kelihatannya anak baik. Tidak mengherankan. Kalau jadi kau, ibu pasti lebih memilih Jaehyun daripada si Yuta itu."
Aku mengerang, menendang-nendang tempat tidur. Sudah tidak terhitung berapa kali aku mendengar kalimat semacam itu. Entah dari keluargaku sendiri atau dari teman-teman.
"Sudah jelas kan Jaehyun lebih baik dalam segala hal dibanding Yuta?"
"Kenapa tidak pilih Jaehyun saja? Memang dia kurang apa?"
Ah, menyebalkan! Mereka yang mengatakan itu tidak tahu apa-apa. Mereka tidak mengenal Yuta. Dan cinta jelas bukanlah sesuatu yang bisa dipaksa.
Yuta-ku adalah mutiara. Untuk tahu letak keistimewaannya, kau harus menyelam ke laut yang dalam, membuka cangkang keras yang membuatnya terlihat seperti berandalan, hingga menemukan dirinya yang sejati.
Tak semua orang mengerti itu. Mereka sekedar melihat Jaehyun dan Yuta dari luar, lalu asal menyimpulkan.
Dasar.
"Mereka berbeda." Aku menjawab singkat, terlalu capek sekaligus enggan membela yang 1 dengan menjelekkan yang lain. Keduanya punya tempat masing-masing di hatiku. Ada yang sebagai teman, ada yang lebih dari itu.
"Kalau itu sih sudah jelas." Ibuku tertawa. Sedikit banyak, ia tahu bagaimana perasaanku terhadap keduanya, meski lebih memihak pada Jaehyun. "Apa kau mau ke dokter? Kita bisa berangkat sekarang. Akhir-akhir ini kesehatanmu memburuk."
"Tidak." Aku menolak cepat, sebisa mungkin membuat wajahku terlihat biasa saja. Meski rasa takut, yang bila diibaratkan sel darah, telah memenuhi semua tempat di tubuhku. "Aku hanya butuh istirahat sebentar."
"Kalau begitu mau dibuatkan bubur?"
Lagi-lagi menggeleng, aku tersenyum untuk mengusir kekhawatirannya. "Tidak perlu, Ibu berangkat kerja saja."
"Benar?" Masih ragu, ibuku tidak beranjak. Ia meraba dahiku dengan tangannya yang halus dan hangat, memeriksa suhunya. Tapi karena tidak terlalu tinggi, ia ikut tersenyum, bahkan mengecup pipi putrinya yang nakal ini. "Ya sudah. Istirahatlah," katanya, mengelus rambutku dengan lembut. "Nanti ibu akan pulang cepat sambil membawa kimchi rebus, ya?"
Aku mengangguk, berusaha menahan tangis.
Walaupun seorang wanita karier, ibuku mengutamakan keluarganya, tidak pernah berangkat kerja sebelum membuat sarapan dan selalu memperhatikan aku dan Alice, terlebih saat kami sakit. Kemampuannya membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga membuatku mengidolakannya, ingin jadi seperti dia. Tapi hal itu tidak mungkin tercapai kalau aku punya bayi di usia semuda ini...
Seandainya dia tahu, apa yang akan berubah nanti?
Dan yang paling penting, bisakah dia memaafkanku?
Demi update sesuai jadwal gua ngebut bikin ini, sambil minum luwak white coffee, jadi kagak tau dah nge feel apa gak. Pokoknya, luwak white coffee tydak bikin kembung!.gg 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top