18. Bulan Kedua : Merenggang

Roti cokelat.

Aku sedang ingin roti cokelat sekarang.

Saking inginnya, aku sampai berani mengambil resiko terlambat masuk kelas, karena mampir dulu ke toko yang ada di dekat sekolah. Padahal jam pertama adalah pelajaran guru killer. Tapi bukan masalah, ada sisa waktu 17 menit. Aku akan berlari setelah ini.

Lagipula aku termasuk murid yang rajin. Aku jarang terlambat, hanya pernah bolos sekali saat bersama Yuta. Dan jujur saja, aku tidak menyesalinya sampai sekarang. Itu adalah salah satu hari terindah dalam hidupku, karena membuatku bisa lebih mengenal Yuta.

Mengingatnya, aku tersenyum, memasuki toko roti yang cukup sering kudatangi. Mereka memang sengaja buka pagi untuk menyelamatkan perut murid-murid yang tidak sempat sarapan di rumah. Aku sudah, tapi masih lapar. Belakangan ini aku memang makan banyak, hingga ibuku heran dan Alice mengejekku gendut. Salah satu celanaku juga jadi tidak muat, tapi biarlah. Nanti kan bisa beli lagi.

Yang penting makan dulu!

Kuambil 3 roti cokelat yang sejak tadi kuidamkan, lantas membawanya ke kasir. 2 untukku, 1 untuk Lisa. Si cerewet itu pasti akan merengut seharian kalau tidak di belikan. Jadi lebih baik cari aman.

Kasirnya一perempuan muda yang kutebak berusia 25 tahun-an一membungkus semua rotiku dengan cekatan, dan menyebutkan total harganya.

Tanganku bergerak mengambil dompet, yang ada di dalam tas. Tapi saat menyodorkan uang, aku tiba-tiba merasa mual mencium parfum kasir itu. Baunya benar-benar luar biasa. Hanya sebentar menghirupnya bisa langsung membuatku pusing.

Astaga, kenapa orang-orang suka memakai parfum yang menyengat seperti itu?

Mual yang kurasakan belum reda saat aku sampai di sekolah. Sebaliknya, malah kian menjadi-jadi. Perutku rasanya di aduk oleh tangan yang tak terlihat, membuat rasa asam naik ke tenggorokan. Pada akhirnya aku harus menyerah, menepi ke toilet dan muntah di sana.

Aku benar-benar harus pergi ke dokter.

Ini bukan pertama kalinya. Rutin terjadi terutama di pagi hari. Sepertinya aku punya masalah pencernaan yang menyebabkanku sering muntah dan buang air kecil. Salah satu teman sekelasku bahkan mengarang lelucon buruk tentang aku yang hobi tidur di toilet karena dalam sehari, aku bisa izin berkali-kali. Dan itu TIDAK disengaja. Aku bergidik ngeri, takut terkena penyakit serius.

Tapi semoga saja tidak. Ada cita-cita yang ingin kucapai. Akan.

Ini mungkin hanya ... anemia.

"Rose?"

Dengan suara pelan, bahkan nyaris tanpa deritan, pintu bilik di belakangku yang sebelumnya tertutup mendadak mengayun terbuka. Sesosok tubuh keluar, berjalan mendekat seanggun seorang penari. Keningnya berkerut一entah karena penasaran atau khawatir.

"Apa kau yang tadi muntah? Kedengarannya parah sekali."

Ah, Chaeyeon.

Bertemu dengannya dalam keadaan begini一walaupun aku tidak peduli pada pendapat orang lain一adalah hal terakhir yang kuinginkan pagi ini. Hariku sudah di awali dengan buruk, tidak perlu jadi lebih buruk lagi. Namun karena faktor kesopanan, aku mengangguk, malas menjelaskan lebih jauh.

"Kalau sakit sebaiknya ke ruang kesehatan, istirahat saja," usul gadis itu. Ramah sekali. Tapi tiap melihatnya, aku selalu teringat bagaimana dia menempel pada Jaehyun setelah pria itu menjauhiku. Dan fakta tersebut tidak membuatku senang.

"Tidak apa-apa." Aku mencoba tersenyum, memperbaiki penampilanku agar tidak berantakan. Lisa pasti khawatir kalau tahu kondisi kesehatanku tidak kunjung membaikbelum.

"Benar?" Chaeyeon memastikan, menatapku lekat dari dekat. "Tapi kau agak pucat lho."

Secara refleks, aku menyentuh pipiku, mengamati wajahku melalui cermin dan dengan ngeri mendapati Chaeyeon benar. Make up tipis yang kupakai tampak tidak berefek apapun. Aku kelihatan payah. Dan jujur saja, sedikit pusing. Sejak kapan mataku jadi cekung padahal malam sebelumnya aku tidur cukup lama usai melakukan video call dengan Yuta? "Ini karena berlari." Aku berkilah. "Dari toko roti."

"Oh pantas." Jawaban tadi kelihatannya memuaskan Chaeyeon. Dia mengangguk-angguk paham. Kakinya melangkah di sampingku saat keluar dari toilet, bahkan dia berbaik hati membukakan pintunya.

Tapi begitu melihat siapa yang menunggu di depan, aku dan Chaeyeon kompak berhenti.

Jaehyun berbalik, tersenyum bak malaikat. Si senior pujaan semua murid perempuan tampak semakin tampan menjelang kelulusan.

Kami bertatapan. Jarak sebenarnya tak lebih dari 5 langkah, namun tembok penghalang tak kasat mata yang kami bangun bersama menciptakan ilusi bahwa kami berdiri di tepi jurang yang berlainan dan tak seorangpun dari kami yang berniat mencari cara untuk menyebrang. Kami dekat sekaligus jauh. Aku dan Jaehyun, kami terpisah karena perasaan yang ingin segera kami musnahkan; 2 jenis cinta yang berbeda, dan sama-sama kami anggap tak memiliki harapan.

Aku sangat merindukannya.

Sejak kejadian di lapangan, hubungan kami memang tidak memburuk, tapi juga tidak seperti dulu. Datar saja. Kalau berpapasan akan saling tersenyum. Kadang makan siang di meja yang berdekatan一yang menjadi semacam ajang pembuktian di mana kami berlomba-lomba terlihat bahagia. Beberapa kali aku bertemu dia di perpustakaan, bicara seadanya. Itu pun tidak lama. Hanya basa-basi singkat layaknya 2 orang yang baru mengenal.

Saat ini pun Jaehyun tidak bersuara, tidak  menanyakan keadaanku. Dulu, hal itu pasti terjadi. Tapi sekarang berbeda. Sekarang, tak ada lagi yang menyebarkan rumor tentang Roseanne Park yang berpacaran dengan Jung Jaehyun. Gosip itu sudah jadi cerita lama yang ditenggelamkan waktu.

Aku menunduk, gagal memaksa diriku tersenyum. Aku melangkahkan kaki ke tujuanku semula tanpa menyapanya menyikapi sikapnya yang turut diam.

Kemudian, berhenti.

Ketika Jaehyun kira aku telah jauh dan tidak mendengarnya, dia bertanya pada Chaeyeon. "Apa Rose baik-baik saja? Dia kelihatan sakit."

Aku menggeleng menyadari rupanya dia tidak berubah terlalu banyak一tapi tetap menjengkelkan.

Lisa sedang tersenyum menatap ponselnya saat aku datang, seperti orang gila saja. Dia menoleh padaku, tapi tidak langsung menaruh perhatian pada roti yang kubawa, melainkan menarikku duduk lebih dulu.

Aku menurut karena sangat lelah. Meski jaraknya tidak jauh, tapi berlari dari toko roti ke kelas ternyata cukup untuk membuatku berkeringat. "Ada apa?"

"Lihat ini," dia membujuk, menyodorkan layar ponselnya.

Aku menyipitkan mata, menunduk ke arah sebuah gambar yang tidak jelas. Itu adalah gambar sekumpulan semut hitam dan putih yang tidak membentuk apapun selain tanda tanya di benakku, mirip layar TV manakala tidak mendapat sinyal yang bagus. Aku jarang melihat sesuatu seperti itu sehingga butuh waktu bagiku untuk mengenali bahwa bukannya sekedar gambar buram, itu adalah foto hasil USG bayi. "Kau hamil, ya?"

"HEH, SEMBARANGAN!" Lisa berteriak dengan volume tak terkontrol. "Itu calon keponakanku, tahu!"

"Oh, benarkah?" Aku mengangkat 1 alisku. "Wah, selamat! Apa kau sudah siap dipanggil Bibi?"

Lisa tersenyum semakin lebar, seolah dia sendiri yang akan punya bayi. Dia memang orang yang ceria, tapi ekspresi bahagia ini berbeda. Istimewa. "Tentu saja," jawabnya, dengan mata berbinar-binar. "Keluargaku sudah lama mengharapkan bayi ini. Tapi sebenarnya aku sudah curiga kalau Kakak hamil sejak lama. Dia makan banyak sekali, bisa untuk porsi 3 orang!"

Aku tergelak meresponnya. "Apa makan banyak itu tanda hamil?"

"Salah satunya. Punya bayi membuat nafsu makan meningkat."

Terdiam sejenak, aku menatap roti yang baru saja kubeli. Tubuhku mematung. Bagian otak manapun yang fungsinya mengatur tentang memori, kembali memutar ulang ucapan Alice pagi ini.

"Sudah, jangan makan terus, nanti kau jadi gendut saat ikut audisi!"

Lalu pikiranku melayang ke hari itu, hari ketika aku melakukan kesalahan besar dengan Jaehyun. Mencari kesenangan sesaat demi melampiaskan api kemarahan, dan membiarkannya membakar habis seluruh logika.

Apa yang kulakukan?

Sebuah dugaan kini mulai terbentuk, tapi aku takut mengakuinya. Rasa takut itu kembali; jauh lebih dahsyat. Aku batal melahap rotiku, meletakkannya di tas. "Apalagi tandanya?"

"Apa ya?" Lisa mengetuk dagunya dengan jari telunjuk, berpikir. Poninya yang sudah melegenda tampak sedikit miring. "Kalau tidak salah sih, mudah lelah..."

Aku mengusap keringat di dahiku. Ini wajar. Efek berlari tadi.

"... Tangan dan kaki jadi bengkak."

Menunduk, aku melirik kakiku. Memang sesuai dengan yang dikatakan Lisa, tapi kurasa itu hanya karena terlalu banyak latihan untuk audisi. Lagipula aku selalu jalan kaki ke stasiun. Jaraknya lumayan jauh. Masih wajar.

"... Tidak menstruasi sudah pasti ya hahaha."

Aku ikut tertawa, menggigiti kuku jariku tanpa sadarsebuah kebiasaan buruk saat sedang gugup. Beberapa gadis memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur. Bukan masalah besar.

"... Mual dan muntah."

Banyak penyakit yang memiliki gejala seperti itu. Tidak selalu disebabkan hamil ... iya kan?

"... Dan emosi jadi tidak"

Terhenti mendadak, Lisa meringis ketika guru kami yang kejamnya seperti Hitler datang, memasuki kelas dengan wajah masam. Dia segera membantuku membereskan sisa roti, menyelipkannya ke bawah meja. Sedangkan aku yang masih memegang ponselnya menatap foto USG itu sekali lagi, lalu mengembalikannya pada si pemilik.

Aku beralih mengeluarkan buku. Aku menatap lurus ke depan, berusaha jadi murid  teladan, tapi sulit sekali fokus ke pelajaran ketika pikiranku dipenuhi satu pertanyaan yang berputar-putar di kepala seperti nyamuk menyebalkan.

Hamil. Lucu sekali.

Tapi mungkinkah...?

Bangunan apotek itu tidak besar.

Menempati sebuah gedung sederhana yang berada di sekitar stasiun, setiap harinya aku melewati tempat itu 2 kali kecuali sekolah libur. Papan nama di bagian depannya bertuliskan "MOON YOUNG", dan persis di bawahnya, terdapat macam-macam pot tanaman hias dengan daun hijau yang terlihat segar. Mereka ditata rapi sampai ke dekat pintu yang terbuat dari kaca yang memantulkan siluet wajahku.

Aku mendorongnya hingga terbuka.

Tidak banyak orang untunglah. Hanya ada 2 pekerja dan 1 pengunjung, yang tampaknya pegawai kantoran.

Ketiganya kompak menoleh ke arahku. Jadi aku tersenyum pada mereka, meski tanganku terasa dingin dan aku gugup setengah mati.

"Cari apa?" Tanya salah satu pekerja, yang bertampang bosan karena menganggur. Ia menguap, sembari memperhatikan pemandangan di luar sana. Tidak peduli tempatnya bekerja sudah indah, saat bosan, kita cenderung mencari sesuatu yang lebih menarik.

Aku membasahi bibirku, mengedarkan pandangan ke keseluruhan apotek. Sesekali melirik ke belakang, untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada orang yang kukenal yang melihatku kesini. Karena apa yang akan kubeli merupakan barang yang sangat ... rahasia.

Tidak boleh ada yang tahu, bahkan Lisa sekalipun.

Barang itu ternyata ada, berbaris rapi di dekat obat flu. Kemasannya yang berwarna pink memberinya kesan manis, padahal tidak sama sekali. Aku menunjuknya dengan jariku, terlampau malu menyebut namanya.

"Test pack?" Si pekerja memastikan, mengambil 1 dan menyodorkannya padaku. Dia tidak kelihatan heran melihat seorang murid sekolah membeli barang seperti itu. Mungkin sudah terbiasa.

Aku mengangguk, mencengkeram tali tas dengan erat, seakan itu merupakan tali penyelamat. "Mau beli 3."

Kepala berambut merah pekerja itu mendongak, seringai geli terpampang di bibirnya. Bahkan 2 orang lain yang ada di sana sekarang menjadikanku pusat perhatian. Sungguh tidak membantu. "Jangan khawatir, ini sangat akurat. 1 saja cukup."

Berusaha bersikap normal, aku tertawa, tapi suaraku terdengar sumbang. "Temanku ingin 3. Ini untuknya, b-bukan untukku."

"Begitu, ya?" Sepertinya paham aku ingin cepat keluar, si rambut merah menambah 2 test pack lagi, membungkusnya dalam 1 plastik kecil.

Aku menerimanya, lalu cepat-cepat membayar. Tapi saat akan memasukkan ke tas, tanganku yang gemetar justru menjatuhkannya.

"Whoops," gadis pegawai kantoran yang ada di sebelahku membungkuk, mendahuluiku meraih barang itu. Dia tersenyum. Katanya, "Kau harus lebih berhati-hati."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Aku mengerti."

Ini udah chapter berapa ya, kok belom konflik juga 😂 flashback-nya penting si, jadi gak bisa di skip. Tapi tenang wae, endingnya udah jelas kok. Outlinen-nya baru kelar di bikin kemaren 😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top