17. Bulan Pertama : Mawar Berduri
Jika kau jadi aku, mudah rasanya berpikir bahwa hidup akan selalu indah, mengira dunia akan senantiasa menyambut dengan tangan terbuka dan memberi hadiah berupa kebahagiaan yang dikirim langsung ke depan pintu rumah.
Sejak kecil, aku memiliki hal-hal yang hanya bisa diimpikan oleh banyak orang.
Aku cantik.
Aku berbakat.
Keluargaku harmonis; dengan ayah yang selalu memanjakanku, ibu yang terkadang terlalu tegas agar aku jadi kuat, dan kakak perempuan menyebalkan yang sebenarnya sangat perhatian.
Singkatnya, aku bagai berada dalam mimpi. Hidupku nyaris sempurna.
Tapi semua itu tak lantas menjadikanku gadis yang hobi merengek. Sebaliknya, aku mandiri, berkepribadian keras. Dan ya, egois. Lingkungan masa remajaku di Melbourne dan Korea yang tidak ramah turut ambil bagian membentukku jadi seperti ini.
Kuakui, aku terlalu mementingkan diriku sendiri, dan tidak memikirkan Jaehyun dengan semestinya. Itu sebuah kesalahan. Sudah sering aku minta maaf padanya, dan biasanya, dia akan memaafkan. Berkata "tidak apa-apa" sambil tersenyum. Setelah itu semuanya pun baik-baik saja.
Kukira akan terus begitu.
Tapi saat Jaehyun mengabaikanku beberapa hari ini, aku sadar keadaan "baik-baik saja" itu bisa berubah. Hidup indahku mulai goyah tanpa dia.
Berawal dari Jaehyun yang tidak membalas lambaian tanganku saat kami bertemu di gerbang, aku curiga ada yang salah.
Keanehan itu berlanjut ketika ia pergi saat aku datang ke kafetaria berdua dengan Lisa. Bukannya menyapaku dengan raut wajah berseri-seri, dia justru pergi ditemani Chaeyeon. Dia memandang Chaeyeon dengan cara yang menimbulkan efek tidak nyaman di hatiku dan menyimak kalimatnya tentang entah apa seakan gadis itu presiden yang membahas ekonomi dunia. Jaehyun berlalu melewatiku. Tanpa pamit. Tanpa melirik.
Dia menjauh. Menhindariku.
Rasanya seolah kami bersekolah di tempat yang berbeda...
Aku tahu hal seperti ini bisa saja terjadi, namun aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak sedih. Ini terlalu mendadak. Ini sangat ... menyebalkan.
Aku benci perubahan.
Hari ini, aku bertekad mengatakannya. Memendamnya terus tidak ada gunanya. Sudah terlalu lama kami tidak saling sapa. 2 minggu? Kurasa lebih. Ironis karena saat hubunganku dengan Yuta membaik, hal sebaliknya terjadi pada hubunganku dan Jaehyun.
Aku menghela napas, mengumpulkan segenap keberanian. Mengakui kesalahan tidak pernah mudah, tapi demi Tuhan, aku akan berusaha. Kulangkahkan kakiku ke lapangan sepak bola, yang untungnya tidak terlalu ramai. Mataku menyipit, mencari-cari. Normalnya Jaehyun mudah ditemukan. Dia mencolok; dengan tubuh jangkung dan rambut hitam tebal yang sering ia acak saat frustrasi kala bermain.
Tapi alih-alih berlari, kali ini dia terkapar di tengah lapangan.
Matanya terpejam.
Sebagian temannya mengerumuni.
Salah satu dari mereka meluruskan kaki kirinya, lalu mendorongnya ke arah kepala. Sambil menggeleng, dia一yang kukenal sebagai Lucas, murid junior一berkata, "Parah sekali, parah! Kita butuh tim medis. Bintang sekolah sedang terluka, ini gawat!"
Mengusap dahinya dari keringat, Jaehyun tertawa. "Diam kau."
Tapi bukan Lucas namanya kalau tidak berisik. "Aduh, bagaimana ya? Sepertinya ini harus di amputasi."
Jaehyun membuka matanya, mengulurkan tangan, minta dibantu bangkit. Apapun cedera yang menimpanya, tampaknya tidak parah karena ia tidak kesulitan menemukan keseimbangan dan berdiri tegak.
Aku mendekat, menghampirinya membawa segenap keraguan dan tekad. Aku ingin berbaikan, di saat yang sama, aku takut akan responnya. Penolakan adalah hal asing bagiku, hingga saat beresiko menghadapinya, aku bertransformasi jadi pengecut.
"Jaehyun," panggilku.
Dia menoleh. Dadaku terasa nyeri mendapati ekspresinya berganti tegang dan senyumnya hilang.
Mana Jaehyun yang selalu bahagia bertemu denganku?
Selagi Lucas bersiul heboh dan menyingkir memberi kami tempat dan waktu, aku melanjutkan, "Aku mau bicara."
Meski aku bilang 'mau bicara', faktanya aku tidak segera bersuara saat kami telah berdua. Kami diam, membiarkan keheningan menancapkan taringnya semakin dalam. Kecanggungan datang mendampinginya, membuat bingung harus mengawali dari mana.
Kata-kataku tersangkut di tenggorokan, padahal ada banyak ingin kusampaikan. Kata-kata itu lari, melesat kabur dari jangkauan kami.
Jaehyun tidak ada bedanya. Dia sibuk meluruskan kakinya, sesekali menyingkirkan poninya yang dari mata. Hanya itu.
Aku tiba-tiba merasa marah, dan kemarahan itu terungkap layaknya balon yang diisi terlalu banyak udara, kemudian meletus. "Ada apa denganmu belakangan ini? Hubungan kita jadi aneh. Apa kau masih marah soal kejadian di rumahku? Jaehyun, itu sudah sangat lama. Kau mau mendiamkanku sampai kapan?"
Nada suaraku yang tajam membuat Jaehyun menoleh. Tanpa diduga, dia tersenyum. Aku tak sadar betapa aku merindukan senyum itu sampai melihatnya sekarang. Dia setenang air menghadapiku yang menyala-nyala seperti api. "Tidak," jawabnya. "Sudah tidak lagi."
"Lalu kenapa menjauh? Banyak orang yang mengira kita bertengkar."
"Kenapa, ya?" Jaehyun menggaruk dagunya, mengatupkan bibir. Siku kanannya kotor karena debu lapangan, tapi dia membiarkan. Pemandangan itu seperti susu putih yang kotor oleh tinta gelap. "Anggap saja latihan. Supaya aku tidak terlalu merindukanmu saat kau ke Jepang."
Tidak bisa menyembunyikan keterkejutan, aku menatapnya dengan mata membelalak lebar. "Tahu darimana soal itu?"
"Pernah tidak sengaja dengar saat kau bicara dengan Lisa. Kau mau menyusul dia kan?"
Dia. Jelas Jaehyun bicara tentang siapa. Caranya yang bahkan tidak mau menyebut nama Yuta tidak luput dari perhatianku. Sudah seburuk itu ternyata. Bila hubungan kami berada dalam tahap "aneh", hubungan Jaehyun dan Yuta rupanya berada dalam tahap "rusak" yang mengkhawatirkan. Apakah masih ada peluang memperbaikinya?
"Iya." Aku mengakui, enggan berbohong. Tidak bisa lagi. "Setelah lulus, tepatnya."
Jaehyun mengangguk, tersenyum. Tapi palsu. "Ya sudah kalau begitu."
Aku menunduk, merapatkan kedua kakiku. Tapi tindakan itu malah membuatku teringat bagaimana pria disebelahku ini membantuku mengikat tali sepatu. Rasanya hari itu sudah lama sekali. "Kau sendiri?"
"Mungkin ke Amerika," jawaban yang ambigu ia ucapkan, sembari memiringkan kepala. "Ibuku ingin aku kuliah di salah satu Ivy League." Dia mengeluarkan tawa kecil. "Kembali jadi Jeffrey."
Aku membuang muka tepat pada waktunya agar Jaehyun tidak melihat wajah kecewaku. Dalam hatiku, ada sebuah luka baru yang menganga, menyadari bahwa dia ingin menyingkirkanku dari pikirannya dan berusaha keras untuk itu. Amerika dan Jepang. Haruskan kami terpisah ribuan kilometer demi saling melupakan?
"Berarti kita tidak akan bertemu lagi?"
"Mungkin." Jaehyun mengulang muram. Tanda setelah sekian lama ia akhirnya menyerah, berhenti mengharapkan aku berpaling padanya. Dia sadar bahwa terus menggenggamku hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Karena aku bukan mawar biasa. Aku adalah mawar dengan duri-duri tajam yang dapat melukai. Dan dia sudah terluka cukup sering karena aku.
Terlalu sering.
"Lagipula," imbuh Jaehyun, menatap lurus ke depan, mengamati teman-temannya yang masih setia bermain. Kami tak ubahnya 2 orang yang terpaksa duduk di kursi yang sama di bis. Dekat, tapi tak benar-benar bersama. "Kau tidak membutuhkanku kan?"
Tidak. Bukan begitu. Aku menggeleng samar.
Tetapi mengatakannya akan bertentangan dengan sikapku di rumah. Aku tidak bisa menunjukkan kepedulian tanpa terkesan mempermainkannya一itu masalahnya.
Aku tersenyum, walaupun tidak yakin mengapa aku melakukannya. Kutundukkan kepala, melihat tangan kiriku yang berada sangat dekat dengan tangan kanan Jaehyun. Dia mengikuti gerakanku, menengok tangan yang pernah ia genggam di tengah seprai kusut di kamar tamu rumahnya, lalu mengalihkan tatapan.
Aku berdiri.
"Baiklah, aku pergi dulu, ya?" Aku pamit, tidak menunggu jawabannya. Aku mengayunkan kakiku dengan cepat menjauh darinya, sebagaimana ia juga menjauh dariku. Ini bukan balas dendam, aku hanya mencoba menyelamatkan harga diriku yang tersisa.
Tidak apa, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, terus mengulang kata-kata itu dalam hati. Sang mawar berduri tidak akan layu karena hal ini. Dia akan bangkit. Pasti.
Ajaib sekali bagaimana 1 orang bisa sangat mempengaruhi suasana hatimu.
Kadang kita tidak tahu seberapa berartinya seseorang sampai setelah dia pergi. Dan saat itu terjadi, hanya ada penyesalan yang menusuk hati. Terus menggerogoti, tak menyisakan apa-apa selain perih.
Jaehyun memang belum pergi, tapi rasanya sama saja. Apa yang tadi kami bicarakan sudah menyerupai ucapan selamat tinggal. Aku tahu sekarang keadaan tidak akan seperti dulu. Kami sedang berlatih membiasakan diri tanpa satu sama lain, agar tidak saling merindukan nanti.
Latihan.
Aku tertawa kasar, merebahkan kepala di atas bangku. Istilah itu lucu juga, sejenak menghapus rasa laparku sebab melewatkan makan siang demi percakapan yang berujung ke jalan buntu.
Sementara itu, satu persatu teman sekelasku berdatangan; ada yang sambil bermain ponsel, ada yang bergandengan dengan teman sebangkunya, ada pula yang masih membawa camilan.
Salah satunya adalah gadis yang berlari layaknya angin ribut berambut panjang yang kelebihan kadar energi. Dia nyengir lebar, meneriakkan namaku keras-keras.
"ROSEEE!"
Lisa.
Gadis itu mengambil tempatnya di sebelahku dan sekedar iseng, memukul punggungku sebagai sapaan. "Kemana saja kau? Ada berita bagus!"
Aku merengut, menggosok bagian yang sakit. Lisa kadang tidak sadar dengan kekuatannya sendiri. "Ada apa?"
Saat ini, aku tak bisa membayangkan berita bagus apapun. Terlebih sebentar lagi ada pelajaran matematika yang diajar oleh guru yang mungkin keturunan Hitler, jadi aku tidak merespon dengan antusias saat Lisa menyodorkan ponselnya ke hadapanku, nyaris mengenai hidung. "Lihat, lihat, lihat! Agensinya Bigbang akan mengadakan audisi!"
Kata 'audisi' sontak membuatku duduk lebih tegak, bersemangat sekaligus tidak percaya. Kuraih ponsel sahabatku, dan一 dengan tangan gemetar一 membaca tulisan di layarnya pelan-pelan. Mata dan jariku kompak menyusuri huruf-hurufnya, terus, berulang-ulang, sampai aku yakin benakku tidak mengkhayalkan suatu kemungkinan yang terlampau indah untuk jadi kenyataan.
Di sana, memang tertulis bahwa YG, agensi yang menaungi idolaku, akan mengadakan audisi guna membentuk grup masa depan mereka. Tanggalnya belum pasti, namun akan diumumkan dalam waktu dekat, beserta syarat-syaratnya.
Aku mengerjap.
Kelas mendadak jadi jauh lebih indah. Pelangi memenuhi dunia kecilku, mengusir awan gelap kekecewaan. Aku merasa terbang, tinggi, sangat tinggi, dan kian tinggi hingga aku berada di antara bintang-bintang.
Kesempatan jadi trainee di agensi Bigbang; sungguh luar biasa!!!
Aku mulai tertawa一kini tawa sungguhan yang sarat kebahagiaan. Di otakku, terbayang ekspresi girang ibu dan Alice. Mereka akan senang. Ayahku akan berkata, "Kau pasti bisa" dan aku akan jadi penyanyi pertama dalam sejarah keluargaku!
Pintu masa depanku baru saja terbuka, menampilkan jalan berbunga yang indah.
Ibu, anakmu ini akan jadi penyanyi!
*Ivy League : kumpulan 8 univ keren di amerika
Sebenernya pengen bikin Rose bener2 kena karma, tapi gak tega nyiksa dia 😌 Gua sayang tokoh cewe gua, biar yang cowo aja yang ngenes udah 😇👍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top