15. Setelah
Kami duduk berdua.
Jarak membentang sekaligus menyusut. Jauh dan dekat melebur, kami berada di antaranya, mengisi ruang kosong dengan keraguan dan perasaan yang tak berani kami ucapkan.
Secara fisik, aku dan Jaehyun hanya duduk berseberangan di meja makannya, dikelilingi masakan ibunya yang telah dia hangatkan, tapi karena dia membisu, karena aku juga tak punya kata yang tepat untuk disuarakan, aku bisa saja menipu diriku bahwa dia tidak ada.
Kami tidur sebentar tadi, tapi tidak nyenyak, tidak berhasil. Sulit terlelap ketika kepalamu penuh dengan kekhawatiran yang jika diibaratkan air, telah meluber tak terkendali. Rasa marah berbalik menyerangku, membuat perutku melilit.
Di luar, hujan sudah berhenti. Hujan yang sangat deras itu, pada akhirnya pergi. Dia muncul sesaat, lalu pamit. Memberitahu pada mereka yang mendengarkan, bahwa tak satupun di dunia ini ada yang abadi.
Semuanya cuma masalah waktu.
Dan omong-omong soal waktu, jam dinding Jaehyun menampilkan angka yang mengkhawatirkan. Hampir larut malam, yang artinya, bila tidak segera sampai di rumah, ibuku pasti akan merebus dan menjadikanku sup.
Aku mendongak memandang si tuan rumah. "Aku harus pulang."
Salah tangkap, dia menganggap itu adalah ajakan alih-alih kalimat pamit. "Aku akan mengantarmu."
"Kau tahu," aku mengangkat cangkir teh di depanku dan minum. Isinya yang sudah dingin jadi saksi berapa lama kami saling mendiamkan. "Itu tidak perlu, Jaehyun. Aku bisa pulang sendiri. Sungguh, aku bisa naik kereta dari sini."
"Kau tahu," Jaehyun malah meniruku sambil tertawa. "Tidak akan ada yang menilai kau gadis yang lemah karena menerima bantuan, Rose. Lagipula aku tidak keberatan. Jangan kemana-mana, kau mengerti? Aku harus mandi, tapi aku janji takkan lama."
Ekspresinya yang sangat manis membuatku tidak tega menolaknya. Aku menyangga dagu dengan tangan, memperhatikan dia menandaskan tehnya sendiri. Jaehyun berusaha keras berpura-pura segalanya normal, tapi normal adalah sesuatu yang jauh dari kami, terlalu jauh untuk kami raih. Setiap detik, rasanya kecanggungan kami menguat.
Maka setelah dia berbalik ke kamarnya, menutup pintu menggunakan kaki, aku berdiri. Aku tidak bisa lebih lama di sini. Ya Tuhan, aku tidak bisa. Aku menunggu hingga mendengar suara pancuran air, kemudian hati-hati tapi cepat, membereskan barang-barangku di kamar tamu.
Semuanya, mulai dari seragam, kaus kaki, ponsel (yang kemungkinan sudah tamat), aku memasukkannya ke dalam tas, menggabungkan mereka dengan buku-buku dan makalahku. Sebisa mungkin, aku tidak melirik bed cover yang berantakan dan mencoba memperbaiki penampilanku yang tidak jauh berbeda. Menggunakan jari一karena aku bukan tipe orang yang suka membawa-bawa sisir一aku menyisir rambut disusul merapikan baju yang dipinjamkan Jaehyun.
Setelahnya, aku keluar dari rumah.
Seperti saat memeluk Yuta di halaman sekolah, aku berlari, namun kini untuk menghindari kenyataan. Hawanya benar-benar dingin, aku menggigil. Kakiku tanpa sengaja menginjak genangan air di pinggir jalan dan celana baruku jadi basah sekarang.
Aku berpikir, inilah dia : sebab-akibat.
Aku menolak berteduh dan ponselku rusak. Aku menginjak lubang bekas peninggalan hujan lalu basah. Aku bercinta di usia muda tanpa pengaman, lalu apa? Tiba-tiba aku ketakutan. Jantungku menciut di dada. Aku tahu 1 perbuatan akan berujung pada 1 ganjaran. Aku hanya berharap semoga aku tidak dihukum terlalu berat.
Aku adalah tipe orang yang mudah terbangun.
Saat orang lain butuh menyetel 3 sampai 5 alarm berderet di ponsel mereka, aku hanya perlu 1一berkat ketajaman telingaku. Tapi ini bukanlah sebuah keuntungan一setidaknya menurutku begitu. Karena suara pelan saja kadang cukup untuk membuatku terkejut, dan akhirnya terlempar dari mimpi. Itu sebabnya aku kerap bertengkar dengan Alice ketika dia ribut. Dan itu terjadi SERING sekali.
Contohnya sekarang.
Aku tak tahu apa masalahnya. Pagi ini, di hari libur, dia menggedor pintu kamarku keras-keras, hingga kupikir akan rusak. Dia berteriak, "MAWAR JELEK, AYO BANGUN!!"
Rasanya aku ingin memasukkannya ke lubang kelinci, dan menutup lubang itu rapat-rapat.
Alice Park, 4 tahun lebih tua dariku, tapi beberapa senti lebih pendek. Cita-citanya jadi guru, dan sedang dalam proses mewujudkannya. Sedangkan hobi dia punya 2 : fotografi dan membuatku stres.
Kali ini dia berhasil.
Aku menendang-nendang tempat tidur, kesal setengah mati. Tapi karena tidak ingin ia benar-benar merusak pintu, aku terpaksa meladeninya. "Apa maumu?"
Alice tersenyum tanpa merasa bersalah. Jika ada penghargaan Kakak Paling Menyebalkan Di Dunia, berani taruhan dia tidak hanya akan masuk nominasi, tapi juga jadi pemenangnya. "Cepat mandi sana, kau bau."
"Memangnya kita mau ke mana?" Tanyaku tanpa semangat. Biasanya, orang tuaku memang mengajak kami pergi liburan di akhir pekan, tapi aku sedang malas. Seluruh tubuhku masih terasa lelah一yang sebagian diakibatkan ceramah ibuku semalam. Aku ingin tidur seperti Aurora, seratus tahun lamanya!
Satu jari Alice terangkat, bergerak ke kanan-kiri. Ia menerobos masuk begitu saja, lalu mengambil parfumku dan menggunakannya tanpa izin. "Tidak kemana-mana. Tapi ada yang mencarimu di luar."
Secara refleks, aku menyipitkan mata ke ruang tamu, yang bisa dilihat dari kamarku, tapi tempat itu kosong. "Siapa?"
"Pacarmu yang nomor 2," jawab Alice enteng, merujuk pada Jaehyun. Padahal sudah berjuta-juta kali kubilang kalau baik Yuta maupun Jaehyun BUKANLAH pacarku. Tapi dia tidak percaya.
Bahuku serta-merta merosot. Bukan Jaehyun yang kuharapkan saat ini. "Bilang padanya aku tidak ada."
"Baiklah," sambil mengibaskan roknya, Alice bangkit. Ia berjalan seperti model ke luar kamar lalu berteriak lagi, "JAEHYUN, ROSE BILANG DIA TIDAK ADA!"
Lega sebentar, mengira bebanku sudah terangkat, aku panik sekali mendengarnya. Sebelum resmi kembali merebahkan tubuh, aku melesat menyambar lengan kakakku dan menyumpal mulutnya kuat-kuat. "Dasar gila! Bukan itu maksudku!"
Alice menjatuhkan diri di tempat tidurku, tertawa mirip hyena. Berkat kebiasaan dan skill yang terlatih, dia dapat menghindar saat aku berusaha memukulnya dengan bantal. "Kenapa tidak mau menemuinya? Kalian bertengkar?"
Aku mengangkat bahu, bingung menjelaskan situasiku. "Tidak kok. Aku mengantuk."
"Oh oh begitu rupanya." Senyum Alice mengatakan dia tidak percaya. Itu adalah senyum seorang kakak yang tahu kapan adiknya berbohong. Ia dan ibu, mereka sama-sama punya mata ajaib yang bisa dengan mudah mendeteksi kebohonganku.
Tak ingin ia bertanya lebih jauh, aku bergegas ke kamar mandi. Sayangnya, pertanyaan polos-tidak-polos Alice membuat langkahku terhenti.
"Heh, apa itu yang di lehermu? Sepertinya luka."
Aku merasa bagai baru saja didorong dari puncak gunung.
Kuangkat tanganku, menutupi keseluruhan leher. Atau tepatnya, 1 kenang-kenangan dari malam di mana aku melakukan kesalahan besar. "Bukan apa-apa. Ini luka kecil karena jatuh!"
"Kemarilah," Alice berusaha menarikku lebih dekat, ngotot. "Coba kulihat."
Aku menggeleng berulang-ulang. Kepanikan merambati tiap tungkai dan sendi-sendiku. Pintu kamar mandi yang kuanggap sebagai penyelamatku terlihat sangat jauh. Matilah aku! "Tidak usah, ini tidak perlu diobati!"
"Benarkah?" Tangan Alice terlepas, tapi kini ia menatapku dengan seringai di wajahnya, yang membuatku merasa seperti murid yang ketahuan mencontek. "Kau jatuh bagaimana sampai terluka di leher?"
"Y-ya pokoknya jatuh!"
Jawaban yang payah, aku tahu.
Dan seperti yang bisa diduga, Alice tertawa terbahak-bahak.
Merasa malu, aku cepat-cepat masuk ke kamar mandi, lalu menyalakan shower. Tapi tetap saja, suara tawa Medusa itu masih bisa terdengar oleh telingaku. "Astaga, adikku sudah dewasa rupanya!"
"DIAM!"
Sewaktu aku selesai mandi, Alice tidak ada.
Kutebak dia sedang bersama Jaehyun sekarang, karena dia tidak hanya mengenal namun juga akrab dengan "pacar-pacar"ku. Setiap kali Yuta atau Jaehyun datang, mereka selalu membawakan sesuatu untuk Alice, itulah alasan kenapa dia menyukai keduanya dan justru menyarankan aku agar punya lebih banyak pacar.
Dia sudah tidak waras.
Aku menghela napas; bayanganku di cermin mengikuti dengan sempurna. Luka di leher yang tadi kubilang pada Alice terlihat jelas dan letaknya ... sebut saja tidak strategis.
Nah, apa yang harus kulakukan untuk menutupi ini?
Terus menunduk? Mana mungkin.
Memakai pakaian berkerah tinggi? Masuk akal, tapi bagaimana besok di sekolah? Seragam kuning jelekku takkan bisa menyembunyikannya.
Plester? Tidak, Lisa bisa mencurigainya nanti.
Lalu apa?
Aku mulai mondar-mandir di kamarku, bingung. Sesaat terpikir untuk bolos saja sampai kissmark ini hilang, tapi melakukan itu sama dengan memancing kemarahan ibuku. Tidak bagus.
Aku berdecak, menghentakkan kaki ke lantai. Mengapa hal yang terasa menyenangkan harus jadi merepotkan begini? Apa yang kira-kira dilakukan Jaehyun untuk mengatasinya? Mustahil dia membiarkannya kan?
Sepertinya aku harus bertanya langsung.
Tapi,
Tapi,
Tapi itu akan sangat memalukan!
Aku menutup wajahku dengan tangan. Gambaran tentang apa yang terjadi kemarin muncul tanpa diminta, membuatku kian malu. Melupakan itu pastilah sukar, dan sering bertemu Jaehyun sama sekali tidak membantu.
"Rose." Pintu terbuka. Alice melongok dengan kening berkerut. "Kau belum selesai?"
"Sebentar." Aku berbalik, membuka lemariku mencari secercah keajaiban yang bisa menjadi solusi. Tapi masalahnya aku bahkan tak tahu apa yang kucari.
Kaki Alice melangkah tidak sabar mendekat. Ia mendorongku menggunakan pinggulnya, lalu mengacak barang-barangku hingga menemukan sebuah...
Syal.
Betapa bodohnya aku.
Syal itu berwarna gelap, dengan motif garis-garis yang warnanya lebih terang. Tidak mencolok, tapi kesan kerennya menonjol. Dengan kata lain : sempurna.
"Nih," kata Alice, menyerupai ibu peri yang membantu Cinderella. "Lain kali tanyakan pada kakakmu yang cantik ini."
Di moment ini aku sekedar tersenyum, tidak membantahnya. Kuambil syal itu lantas melilitkannya ke leherku. Selesai sudah. Layaknya sulap, aku terlihat seperti gadis normal yang manis.
"Sekarang keluarlah." Alice menepuk bahuku, hm, lebih cocok dianggap memukul, dan memutarku ke pintu. "Si tampan datang dan sedang bersama si manis di luar. Aku tidak menguping apa yang mereka bicarakan, tapi tampaknya itu bukan pembicaraan yang bagus."
Seluruh tubuhku rasanya berubah jadi es. Si tampan adalah julukan Alice untuk Yuta sedangkan si manis untuk Jaehyun. Terbata-bata, lebih untuk menenangkan diri sendiri, aku membantah, "Tidak mungkin Yuta di sini."
Alice turut bersandar di lemariku, memainkan rambut hitamnya dengan jari telunjuk. "Ya sudah kalau tidak percaya."
Aku mengerjap perlahan-lahan, lagi, mengharapkan keberuntungan yang naif, berharap takdir mau berbaik hati. Namun mata tak bisa berbohong dan di mata Alice, aku mendapati kejujuran. Alice memang suka bercanda, tapi dia tak pernah mengarang lelucon yang tidak lucu semacam ini.
Lalu aku ingat, bahwa sebelum memutus panggilan, Yuta bilang dia akan datang. Dia berjanji.
"Sial." Disertai umpatan itu, aku melesat ke pintu, melewati Alice yang terdiam, mungkin bersyukur dia tak harus berurusan dengan 2 pria yang bisa membuat sakit kepala.
Aku terus berlari. Syal melambai-lambai di punggungku, menyatu dengan rambut. Hingga akhirnya aku tiba di halaman, tempat yang membuktikan, nyatanya, oh sial, ucapan Alice benar.
Yuta tengah berdiri dihadapan Jaehyun. Bibirnya mengukir senyum, tapi bukan jenis senyum yang bersahabat. Sementara Jaehyun memiringkan kepala dan menatapnya dengan tatapan tajam.
Ini buruk. Sangat buruk
Kalo ini Alice, kakak rl nya Rose 😳
Bikin gelud jangan? Jujur aja ni, gua lebih suka nulis adegan baku hantam daripada adegan sikidap sawadikap 🙃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top