11. Jaehyun Dan Kisahnya 2

Kalau kau baru pertama kali ke bioskop, sebaiknya jangan pilih kursi paling belakang. Itu adalah tempat bagi orang yang tidak benar-benar ingin menonton film, melainkan bermesraan dengan pacar mereka tapi tak punya cukup uang untuk menyewa kamar hotel. Di Melbourne maupun di Seoul, rupanya tidak ada bedanya. Huh.

Tapi karena keadaan, aku dan Jaehyun harus duduk di sana.

Di layar, tampak Kim Myung Min yang berperan sebagai Jae Hyuk kebingungan melihat banyaknya mayat yang mengambang di sungai. Fenomena itu terjadi karena cacing parasit yang mengendalikan otak inangnya. Deranged sungguh film yang luar biasa!

Setelah kejadian dengan Yuta, aku langsung minta maaf pada Jaehyun keesokan harinya. Ia tidak marah, justru bertanya bagaimana kabar Yuta. Kami kemudian menjadwal ulang rencana menonton kami, yang membuat aku dan dia dekat.

Menonton film sudah seperti agenda mingguan kami sekarang. Makan siang bersama menjadi kebiasaan. Kadang-kadang ia menjemputku di hari libur untuk jalan-jalan; ke taman hiburan, menonton konser, sampai mengunjungi rumahnya yang menurutku terlalu besar untuk di tempati 3 orang.

Di sekolah, sampai beredar rumor yang mengatakan kami berpacaran. Mereka bilang kami pasangan yang serasi.

Tapi tentu saja itu tidak benar.

Aku masih bersama Yuta, meski hubungan kami mulai ... yah, merenggang.

Sulit mengakuinya, tapi memang itu yang terjadi. Karena kesibukan Yuta, kami jadi jarang bertukar pesan. Video call setiap malam sudah tidak ada lagi. Kunjungannya pun tidak sesering dulu.

Apakah aku sedih? Jelas, tapi Jaehyun, pria di sebelahku ini, membuatku merasa lebih baik.

Dia ada di saat terburuk, meraih tanganku dan membawaku ke tempat-tempat yang menyenangkan hingga untuk sesaat, aku lupa pada semuanya. Dia menghiburku ketika tak ada yang bisa, membuatku tertawa. Dalam beberapa hal, Jaehyun menggantikan Yuta, tapi tidak sepenuhnya.

Dan aku juga tidak menganggapnya lebih dari  teman.

"Apa?" Jaehyun berkata tanpa menoleh, menyangga dagunya dengan tangan. "Kenapa menatapku terus?"

Ketahuan, aku nyengir. "Kau tampan sekali malam ini."

Itu memang benar. Jaehyun tipe orang yang sulit dicari kekurangannya. Tentu semua akan lebih sederhana kalau aku jatuh cinta padanya, dan itu pasti terjadi seandainya hatiku tidak terlalu keras kepala. Hati itu rumit, sulit dipaksa berpaling.

Jaehyun memutar bola matanya, meraih popcorn yang kami pesan dan mengopernya ke pangkuanku. "Makan ini dan diamlah."

Dasar pemalu. Aku tertawa, menyandarkan kepalaku di bahunya. Ku ambil ponsel yang ia letakkan di dekat minuman, dan membuka kuncinya. Jaehyun tidak pernah keberatan dengan ini. Dia membiarkan aku mengintip isi chat-nya, yang rata-rata dari perempuan.

"Astaga," aku berdecak melihat banyaknya pesan yang masuk saat data dihidupkan. Berderet panjang layaknya daftar absen kelasku. "Kau membagikan kontakmu pada para junior, ya?"

Tawa. "Aku tidak tahu mereka dapat darimana. Tiba-tiba mengirim pesan."

"Boleh kubalas?"

Jaehyun mengedikkan bahu, fokus menonton. Aku memperhatikan bagaimana mulutnya sedikit terbuka, sinar layar yang memantul di matanya, serta gerakan jakunnya yang naik turun secara teratur. Imut.

Mendapat persetujuan, aku membuka salah satu chat teratas, berniat mengetik balasan lucu. Tapi ketika mendapati wallpaper-nya, tawaku kembali pecah. "Ey, apa ini? Kenapa ada fotoku?"

Jaehyun menoleh, wajahnya memerah. "Chaeyeon yang melakukannya."

"Bohong." Aku mencubit pipinya gemas, mengabaikan penonton lain yang terganggu percakapan kami. "Pasti kau kan? Kau melakukannya karena menyukaiku. Sudah, mengaku saja."

"Mana ada!" Kilah Jaehyun, mendengus keras dan merebut ponselnya, lantas meletakkan ponsel itu di tempat aku tidak akan berani mengambilnya; saku celana. "Aku menyukai orang lain."

"Benarkaaah?" Aku menutup mulutku dan berlagak terkejut. "Siapa dia? Seperti apa orangnya? Ayo ceritakan!"

"Bagaimana ya..." Jaehyun mengelus dagunya dengan tatapan terarah ke atas, tampak berpikir. "Dia kidal dan hobi bermain gitar."

"Oke..."

"Kata-katanya jadi sangat tajam saat sedang marah. Menyeramkan sekali."

Aku terkekeh. "Lalu?"

Jaehyun terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Sesuatu dalam caranya menatapku membuatku tidak bisa berpaling. Ada keindahan di mata itu, seumpama bintang yang terperangkap, memberinya sinar yang tak pernah padam. Di moment tertentu, sinar itu berubah menjadi api kala ia serius, dan api itu sedang menari-nari sekarang; kuat, luar biasa, memancarkan keberanian. "Gadis ini kelihatan sangat manis saat tersenyum. Tapi terkadang, ia datang ke sekolah dengan wajah sedih, dan tidak mau memberitahuku alasannya."

"Kedengarannya dia egois, ya?"

"Memang." Jaehyun setuju, menggerakkan tangan mengambil segenggam popcorn yang ia makan satu-persatu. "Tapi aku tetap menyukainya."

"Kenapa begitu?" Aku mendesak, meski tahu harus berhenti disini. Tentang Jaehyun yang menyukaiku, itu sudah jelas, tapi selama ini kami tak pernah membahasnya. Ada Yuta di antara kami, dan Jaehyun mengerti一atau berusaha mengerti. Dia tetap berperan sebagai teman yang menyenangkan, tak pernah memintaku memilih.

"Entahlah," terdengar helaan napas saat Jaehyun merebahkan kepalanya di atas kepalaku. "Terjadi begitu saja."

"Bodoh." Aku bergumam, namun tidak tahu untuk siapa sebenarnya kata itu; Jaehyun yang menyukaiku tanpa mengharap balasan, atau aku yang menyukai Yuta padahal ada dia di sampingku. "Namanya pasti Park Chae Young kan? Atau Rose, atau Rosie."

Jawaban Jaehyun benar-benar di luar dugaanku. "Aku tak pernah memanggilnya Rosie."

Pelajaran olahraga menyebalkan seperti biasa.

Diawali lari keliling lapangan一yang membuatku bersyukur terlahir sebagai perempuan karena mendapat keringanan一lalu dilanjutkan bermain basket atau voli atau sepak bola. Selanjutnya bertanding antar tim dan diakhi dengan tiupan peluit dari guru.

Selesai. Kami diperbolehkan istirahat seperempat jam.

Aku mengangkat tanganku menutupi wajah, menghalangi sinar matahari yang terik. Beberapa temanku telah kembali ke kelas, yang lain malas beranjak dan duduk sambil mengipasi diri mereka. Ada juga yang masih bermain bola, unjuk kebolehan di depan adik kelas yang menonton.

Waktu berlalu sangat cepat. Kini, aku sudah berada di tahun terakhir.

Meski tidak mudah, aku berhasil melalui hari demi hari. Sebentar lagi aku bisa menyusul Yuta, mengakhiri hubungan jarak jauh kami, meninggalkan Korea, Jaehyun, dan segalanya. Rasanya tidak sabar menunggu datangnya hari itu, ketika aku bisa melepas seragam SOPA-ku dan berkata, "halo, Osaka!"

Aku tersenyum, membayangkan seperti apa sensasinya jadi mahasiswi. Beberapa bulan ini aku belajar bahasa Jepang dengan giat, dan mengumpulkan uang untuk kesana. Memang tidak banyak, tapi aku ingin mandiri seperti Yuta, tidak menyusahkan orang tua.

Sedikit demi sedikit, aku yakin aku bisa.

"Rose," panggilan itu merebut perhatianku. Chaeyeon mendudukkan dirinya di sebelahku, tersenyum menyodorkan sebuah ponsel serta sebotol air. "Dari Lisa"

Aku membala senyumnya, sembari mencari-cari keberadaan orang yang ia maksud. "Dimana Lisa?"

Bahu Chaeyeon terangkat. Tangannya bergerak memutar-mutar sejumput rambutnya. "Dipanggil wali kelasmu."

"Benarkah?" Aku tidak bisa menyembunyikan nada curiga dalam suaraku, mengingat wali kelas kami biasanya hanya memanggil murid yang bermasalah, dan Lisa, yang selalu datang setengah jam sebelum pelajaran di mulai, jelas tidak termasuk di antaranya. Tapi aku memutuskan tidak ambil pusing, tidak mau memperpanjang hal-hal remeh.

Aku memilih menunduk, membuka kunci ponsel demi mengecek pesan. Totalnya ada 21 pesan baru; dari ibuku, Alice, teman kelas sebelah, dan pesan spam tidak jelas.

Itu saja. Tidak ada yang dari Yuta.

Mataku terpejam menahan kecewa. Aku memeriksanya kedua kali一lebih pelan dan teliti一tapi hasilnya sama. Dia lupa ... atau mungkin malas mengirimiku pesan. Bagus, Yuta! Sekarang suasana hatiku langsung anjlok ke titik terbawah.

"Kemarin..." Chaeyeon lagi-lagi mengusik lamunanku, bersikap bagai tidak melihat tampangku yang sedang tidak bisa diajak bicara. "Kau dan Jaehyun jalan-jalan, ya?"

Aku merespon hanya dengan "hmm" singkat, sibuk berusaha menelpon Yuta.

Tidak ada jawaban.

Chaeyeon merapikan rambutnya yang sudah rapi, lalu menepuk-nepuk pahanya. Gugup. "Aku jadi bingung bagaimana sebenarnya hubungan kalian. Kau kan sudah punya Yuta, tapi一"

Aku berbalik menghadapnya, menatapnya lekat-lekat sampai ia merasa tidak nyaman. Chaeyeon sudah mengenal Yuta sebelum ia berangkat ke Jepang, tapi keduanya tidak dekat. Aku tak percaya dia tidak tahu fakta ini : "Kami tidak pacaran."

"Bukan kau dan Jaehyun, tapi一"

"Iya." Aku mengangguk dengan tegas. "Aku paham, dan kami memang tidak pacaran."

"Oh, kukira..."

Krek!

Tutup botol airku terlepas. Aku meminumnya hingga tersisa setengah, sengaja berlama-lama. "Kita ini bukan remaja di komik Jepang. Status itu tidak penting."

Atau sebutan lainnya; takut komitmen, seperti kata Lisa. Ia sering mengejekku soal itu, berkata bahwa aku tidak seberani perkiraannya.

Tapi aku tidak peduli. Walaupun tanpa status, aku dan Yuta bahagia. Dan itu cukup.

"Ya, benar juga," Chaeyeon tertawa canggung, menghindari tatapanku. "Tapi kalian bisa dibilang berpacaran kan?"

"Mungkin."

"Kalau begitu..." Jeda sebentar, Chaeyeon menggigit bibir bawahnya, ragu meneruskan topik yang ia angkat sendiri. "Kenapa kau memperlakukan Jaehyun seperti itu?"

"Seperti apa?" Aku meluruskan kakiku, melipat kedua tangan di depan dada.

Kesabaran Chaeyeon tampaknya mulai habis. Aku bisa melihat betapa sikapku membuatnya kesal, tapi ia berusaha keras menahan diri. "Kau tahu apa maksudku. Hanya karena kau tidak menyukainya, bukan berarti kau bisa bertingkah seenaknya."

Aku tertawa, berpikir, dia hampir melewati batas. Chaeyeon bicara seolah aku memanfaatkan Jaehyun, padahal itu tidak benar. Kami berteman, dan Jaehyun senang saja saat bersamaku. Jadi apa masalahnya? Dia tidak ada hubungannya dengan itu. Sama sekali. "Jangan asal bicara."

"Apanya yang asal?" Tak mengindahkan ucapanku, Chaeyeon menyahut dengan nada menantang. Mata kami bertatapan, dan dalam mata itu, terlihat semua amarah yang ia simpan untukku.

Gadis ini rupanya tidak menyukai Jaehyun. Dia mencintainya.

"Setiap kali Yuta datang," ia melanjutkan. "Kau berlari padanya, melupakan semua orang. Tapi setelah dia pergi, kau kembali pada Jaehyun seakan tidak terjadi apa-apa. Kau keterlaluan, Rose. Jaehyun bukan benda cadangan, jadi berhentilah memperlakukan dia begitu!"

Tanganku terkepal, kesal mendengar kalimatnya. Lebih kesal lagi sebab aku tahu dia benar. Mereka bilang, hujatan dari musuh bisa lebih jujur dibanding pujian seorang teman palsu, dan Chaeyeon membuktikannya dengan sempurna.

Namun di atas semua itu, aku tidak terima dia membawa-bawa Yuta dalam hal ini. "Apa kau iri karena sekarang Jaehyun lebih dekat denganku?"

Gelengan kepala menjadi upayanya membantah. Tapi tak semua orang bisa berbohong dengan baik. Chaeyeon adalah salah satunya.

"Jangan ikut campur, Chaeyeon. Kau ini sahabat atau ibunya Jaehyun? Kalau pikirmu aku jahat, aku tidak akan berhenti cuma karena kau menginginkannya. Kau," tak yakin bisa mengendalikan emosi, aku segera bangkit berdiri sebelum sesuatu yang buruk terjadi. "Terserah mau bilang apa."

Chaeyeon mematung. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya ketika aku meraih botol airku一yang beruntung tidak mendarat di kepalanya一lalu melangkahkan kaki meninggalkannya. Perdebatan kecil ini ditambah sikap Yuta menjadi perpaduan sempurna yang membabat habis nafsu makanku.

Sial, sial, sial!

Aku menyingkap poniku dengan kasar, merasakan dorongan membanting sesuatu. Hari ini sungguh payah. Dan malah jadi semakin payah saat Lisa muncul menghampirikubersama Jaehyun

Ya ampun.

Ternyata takdir sedang ingin bermain-main.

"Mau kemana?" Jaehyun bertanya dengan senyum polosnya. "Tidak makan dulu?"

Aku menggeleng, tanpa kata segera menarik lengan Lisa ke kelas.

"Rose?"

Panggilan itu...

Aku tidak melambatkan langkah sedikitpun, terus mengabaikan Jaehyun dan rasa bersalah yang menggerogotiku.

"Ada apa ini?" Lisa menoleh ke belakang, kemudian padaku, kemudian pada Jaehyun. Ekspresinya bertanya-tanya. "Dia memanggilmu, Rose."

"Diam kau," desisku. "Kemana saja tadi? Aku menunggumu!

"Oh, itu." Layaknya flu yang menular cepat, raut wajah Lisa juga turut jadi kesal. "Gara-gara Chaeyeon. Dia bohong soal guru Lee yang menungguku di perpustakaan. Anak itu benar-benar, ya. Bercandanya tidak lucu!"

1 part lagi, abis itu bakal gua urutin sisa flashbacknya. Yang kemaren req anu sabar dulu yak, susah bikinnya euy 😠

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top