10. Teman Lama
Di kamar kami一aku dan Jaehyun, maksudku一terdapat 1 bagian dinding yang penuh dengan foto. Semuanya ada disana; mulai dari foto kencan kami semasa SMA, foto kelulusan, foto pernikahan, foto saat Lily resmi datang ke dunia ini, sampai foto liburan terbaru kami ke Melbourne.
Dalam foto-foto itu, seringnya aku tersenyum, sesekali juga bergaya konyol. Orang yang melihatnya akan setuju bahwa kami adalah keluarga yang bahagia, contoh nyata keharmonisan. Tapi, foto tak selalu mengungkapkan kebenaran. Foto bisa berbohong. Ada saat dimana aku sedih tapi terpaksa berpura-pura gembira, merespon ajakan "ayo kita berfoto!" dari Jaehyun.
Belakangan, melihat diriku sendiri dalam rangkaian bingkai berbagai motif itu membuatku heran, memunculkan satu pertanyaan yang terdengar konyol : siapa dia sebenarnya?
Karena jujur saja, aku merasa tak mengenalinya. Diriku yang tersenyum lebar seperti orang asing yang sudah lama tidak kutemui.
Apakah ini hal yang normal?
Entah. Tapi itulah alasan mengapa aku tidak melirik bagian dinding itu ketika Lily menarik tanganku ke kamar. Terburu-buru menghampiri sang ayah yang membungkus tubuhnya dengan selimut. AC dimatikan. Aku melihat matanya terpejam.
"Ssstt," Lily meletakkan jarinya di depan bibir. "Papa sedang tidur."
"Oooh, kau benar. Untung saja tidak mendengkur, ya?" Aku mengangguk-angguk, mengikuti permainannya. Sejak kecil, Lily memang lebih dekat dengan Jaehyun daripada aku. Mungkin karena cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya sendiri.
"Ayo." Ajaknya, berjalan pelan-pelan agar tidak membangunkan Jaehyun, lantas duduk di sebelahnya.
Aku duduk juga, meletakkan tangan di dahi Jaehyun. Suhu tubuhnya agak tinggi. "Hmm, sepertinya tidak parah. Ini pasti demam biasa."
"Sungguh?" Lily memiringkan kepala, berniat mengecek sendiri. Tapi saat akan melakukan itu, Jaehyun membuka mulut seolah akan menggigitnya. Otomatis Lily memekik, refleks mendaratkan sebuah pukulan keras. "Papa!"
"Auwh!" Keluh Jaehyun, berguling dengan dramatis memegangi perutnya. "Kenapa di pukul? Kalau tambah sakit bagaimana?"
"Salah Papa sendiri," balas Lily, tidak mau kalah. Bibirnya mengerucut lucu. "Jangan mengagetkanku!"
Jaehyun terkekeh, mendekap versi mini dirinya itu dan menciumnya berkali-kali. Kemiripan mereka sangat kentara hingga orang yang tidak kenal kami pun akan tahu mereka ayah dan anak. 2 kulit yang sangat putih bertemu; menunjukkan mereka berbagi gen yang sama. Namun Lily protes, berusaha menghindar dari serangan jari Jaehyun yang menggelitiknya一sambil tertawa-tawa. "Kenapa tidak mau? Apa sekarang kau hanya mau di cium kucingmu?"
Kata 'kucing' seketika membuat mata Lily berbinar. Melenyapkan kekhawatiran dan mengalihkan fokusnya. Lily masih tergila-gila pada hewan. Meski sekilas, aku sudah melihat bagaimana ia memandang teman barunya yang berkaki 4; bagai orang yang diberi hadiah terkeren di dunia! Segera saja, ia turun dan berlari keluar secepat kuda yang surainya terlalu panjang. "Aku akan memberi makan Eunhee dulu!"
"Hati-hati!" Jaehyun memperingatkan, menggeleng pelan saat Lily hampir tersandung. "Anak nakal, dia mirip denganmu."
Langkah-langkah cepat yang menuruni tangga terdengar setelahnya, di susul suara melengking Lily yang memanggil Eunhee atau siapapun nama kucingnya.
"Eunhee! Kitty, kitty, ayo sini!"
Kami tertawa.
Aku tahu mereka akan jadi teman baik. Mungkin justru lebih baik dari hubunganku dan Lisa yang baru saja rusak.
Oh, hidup.
Memikirkan ketidakadilannya, aku meraih tangan Jaehyun yang teramat halus一hasil tidak pernah melakukan pekerjaan kasar. Kalau menutup mata, aku masih bisa mengingat saat aku menggenggamnya pertama kali; hangat dan lembut. "Besok tidak usah bekerja."
Jaehyun menatapku, mengeluarkan jurus tatapan imutnya yang kadang berhasil mengikis ketegasanku. Ditambah sebuah pelukan erat, lengkap sudah. Sikap manjanya sama, sama dengan Lily. Baik sehat atau sakit. Lelah atau tidak, dia sangat sering begini. "Ada berkas yang harus kukerjakan, untuk sidang lanjutan."
"Hm hm," aku mengangkat jari telunjukku dan menggerakkannya ke kanan-kiri. "Masih lama kan? Kau butuh istirahat."
Tapi Jaehyun ternyata ingin bersikap keras kepala. "Aku cuma flu, besok pasti baikan, jadi一"
"Jadi kau sebaiknya istirahat supaya tidak semakin parah," selaku, disertai tatapan tajam agar ia tidak membantah lagi. Berpikir itu tidak cukup, aku menyentil dahinya keras-keras. "Kalau tetap nekat bekerja, tidur saja di halaman."
"Jahat sekali." Jaehyun merengut, sedetik kemudian batuk-batuk, membuktikan kebenaran kata-kataku. "Baiklah, baiklah. Aku kalah."
Sudah pasti! Berdebat dengan Jaehyun bukanlah hal yang sulit. Dia jarang berkata 'tidak' padaku一itu keuntungannya punya suami semanis dia. Aku tersenyum penuh kemenangan, bersandar di dadanya, tidak peduli walaupun beresiko tertular. Malam ini dia terlihat manis sekali dan aku tidak ingin berada di tempat lain kecuali di sampingnya. "Hangat kan?"
Anggukan. Jaehyun memelukku lebih erat. Rasanya nyaman. Dia terasa seperti selimut tebal di musim dingin yang menggigit, melindungiku dari badai pikiran tentang kehilangan seorang sahabat, yang tak urung, akan menghantamku juga nanti. Bukan saat ini, ketika kami sama-sama mengantuk dan nyaris tenggelam ke alam mimpi. Tapi...
Mengapa tampaknya ada yang salah?
Keningku berkerut, mencoba mencari tahu apa yang menggangguku.
Lalu aku sadar, bahwa tanpa sengaja pikiranku sudah membandingkan Jaehyun dengan Yuta, hal yang seharusnya tidak ku lakukan.
Mereka berbeda. Sangat.
22 Oktober 2019, langit menangis, seperti hari itu.
Tetes-tetes air hujan turun membasahi bumi, turut serta membawa kilatan-kilatan petir. Matahari bersembunyi, kalah di telan awan gelap yang merebut tahtanya一untuk sementara.
Aku mengamati itu dari balik jendela kamar tamu, yang digunakan saat keluargaku atau keluarga Jaehyun menginap. Yang artinya : bisa dihitung jari. Kamar ini, hanya berjarak beberapa langkah dari kamar utama, lebih sering jadi tempat pelarianku dibanding menyambut tamu sungguhan, sebab mereka jarang datang.
Tapi bukan itu tujuanku sekarang.
Aku tidak sedang melarikan diri dari siapapun atau kenyataan. Aku hanya berniat mampir mengambil salah 1 barang paling berharga di hidupku.
Selama ini dia tersembunyi dengan baik, berbaring di bawah kasur, tempat tak seorangpun terpikir memeriksa apalagi mengusiknya. Ukurannya yang kecil sama sekali tidak mengundang kecurigaan. Seakan dia tahu bahwa keberadaannya terlarang dan dapat menimbulkan pertengkaran.
Dia, yang ibarat jantung keduaku, terbungkus dalam kotak putih berpita pink kusam yang bagiku akan selalu terlihat cantik. Selamanya cantik.
Cincin dari Yuta merupakan satu-satunya benda peninggalannya yang masih kusimpan. Entah bagaimana aku bisa menghapus semua fotonya, membakar tumpukan gambar yang ia beri, tapi tak sanggup membuang cincin ini一yang pernah melingkari jariku selama hampir 2 tahun sebelum digantikan cincin lain.
Jaehyun tidak tahu soal ini. Saat kami memutuskan menikah, aku memintanya mengganti nomor dan tidak membicarakan segala hal tentang Yuta lagi, baik denganku atau orang lain. Dia menurut. Dan selesai sudah. Kami bersikap seolah tidak pernah mengenalnya.
Tapi Yuta selalu punya tempat istimewa di hatiku. Mungkin akan terus begitu.
Aku tersenyum, mengelus permatanya dengan sayang. Perawatan teratur telah mencegah waktu mengambil kilaunya dariku. Dia masih sama mengagumkannya dengan dulu, bahkan lebih.
Apa kabar, hartaku yang berharga?
Aku tertawa sendiri. Cincin adalah benda mati, namun aku merasa kupu-kupu itu berdenyut riang dan mengepakkan sayapnya, siap terbang. Dia gembira akhirnya terbebas dari kotak, hendak bertemu orang yang menghadiahkannya padaku.
Ayo, kita temui dia.
Untuk menghilangkan jejak, aku merapikan "sarang" cincin itu. Barulah selanjutnya menemui Jaehyun yang ternyata masih tidur.
Seharian ini dia memejamkan mata terus, hanya bangun saat aku memaksanya makan atau saat perlu ke kamar mandi. Kondisinya tidak membaik, malah memburuk. Dan jujur saja, aku sedikit khawatir.
Demam, pada dasarnya adalah mekanisme pertahanan tubuh dalam melawan kuman atau infeksi, dan akan reda dalam beberapa hari. Tapi jika gejalanya mulai menganggu, disitulah obat dibutuhkan.
"Jaehyun," aku memanggilnya pelan, tidak ingin mengagetkan. "Aku akan pergi ke apotek membeli Paracetamol."
Mata Jaehyun terbuka perlahan. Suaranya terdengar lemah dan parau. "Bukankah ada sisanya di kotak obat?"
Aku menggeleng, menggerakkan tangan merapikan selimutnya "Tidak ada. Kau tidak apa-apa kutinggal sendiri?"
Jaehyun merengut, membuatku tak habis pikir mengapa dalam keadaan sakit pun dia masih terlihat tampan dan menggemaskan. "Jangan lama-lama."
Memilih tidak menjawab, aku mencium pipinya singkat. "Nanti ku belikan green tea ice cream."
Kedua sudut bibir Jaehyun langsung melengkung membentuk senyum. Memakan makanan favorit memang bisa menjadi obat tambahan yang manjur.
"Pergi dulu, ya. Sebentar lagi Lily pasti pulang."
"Rose?"
Aku berhenti.
"Ada yang kurang," ujar Jaehyun, mengetuk-ngetuk pipi kirinya, meminta ciuman lain.
"Dasar manja," aku berputar balik, mencium kedua pipi, hidung dan bibirnya sekaligus. "Puas?"
Senyum Jaehyun berubah jadi tawa. "Cepat kembali!"
Tidak bisa, kataku dalam hati, lalu keluar dari kamar. Ada janji yang harus ku tepati.
Langit masih gelap saat aku sampai Sugung-dong, tapi setidaknya hujan sudah berhenti, meninggalkan genangan air kotor yang memercik terlindas ban mobilku. Jauh di atas sana, pelangi melengkung indah, memberi sambutan dan janji-janji yang terlalu manis. Ini siang yang sempurna untuk bertemu seseorang yang istimewa pula. Tidak panas, tidak pula hujan.
Aku mengeluarkan cincin spinelku. Kali ini, hanya hari ini saja, aku ingin memakainya lagi di depan Yuta. Dia pasti senang saat tahu aku benar-benar masih menyimpan hadiah darinya.
Demi itu, aku harus melepas cincin pemberian Jaehyun.
Ini sulit, tidak semudah perkiraanku. Aku tidak bisa mengenyahkan perasaan bersalah yang mendekapku bagai jaket tambahan. Rasanya seperti berkhianat, padahal tentu saja tidak! Melepas cincin adalah hal sepele, siapapun yang berkata ini perselingkuhan sangat berlebihan!
Lagipula aku akan memasangnya lagi tak sampai 24 jam ke depan.
Kalau hanya sebentar, tidak masalah kan?
Ya, benar. Aku mengangguk, dalam hati berhitung; satu, dua, tiga一
Dan menariknya hingga lolos dari jariku.
Terjadi sudah.
Aku bersandar di kursiku dengan napas berat, tak yakin mengapa tiba-tiba merasa takut. Tampaknya ada sesuatu yang berubah, tapi aku tidak tahu pasti apa itu. Mungkin semacam firasat atau sekedar pikiran bodoh mirip yang kurasakan ketika menatap foto-foto keluarga.
Aku harus berhenti bertingkah konyol.
Menertawakan diri sendiri, aku menoleh ke jendela, berharap menemukan ketenangan lewat keindahan sang pelangi.
Namun 2 orang yang keluar beriringan dari gedung pameran Yuta menyita perhatianku
Yang pertama adalah seorang wanita yang dagunya terangkat tinggi, memberi kesan angkuh. Setelan hitamnya terlihat bergaya dan glamor, terlihat seperti sesuatu yang akan dipakai orang berpenghasilan tinggi juga.
Di belakangnya, menyusul dengan berjalan santai, ada seorang pria berambut merah yang penampilannya lebih sederhana. Dia tidak perlu pakaian merk ternama, atau aksesori mahal. Tindikan telinganya, senyum dan tatapan nakalnya, sudah cukup membuat orang-orang menoleh 2 kali padanya.
Menuruti kebiasaan, pria itu memasukkan tangan ke saku celana dan menyapukan pandangan ke sekelilingnya.
Chaeyeon dan Yuta.
Apa yang mereka lakukan disini, bersama?
Update kilat ya, inspirasinya dapet dari sini nih :
Mulai sekarang marilah kita buat ff Jaehyun yg jadi daddy, asal jangan sugar daddy HAHAHA /digaplok
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top