09. Jaehyun Dan Kisahnya 1
Setelah Yuta pergi, aku menghabiskan waktu dengan menunggunya. Sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan, terasa sepi dan dingin. Aku一dan kurasa banyak murid lain meski dengan alasan yang berbeda一jadi malas ke sana. Selama ini aku sudah sangat terbiasa dengan kehadiran Yuta, sehingga saat ia tidak ada, aku merasa tersesat.
Sehari berubah menjadi seminggu. Seminggu berubah menjadi sebulan.
Di bulan pertama, Yuta mengunjungiku 4 kali, begitupun bulan kedua. Dia menjebakku dalam perasaan rumit antara bahagia dan merasa bersalah karena dia mengorbankan waktunya yang berharga, di antara jeda persiapan menjadi mahasiswa, sehingga aku menangis beberapa kali.
Komunikasi kami lancar. Setiap malam, kami melakukan video call, menceritakan hari masing-masing. Terkadang dia mengirimiku karya terbarunya atau hadiah-hadiah kecil berupa aksesoris yang lucu, dan aku akan membalas dengan paket makanan Korea yang ia rindukan.
Hubungan LDR ternyata tidak sesulit perkiraanku, tapi tetap saja berat.
Di sekolah, aku tak ubahnya hantu. Tidak pernah absen, tapi tidak benar-benar ada. Tanpa Yuta yang menjemputku ke kafetaria atau ke ruang musik/seni, aku sering berdiam diri di kelas. Tidur, berharap waktu cepat berlalu agar kami cepat pula bertemu.
Lisa sampai khawatir. Ia berusaha membuatku ceria lagi, dengan cara-cara kreatif dan kesabaran yang patut di beri penghargaan; mulai dari memperlihatkan drama yang seru, menculikku ke taman hiburan, hingga menyeretku paksa supaya aku makan.
Seperti saat ini.
Aku sudah bilang tidak mau, tapi dia bersikukuh. Lisa tidak peduli apakah aku sedang mengerjakan tugas negara atau membantu polisi memecahkan suatu kasus, kalau dia berkata makan, maka aku harus makan. Titik. Dia tidak menerima penolakan.
"Memandangi foto Yuta terus-terusan tidak akan mengirimmu ke Jepang secara ajaib, Rose!"
Aku memutar bola mata, mengulurkan tanganku ke pintu kelas yang semakin jauh di belakang. "Biar! Biarkan saja aku tenggelam dalam lautan kesedihan."
Lisa tergelak. "Dasar drama queen!"
Sekali lagi, aku berusaha melepaskan diri, tapi Lisa malah melilitkan tangannya lebih kuat ke lenganku, seumpama seekor ular yang hendak membunuh mangsanya. Rengekanku tidak ia pedulikan. Protesku ia abaikan. Lisa mungkin memiliki telinga paling tebal di seluruh sekolah, yang hanya mau mendengar hal-hal yang dia inginkan.
Kami sampai di kafetaria, yang belum apa-apa menimbulkan sensasi pusing di bagian atas alisku. Ada terlalu banyak orang, dan sejauh yang kulihat tidak ada meja kosong.
Yah, sebenarnya ada sih, di tempat golongan cheers, tapi aku lebih suka berguling-guling di lantai daripada bergabung dengan mereka.
Tidak sudi.
"Lihat kan?" Aku mengeluh, menunjuk kerumunan murid yang mengingatkanku pada salah satu ceramah guru, tentang manusia yang menjadi penyebab pemanasan global. Dia benar. Karena di sini MEMANG panas. "Kita ke kelas saja, ayo!"
Sobat terbaikku berdecak sebal. Hampir mengayunkan nampannnya ke arahku jika tidak ingat nampan itu tengah penuh. "Kita sudah terlanjur tiba, mau kau apakan makanan ini?"
"Kenapa tanya aku? Bukan aku kan yang meminta ke sini?"
"Diamlah," Lisa mendesis, cosplay jadi jerapah yang sibuk mencari tempat kosong alih-alih daun. "Pasti ada kok..."
Aku mendengus keras, lalu meniup poniku tak kalah keras. Itu merupakan sesuatu yang baru. Aku memotongnya seminggu yang lalu, berkat dorongan merombak penampilan dan mengejutkan Yuta. Walaupun jadwal bertemu kami masih 11 hari lagi...
Memikirkan itu, kesedihanku bangkit. Rindu pastilah salah satu virus paling mematikan di dunia, karena bisa menyiksa tanpa luka. Aku mendadak kehilangan selera. Aku tidak tahu apa yang kulakukan di sini. Tak ada yang menarik. Semuanya membosankan.
"Lisa一"
Aku bicara, berniat membujuk Lisa menyingkir一sebelum kami disangka patung hiasan kafetaria一saat suara lain terdengar entah darimana, mengatasi keriuhan yang memekakkan telinga. "Rose!"
Pelakunya ternyata adalah seorang pria; berdiri cukup jauh dari kami, tinggi, dan punya suara yang seksi. Jarak menghalangiku melihatnya dengan jelas, tapi nada dan intonasi yang ia pakai telah memberi kesan dia tersenyum.
Padaku, orang yang tidak mengenalnya sedikitpun.
Kecuali...
Aku berjalan lebih dekat, menarik Lisa bersamaku demi mengamatinya lebih baik.
Tidak. Aku kenal dia! Itu Jaehyun. Lama tidak berjumpa dengannya sejenak mengasingkan dia dari ingatanku .
"Siapa?" Tanya Lisa penasaran, ikut-ikutan memicingkan mata. Semua perempuan sama saja; kenal atau tidak, insting mereka selalu terbangun saat mendeteksi pria tampan.
"Teman Yuta." Jawabku, sambil merapat semakin dekat. Memilih cari aman, aku tidak berani menyebut Jaehyun temanku, sebab kami tidak akrab. Interaksi kami amat terbatas, berkisar pada pertanyaan seputar kabar dan basa-basi singkat.
Tetap saja, 1 informasi kecil itu mengagetkan Lisa, yang matanya seketika membelalak lebar. "Yuta, Eunwoo, June, dan sekarang dia? Kenapa kenalanmu tampan semua? Kau tak mau membaginya denganku?"
"Sssstt!" Aku meletakkan jari di depan bibir. "Cari sendiri sana, itu karena aku cantik!"
Sementara Lisa berlagak mual, Jaehyun menyambutku dengan senyuman. Si tampan yang terkenal. Bintang di lapangan sepak bola yang berhasil bersinar setelah Yuta tidak ada. Jaehyun bisa terlihat mempesona tanpa repot-repot berusaha. Tampak bagai model yang menyamar jadi anak sekolah, dia menjawab pertanyaanku tentang apakah dia sendirian.
"Tidak," sahut si kembang gula berjalan. "Temanku sedang ke toilet."
"Oh begitu." Aku merespon seadanya, terlalu malas mencari topik pembicaraan. Tapi lalu mataku menangkap tumpukan kue serta cokelat yang ada di dekat Jaehyun, dan itu membuatku penasaran. "Ini apa? Dapat banyak hadiah di hari Valentine, ya?"
Tawa keluar dari bibir Jaehyun. Disusul matanya yang melengkung lucu. Wajah malu-malunya kian membuatnya menggemaskan. "Ini hari ulang tahunku."
"Sungguh?" Batal makan, aku meletakkan sendokku mendengarnya. "Wah, ternyata ulang tahun kita hanya berbeda 3 hari. Aku tanggal 11 kemarin."
"Berarti sudah telat, ya?" Gumam Jaehyun, gagal menyembunyikannya kekecewaannya. "Aku tidak sempat menghadiahimu apa-apa"
"Ajak dia jalan-jalan." Lisa yang hampir terlupakan mengajukan saran, menegaskan dirinya ada di antara kami. Di bawah meja, kakinya menginjak kakiku. Kode. "Akhir-akhir ini Rose seperti manusia gua, tidak mau keluar rumah hehehe."
Aku yang paham segera berujar, "Jaehyun, ini Lisa, teman yang merangkap penggemarku."
Jaehyun kembali tertawa, mengulurkan tangannya yang membawa sebuah kenangan beberapa bulan lalu untuk menjabat tangan Lisa. Tapi sebelum keduanya bersalaman, seorang gadis berambut panjang tiba-tiba hadir, menginterupsi dengan bertanya, "Siapa mereka?"
Kami bertiga kontan mengalihkan perhatian. 2 sorot mata penasaran berasal dariku dan Lisa sementara senyum ramah bersumber dari Jaehyun.
Temannya, tidak salah lagi. Dan sebagai tambahan, temannya sangat cantik. Dia punya jenis wajah yang bisa menuntun pada kesalahpahaman positif; mengira dia aktris. Mata lebar, hidung sempurna, dilengkapi bibir yang lekuknya indah. Gadis ber-name tag bernama Jung Chaeyeon itu adalah tipe orang yang bisa masuk ke agensi model dan keluar 5 menit kemudian bersama pengumuman lolos.
"Sudah selesai?" Jaehyun memundurkan kursi untuk gadis itu. "Ini Rose, yang pernah kuceritakan padamu. Dan ini Lisa."
'Yang pernah kuceritakan'?
Apa maksudnya?
Chaeyeon mengerjap, sesaat terdiam selagi memproses informasi itu. Aku menghitung dia butuh waktu nyaris setengah menit penuh untuk memperkenalkan diri, sebab sibuk menatap aku dan Lisa bolak-balik.
Kami saling berjabat tangan, dan perlahan mulai makan.
Karena tidak tahu harus bicara apa, aku hanya menyuap makanan, menonton interaksi Jaehyun dan Chaeyeon. Di lihat dari keakraban mereka, keduanya pasti sekelas. Chaeyeon sangat ceria dan ekspresif. Dia membuatku turut tersenyum ketika bercerita tentang sebuah film pada Jaehyun, dan dengan ramah bertanya apakah aku dan Lisa sudah menontonnya.
Aku menggeleng. Lisa mengangguk.
"Mau menonton bersamaku?" Tawar Jaehyun. "Aku yang bayar nanti, sebagai hadiah ulang tahunmu. Kita berangkat besok sepulang sekolah, bagaimana?"
"Aku一"
Aku tidak punya kesempatan menjawab, Lisa lebih dulu menyambar pertanyaan tersebut. Dia tahu aku tengah mengarang alasan demi berhibernasi di rumah dan tidak menyukai hal itu. "Tentu saja dia mau! Sudah lama Rose tidak jalan-jalan, dia akan setuju, benar kan?"
"Itu..." Aku meringis, bukan hanya karena bingung, tapi juga karena Lisa menginjak kakiku. Lagi. "Ehm, baiklah. Aku setuju."
Perubahan ekspresi Chaeyeon tidak luput dari pengamatanku.
Namun karena bel keburu berbunyi, aku tidak terlalu memikirkannya, dan bangkit. Antara Yuta dan pelajaran, aku tidak punya banyak ruang tersisa di pikiranku. Aku tidak ingin menambahnya dengan masalah seorang sahabat yang cemburu.
Aku tidak peduli.
Saat itu, kupikir pertemuan kami bukanlah masalah besar. Aku tidak tahu, tidak pernah tahu hingga terlambat, bahwa menerima tawaran Jaehyun adalah kesalahan kedua terbesar di hidupku.
Hari esok tiba dengan cepat.
Tadi, aku dan Lisa makan siang dengan Jaehyun dan Chaeyeon lagi. Bergosip tentang perbedaan kelas kami dan kapan pihak sekolah akan berhenti menyediakan sayur yang mirip menu makan siang kambing. Aku jadi semakin mengenal Jaehyun, sekaligus mengerti betapa berbedanya dia dan Yuta.
Secara keseluruhan, dia oke. Menyenangkan bersamanya karena dia asyik di ajak bicara.
Apalagi jika tidak ada Chaeyeon.
Tapi gadis itu masih mengikuti kami sekarang. Jaehyun bercerita biasanya mereka pulang bersama karena rumah yang searah, tapi akibat rencana kami, Chaeyeon terpaksa naik taksi.
"Maaf ya," ucapku padanya. "Kalau mau, kau bisa ikut, nanti kita tonton film yang berbeda."
Chaeyeon tertawa一atau setidaknya, memaksakan tawa itu. "Motornya tidak akan muat."
"Kau dan Rose naik taksi," ucap Jaehyun. "Aku sendiri."
Menyatukan kami supaya tidak ada yang iri. Pintar juga. Aku hampir tertawa meski Jaehyun tidak bermaksud mengucapkan lelucon.
Untungnya, Chaeyeon menolak. Dia menggelengkan kepala, buru-buru mendorong kami ke tempat parkir. "Tidak, tidak. Kalian bersenang-senanglah. Aku mengantuk."
Sejujurnya, jawaban itu membuatku lega. Bohong namanya kalau aku berkata aku menyukai Chaeyeon, tapi terlalu awal dan aku tidak punya alasan membencinya. Satu hal yang tidak kusuka darinya adalah caranya memonopoli Jaehyun一dia nyaris tidak membiarkan kami bicara! Sikapnya menyebalkan. Padahal aku yakin kami bisa berteman seandainya situasinya berbeda.
"Kau yakin?" Jaehyun memastikan. "Tidak apa-apa pulang sendiri?"
"Ey, aku bukan anak kecil," balas Chaeyeon. "Dan berhentilah memperlakukanku seperti adikmu."
Tangan Jaehyun terulur, menepuk-nepuk kepala Chaeyeon dengan sayang. "Kau ini kan memang adikku."
Ups.
Chaeyeon mundur, menepis tangan Jaehyun dan menendang kakinya. "Sudah sana, pergi kalian berdua."
Berusaha tidak tertawa jadi semakin sulit saja. Aku harus menggigit bibirku supaya tawa tidak keluar. Hubungan Jaehyun dan Chaeyeon benar-benar sesuatu. Mudah sekali ditebak.
"Baiklah," kataku. "Hati-hati di jalan."
Chaeyeon mengangguk. "Jaga Jaehyunnie baik-baik, ya. Kembalikan dia dalam..."
Aku tak mendengarkan kelanjutannya一tidak bisa mendengarnya. Suara-suara di sekitarku mendadak hilang, terpecah menjadi partikel kecil yang pergi terbawa angin, menyisakan hanya 1 suara saja yang seolah dibisikkan ke telingaku; "Rosie!"
Suara ini...
Di manapun, kapanpun, aku akan selalu mengenalinya meski ada banyak orang yang memanggilku "Rosie". Aku tidak akan pernah mengira dia orang lain. Dia istimewa.
Dia一
Dimana?
Dimana kau?
"Rose, ada apa?"
Jaehyun bertanya, aku mengabaikannya. Pandanganku fokus sepenuhnya mencari-cari dia. Tidak mungkin aku salah dengar. Itu Yuta. Aku yakin!
"Rosie! Hey!"
Itu dia! Bersandar dan melambai di dekat gerbang, dengan pose khasnya satu tangan yang dimasukkan ke saku. Ketemu!
Seperti gerakan otomatis, bibirku menyunggingkan senyum, bahkan tanpa sengaja berteriak, "YUTA!"
Orang-orang di dekat kami menoleh dengan ekspresi penasaran, sebagian berdecak kaget. Tapi aku tidak peduli. Begitupun Yuta. Dia malah meletakkan tangan di sekitar mulutnya dan berteriak balik, "ROSIE!"
Aku segera berlari menghampirinya, melewati Chaeyeon yang mengerutkan kening. Kerumunan bagai membelah, memberi kami seluruh tempat di dunia. "Yuta!" Napasku terengah, tapi aku tidak berhenti. Tanganku seakan punya pikiran sendiri dan tangan itu ingin memeluk Yuta. "Astaga kau di sini!!"
Yuta mendekapku erat-erat, menghimpitku ke dadanya yang hangat一tempat setiap tetes rinduku lenyap seiring detakan jantungnya. Aku masih tidak percaya dan tidak paham, tapi aku mensyukurinya. Yuta di sampingku, itu yang terpenting. Poros semestaku, sang pemilik hatiku. Dan itu lebih dari cukup. "Kejutan! Orang tuaku harus menghadiri sebuah acara, dan aku memutuskan ikut. Kau senang?"
"Tentu saja, tentu saja!" Aku menjawab antusias. Suaraku terdengar melengking, seperti anak-anak yang bertemu pahlawan masa kecilnya dan kami sama-sama tertawa. Lalu aku meneliti penampilan barunya dan tak ada yang bisa kulakukan selain ternganga; takjub dan terkejut. "Kau..."
"Cocok tidak?" Yuta nyengir, mengacak rambutnya yang diwarna blonde. Memiringkan tubuh dan menunduk, dia dengan bangga memamerkan apa yang dulunya tidak ada, sesuatu yang baru ia dapatkan usai berada di Jepang; tindikan! Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya 3!
"Kereeen!" Pujiku, sangat-sangat terpesona. Atau terpesona dan bingung, karena aneh rasanya bagaimana tindikan kecil saja bisa meningkatkan kadar ketampanannya ke tingkat yang mengagumkan dan berbeda.
Tapi selanjutnya dia mencubit pipiku, tidak lupa pada kebiasaannya. Bicara lewat tindakan, Yuta menenangkan, bahwa terlepas dari berbagai perubahannya, di dalam, dia tetaplah Yuta yang kukenal. Yuta-ku. "Kau juga keren. Poni ini cocok untukmu."
"Benarkah??"
Dia mengangguk, membantu merapikannya tanpa di minta. "Sudah. Ayo pergi. Kau tidak punya acara kan?"
Aku menggeleng. "Kita nonton film, ya?"
"Boleh, tapi kau yang antri tiketnya."
"Enak saja!" Aku memukul bahunya sembari tertawa. Dengan Yuta, aku memang selalu bahagia, melupakan segalanya. Kenyamanan yang kudapat darinya tak bisa di berikan oleh orang lain, tidak terkecuali yang setampan...
Oh tidak.
Aku menoleh ke belakang, mendapati Jaehyun terpaku di tempat aku meninggalkannya. Mata kami bertemu, ada kekecewaan di sana, yang amat besar sampai-sampai aku bisa merasakannya dari jarak yang memisahkan kami.
Langkahku terhenti.
Haruskah berpamitan dulu atau langsung saja pergi?
Yuta menggandeng tanganku, memperburuk situasi tanpa ia sadari. "Ada apa? Kau melupakan sesuatu?"
"Ehm..."
Sial. Apa yang harus kulakukan?
Seolah mengerti dilemaku, Jaehyun menggerakkan tangannya dengan gaya mengusir, menunjuk dirinya sendiri dan membentuk tanda 'ok'.
'Pergilah, aku tidak apa-apa'.
"Rosie?"
Aku tersenyum, mengarahkan Yuta ke luar sekolah agar ia tidak melihat Jaehyun. "Ah tidak, ayo berangkat."
Pada akhirnya, kami sungguh pergi, berjalan menjauh tanpa berbalik lagi. Aku menukar kebahagiaan kecil untuk kebahagiaan yang lebih besar.
Aku memilih bersama Yuta.
Jadi di tengah2 nulis ini tuh gua baru tau soal Jiho Oh My Girl, yang lumayan mirip Rose itu lho, sayangnya gua dah terlanjur milih Chaeyeon, ya udah dia aja. Tapi serius, Jiho sama Rose kayaknya ucul ya kalo dibikin rival yang mukanya mirip gitu wkwkwkwk :vv
Rose berponi
Yuta blonde
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top