07. Tentang Yuta 2
"Jangan bergerak, Rosie."
"Aku diam saja sejak tadi, senpai."
"Tapi kau baru saja bergerak. Lihat, kau melakukannya lagi!"
"Hanya dadaku saja yang bergerak, untuk pernapasan. Apakah itu dilarang?"
Yuta tertawa terbahak-bahak. Kepalanya sampai mendongak ke belakang. 5 menit tidak menggangguku mustahil baginya. Entah lewat jarinya yang usil atau bibir seksinya, dia selalu punya cara.
Kami tengah berada di taman Dragon Ball sekarang一tempat Yuta menggambarku dengan sebuket mawar yang ia bawa. Awalnya kupikir ia sedang bersikap romantis, tapi ternyata mawar itu untuk properti melukisnya. Dasar Yuta.
2 jam kemudian, ia belum selesai. Tapi aku tidak keberatan. Bersama dia tidak pernah membosankan. Aku suka melihatnya; menggenggam sebatang pensil, lalu menggerakkannya dengan lihai di atas kertas. Srek, srek. Wajah seriusnya lucu. Kadang berdecak atau mengetuk dahinya kalau sudah frustrasi.
Menggambar adalah bagian terbesar di hidup Yuta. Walaupun menyukai sepak bola, Yuta tumbuh besar di sekeliling kuas, rak pengering lukisan, dan tube cat air. Kemudian, aku, yang ia sebut "model tersayangnya".
"Sebentar." Yuta menyipitkan mata. Sesuatu yang ada padaku mengganggunya dan dia bangkit guna memperbaikinya. Tangan yang sama, yang mendorong punggungku kala aku malu-malu bertemu orang taunya, bergerak menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Wajah kami dekat一sangat, malah一sehingga aku bisa melihat bintik-bintik di matanya saat ia sengaja pamer senyum menggoda. "Kau pasti gugup kan?"
Itu benar, tapi aku berusaha menutupi dengan menyentil dahinya. "Biasa saja. Jangan sok keren."
"Cih," Yuta mengerutkan hidungnya dengan gaya lucu. "Dasar gadis aneh."
Aku tertawa, dan tawaku jadi semakin keras ketika Yuta hampir menabrak seorang perawat yang kebetulan melintas. 2 seragam beda jurusan bertemu; kontras warnanya. Tapi syukurlah, tak satupun dari mereka jatuh. Yuta cepat-cepat membungkuk dan meminta maaf, yang dibalas kalimat ketus dari perawat itu.
"Ya ampun," keluh seniorku, memastikan si perawat jauh dari jangkauan pendengaran agar tak lagi menjadi sasaran kemarahan. "Galak sekali."
"Mungkin dia lelah." Aku menebak, seraya mendongak ke salah satu lampu Dragon Ball yang bersinar lembut dalam cahayanya yang temaram, persis di atasku. "Orang cenderung berubah pemarah saat lelah."
"Mungkin. Jadi perawat pasti melelahkan."
Kepalaku terangguk, hidungku menghidu aroma memabukkan mawar di tanganku. Mereka indah. Punya warna semerah darah tapi merupakan lambang cinta. Tak heran, ibuku menyukainya dan memberiku nama berdasarkan bunga itu. "Benar, tapi jauh lebih baik dibanding menjadi ibu rumah tangga."
"Hm?" Satu ucapan bingung lolos dari mulut Yuta. Bersamaan dengan tangannya yang membuat coretan yang tidak di inginkan. Aku mendengarnya mengumpat, selanjutnya mencari-cari penghapus. "Kenapa bicara begitu?"
"Memangnya kenapa?" Aku balik bertanya, tidak mengerti letak kesalahanku. "Benar kan? Zaman sudah sangat maju. Berkat para Feminist yang memperjuangkan kesetaraan gender, kini wanita bisa jadi apa saja; mulai dari perawat sampai presiden. Sayang sekali kalau ada wanita yang memilih jadi ibu rumah tangga dan hanya bisa meminta uang pada suami mereka."
"Tapi bagaimana kalau itu yang mereka mau?"
Ini yang menarik dari Yuta. Dia sering bergurau, tapi tahu kapan harus bicara serius. Orang-orang hanya perlu mengenalnya lebih baik untuk tahu bahwa dia bukan sekedar berandalan tak tahu aturan.
"Yah ... terserah mereka sih." Aku menyahut santai, meski hatiku tidak membenarkan. Maksudku, ya Tuhan, mengapa ada wanita yang bersedia duduk seharian di rumah menunggu suami mereka pulang? Mau mati bosan? "Tapi menurutku, mereka menyia-nyiakan potensi yang mereka miliki."
Segaris kerutan tercipta di dahi Yuta, yang tetap terlihat meski kami duduk terpisah dan dia menunduk. Tidak perlu sering mengintip, Yuta telah hafal struktur wajahku saking seringnya kami bersama. "Jadi kau mau jadi wanita karier, ya?"
"Benar! Seperti ibuku." Seorang wanita tangguh yang bisa membagi waktu antara keluarga dan menentang dunia dengan segala budaya patriarki bodohnya. Ibu adalah inspirasiku, yang sering menekankan bahwa wanita bukan mainan apalagi makhluk lemah. "Bedanya, aku ingin jadi penyanyi, bukan pebisnis."
"Penyanyi? Bagus sekali. Tapi Rosie,"
Tapi Rosie. Nah, nah. Ada teguran samar di 2 kata itu. Aku hafal kebiasaan Yuta. Aku tahu aba-aba saat dia hendak menasehatiku. Hanya 2 tahun lebih tua tapi selalu lebih dewasa, dia kadang mirip ayah. Yuta yang jujur tidak kenal kata "menahan diri" atau "rahasia". Dia selalu berterus terang.
"Menjadi ibu rumah tangga tidak seburuk yang kau kira. Itu pekerjaan paling berat dan mulia di dunia. Ingat, wanita yang hebat akan menghasilkan anak yang hebat pula."
Aku mendengus, gagal menyembunyikan nada sinis. "Kau bukan tipe pria kolot yang mengharuskan istri di rumah kan?"
"Tentu saja tidak." Yuta membantah cepat, bahkan mendelik. Tampangnya jadi makin mirip ayah kala memergoki aku melempar raket bulu tangkis sebab sebal kalah dari Alice. "Jangan salah paham. Saat kita menikah nanti, aku akan membebaskanmu mencari uang, biar aku saja yang bersantai di rumah."
"Jadi terbalik, ya?" Aku terbahak keras, membayangkannya, namun tidak berarti aku bersedia menikah muda, karena aku mencintai Yuta sama besarnya dengan aku mencintai mimpi-mimpiku.
Yuta ikut-ikutan terbahak, meraih pensilnya lagi tepat ketika ponsel di sakunya berdering. Dia mengangkatnya, mengucapkan, "moshi-moshi?" pertanda panggilan itu dari keluarganya.
Aku diam, mengamati ekspresinya berubah bingung. Keahlian berbahasa Jepang-ku sejujurnya terbilang bagus, tapi karena orang Jepang bicara sangat cepat一hampir seperti rap一aku cuma menangkap beberapa kata; benarkah, tidak mungkin, dan bagaimana bisa?
Satu yang pasti; dia kalut. Jelas apapun itu bukanlah kabar baik.
"Hei." Aku mendekatinya saat ia sudah menyelesaikan panggilan. "Apa terjadi sesuatu?"
Yuta menggeleng, tapi detik berikutnya mengangguk. "Nenekku meninggal, Rosie."
Untuk pertama kalinya, aku melihat Yuta sedih. Senyum ceria yang kukira terlukis permanen di wajahnya lenyap. Dia tidak masuk sekolah keesokan harinya dan besoknya dan besoknya lagi. Dia pulang ke Jepang. Kami tidak berjumpa berhari-hari. Pesanku pun ia balas sesekali. Aku tidak ingin bersikap egois, tapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku merindukannya. Hatiku ibarat keran rindu yang terus mengucur tiada henti.
Tapi tak sampai seminggu, dia kembali.
Yuta muncul secara mengejutkan di jam istirahat, diringi senyum lebar yang tak mampu menutupi wajah murungnya.
Saat itu, meski sedang berada di depan kelas, aku melakukan satu-satunya hal yang harus dilakukan; memeluknya. Kupikir, itulah yang lebih dia butuhkan daripada kata-kata penyemangat yang tak berguna. "Apa sudah lebih baik sekarang?"
Yuta nyengir, membiarkan kami tetap dalam posisi itu sebelum menggenggam tanganku menuju lapangan sepak bola. Aku sebenarnya lapar, tapi tidak ingin memaksanya berdesakan di kafetaria yang ramai saat ia butuh ketenangan.
Kami berjalan tanpa kata ke salah satu tempat di sekolah yang jadi daerah kekuasaan para cowok. Bukan masalah, sebenarnya. Kami bisa saling diam kalau sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi masalahnya adalah, dia tidak menatapku. Dia menghindari mataku. Hal itu membuatku sadar ada yang salah disini.
"Ada apa?" Aku bertanya ketika sudah tidak tahan.
Tak langsung menjawab, Yuta menghela napas. "Setelah Nenek meninggal, rumah yang ada di Jepang jadi kosong."
Aku memiringkan kepala. Puzzle teka-teki berserakan di hadapanku dan aku tidak tahu cara menyatukannya untuk memperoleh pemahaman. "Lalu?"
"Keluargaku berniat pindah kesana."
Lebih banyak potongan puzzle yang terpasang, hampir membentuk sesuatu yang mendadak membuat tenggorokanku serasa diganjal benda tak kasat mata. "Yah ... oke. Apa masalahnya?"
Ekspresi murung itu muncul lagi. Aku tidak suka melihatnya! Seandainya senyum bisa di beli, aku pasti rela membelinya untuk Yuta一tak peduli semahal apa. "Aku akan ikut dengan mereka, Rosie."
Langkahku terhenti. "Apa maksudmu?"
"Maksudku..." Yuta menunduk, mengelus lehernya sekaligus menjatuhkan potongan puzzle terakhir. "Ibuku ingin aku kuliah di sana."
Potongan yang tertulis : aku harus pergi.
"Kenapa? Di Korea ada banyak universitas yang bagus."
"Memang, tapi dia agak..." Yuta tertawa kikuk. Gigi atas menggigit bibir bawahnya. Dia gugup. "Protektif."
Aku menelan lagi umpatan di ujung lidahku. Ini tentang ibu Yuta, aku mengingatkan diri, agar tak melewati batas yang sensitif. "Tapi kau sudah dewasa. Tinggal sendiri di Korea bukan masalah untukmu kan? Semua akan baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Aku tidak tega menolak permintaannya, Rosie. Hanya sampai aku lulus kuliah saja, katanya. Setelah itu aku bebas pergi kemanapun."
"Bagaimana denganku?" Akhirnya terucap juga. Kalimat egois itu keluar dari bibirku. Aku mundur, melepaskan tautan tangan kami, merasa marah alih-alih ingin menangis. "Kita sudah berjanji akan kuliah di tempat yang sama!"
"Masih bisa. Kau tinggal menyusulku ke Jepang, mudah kan?" Ucapannya serius, tapi di suarakan dengan nada bercanda yang membuat amarahku semakin meningkat.
Dengan geram, aku berkata, "Mudah saja bicara!" Lantas menghentakkan kaki ke tujuan kami semula. Amarah tercermin di tiap langkahku, terus menggelegak. "Datang-datang membawa berita seperti ini, pulang sana ke Osaka!"
"Benar tidak apa-apa?" Goda Yuta, mengekoriku sambil tertawa. "Tapi jangan menangis nanti, ya."
Buk!
Pukulan keras di perutnya menjadi jawabanku. Aku tidak bicara, fokus pada beberapa murid yang tengah bermain sampai mataku terasa panas. Salah satunya adalah Jaehyun, si tampan dari kelas sebelah.
"Oi, sakit! Sudah hampir setahun ternyata pukulanmu jadi semakin kuat, ya?" Yuta meringis, mengusap-usap area yang ku pukul tadi. "Kita bisa mengatasinya, Rosie. Osaka adalah tempat yang indah一kau pasti suka. Dan jangan khawatir soal jadi penyanyi, aku akan membantumu nanti."
"Bukan itu!" Aku membentak, tanpa sengaja mengeraskan suara hingga Jaehyun yang posisinya di dekat kami terkejut. Tim lawan memanfaatkan itu dengan merebut bola di kakinya. Dan dia buru-buru mengejar, menunjukkan tanggung jawab pada tim. "Aku tidak keberatan kuliah di Osaka, tapi ... tapi itu masih 2 tahun lagi! Lama sekali!"
"Jadi itu yang kau khawatirkan?" Yuta terkekeh, mencubit pipiku yang dia bilang mirip pipi tupai. "Hubungan jarak jauh itu tidak begitu sulit. Kita bisa melakukan video call, aku juga akan mengunjungimu beberapa kali dalam sebulan. Waktu berjalan lebih cepat dari yang kau kira. Bukankah kejadian saat kau memukulku di lapangan terasa seperti kemarin?"
Aku tidak menjawab, bingung menjelaskan perasaanku tanpa terkesan merengek. 5 hari saja sudah membuatku sangat rindu, apa jadinya jika kami hanya bertemu 'beberapa kali dalam sebulan'? Mengerikan. Aku sulit membayangkan hari-hari tanpa dirinya.
"Rosie..."
"Diamlah!" Aku menyikutnya kedua kali, lebih keras. "Aku tidak konsen menonton karenamu."
Yuta menurut, diam-diam menggenggam tanganku. Jaehyun yang melihat kami berhenti bermain. Dia melambai dan tersenyum.
Sekali一walaupun merasa tidak enak一aku meminta Yuta membicarakan ulang masalah kepindahannya, mencoba membujuk sang ibu. Dia merespon dengan anggukan dan senyuman, namun tidak memberitahu hasilnya, jadi kurasa sia-sia. Sejak itu, kami tak mengungkit-ungkitnya lagi, seolah diam bisa mencegahnya terjadi.
Tapi tidak. Hari yang kutakutkan akhirnya tiba. Sekitar seminggu setelah ia dinyatakan lulus, Yuta berangkat ke Osaka. Tak ada penangguhan lebih lama.
Di hari keberangkatannya, bandara penuh sesak, cuaca di luar mendung. Langit mengancam menangis, bagai turut merasakan kesedihanku. Aku ingat dia mengenakan jaket dan celana hitam, lengkap dengan sebuah headphone yang melingkar di lehernya. Ia tersenyum lebar menyambut kedatanganku, dan menggerutu, "Kenapa lama sekali, Rosie?"
"Maaf, ketiduran." Aku berbohong. Yang sebenarnya terjadi adalah, aku butuh waktu menenangkan diri usai menangis berjam-jam.
"Dasar kau ini," Yuta memukul kepalaku pelan. "Untung saja kau datang, aku punya hadiah untukmu."
"Benarkah?"
Yuta mengiyakan dengan semangat. Jari-jarinya merogoh saku jaket, mengeluarkan kotak putih berpita pink, yang dari luar sudah tampak sangat cantik. "Ini memang hadiah biasa sih, kuharap kau suka."
Aku tidak bisa berkata-kata一semuanya menguap, hilang! Kebahagian memenuhi seluruh diriku hingga aku nyaris melompat-lompat gembira, layaknya anak-anak yang kelebihan gula. Aku menahan napas, membuka kotak itu perlahan. Dari bentuknya, aku menebak itu cincin, dan rupanya benar!
Di dalamnya, terdapat sebuah cincin paling indah yang pernah ku lihat; cincin perak berhias kupu-kupu mini, dengan sayap mungil yang warnanya se-biru laut. Begitu indah, begitu cerah. Ekspresi terpanaku terpantul di permukaannya yang mulus tanpa cela dan bercahaya.
Aku menutup mulut, tidak tahu harus menangis atau memeluknya lebih dulu, jadi aku melakukan keduanya bersamaan. "Ini...? Astagaastagaastaga cantiknya! Yuta, ini BENAR-BENAR cantik! Aku belum pernah punya cincin sapphire sebelumnya, ini hadiah yang sempurna! Aku sangat sangat su一"
"Ehem," Yuta berdeham, tiba-tiba terserang serangkaian batuk-batuk hebat. "Itu bukan sapphire."
Aku mengerjap kebingungan. "Lalu?"
"Spinel. Bentuknya mirip dengan ruby dan sapphire, tapi harganya lebih murah hahahaha, tidak apa-apa kan?"
"Oh," hanya itu yang bisa ku katakan, tidak tahu harus merespon bagaimana lagi.
"Hey, jangan kecewa begitu," Yuta mengacak-acak rambutku sampai berantakan, lalu meraih cincin itu dan memakaikannya di jari manis kiriku. "Pas! Baguslah. Aku bekerja keras selama 2 bulan untuk membelinya, jadi kau tidak boleh menjual ini meski kelaparan."
"Tapi kau tidak bekerja."
"Aku bekerja pada orang tuaku, membantu pekerjaan rumah tangga." Ia terkekeh nakal, berpaling sekilas pada keluarganya yang mengawasi kami sambil tersenyum-senyum. "Untuk sementara spinel dulu, ya? Nanti saat sudah sukses akan ku belikan yang jauh lebih bagus."
"Tidak apa-apa." Aku kembali mengukir senyum, memeluknya lagi dan menyandarkan kepalaku di tempat ternyaman di dunia; dada lebarnya. "Ini bagus, kok. Maaf tidak mempersiapkan hadiah untukmu."
Yuta balas memelukku tak kalah erat, bahkan mengecup puncak kepalaku dengan lembut, mengabaikan reaksi Momoka dan Haruna一kedua saudarinya一yang berteriak heboh. "Tidak masalah. Kau hanya harus berjanji akan menyusulku ke Jepang. Itu saja."
"Pasti," Ujarku sungguh-sungguh, menghembuskan janji itu dengan keteguhan yang lebih keras dari semua material terkuat di semesta yang digabungkan. "Aku pasti menyusulmu. Tunggu saja nanti."
Kemudian,
Kemudian...
Mataku terpejam rapat. Sayap kupu-kupuku mewujud, membawa kami ke sungai yang menghanyutkan semua ragu dan pilu. Hatiku merekah seperti sekuntum bunga sakura di musim semi. Aku terbakar; oleh gairan dan sukacita saat Yuta menciumku dengan bibirnya yang terasa lembut dan sejuk.
Dia adalah permen termanis. Lebih hangat dari selimut manapun. Galaksi berkelip di balik mataku; menyala biru, hitam, perak dan putih. Ada banyak warna. Dunia berkilauan.
Dengan ciuman itu Yuta berkata tanpa kata, Tidak apa-apa, Rosie. Kita bisa melaluinya.
Dan aku percaya padanya.
Ya, hubungan jarak jauh itu sulit.
Ya, 2 tahun itu waktu yang lama.
Lalu kenapa? Cinta kami terlampau kuat untuk dipatahkan dunia. Kami akan membuktikannya.
Buat reader baru jan bingung! Tulisan miring artinya flashback, dan jumlahnya emang agak banyak biar kalian paham masa lalu tiap tokoh ya 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top