06. Sebuah Permintaan
Note : ini lanjutan GDK ya, flashback nya mo gua selang-seling biar kagak bosen h3h3
Jadi ra usah bingung, nek bingung yo cekelan.g 😳
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Lebih tepatnya karena kau hamil dan harus menikah dengannya."
Aku membeku di tempat, mendadak lupa caranya bicara. Tenggorokanku tercekat. 1 kalimat itu membuat dadaku sesak. Oksigen menipis. Napasku seolah habis. Tak ada ruang untuk bernapas, kala kesadaran mengenai rahasia terbesarku berhasil dibongkar dunia.
Sore ini terlalu indah untuk kalimat semacam itu, seharusnya Yuta tidak mengatakannya. Seharusnya dia bahkan tidak tahu rahasia yang mati-matian kusembunyikan itu.
Siapa?
Siapa yang memberitahunya?
Aku paham betul bahwa tak ada rahasia yang bertahan selamanya, tapi tak bisakah orang itu membiarkanku mengaku sendiri? Dengan begitu, peluangnya memberi maaf akan lebih besar, terlepas dari semua rasa sakit serta luka pengkhianatan yang telah kutorehkan.
Aku menunduk, menatap kedua tanganku yang kosong agar tidak perlu menatap mata Yuta. Dulu, tangan ini menuruti nafsu. Dulu, tangan ini mengkhianatiku. Mereka bersalah, menuntunku pada penyesalan tak berujung yang hingga kini masih kutanggung.
Mulutku, yang juga tidak benar, dan dulu malah memperparah situasi, mengeluarkan helaan napas sarat penyesalan. "Siapa yang memberitahumu?"
Tak langsung menjawab, Yuta melangkah mundur untuk bersandar di mobil yang ada di seberangku, menciptakan jarak di antara kami. "Kau tidak menyangkalnya?"
Aku menggeleng. "Shoujiki wa isshou no takara. Kejujuran adalah harta seumur hidup. Kau yang mengajariku."
Yuta tersenyum, tapi ada kesedihan di sana, yang menunjukkan ia tak benar-benar bahagia. Sorot di matanya hanya bisa di artikan dengan 2 kata; sakit hati, dan kecewa. "Seharusnya kau mengingat itu dulu. Jujur begini kan jauh lebih baik."
"Ya." Aku mengakui; pahit dan parau. Pembicaraan ini terlampau berat, hingga tiap kata tidak mudah terucap. "Tapi juga menyakitkan."
"Jadi kau pikir aku senang ketika kau menghilang begitu saja, Rosie?"
"Bukan ... bukan begitu, kau salah paham!" Aku tergagap, dapat merasakan mulutku ternganga saat sadar telah salah bicara, tapi kepalaku seumpama cawan kosong; aku tak menemukan kata untuk memperbaikinya. Otak dan mulut kadang tidak bisa bekerja sama. Kata yang tepat itu bagai direnggut angin dan lepas dari jangkauan. "Maksudku adalah一"
"Sudahlah," Yuta memotong, mengibaskan tangan guna menegaskan ia tidak mau mendengar. Manakala kakinya melangkah menjauh ke bar, jantungku dicengkeram rasa takut ditinggalkan, yang hampir membuatku berkata, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku lagi.
2 kalimat itu sudah nyaris lolos saat ia berbalik sedikit, memasukkan tangannya ke saku celana; pose yang familiar. "Lebih baik kita masuk, tidak enak bicara sambil berdiri. Tapi kalau kau tidak mau, silahkan pergi. Kurasa percuma melarangmu."
Kau mau aku datang?
Ini seperti pengulangan mimpi; di kenyataan yang lebih indah dan amat berbeda. Yuta yang bodoh tidak mau terang-terangan, memilih mengungkap keinginannya dengan cara terpendam. Dia mengundang, mengajak, menggunakan kata-kata penuh misteri yang ia tahu akan kumengerti.
Kali ini, tak ada bedanya dengan di mimpi, aku tanpa keraguan tahu dia mau aku mengikutinya.
Tak perlu berpikir ulang, aku menutup pintu mobilku, lalu mengambil ponsel Yuta yang tadi terlempar. Ini kesempatan yang kucari. Hadiah yang aku syukuri.
Sekilas, bayangan Jaehyun dan Lily muncul, tapi aku segera menepisnya. Hari ini aku ingin menjadi egois.
Bar itu tidak terlalu besar.
Sejujurnya, bangunannya tidak bagus, bahkan di mataku yang tidak tahu apa-apa tentang arsitektur. Pengap, kecil dan terlalu ramai. Pengunjungnya banyak; sebagian besar sudah teler, yang lain menonton pertandingan sepak bola lewat sebuah TV yang disediakan seraya bersumpah serapah. Asap rokok dan bau khas segala macam minuman keras menyambutku, begitu pekat dan kuat. Bar ibarat tempat dari dunia lain, yang tidak berhubungan dengan dunia ibu rumah tangga sepertiku.
Tapi mengikuti langkah kaki Yuta hanya 2 jengkal di belakangnya, aku merasa aman. Suara kecil yang berkata bahwa ini adalah sarang keributan sirna. Kupu-kupu di perutku memakan habis suara itu, menyisakan hanya euforia dan cinta.
Bersama meski tidak berdampingan, kami berjalan menuju sepasang kursi di pojok. Kami duduk, terpisah meja dan tahun-tahun yang menunggu dibicarakan. Kata maaf yang kusimpan menari-nari di kepala, namun bibirku kesulitan mengutarakannya.
Beruntung, seorang pelayan datang menghampiri, memecah keheningan di antara kami. "Kau yang tadi kan?" Ia menyapa Yuta, mengabaikanku. "Kenapa kembali? Ada barang yang tertinggal?"
Senyum Yuta terlukis di wajahnya saat ia menggeleng. Pelayan atau presiden, ia selalu bersikap ramah pada semua orang. "Aku hanya mampir lagi bersama teman."
"Oh, begitu." Si pelayan membalas senyumnya, belum melirikku seakan aku bakteri yang terlalu kecil untuk dia lihat. "Masih mau pesan appletini?"
"Ya, ditambah teh hangat dan sebungkus cheetos. Bisa kan?" Sebelah mata Yuta berkedip; jurus mematikan yang dulu ia keluarkan kalau menginginkan sesuatu dariku. "Nanti kuberi banyak tip."
Sesuai dugaan, pelayan itu setuju. Dengan wink-nya, rasanya Yuta bisa meminta apa saja dan takkan ada yang sanggup menolaknya. "Gampang, tunggu sebentar."
Dan setelah mengelus bahu Yuta, dia pun pergi.
Hati kecilku menukas sengit, hei, dia milikku.
Kemudian aku tersadar, aku tak punya hak mengakui itu. Aku berdeham, berusaha bersikap biasa. Memilih fokus pada hal positif, aku tersenyum karena senang Yuta tidak lupa hal-hal yang aku suka. "Yang tadi itu tidak perlu. Aku bisa minum alkohol sekarang."
"Aku tahu," jawab Yuta. Lalu membisu. Dia tak mengatakan apa-apa lagi.
Khawatir dia tidak nyaman, aku berpikir cepat mencari topik pembicaraan. Kulirik ponsel di tanganku, dan seketika mendapat ide. "Ini. Maafkan aku."
Yuta menerimanya, membolak-balik benda itu. Layarnya yang retak merefleksikan tatapan mata pemiliknya yang kosong. "Untuk apa?"
Keningku berkerut. "Hm?"
"Maafmu tadi." Yuta menjelaskan dengan sabar, tanpa selipan emosi di suaranya. Mengingatkanku bahwa ia tidak lagi bisa kubaca semudah buku yang terbuka. Dia berubah lebih menutup diri. "Untuk apa itu? Apa kau minta maaf karena menghilang tanpa kabar selama bertahun-tahun? Karena tidak menepati janji kita? Atau karena membuat ponselku rusak?"
Tak ada senyum hangat, tak ada pelukan. Semua berantakan. Yuta tidak membentak, tapi tetap saja kata-katanya menimbulkan denyutan rasa sakit. Nada dingin itu menyakitiku juga, melebarkan jurang yang sudah membentang di antara kami. Padahal, bukan ini yang berada di imajinasiku, yang sering membayangkan kami bertemu. Sedikitpun, tidak mendekati. Aku menelan ludah dengan gugup. "Untuk semuanya."
Yuta diam saja, menundukkan kepala. Telunjuknya menekan pusat retakan di layar ponselnya, memperparah kerusakan. Dia seperti orang yang tahu dirinya terluka tapi tidak mempedulikannya.
Sikap diam ini sungguh menyiksa. Aku ingin Yuta-ku yang dulu kembali, berceloteh panjang lebar mengenai kehidupan dan apa yang ia kerjakan. Melemparkan lelucon yang bisa membuat perutku sakit karena terlalu banyak tertawa. Yuta yang dulu tidak bisa diam, bahkan saat kami belajar bersama. Sejak kapan bibir yang hobi menggodaku itu berubah malas bergerak? Aku tidak suka.
Tanpa berpikir, aku mengulurkan tangan untuk menghentikannya. "Jangan, nanti tambah rusak."
Lagi-lagi ia diam, tapi tidak menjauh. Yuta membiarkan tangan kami bersentuhan; milikku dingin, miliknya hangat. Matanya menjelajahiku. Kombinasi dari kedua hal itu membuatku bagai menyusut menjadi gadis berusia 16 tahun, berharap diberi kesempatan ke masa lalu dan bisa memperbaikinya.
Tapi itu tidak mungkin. Yang kumiliki hanya masa sekarang, dan masa depan yang belum jelas.
Kutarik kembali tanganku, tepat waktunya ketika pelayan datang dengan pesanan kami. Ia dan Yuta bercakap-cakap lagi, dibawah tatapan tidak senang yang tidak bisa kutahan. Selamatlah keduanya karena aku tidak punya kekuatan super membakar seseorang lewat mata.
Bukankah mereka agak ... terlalu dekat?
"Namanya Dalnim, teman baru." Yuta menjelaskan, melihat tanpangku yang pastilah tertekuk sebal, lalu membukakan bungkus snack. "Makanlah."
Aku yang tidak mau berdebat mematuhi, meski dalam hati jengkel setengah mati. Tangan kidalku mengambil 3 batang cheetos, menggigitnya sekaligus. "Kau tidak mau?"
Dia menggeleng, lebih memilih mengamati kegiatanku sambil bersandar di kursinya.
Atau mungkin...
Aku cepat-cepat menyembunyikan tanganku di bawah meja saat sadar Yuta sebenarnya mengamati cincin pernikahanku.
Hal itu menyebabkan dia mengangkat sebelah alisnya. Heran diiringi geli. "Kenapa? Cincinmu bagus."
Memang bagus, tapi aku merasa tak nyaman mengenakannya di depan Yuta. Apalagi mengingat dia juga pernah memberiku barang serupa...
"Cincin darimu masih ada, kok!" Aku berkata cepat, tanpa jeda. "Masih kusimpan sampai sekarang!"
Yuta menyilangkan lengannya di depan dada, mengangguk seolah kenyataan dia digantikan oleh orang yang tak lain adik kelasnya adalah hal sepele. "Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa, Rosie. Itu hakmu mau mengenakan cincin dari siapa."
"Ya, tapi..."
Dia menggeleng, memintaku tidak melanjutkan. Kami sama-sama mengalihkan tatapan ke arah lain, membiarkan keheningan mengambil alih. Tak kusangka akan ada hari dimana aku dan Yuta merasa canggung seperti ini.
Rasanya aku ingin membicarakan masa lalu kami, sekedar untuk mengenangnya, tapi karena itu akan mengarah ke pertanyaan demi pertanyaan yang tidak siap kujawab, topik itu terpaksa di coret. Sebagai gantinya aku bertanya, "Apa saja yang kau lakukan selama ini?"
"Aku?" Yuta menunjuk dirinya sendiri, tersipu malu. "Tak ada yang istimewa dengan hidupku. Aku kuliah seperti biasa, sesekali berkencan dan berpesta. Kadang-kadang bolos saat bosan. Tapi setelah lulus, aku mulai serius mencari uang, berusaha menjual lukisanku lewat internet."
"Pasti banyak yang ingin membelinya." Aku menebak penuh percaya diri, seakan itu matematika sederhana yang anak-anak pun mengetahuinya.
Tapi aku salah.
"Tidak juga. Justru tidak ada yang mau. Aku sampai malu pada orang tuaku karena sudah banyak menghabiskan uang mereka."
"Benarkah?" Keraguan dalam suaraku tidak bisa disembunyikan. Alisku berkerut. Walaupun selera orang berbeda-beda, tapi tidak mungkin ada yang menganggap lukisan Yuta jelek一aku tidak percaya. Tiap karya yang terlahir dari tarian jarinya selalu mengundang kekaguman, sebab mampu menangkap inti dari semua objek dengan sempurna.
Guru seni kami yang sering dibuat pusing Yuta mengakuinya. Piala-piala dan berbagai penghargaan di kamarnya adalah buktinya. Orang bodoh macam apa yang tidak mau membeli karyanya?
Oh, kurasa aku tahu; pasti orang bodoh yang rabun.
"Ya." Yuta mengiyakan, seolah menyetujui, dan aku mendapati diriku一teramat mudah一tersenyum menanggapinya. "Hingga aku bertemu Johnny. Dia agen pemasaranku, yang ketika melihat lukisanku justru menyarankan aku membuang semuanya. Johnny bilang aku harus membuat sesuatu yang baru, yang memiliki 'jiwa', dan bahwa aku tidak boleh melukis hanya untuk mendapat uang."
"Lalu?" Aku mencondongkan tubuh ke depan, semakin tertarik mendengarkan. Khusus Yuta, suara, ekspresi, dan intonasinya adalah perpaduan yang tidak akan pernah membuatku bosan.
"Karena bingung, kuturuti saja sarannya. Aku membeli canvas baru dengan sisa uang yang kumiliki dan melukis taman Dragon Ball, kau ingat?"
Aku mengangguk antusias, langsung paham. Meski tidak pernah datang lagi kesana, mustahil melupakannya. Taman Dragon Ball adalah sebuah taman di dekat sekolah kami dulu. Nama aslinya taman Dangyeong, tapi aku dan Yuta mengubahnya karena lampu tempat itu berbentuk bola一yang omong-omong, pernah kami tempeli stiker bintang, lalu berfoto sambil nyengir lebar.
Yuta terkekeh, tak diragukan lagi mengingat hal yang sama; masa remaja kami yang indah...
Dan takkan terulang.
"Itulah awalnya, Rosie. Johnny berperan besar atas terjualnya lukisan pertamaku. Dia mempromosikannya kemana-mana; galeri seni, para pebisnis, perusahaan interior, bahkan di acara amal. Aku kemudian melukis lebih banyak, dan akhirnya bisa mengadakan pameranku sendiri." Dia tersenyum lebar, seakan bisa menerangi seluruh Seoul yang tidak lagi terkesan muram berkat kehadirannya. Ada Yuta, ada kebahagiaan. Dia sumbernya. Bukan tanpa alasan dia mendapat julukan healing smile.
"Selamat." Aku tak bisa mencegah diriku untuk tidak bertepuk tangan, ikut bahagia karena setidaknya salah satu di antara kami berhasil cita-cita. "Memang tidak ada sukses yang diperoleh secara instan."
"Benar sekali." Yuta mengedikkan bahu ceria, matanya selalu berbinar kalau membicarakan hal yang dia suka. "Giliranmu."
Aku menggigit bibir, merasa malu. Hidupku selama 7 tahun tidak bisa dibandingkan dengan hidup Yuta yang sibuk mengejar impiannya. Bisa digambarkan dalam 1 kata yang tak lain adalah monoton, sehari-hari aku hanya mengurus keluarga kecilku. Itu saja. Jadi kepada siapapun aku enggan bercerita, tak ingin membuat orang lain bosan dengan kisah seorang ibu rumah tangga biasa.
"Aku一"
Aku berhenti. Ponselku berbunyi, cukup nyaring menambah kebisingan bar. Nama 1 dari salah 2 teman terdekatku terpampang di layar, Lisa.
"Angkat saja," usul Yuta, rupanya melihat keraguanku yang diam-diam berharap panggilan itu mati, agar tidak mengganggu kami.
Dengan kening berkerut, aku mendekatkan ponsel ke telinga. "Apa?"
Suara riang Lisa memprotes, "Begitu ya caramu menjawab telepon?"
Aku memutar bola mata, gagal menahan rasa sebal. Lisa dan candaannya kadang menghibur, tapi tidak kali ini. Waktunya tidak tepat. "Langsung saja, Lisa. Ada apa?"
"Baiklah, baiklah." Lisa cekikikan, tahu misi isengnya mengganguku telah berhasil. "Aku ingin mengajakmu belanja supaya kau tidak bosan di rumah terus."
"Tidak bisa. Aku sibuk."
"Tidak menerima penolakan, Rose. Aku hampir tiba di rumahmu."
Rasanya seperti ditampar. Dilempar batu tepat ke dadaku, atau di dorong dari ketinggian. Aku nyaris berteriak, sebelum sadar suaraku bahkan tidak keluar. Tanganku terasa lembap oleh keringat. Detak jantungku menggila.
Lisa. Pergi. Ke. Rumah.
Kalau dia berjumpa Jaehyun, maka Jaehyun akan tahu aku berbohong dan jelas akan ada masalah raksasa一bukan sekedar besar. Itu tidak boleh terjadi. Lupakan soal kejujuran adalah harta seumur hidup. Memberitahu Jaehyun soal Yuta tidak ada bedanya dengan masuk ke peti matiku sendiri. "Pergi dari sana! Lisa, kau dengar aku? Jangan ke rumah. Jangan temui Jaehyun!"
"Apa? Kenapa? Kau menyimpan bom atau一"
Suara Lisa tiba-tiba menghilang, lenyap. Aku melihat ponselku untuk mengecek apakah dia sudah memutus sambungan atau tidak, dan dengan ngeri mendapati baterainya habis. Oh berengsek. Ternyata takdir ingin bermain-main.
Seakan menular, kepanikanku menyentuh Yuta, meluruhkan sikap santainya. Gelas berisi minuman bernama appletini itu ia habiskan dalam sekali teguk. "Ada masalah?"
Aku mengangguk, merasa ingin menangis atau berteriak atau keduanya, karena kebersamaan kami yang sangat singkat. "Harus pergi sekarang. Maaf."
Tanpa bertanya lagi, Yuta membayar pesanan kami yang belum sepenuhnya habis. Tidak ada basa-basi dengan pelayan yang bernama Dalnim. Kami bergegas pergi ke tempat parkir, menerobos kumpulan orang mabuk yang menghalangi.
Yuta berbaik hati membukakan pintu mobil untukku, tapi lalu menghalangi tubuhku masuk. "Tunggu, Rosie."
Aku berbalik ke arahnya dengan ekspresi bingung. "Apa lagi?"
"Bolehkah aku memelukmu?"
Kan kucoba bikin kalian jatuh cinta sama karakternya Yuta muehehehehe 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top