05. Tentang Yuta 1
Mari mundur sejenak.
Membongkar masa laluku, mencari benang yang menghubungkan jarumku dengan jarum Yuta di tumpukan jerami penuh kerumitan. Namun percayalah, kisah kami adalah kisah yang sederhana一setidaknya awalnya begitu.
Semuanya bermula ketika keluargaku capek berpetualang di negeri orang dan memutuskan untuk pulang. Faktanya, walaupun lahir di Auckland dan tumbuh besar bersama para koala di Australia, pasporku berwana hijau; aku adalah orang Korea dengan nama asli Park Chae Young.
Di sana, aku di daftarkan ke sebuah sekolah yang seragamnya berwarna kuning jelek tapi memiliki pita yang lucu; School Of Performing Arts Seoul, atau singkat saja SOPA.
Secara keseluruhan, tempat itu oke dan berkelas一aku suka. Kepribadian ekstrovertku dan kemahiranku berbahasa Korea semakin mempermudah proses adaptasi. Singkatnya, kehidupanku di sekolah menyenangkan, tapi bergabung dengan klub cheerleader membuatnya berantakan.
Harus kuberitahu padamu, baik di Melbourne maupun di Korea, aku selalu jadi salah satu murid perempuan tertinggi di kelas. Postur tubuh warisan ayah adalah kebangganku. Jadi ketika tiba saatnya para murid harus memilih kegiatan ekstrakurikuler, aku tanpa ragu menjawab; cheerleader!
Hasilnya sangat memuaskan. Aku dapat mengikuti setiap instruksi serta menghafal semua gerakan dengan cepat dan baik. Para penonton menyebutku bintang. Aku adalah fenomena baru di SOPA, merebut perhatian sejak di tahun pertama.
Sayangnya, senior-seniorku yang kejam justru menempatkanku di posisi ... base.
Mereka bilang karena aku masih baru, minim pengalaman, tapi aku yakin alasannya bukan itu. Semua orang juga tahu kalau aku lebih dari sekedar mampu berada di posisi Top. Rasa iri mereka saja yang mencegah mereka mengakuinya.
Seolah itu belum cukup buruk, mereka juga selalu menemukan cara untuk membuatku kesal, misalnya dengan melemparkan lelucon-lelucon sarkastik yang mereka pikir tidak kumengerti dan menyebut namaku "Roje" alih-alih Rose dengan gaya meledek.
"Lompatan yang bagus, Roje! Apa kau belajar dari para kangguru di Australia?"
"Pasti menyenangkan sekali kalau semua makanan yang ku konsumsi berkumpul di pipi seperti Roje!"
"Yah, tapi Roje sangat tinggi. Dia jadi terlihat seperti tiang, sama sekali tidak manis."
Roje ini, Roje itu. Aku muak!
Selama ini aku sudah cukup bersabar karena tidak ingin terlibat masalah. Demi ibuku yang bila marah bisa lebih mengerikan dari dinosaurus di film Jurrasic Park. Demi image "gadis manis" yang melekat padaku. Tapi pada suatu hari, semua ini tidak tertahankan.
Hari itu, Kim Jiyul, yang merupakan kapten kami memberiku kesempatan untuk jadi Top. Entah keracunan bakteri baik atau kepalanya terbentur tiang, dia menawarkan dirinya sebagai Base-ku karena ingin melihat seberapa tinggi aku bisa melompat.
Dan bodohnya, aku setuju.
"Siap, Roje?"
Aku mengangguk, dengan hati-hati menjejakkan kaki ke tangan 3 seniorku.
"1, 2, 3!" Mereka menghitung bersama-sama, lalu menaikkan tangan. Ku angkat satu kakiku, melakukan gerakan memutar seperti piroutte yang umum di temui dalam dunia balet. Lantas melompat tinggi-tinggi, mempertahankan tidak hanya senyuman tapi juga ketenangan. Teman seangkatanku bertepuk tangan. Sebagian berdecak kagum. Dan di sinilah masalah di mulai; ketika aku menjatuhkan diri, mereka, para senior sialan itu tidak menangkapku dengan sempurna.
Kepalaku memang selamat, tapi tubuh bagian bawahku tidak. Aku jatuh dengan suara keras yang mengerikan. Kaki kananku yang tidak memperoleh keseimbangan tertekuk ke dalam. Rasa sakitnya membuatku memekik.
"Rose!" Lisa, si murid dari Thailand yang langsung menjadi sahabatku di bulan-bulan pertama kami saling mengenal, segera menghampiri. Wajah paniknya muncul di depanku. "Kau baik-baik saja? Haruskah kita ke ruang kesehatan? Ayo berdiri, biar kubantu."
Namun orang yang lebih layak bertanggung jawab dan mengajukan pertanyaan tersebut malah melenggang pergi dengan santai, turut melambaikan tangan bak artis dihadapan penggemarnya. "Maaf, Roje. Tanganku tergelincir."
Kim Jiyul sama sekali tidak merasa bersalah.
Barangkali, dia bahkan tidak tahu apa arti 2 kata itu. Baginya, ini sama seperti hari-hari lain di mana ia mengerjai Roje si murid pindahan yang terlalu mencolok. Ini cuma main-main; itulah yang ada di otak kecilnya yang rusak.
Otak yang harus diberi pelajaran agar dapat berfungsi lagi.
Aku tersenyum, tidak berkata apa-apa. Pada titik ini, aku tahu kata-kata tidak akan mempan pada orang-orang yang nyaris membuatku cedera itu. Mereka butuh sesuatu yang lain. Misalnya...
Mataku berkeliling, mencari-cari sesuatu一apa saja一yang berguna untukku. Lalu aku menunduk dan menemukan ide. Sebelum ketiganya semakin jauh, aku melepas sepatu kananku, berpikir, rasakan ini, dan melemparkannya ke kepala Jiyul.
Aku bukanlah atlet bisbol atau orang yang sering memainkan olahraga itu, tapi main bulu tangkis bersama kakakku Alice jelas sangat membantu. Lemparanku mengena telak, menghantam Jiyul. Saking kerasnya, sepatu putih itu sampai mendarat di pintu ruang latihan.
Lihat siapa yang tertawa sekarang.
"Ya!" Jiyul berbalik, wajahnya memerah tersaput amarah. Ia menyerupai banteng anoreksia yang siap menyeruduk sang matador. "Kau sudah gila? Apa yang kau lakukan?!"
Beberapa penonton yang sengaja hadir untuk melihat kegiatan kami seketika terdiam. Rekanku yang lain menghentikan kegiatan mereka. Tidak ada latihan, mereka tahu hal selanjutnya yang terjadi adalah pertengkaran.
Seseorang bersorak, "Ayo, ayo, gelut! Hajar mereka, pipi tupai!"
Maksudnya pasti aku, tapi aku tidak menoleh ke asal suara itu. Sebab, aku sibuk membuang pompom secara asal dan meregangkan jari-jariku. "Maaf, sunbae. Tanganku tergelincir."
"Sudah, sudah. Jangan cari masalah, Rose!" Agak terlambat, Lisa mencoba menengahi. Tapi jika dia berharap aku akan mundur, dia jelas akan kecewa. Justru akulah yang memintanya begitu, agar ia tidak terluka.
Hidung Jiyul kembang-kempis. Asap seakan keluar dari telinganya. "Kau cari mati rupanya."
Tapi pada saat itu aku sudah siap. Saat Jiyul berusaha mencakar wajahku, aku lebih dulu menarik rambutnya seerat mungkin, memutarnya dengan cara yang aku tahu sangat menyakitkan. Dia menjerit. Kedudukan sama kuat 1-1.
Dan dengan itu, keributan pun pecah. Tak adanya pelatih membuat suasana semakin tak terkendali. Sorakan penonton terdengar lebih keras saat senior yang lain ikut campur, sementara Lisa berusaha menghentikanku. Ini keributan, tapi keributan yang meriah.
"Rose, hentikan, astaga!"
"Kemari kalian, ayo kemari! Rasakan jurus tinjuan kangguru ini!"
"Anak itu sudah gila! Tolong!"
Aku tak mengindahkannya, terus melanjutkan. Ketika ada yang mencengkeram lenganku, aku balas menendang lutut orang itu. Tanganku menjambak rambut siapapun yang bisa kuraih. Aku menyikut, aku meninju. Tiap pukulan yang kuterima kukembalikan lebih dahsyat lagi.
Mereka salah besar kalau mengira aku hanya gadis yang tidak berdaya. Di dukung kemarahan, aku jadi sangat brutal; seorang monster yang mengenakan pakaian menggemaskan. Mereka semua sampai kewalahan.
Tapi akhirnya kami berhenti juga.
Seorang guru datang, ternganga, dan segera membubarkan duel kami yang mirip tawuran pelajar.
Aku mundur, napasku terengah-engah, rambut dan seragamku berantakan, tapi itu tak menghentikanku untuk melotot pada Jiyul dan antek-anteknya.
Kemarahan yang masih tersisa membuatku menghentakkan kaki keluar dari sana, mengabaikan panggilan guru yang tidak kukenal itu. Bagian otakku yang masih waras tahu aku akan menanggungnya nanti, tapi saat itu aku terlalu marah dan tidak peduli.
Kemudian, kemudian, dia datang.
Kehadirannya adalah kejutan; hal yang tidak di sangka-sangka. Seseorang penonton laki-laki melakukan atraksi mengagumkan lompat indah dari tempatnya duduk. Satu detik dia ada di bangku penonton, detik berikutnya dia sudah berada di depanku, nyengir lebar perpaduan antara geli dan takjub. "Hei."
"Apa?!"
Laki-laki itu tersenyum, memasukkan kedua tangannya ke saku celana; pose sok keren khas kaumnya. "Aksimu bagus, tapi kau seharusnya tidak menarik rambut. Itu pelanggaran namanya."
"Oh, begitukah?" Aku mengangguk-angguk, tersenyum kaku. Ini sebenarnya informasi yang tidak perlu; aku sudah mengetahuinya berkat kebiasaan ayahku menonton tinju di akhir pekan. Dan aku juga tahu apa yang harus dilakukan guna menyingkirkan cowok-cowok sok keren macam dia. Menggunakan tangan yang terkepal, aku mendorongnya ke samping, memukulnya sangat keras untuk membuatnya sadar bahwa perempuan juga bisa berkelahi dan membentak, "Tidak ada yang memintamu jadi wasit, dasar idiot!"
Tubuh murid itu oleng ke samping. Dia mengaduh, hampir jatuh. Alih-alih marah, dia tertawa lagi. Memperdengarkan suaranya yang familiar.
Dengan itu aku tahu, dialah yang tadi memberiku semangat, memanggilku "pipi tupai" sekaligus bertepuk tangan paling kencang seolah dia tengah menyaksikan pertandingan gulat yang sangat menarik.
Itulah awalnya.
Usai kejadian itu, aku memutuskan pindah klub. Bukan karena aku kalah, tapi karena aku ingin hidup damai. Jiwaku hanya satu dan jiwa itu berhak tenang. Tetap di cheerleader kemungkinan besar akan memancing duel bagian kedua, yang bisa berakibat pemotongan uang saku dari ibuku. Tidak bagus.
Setelah berbagai pertimbangan dan survei, aku mengikuti klub musik.
Format pembelajarannya adalah teori lebih dulu, baru kemudian praktek. Tapi karena aku sudah mahir memainkan gitar, aku hanya setengah mendengarkan. Aku mulai mengira ini keputusan yang salah karena ternyata klub musik membosankan. Tidak ada yang membuat lelucon, sembunyi-sembunyi menawarkan makanan, atau mengajakku bergosip.
Berita tentang perkelahianku telah menyebar ke seluruh sekolah dan akulah yang jadi sumber gosipnya kini. Mereka bilang aku gadis yang barbar. Mereka bilang, aku sadis dan junior yang tidak sopan.
Berisik sekali pokoknya.
Mencoba mengabaikan tapi gagal, aku izin ke kamar mandi. Ingin menjauh dari orang-orang yang tidak tahu apa-apa tapi ikut memojokkanku. Aku membuka pintu ruang musik, lalu menutupnya, bersamaan dengan seseorang dari ruang seni yang melakukan hal serupa. Kedua ruangan itu memang bersebelahan sehingga kejadian begini biasa terjadi. Tapi yang istimewa, kali ini pelakunya adalah si murid sok keren.
Dia nyengir, persis seperti waktu itu, tampak tampan dan menyebalkan. Tanpa izin, dia menarikku menjauh ke koridor yang sepi. Tingkahnya yang tiba-tiba sejenak membuatku terpaku, lupa protes. "Kita bertemu lagi, pipi tupai. Kau ikut klub musik sekarang? Kukira kau akan ikut karate."
Aku mendelik, membebaskan tanganku dari dia, laki-laki pertama di sekolah yang menggenggamnya. Tapi harus kuakui, tangannya terasa lembut dan halus. Hangat dan nyaman. "Namaku Rose."
"Rousse? Nama yang一"
"Rose," aku mengoreksi, sebenarnya lelah mengatakan ini lagi dan lagi. Padahal namaku sederhana, umum, terdiri dari 4 huruf, tapi jarang ada orang Korea yang bisa menyebutnya dengan benar!
"Rosseu."
"Bukan 'Rosseu' tapi Rose. Mengapa sulit sekali bagi kalian mengucapkannya?!"
"Rosje."
Menyerah dan frustrasi, aku menepuk dahiku sendiri. "Sudahlah, terserah kau saja."
Laki-laki itu tergelak, mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan. Tapi saat diperhatikan, seragam dan dasinya juga sama. Segala hal pada dirinya serba tidak rapi. "Kupanggil Rosie saja bagaimana? Itu jauh lebih mudah. Kau bisa memanggilku Yuta, Nakamoto Yuta, tepatnya."
"Aku tak bertanya namamu."
Seolah aku baru saja mengatakan hal lucu, Yuta tertawa. Sedikitpun, keceriaannya tidak memudar. "Kau benar-benar lucu. Nanti kita bicara lagi sepulang sekolah, aku harus latihan sepak bola dulu. Ini." Sebelah matanya mengedip jahil, melakukan wink sembari meletakkan kantong kecil bermotif bunga-bunga ke tanganku. "Kue cokelat sebagai salam perkenalan. Habiskan, ya!"
Diiringi sebuah senyum lebar serta lambaian tangan, dia berlari pergi, nyaris terpeleset.
Aku memandangi punggungnya dengan wajah bingung dan rasa penasaran yang sulit di bendung, tidak mengerti kenapa ada laki-laki seceria itu. Tapi dia tampan. Dan baik. Dimana lagi kau temukan seorang laki-laki yang memberimu kue sebagai salam perkenalan? Unik sekali.
Aku terkekeh, mengambil 1 kue dan memakannya. Lumayan juga. Lisa pasti suka.
Belakangan, saat kami sudah akrab, Yuta mengaku bahwa kue-kue itu adalah pemberian dari teman sekelasnya dan sudah jatuh ke lantai.
Masih di hari yang sama, Yuta menepati janjinya untuk bicara denganku sepulang sekolah, lalu keesokan harinya dan keesokan harinya lagi. Dia termasuk orang paling keras kepala yang pernah kukenal, karena terus menyapa meski aku jarang menanggapi.
Bahkan suatu kali, dia pernah mengejutkan teman-teman sekelasku dengan muncul sebelum bel tanda masuk berbunyi dan berteriak, "KONNICHIWA, ROSIE! JANGAN SERING-SERING BOLOS KELAS MUSIK, YA!"
Setelah itu dia segera pergi sebelum aku menghajarnya.
Sungguh mengesalkan.
Tapi harus ku akui semua tingkah konyolnya membuatku terhibur.
Lalu entah sejak kapan, kami jadi saling menyapa dan terkadang bercengkerama. Yuta tipe orang yang cerewet, ia punya segudang hal untuk di bahas; gosip para guru, cerita seram sekolah, sampai tips untuk menjadi murid populer.
Kedekatan kami terus berkembang jauh dan lebih jauh. Kami sering makan siang bersama. Saat dia bermain sepak bola, aku pasti datang, duduk di bangku terdepan memberi dukungan. Dan sebaliknya, saat aku tampil bermain gitar, Yuta akan bersorak untukku dan baru diam kalau di marahi guru. Aku kenal hampir semua temannya, begitupun sebaliknya.
Salah satunya berkenalan denganku ketika ia membantu Yuta menemukan barangnya yang hilang.
Dia menginterupsi saat kami sibuk berputar-putar di ruang seni yang sudah sepi, mencari buku sketsa yang sedang bersembunyi. Hari ini rencananya Yuta akan menggambarku一yang kelak akan jadi kebiasaan一tapi rencana itu harus ditunda.
Sampai suara itu, suara yang terlalu lembut untuk ukuran laki-laki itu, menolong kami yang sudah berkeringat kelelahan. "Mencari ini?"
Aku dan Yuta berbalik takut-takut, terkejut setengah mati karena pemilik suara itu membuka pintu dengan sangat pelan. Dilihat dari ekspresinya, aku tahu Yuta juga sempat mengira suara itu milik hantu. Tapi ketika mendapati seorang pria yang lebih pendek darinya membawa buku sketsa, Yuta mengelus dadanya lega. "Oi, dimana kau menemukannya?"
Selagi Yuta memeriksa semua halaman di buku yang untungnya masih bersih, murid penolong kami membetulkan letak tasnya yang merosot. "Di lapangan. Untung saja aku belum menjualnya."
Mereka tertawa.
"Siapa dia?" Aku bertanya, mengeluarkan wajahku dari balik punggung Yuta.
"Oh ini? Dia satu angkatan denganmu. Masa tidak tahu? Dia juga pernah beberapa kali bermain sepak bola denganku."
Aku menggeleng.
"Wah, berarti kau tidak terkenal, ya," ejek Yuta, sambil menarik laki-laki itu agar lebih dekat denganku, lalu menepuk-nepuk dadanya. "Kenalkan, ini Jeffrey."
Orang itu memutar bola matanya, malu-malu mengulurkan tangan padaku. Saat dia tersenyum, sepasang dimple mengintip dari masing-masing pipinya, membuatku terpesona dan heran karena bisa-bisanya aku tidak pernah melihat murid yang setampan artis ini. "Jangan dengarkan dia, namaku Jung Jaehyun."
Aku tersenyum, balas memperkenalkan diri.
Kesalahan pertama.
Iya bener, Yuta gak jahat kok 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top