03. Pameran Dan Kebohongan
Malam itu aku bermimpi.
Di mimpiku, aku berada di pinggir jalan, suasanya sepi. Tak ada satu kendaraan pun yang terlihat, begitu pula orang lain. Di atasku, langit tampak gelap, berwarna kelabu nyaris hitam. Angin yang berhembus membelai kulitku membuatku menggigil. Dinginnya bukan main.
Samar, aku mengenali tempat dimana aku berdiri, walaupun tak mengingatnya sebab seakan ada penyumbat yang menghalangi. Tubuhku berputar, mencari sesuatu yang bisa memberiku petunjuk, tapi aku justru melihat seorang laki-laki yang memunggungiku. Bahu lebar, punggung tegap, rambut ikal yang berantakan. Dia, salah satu definisi ketidakteraturan yang penuh kejutan.
Aku tahu dia bahkan sebelum dia menoleh. Tutup mataku dengan berlapis-lapis kain hitam, sumpal telingaku kuat-kuat, tapi aku pasti bisa mengenalinya menggunakan setiap sel dalam tubuhku, sampai ke atom terkecil. Dia istimewa. Ada sesuatu pada dirinya一aroma rambutnya, tawanya, gerakan dadanya yang naik turun menarik napas一yang takkan pernah bisa ditemukan pada orang lain, atau kulupakan, sekeras apapun aku berusaha.
Tapi selama ini, ku akui, aku memang tidak berusaha.
Karena aku tidak ingin melupakannya. Mengingat dia di suatu sore kala semuanya terlampau banyak untuk ditanggung, adalah jalan keluar singkat dari kenyataan.
Aku akan duduk di kamar tamu rumah kami yang sering kosong, dan mematikan lampu. Aku memejamkan mata. Aku menciptakan surgaku sendiri yang terdiri atas kenangan masa lalu. Aku berpura-pura masih berusia 16 tahun, bebas penuh semangat, dan impian.
Aku bertahan dengan menggenggam kenangan-kenangan yang rapuh itu, dan harapan bertemu dia lagi, tak peduli di kenyataan atau lucid dream seperti ini.
"Yuta?"
Dia berbalik. Dugaanku tepat.
Senyum teduh Yuta yang kurindukan menyapa, seolah menarikku ke arahnya. Kami ini magnet; selalu tarik menarik. Itu sebabnya ketika jauh darinya, aku selalu merasa separuh jiwaku tercabik, tak pernah utuh.
Pada dia, aku jatuh. Pada dia, hatiku terenggut. Tapi aku tidak keberatan. Karena aku tahu dia tidak akan membiarkanku jatuh sendiri dan menjaga hatiku baik-baik.
Dia, penjaga dan pemilik hatiku.
"Rosie?"
Ah, betapa aku merindukan panggilan itu. Tak pernah ada yang memanggilku dengan nama itu di dunia ini一aku tidak mengizinkannya. Rasanya tak pantas ada mulut lain yang mengucapkannya kecuali dia. Rosie adalah panggilan khusus kami, dan aku menjaganya tetap begitu sampai kini.
"Ya." Aku mengangguk. Suaraku parau. Sesuatu dalam dadaku berdenyut sakit luar biasa seiring langkah kakiku yang mendekat. "Yuta, aku merindukanmu. Aku sangat merindukanmu."
Dia tersenyum一bukan senyum mengejek yang memberinya kesan berandalan, tapi senyum tulus. Jenis senyum yang akan membuat orang-orang ikut tersenyum, berharap mereka menggantikanku, menjadi alasan munculnya senyum itu. "Aku di sini. Aku tidak kemana-mana, Rosie."
"Kau pergi." Aku membantahnya, mengusap air mataku dengan kasar, terus mendekat. "Kau tidak datang waktu aku membutuhkanmu."
"Kalau begitu," balas Yuta, masih mempertahankan senyumnya alih-alih tersinggung. "Mungkin kau yang harus datang padaku."
Langit terbelah; bunga sakura pink berguguran dari sana. Mendarat di rambut kami, pundak kami, meluncur di seragam sekolah kami yang berwarna kuning. Tawaran halus dan ringan itu ibarat badai; menguji lautku yang semula tenang dan tidak menantang. Datar. Amat biasa.
Aku memahami maksud tersiratnya.
"Kau mau aku datang?"
Aku bertanya, tidak tahan untuk tidak menyentuh rahangnya yang tajam. Dia berusia 18 tahun sekarang; lebih muda, lebih pendek. Benakku pasti menghadirkan ini karena di usia inilah kami baik-baik saja, tanpa masalah kepindahan atau janji.
Yang ada hanya kita; Yuta senpai dan Rosie-nya, si tupai yang ceria.
Yuta membuka mulut, hendak menjawab.
Dia ingin aku datang, pikirku, ingin kami memperbaiki segala kesalahan masa lalu. Setelah itu kami akan kembali bersama, kembali saling mencinta.
Tapi mendadak, semuanya hilang.
Jaehyun yang tidur di sebelahku batuk-batuk, dan suaranya menyentakkanku dari mimpi. Dia menggeliat tidak nyaman, berdeham pelan. Titik-titik keringat muncul di keningnya meski pendingin ruangan menyala pada suhu rendah.
Aku yang khawatir bangun terlalu cepat, dan langsung menyesalinya karena kepalaku disergap sensasi pusing. Rasanya seperti terbentur. Diam sejenak, aku mematung sampai ruangan berhenti terlihat berputar-putar. Perlahan tapi pasti, nyeri pun mereda, enyah dari sarafku yang tidak biasa terjaga pukul ... 02.26. Pagi. Pantas saja.
"Jaehyun, kau tidak apa-apa?" Tanyaku, menyentuh dahinya yang tertutup poni. Tidak panas. Tapi dia batuk lagi, lebih parah dari tadi. Kedengarannya sangat menyiksa.
"Tenggorokanku sakit." Ia mengeluh, manja sekali. Menyusup ke pelukanku bagai penguin mencari kehangatan di kawanannya. Tanda-tanda jelas dia sedang tidak enak badan.
Aku melirik meja di samping tempat tidur, mengecek apakah gelas air yang kusediakan masih terisi, tapi nihil. Kosong. Aku baru ingat sudah menghabiskannya sebelum tidur. Gelas putih itu kini teronggok tidak berguna. Gambar Sandy si tupai tersenyum dari permukaannya, seolah mengejek mimpiku yang tak berlanjut.
Aku tidak bisa berpura-pura aku tidak kesal.
Tapi di sisi lain, Jaehyun tidak salah. Dia tidak sengaja batuk pagi-pagi buta begini, mengganggu istrinya yang tengah bermimpi. Dia sakit, dan tugasku mengurusnya, meski一sejujurnya一satu-satunya yang ingin kulakukan adalah tidur lagi, berharap bisa kembali ke mimpiku, pada orang dan saat yang persis sama.
"Uh, kasihan." Tertawa geli, aku memeluk Jaehyun kian erat, menepuk-nepuk bahunya seolah ia Lily yang masih bayi. Dulu, cara ini ampuh membujuk putri kami tidur, dan tampaknya berhasil juga untuk sang ayah. Dia mulai tenang. "Mungkin sebaiknya tidak usah bekerja dulu?"
"Tidak bisa," Jaehyun menolak, menggeleng pelan. Matanya terpejam rapat. "Besok sidang akhir kasus pem-bully-an yang aku tangani, tapi kurasa aku bisa pulang cepat. Setelah itu..."
"Setelah itu?"
Sudut-sudut bibir Jaehyun tertarik ke atas, membentuk senyum yang mau tidak mau kubandingkan dengan Yuta; senyum manis ber-dimple dan senyum yang oleh teman-temanku dijuluki 'healing smile'. Keduanya istimewa, aku tak bisa memutuskan mana yang lebih baik. "Kita belikan Lily teman, bagaimana? Dia pasti senang."
Teman. Aku menatapnya dengan tatapan kosong, tidak mengerti. Teman apanya? Teman Lily di sekolah dan di sekitar rumah tidak terhitung一gadis kecilku pandai bersosialisasi. Malah kalau dijumlah, aku yakin dia punya lebih banyak teman dariku. Dia mudah disukai, persis ayahnya.
Kemudian, seolah kabel-kabel di otakku baru tersambung, aku paham. Jaehyun tidak berbicara soal teman manusia, tapi hewan. Kami menjanjikan itu padanya, asal dia berhenti merengek minta adik bayi. Dia setuju.
Namun masalahnya kini terletak padaku. "Maaf, bisakah kalian berangkat berdua saja? Aku ada urusan dengan Lisa. Urusan wanita," tambaku cepat, ketika Jaehyun membuka mata dan mengernyit.
"Tidak bisa di tunda?"
"Tidak," jawabku bohong, padahal sebenarnya adalah tidak bisa. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini sedikitpun. "Boleh ya?"
Jaehyun tampak berpikir. Berpikir dan menguap. Ia mengantuk. Tapi tidak cukup mengantuk untuk membuat keputusan yang buruk. Selama ini, aku jarang keluar rumah. Seringnya harus dibujuk, atau Lisa dan Cherry menjemputku dulu.
Mereka mengejekku tidak punya kehidupan sosial.
Itu sebabnya Jaehyun selalu mengajakku jalan-jalan bila sedang libur. Family time. Dia tidak akan tega menolakku, aku tahu itu.
"Baiklah." Benar kan. Di mimpi maupun di kenyataan, dugaanku tepat hari ini. "Perlu aku antar?"
"Tidak usah." Giliranku yang menolak, hampir terbahak sinting membayangkan ia bertemu Yuta. Terakhir kali mereka saling berhadapan, hal itu tidak berlangsung baik. Aku ngeri menyaksikannya lagi, walaupun besok一nanti一keberuntungan belum tentu berpihak padaku.
Kami diam.
Jaehyun perlahan terlelap, menyelami alam mimpi di bawah pengaruh tepukan tanganku yang menenangkan. Aku merangkulnya, aku mengecup dahinya yang hangat. Tapi di kepalaku, hanya ada satu nama dan wajah yang muncul, bukannya merk obat demam; Nakamoto Yuta.
Kukira aku akan merasa bersalah karena memikirkan pria lain saat suamiku sakit, tapi rupanya, aku tidak merasakannya一sama sekali.
Aku lega, sekaligus takut sebagian hatiku yang tersisa, benar-benar telah mati.
Sejak kehilangan Yuta, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku takkan pernah menginjakkan kaki di pameran seni siapapun一tak peduli itu milik pelukis yang tengah naik daun, pelukis kelas dunia, atau bahkan Picasso sekalipun.
Aku tidak mau, karena menurutku, datang ke suatu tempat berlebel "seni" tanpa Yuta terasa salah, tidak tepat.
Tapi disinilah aku berada sekarang; galeri seni Sugung-dong yang hanya berjarak beberapa km dari sekolah lamaku.
Untuk berjaga-jaga seandainya keberanianku surut, aku sudah membawa sebuah masker hitam dan memakainya. Untungnya, musim dingin tidak membuatku terlihat aneh. Banyak orang lain yang flu. Penampilanku wajar, tidak menarik perhatian.
Perasaankulah yang tidak wajar; kacau, acak-acakan, laksana laut yang di porak-porandakan angin kencang.
Perutku bergolak. Aku mual. Keadaan galeri yang ramai tidak membantu. Tenang. Aku harus tenang. Bagaimana aku bisa menemukannya kalau panik begini? Tidak lucu jika aku pingsan 2 detik setelah melihatnya. Yuta akan berpendapat aku sudah gila.
Tapi, di mana dia?
Semua lukisan di sini一bahkan bagi mata orang awam一sangat menarik, namun aku tidak berlama-lama menatap lukisan-lukisan tersebut karena fokus menemukannya. Dia prioritasku. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah dia masih mengenaliku kini, usai lama berpisah?
Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Aku sudah banyak berubah.
Yang jelas, dia tidak ada. Aku tak menemukannya di semua tempat一mulai dari pintu masuk hingga sudut galeri.
Para pelukis mungkin tidak menghadiri pameran mereka sendiri dan memilih bersantai di hotel. Tidak seperti penulis yang melakukan meet & greet lalu membagikan tanda tangan pada penggemarnya.
Apakah gagal?
Apakah cukup sampai di sini?
Aku berbalik, takut-takut menengok penjaga yang mengawasi dengan tampang bosan. Dia mungkin tahu Yuta dan bersedia memanggilnya. Itu lebih baik daripada menunggu. Tapi aku ragu. Memangnya aku siapa berlagak penting? Tamu VIP bukan, orang bisnis bukan. Aku, Roseanne Park, hanya sepenggal bagian masa lalu Yuta yang bisa saja terlupakan.
Aku menghembuskan napas panjang. Lelah dan putus asa. Aku merasa tersesat. Aku adalah orang buta yang kehilangan tongkatnya, dan sebentar lagi tampaknya akan kehilangan diriku sendiri一tanpa dia yang melengkapiku.
Yuta, di mana kau?
Tak ada jawaban. Tak ada yang menjawabku. Semua pengunjung sibuk berdecak kagum, berdiskusi dengan berbagai bahasa asing, dan menunjuk-nunjuk lukisan yang terpajang. Di antaranya adalah lukisan di sebelah kananku, yang menguasai satu tembok penuh. Tak ada lukisan lain di sampingnya.
Aku menghampirinya, memicingkan mata.
Itu merupakan lukisan seorang gadis; satu-satunya di pameran ini. Rambutnya ikal kecokelatan, tampak seperti cokelat yang meleleh, serasi dengan mantel yang ia kenakan. Dipunggungnya, dia menyandang sebuah guitar case biru berhias beberapa kuntum mawar merah, yang dari sela kelopaknya, helaian daun hijau segar mengintip. Si model berdiri di jalanan kota di tengah guyuran salju yang berkilau; membuat seluruh dunia seputih kristal.
Dan gadis itu adalah aku.
Itu aku一tidak salah lagi. Bukan saudarinya, atau teman perempuannya semasa SMA, tapi aku. Aku, yang sudah menyakiti dan meninggalkannya tanpa penjelasan.
Napasku tercekat di tenggorokan. Tubuhku mengejang tidak dapat digerakkan. Yuta ternyata tidak lupa. Dia mengingatku, dan mengabadikanku dalam karyanya. Aku bisa membayangkan ia duduk di studio, mengusir semua orang agar memperoleh ketenangan. Dia akan menyetel musik lembut untuk menemaninya, menyediakan camilan ringan. Dia akan memulai dengan membuat sketsa kasar dulu, di buku gambar berukuran besar. Menentukan warna. Menyiapkan cat dan peralatan lain. Baru kemudian menyalinnya di kanvas.
Yuta pasti butuh waktu lama membuat ini. Lukisan hyperrealisme sulit sekali di buat karena harus terlihat sangat nyata.
Pencapaian tertinggi seorang pelukis aliran ini, Rosie, adalah ketika ada yang mengira karya mereka itu foto, ia bercerita begitu padaku, dulu.
Aku menutup mulut di atas masker, mataku berkaca-kaca.
Pada saat yang bersamaan, terdengar suara berat seorang pria dari belakang, menyapa, "Bagus kan?"
Versi sadisnya gua edit biar reader baru kagak kesel, walopun ntar keknya bakal kesel juga 😂
Inget ya, di prolog syudah di ingatkan gak boleh ngehujat Rose lho 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top