02. Ombak; Pria Dari Masa Lalu

Waktunya kembali ke realita, ke masa kini yang tidak menyenangkan.

Benakku yang sempat berkelana di tarik ke kenyataan, oleh suara lembut Jaehyun yang turut melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Tawa geli menyusul tindakan tersebut. "Hey, kau melamun."

Aku tersenyum, menggeleng, menyesali hilangnya detik-detik berharga ketika aku melarikan diri dari monster bernama 'masa kini'. Berada di dapurku lagi, masih memegang sendok bekas mengaduk susu Lily. "Maaf."

Kedua dimple di pipi Jaehyun muncul kala ia tertawa, menambah kadar ketampanannya. Cantik atau tampan itu relatif, begitu kata orang. Karena selera masyarakat berbeda-beda. Tapi saat melihatya, sulit berpikir ada yang berpendapat Jaehyun jelek. Aku ingat saat usiaku 17 tahun, tawanya mampu membuatku berhenti bejalan dan menyentuh dadaku yang berdebar-debar.

Tapi itu dulu. Sekarang, debar itu hilang, mungkin karena aku sudah terbiasa.

Menyadari aku bertingkah aneh, Jaehyun melangkah memelukku dari belakang, mengistirahatkan kepalanya di bahuku. "Jangan terlalu lelah, Rose. Kalau kau malas, tidak usah memasak makan malam. Kita bisa membelinya di luar. Santai saja, oke?"

Anggukan samar menjadi jawabanku. Memang seperti inilah Jaehyun. Ayah dan suami yang baik. Tipe pria yang memanjakan istrinya, tak pernah menuntut rumah selalu bersih atau makanan kesukaannya terhidang di meja setiap hari.

Katanya, yang terpenting aku dan Lily bahagia, itu cukup. Tapi apa yang cukup baginya tidak cukup bagiku. Selama ini, aku selalu merasa hidupku kurang, meski memiliki seseorang yang memperlakukanku bagai ratu. Perasaan itu mengganjal, dan akhir-akhir ini malah bertambah sulit mengabaikannya. "Aku baik, jangan khawatir."

"Sungguh?" Sepasang mata kecokelatan Jaehyun menyipit curiga, tampak berkilau tertimpa cahaya lampu yang belum padam. "Perlu kubelikan obat anemia?"

"Tidak usah." Tolakku halus, akhirnya berbalik merapikan poninya yang sedikit berantakan, juga menyentuh ujung bibirnya yang sering mengeluarkan kalimat-kalimat penuh perhatian. "Sana, cari uang yang banyak, pengacara Jung."

Jaehyun terkekeh, membuat tanda hormat laksana tentara yang mendapat tugas prestisius. "Siap, komandan!"

Bersamaan dengan itu, gadis kecil kami meraih tas sekolahnya yang bergambar Elsa, berlari mendekat untuk melakukan ritual harian keluarga Jung yang tak pernah absen. Selalu, setiap pagi. "Aku selesai. Ayo berangkat, Papa!"

Sang ayah segera memeluk menyambutnya, membersihkan sisa remah-remah sereal yang entah bagaimana melekat di hidungnya. Lily nyengir, memberiku kecupan di pipi kanan, sementara pipi kiri adalah jatah Jaehyun. "Kami berangkat dulu. Dah, Mama!"

"Hati-hati di jalan." Aku berpesan, tersenyum seceria yang aku bisa. Ikut melambai-lambai bak orang yang butuh tumpangan di pinggir jalan.

Keduanya pun menjauh, terus menjauh, kemudian lenyap di telan pintu. Suara mobil yang semakin pelan menjadi tanda mereka pergi, meninggalkanku dalam keadaan damai dan sepi.

Aku memutuskan mengakhiri keheningan itu dengan menyetel sebuah lagu, yang kupikir, sesuai dengan kondisiku. Setelah mencari dan mencari, menggeser jempolku di daftar musik yang mencapai angka ratusan, pilihanku jatuh pada salah satu lagu Coldplay.

Vokalisnya, Chris Martin bernyanyi,

When she was just a girl, she expected the world
But it flew away from her reach, so she ran away in her sleep...

Mungkin ini terdengar klise, tapi menurutku, hidup merupakan sebuah perjalanan panjang yang sarat akan rintangan. Kita memulainya di rumah, bersama keluarga tersayang yang lalu berlanjut ke dunia yang lebih luas dan berbahaya di luar rumah masa kecil kita.

Tujuannya hanya 1, tunggal dan nyata, yakni mendaki gunung kebahagiaan meski mula-mula kita tidak tahu akan seberapa sulit hal itu. Kita terlalu naif, lugu dalam cara yang keliru, sehingga kita akan sering terjatuh, terluka, kecewa, gagal, dan sempat putus asa. Sebagain luka itu akan sembuh, yang lain terus berdarah walau sudah dibebat dengan kata 'maaf'.

Kadang, ada persimpangan, yang mewajibkan kita memilih mau melangkah kemana. Pilihan ini sering kali sulit, karena biasanya mengakibatkan perubahan一baik itu kecil atau besar. Bila salah, kau akan menyesal, berandai-andai seandainya saja kau memilih jalan satunya, dan berharap bisa berputar balik ke masa lalu.

Tapi itu mustahil.

Karena dalam perjalanan ini, tak ada keajaiban semacam itu.

Yah, kecuali para ilmuwan berhasil menciptakan mesin waktu.

Aku terkekeh, lalu menggeliat usai membilas piring terakhir. Akhirnya selesai juga. Kupandangi keseluruhan dapurku yang sudah mengkilap, merasa sangat puas. Butuh hampir 2 jam membersihkannya, tapi itu karena aku bekerja amat lambat.

Sengaja sih, supaya aku tetap sibuk. Dengan begitu, aku tidak akan memikirkan ucapan Soo A dan Jihyo. Kata-kata mereka ibarat racun yang memunculkan berbagai pikiran buruk tentang Jaehyun dan Lily. Tapi aku tak ingin mendiamkannya, merasa kesulitan menatap mata suami dan anakku sendiri. Itu salah, buruk一bahkan meski mereka benar.

Aku menghela napas lelah, mengusap keringatku. Masih ada 1 tugas yang belum selesai; belanja. Kegiatan ini dulunya favoritku, namun aku tak berminat lagi. Haruskah kuminta Jaehyun yang melakukannya? Dia bisa mampir ke minimarket ketika pulang. Kalau aku meminta, aku tahu dia takkan menolaknya.

Tapi kasihan dia. Bekerja 6 hari dalam seminggu, tak pernah cuti kecuali sakit. Lebih baik aku saja. Lagipula aku butuh udara segar.

Tak ingin menunda-nunda, aku bergegas ke kamar mandi, membasuh tubuhku secara kilat. Setelah itu mengganti pakaian dengan pakaian pertama yang kulihat, menyisir rambut, pakai parfum, ambil dompet dan ponsel. Sudah, cukup begini. Sejak menikah, aku tidak terlalu memperhatikan penampilanku.

Kurang dari setengah jam, aku telah berada di mobil, mengemudi dalam kecepatan tinggi. Jaehyun pasti akan menegur kalau ia tahu, tapi terserahlah. Aku bukan dia, si anak baik, yang mematuhi semua peraturan.

Kami punya banyak sekali perbedaan.

Tiba di tempat tujuan, aku memarkir mobil di satu-satunya tempat yang tersisa, mengamati area itu seksama. Dilihat dari jumlah mobil yang ada, minimarket sedang ramai sekarang.

Banyak orang yang keluar-masuk dari bangunannya, membawa kantung belanjaan dan menggandeng anak-anak mereka. Buah, sayur, daging, tampak menyembul dari kantung-kantung itu, menguarkan aromanya yang khas.

Salah satunya pria paruh baya yang berjarak 2 mobil dariku. Dia terlihat kesulitan memasukkan barang-barangnya ke bagasi, sementara anak laki-lakinya duduk tenang di kursi penumpang, menunggu sambil menjilati es krim yang menetes ke celananya.

Terpikir olehku untuk menawarkan bantuan, tapi rupanya tidak perlu. Pria itu enggan ambil pusing; dia membanting semuanya guna mempersingkat waktu, lalu berjalan memutar ke kursi pengemudi. Aku mendengarnya meminta si anak menutup pintu, dan anak itu menurut. Namun saat dia melakukannya, sebuah benda tanpa sengaja terjatuh.

"Hei!" Panggilku, keras dan jelas, membentuk corong menggunakan kedua tanganku. "Barangmu ketinggalan!"

Terlambat. Mereka tidak mendengarnya. Mereka terlanjur pergi. Atau mungkin mereka mendengar tapi tidak mau berhenti, karena benda yang tertinggal itu hanya...

Koran.

Cih, kukira sesuatu yang berharga.

Penasaran, aku mendekat, membuka koran itu dan membacanya. Mari kita lihat apa yang terjadi di Korea hari ini.

Halaman pertama berisi berita kebakaran di pemukiman padat penduduk; 18 rumah hangus, 5 korban meninggal. Ada juga perampokan disertai pembunuhan di Yangjagang; 2 pria tewas. Penemuan mayat dalam koper ... uh ya ampun. Berita macam apa ini?

Aku mengerutkan hidung, membalik halaman berikutnya.

Disini tertulis bahwa seorang "pelukis jenius" akan mengadakan pameran di Seoul minggu ini, tanggal 20 sampai 26 Oktober. Lokasinya di Sugung-dong, tempat berdirinya SOPA, sekolahku lamaku. Dan nama pelukisnya adalah...

Nakamoto Yuta.

Tubuhku oleng, hampir jatuh. Aku merasa bagai berdiri tepat di titik terpecahnya ombak, diterjang gelombang tinggi yang hendak menyeretku bersamanya.

Tidak mungkin.

Ini pasti bukan dia. Ada banyak Nakamoto Yuta di seluruh dunia, itu nama yang cukup umum. Dan pasti banyak pula Nakamoto Yuta yang suka melukis. Ya kan...?

Kutundukkan kepala, membaca detailnya dengan teliti.

Nakamoto Yuta (27 tahun) ialah pelukis asal Jepang yang membuat gebrakan beberapa tahun ini. Karya terbarunya, "Hoshi Wo Sagashite" yang beraliran hyperrealisme, terjual lebih dari 100 ribu copy dengan harga fantastis. Nakamoto mengaku senang kembali ke negeri yang dulu ia tinggali. Dia berjanji akan menampilkan karya-karya yang segar dan mengejutkan.

Lalu di sana, di bagian bawah tulisan itu, terdapat foto hitam putih pria muda yang tersenyum miring, menatap kamera dengan tatapan nakalnya yang mempesona.

Aku benar-benar jatuh merosot di tempat parkir, memeluk koran erat-erat di dadaku.

Dia kembali. Yuta-ku kembali.

"Halo?"

Terima kasih, Tuhan. Aku mendesah lega, walaupun sadar tidak seharusnya menghubungi Lisa di jam kerja, tapi aku tak sanggup menunggu. Aku seumpama balon yang terlalu penuh, terancam meletus bila tak segera menuangkan apa yang ada dalam diriku. "Lisa, ini aku."

Lisa tertawa, kedengaran berbeda dengan gadis yang marah-marah minggu lalu. "Ya, Rose. Ada apa?"

Aku diam. Akulah tidak tahu harus mulai darimana. 10 menit sejak menemukan koran tentang Yuta, jantungku belum berdetak normal. Padahal hanya memandang fotonya, foto, tapi efeknya sampai separah ini. Gerbang yang kubangun demi mengunci masa lalu perlahan hancur, melepaskan kenangan-kenangan yang terasa menyesakkan sekaligus menggugah rindu.

Aku menatap ulang koran itu, mengelus foto Yuta menggunakan ibu jariku, berlama-lama fokus pada senyumnya yang tidak kulihat selama 7 tahun. Mudah menghitungnya karena aku hanya perlu mencocokkan dengan usia Lily. "Dia kembali. Dia di sini."

"Siapa?" Lisa bertanya, suaranya aneh, terkesan ganjil. Ataukah itu cuma perasaanku saja? "Siapa yang kembali?"

Jawabannya ada di ujung bibir, tapi sejenak, aku memberi jeda dan mengalihkan tatapan ke luar jendela mobil. Sebab sekedar mengucapkan namanya saja berat. Beban rasa bersalah menggelayuti, kian menguat tiap detik. "Yuta, Lisa. Yuta. Aku membaca berita pamerannya di koran. Dia sudah menjelma jadi pelukis hebat. Luar biasa kan?"

"Aku tahu," sahut Lisa pelan, tidak tertular antusiasmeku yang menggebu-gebu. Nada yang ia pakai datar, sulit ditebak. "Aku berjumpa dengannya saat reuni sekolah. Dia tidak berubah; tetap menyebalkan dan berlidah tajam."

"Apa?" Aku duduk lebih tegak, terkejut setengah mati, nyaris meremas koran di genggamanku hingga rusak tak beraturan. "Kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Maunya begitu, tapi lupa karena insiden tidak menyenangkan di salon, ingat?"

Jelas aku ingat. Waktu itu Lisa memang membahas reuni sekolah, tapi tak dapat menyelesaikan ceritanya. Ulah Soo A dan Jihyo mencegah itu, juga menyingkirkannya dari pikiranku. "Apa kalian sempat bicara? Apa dia menanyakanku?"

"Cuma sebentar," Lisa berdeham, pelan dan ragu. "Tapi dia bilang ingin bertemu denganmu."

Ombak itu kembali; lebih kuat, lebih ganas, membuat mataku terasa panas. Dia mau aku ikut dengannya, tak peduli jika aku beresiko tenggelam. Masa lalu tidak kenal belas kasihan, atau Lily atau Jaehyun. Dia adalah teman Karma, yang berbuat seenaknya, datang di moment tak terduga dan memporak-porandakan hidup target yang ia inginkan.

Di versiku, Karma dan ombak menyatu; membentuk sosok Yuta dan kenangan-kenangan kami yang menghantui.

Aku berkedip dengan cepat, mendongak mencegah jatuhnya air mata. 1 tetes jatuh berarti hujan deras. Aku takkan bisa mengendalikan diri. Terlebih saat memori pertemuan terakhir kami melintas, yang terjadi di sebuah taman dekat sekolah.

Aku bosan denganmu, begitu kata diriku yang berusia 18 tahun.

Dan dia membalas, cari alasan lain, aku tahu kau bisa berbohong lebih baik dari ini.

Kami bertengkar一pertengkaran terburuk kami, dan di penghujung hari, aku pergi. Harus pergi. Aku tak memiliki pilihan. Tapi sekarang memiliki kesempatan.

Kesempatan mengurangi rinduku dengan melihatnya...

"Haruskah aku menemuinya, Lisa? Beri aku saran."

Lisa yang malang meringis, kebingungan. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah rumit antara aku, Yuta dan Jaehyun, tapi ia tahu banyak soal kami bertiga dan ya, sedikit memainkan peranan penting. Kami duduk sebangku selama 3 tahun. Dia di sana ketika aku bertemu Yuta, dan ketika kali pertama, aku makan siang bersama Jaehyun. Lisa adalah orang yang tepat dimintai saran.

Mungkin kami malah bisa mengunjungi pameran Yuta berdua, jadi aku tidak akan terlalu gugup dan takut.

Sayang, jawabannya tidak sesuai harapanku. "Jangan, Rose. Sebaiknya jangan."

Aku gagal menyembunyikan kekecewaanku terhadap 4 kata tersebut. Semangatku seketika amblas ibarat lubang sink hole, menganga lebar di hatiku. "Kenapa?"

"Kau punya Jaehyun, kau telah menikah, apa gunanya bertemu Yuta?"

Jaehyun. Tentu saja. Bagaimana mungkin aku melupakannya? Bersikap seolah-olah remaja yang bebas tak terbatas. Betapa bodohnya. Aku tertawa, diiringi air mata yang mulai berjatuhan. Pertahananku runtuh karena peliknya situasi ini, yang lagi-lagi memberiku pilihan sulit.

Yuta tersayang, takdir itu tidak adil, ya?

Dalam perjalanan ini, memang tak ada pilihan memutar balik, namun seseorang dari masa lalu bisa saja menyusulmu.

Itulah yang dilakukan Yuta; dia menyusulku.

Tinggal aku yang harus memutuskan; apakah akan berjalan bersamanya, atau berlari meninggalkannya ... seperti dulu.

Kupejamkan mataku erat-erat, membayangkan 2 pria yang sangat berarti bagiku. Yuta dan Jaehyun. Masa lalu dan masa kini. Satunya baik, tapi itu tak lantas menjadikan yang lain jahat. Sejujurnya, akulah, sang mawar berduri, tokoh antagonisnya.

Aku dulu egois一kurasa itu melekat kuat di darahku, dan sekarang, keegoisan itu menuntunku berkata, "Aku mengerti, Lisa. Aku tidak akan menemuinya."

Tapi aku berbohong.

Hoshi wo sagashite : mencari bintang

Buat reader lama/baru yang bingung, sebagian chapter tuh gua unpub dulu gaes, revisi.

Lama kagak?

(Kayaknya) nggak kok, soalnya cuma sebagian. Jadi sabar ya 😳👌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top