01. BAGIAN 1 : Laut Tanpa Ombak

"Rose?"

Suara itu samar, selembut sayap kupu-kupu, mengalir dari luar pintu, lalu diteruskan ke telingaku. Pertama 1 kata, kemudian disusul ketukan pelan. Tok, tok. Dia memberitahu keberadaannya, sekaligus membuyarkan ketentraman yang berusaha kupertahankan lebih lama.

Mataku terpejam rapat, semakin rapat, dan lebih rapat lagi hingga satu-satunya yang bisa kulihat adalah phospene, ibarat lorong panjang penuh titik-titik cahaya. Kadang, aku begitu terlarut dalam kegiatan ini dan mengira dapat menggenggam sedikit cahaya itu, menjaganya untuk menerangi hidupku.

Bukannya bermaksud mengabaikan suamiku, tapi aku ingin sendirian, menjauh sementara dari kejamnya takdir serta waktu yang terus bergulir. Sebentar lagi aku pasti keluar, beri aku waktu 10 menit...

"Mama?"

Panggilan kedua, suara yang berbeda. Lebih keras, lebih tegas. Ibarat tanggul jebol, pembendung realita yang kubangun perlahan retak, kemudian luluh lantak.

"Mama!"

Ketukan di pintu mengeras, amat keras一jenis ketukan yang akan membuatmu berpikir sedang terjadi kebakaran di luar sana. Tamat sudah. Dengan terpaksa, aku membuka mata, lalu membuka pintu.

2 orang berwajah identik langsung menyambutku, lengkap diiringi laporan mereka. Pertama pria super tampan yang manis senyumnya sanggup mengalahkan gula, di sebelahnya, merupakan versi mini dirinya; gadis kecil berusia 6 tahun yang rambutnya di kepang tidak rapi.

Keluargaku.

"Aku tidak bisa menemukan dasi biruku, kau sudah mencucinya?" Tanya Jaehyun.

Lily melanjutkan, "Mama belum membuatkanku susu!"

"Ya ya ya, sebentar." Aku tersenyum kaku pada mereka, melepas earphone yang melilit leherku bak ular putih, dan melemparnya bersama ponsel ke tempat tidur.

Di saat yang sama kala benda-benda itu mendarat di bantal kami, gelak tawa Jaehyun mengisi ruangan. Menambah daftar hal-hal bagus pagi ini, selain matahari yang bersinar cerah dan indah. "Kau membawa ponsel ke kamar mandi?"

"Hiburan." Aku berdusta, tidak mau bercerita atau memicu masalah. Sebab, dipikirkan sampai kapanpun, tiada kalimat yang sanggup menjelaskan bahwa kau malas mendengar ocehan suami dan anakmu tanpa memberi kesan kau membenci mereka. Sederhananya begini : aku mendamba ketenangan, tapi sulit memperolehnya kalau kau jadi aku, kalau suami dan putrimu mengekorimu kemana-mana.

Aku melangkah menuju lemari, menyeret kakiku yang tak bersemangat sama sekali. Tanganku bergerak, menyusuri deretan pakaian kerja Jaehyun yang punya tempat khusus. Dia adalah pengacara tahun pertama yang sekarang bekerja di firma hukum ternama, dan seseorang yang peduli pada fashion, sehingga akan mengabaikan dasi lain bila tidak sesuai dengan warna kemejanya. Padahal, memakai lap piring juga belum tentu mengurangi ketampanannya.

"Tidak ada kan?"

Aku berdecak, menarik dasi biru, si pembuat kehebohan, yang ternyata terselip di tumpukan celananya. "Ini apa?"

Jaehyun terkekeh, menerima dasi itu dan memberiku sebuah kecupan di pipi. "Kau memang punya tangan ajaib."

Dan kesabaran yang sangat banyak, tambahku masam, berharap bisa mengungkapkannya sebelum pikiran-pikiran jahatku meledakkanku dari dalam. Sebaliknya, tanpa daya, aku hanya bisa menarik Lily yang masih berada di antara kami, bergegas mengurus masalah lain yang berhubungan dengan nutrisnya. "Ayo, sayang."

"Kemarin menyenangkan sekali lho, Mama! Waktu pelajaran olahraga, Ibu guru mengajari kami..." Bla bla bla. Lily mulai bercerita, sesekali melompat-lompat dan menggoyangkan tanganku guna mendapat perhatian. Kangguru kecil, begitu julukan Jaehyun terhadapnya.

Ini hari biasa, dengan rutinitas biasa pula. Tak ada yang istimewa dari kehidupan seorang ibu rumah tangga sepertiku. Datar bagai laut tanpa ombak. Dipenuhi deru angin ribut berwujud pria 25 tahun dan anak-anak. Bedanya, kali ini aku sakit kepala. Memang tidak parah, tapi entah kenapa membuatku ingin marah-marah. Maunya sih, tidur seharian tanpa diusik siapapun, tapi siapa yang akan mengurus Jaehyun dan Lily?

Kewajiban tetap kewajiban, aku harus melakukannya meski enggan. Bagi wanita yang sudah menikah, dirinya berada di urutan nomor 3 setelah suami dan anaknya.

Agak menyedihkan, ya?

"Nih, habiskan." Sendok dan gelas yang beradu mengaduk bubuk susu telah membentuk minuman cokelat yang nikmat. Aku menyerahkannya pada Lily, sambil mengedarkan pandangan ke seluruh dapur.

Tempat ini jelas butuh pembersihan total. Lantainya kotor, tirai penguin di sana perlu di ganti, dan lemari pendingin juga sudah saatnya di isi kembali. Ya Tuhan. Rupanya aku tak bisa bersantai nanti. Helaan napasku keluar tanda protes tak berarti.

"Kau baik-baik saja?" Jaehyun yang khawatir mengangkat sebelah alisnya, muncul dalam keadaan rapi dan bersih. Tas kerja sehitam tinta berada di genggamannya, menampung dokumen yang mungkin menentukan nasib orang lain.

Kepalaku terangguk otomatis. Pita suaraku bekerja, memberi jawaban yang umum digunakan untuk menjawab pertanyaan itu. "Ya."

Jawaban yang jelas-jelas bohong.

Jaehyun tak langsung percaya. Dia mendekat, menyapa indra penciumanku dengan wangi parfumnya yang maskulin. Tangannya mendarat di dahiku, mengecek suhunya teliti. "Tidak panas. Tapi kenapa belakangan ini kau kelihatan lemas?"

"Sudah kubilang kan." Aku mengambil 3 langkah mundur, beringsut menjauhi sentuhan Jaehyun yang sehangat susu Lily. "Aku cuma capek, kurasa anemia."

"Benarkah? Kau yakin bukan karena yang lain?"

"Yang lain apa一" Aku berkacak pinggang menanyakan maksudnya, lalu kontan menggeleng-geleng saat Jaehyun tersenyum nakal. "Jangan bercanda, aku tidak hamil."

"Hamil?" Sahut Lily antusias, menjulurkan lehernya bagai kangguru penasaran yang matanya berbinar-binar. Usai menjenguk tetangga kami yang baru melahirkan, ia jadi terpesona pada bayi dan merengek menginginkan adik. "Apa Mama akan punya bayi?"

"Ya, bayi kucing," jawabku asal-asalan, memutar bola mata. Bayangan memiliki 2 anak sungguh menyeramkan, aku bergidik ngeri. Seandainya diberi pilihan mengurus 20 ekor kucing atau 1 anak, aku tanpa ragu akan memilih kucing, tapi Lily sudah terlanjur ada...

Jaehyun tertawa, menggendong putri kami yang merengut ke meja makan, menggelitiknya. Ia dengan cerdas mengubah topik tentang rencana membeli hewan peliharaan, agar Lily tersenyum lagi.

Sungguh papa idaman.

Jika dihitung, jarak usiaku dan Jaehyun sebenarnya hanya berbeda beberapa hari, tapi semua orang pasti setuju kalau dia, sebagai orang tua, melakukan tugasnya lebih baik dariku.

Jaehyun sabar. Jaehyun perhatian. Seletih apapun, selalu menyempatkan diri mengecek Lily. Tipe pria baik yang akan memancing rasa iri kaum wanita, berharap mereka punya suami sepertinya.

Dan omong-omong soal orang tua, aku jadi teringat kejadian minggu lalu di salon Lisa...

Waktu itu sore yang cerah一cuaca yang pas untuk mengajak pacarmu jalan-jalan. Musim dingin belum mencengkeram bumi terlalu erat, jadi aku bisa keluar bermodalkan jaket tipis. Awan-awan putih mirip permen kapas tampak berarak di langit, menemani sang mentari yang sendiri.

Aku bosan di rumah. Tidak ada pekerjaan atau tayangan TV yang bagus. Menit demi menit, aku hanya berguling di sofa, mondar-mandir antara ruang duduk dan kulkas, hingga Jaehyun mengusulkan, "Kenapa kau tidak menemui Lisa atau Cherry? Pergilah, biar aku yang jaga Lily."

Lisa dan Cherry adalah temanku, yang paling dekat. Khusus Lisa, bahkan sudah menemaniku sejak masa sekolah SMA. Dia bekerja di salon warisan ibunya sekarang, sedangkan Cherry dokter.

Kediaman keduanya lumayan jauh dari sini, yang menjadi alasanku lama tidak berkumpul dengan mereka一selain malas, tentunya. Komunikasi kami terbatas di sosial media.

Aku mencoba menghitung kapan terakhir kali bertemu Lisa, gadis Thailand-ku, dan terkejut mendapati hasilnya. 16 hari. Pantas saja dia mengomel terus memintaku keluar.

Tawaran Jaehyun pun kuterima.

Lisa girang sekali melihatku, nyaris salah memotong rambut pelanggannya. Kami berpelukan, basa basi sejenak, kemudian ia memintaku duduk di sebuah kursi, tepat di samping 2 wanita seumuranku yang rambutnya di luruskan. Kami saling tersenyum一setidaknya begitu awalnya.

"Jadi," Lalisa Manoban membuka percakapan, menyisir rambutku dengan wajah cemberut. "Kau memutuskan keluar dari guamu, eh? Banyak hal yang kau lewatkan, Rose. Salah satunya reuni sekolah."

"Maaf." Aku tersenyum menyesal, mengedikkan bahuku sebelum Lisa memukulnya. Aturan pertama yang tak tertulis di salon ini : jangan sering bergerak. Terlebih jika Lisa yang mengurusmu. "Aku sibuk."

"Serius deh." Lisa melotot dari kaca, sengaja memukulkan bagian tumpul guntingnya. Kekerasan dalam pertemanan. "Sesibuk apa kau sampai tidak bisa menghadiri reuni sebentar?"

Aku menyikut perutnya main-main sebagai balasan, seketika terbayang rumah Jaehyun yang luasnya keterlaluan. Membersihkannya perlu waktu berjam-jam dan segenap tekad kuat. "Sibuk sekali pokoknya. Menurutmu ibu rumah tangga itu sering menganggur, ya?"

Dengan wajah polos yang mengerjap lucu, Lisa mengangguk. Satu jarinya mengetuk-ngetuk dagu, berpikir kilat. "Benar kan? Apa sih yang kau kerjakan di rumahmu?"

Aku tergelak. Dasar pemikiran klasik. Seandainya tahu betapa repotnya aku, dia mungkin akan memilih tidak menikah seumur hidup. Aku bisa menulis jawabannya di sebuah buku tebal dan besar, tapi tak ingin membuatnya takut.

Lisa, yang hari ini mengenakan sweater Chanel dan celana jins hitam, dilengkapi sepatu Jimmy Choo setinggi 12 senti, takkan mengerti. Karena hidup kami berbeda. Dia merupakan bangsawan modis yang memiliki segudang pelanggan dan kebebasan, sedangkan aku...

Yah, anggaplah aku bangsawan juga, tapi berpenampilan sederhana, terikat pada ikatan bernama pernikahan.

Aku membantahnya, "Tidak, Lisa. Ibu rumah tangga juga bekerja keras walaupun tanpa gaji."

Lisa mengerutkan hidungnya, serius menggunting. Dia paham betul gaya rambut macam apa yang aku suka, jadi aku tidak usah repot-repot menjelaskan. "Kenapa tidak minta asisten saja sih? Ada yang mencarimu kemarin, dia一"

Sepotong nada ceria lagu favoritku memutus ucapan Lisa, mendahuluinya menyebut nama. Forever young, forever young, penyanyinya berdendang merdu, namun juga mengejutkan kami. Sisir Lisa terjatuh. Tas tanganku hampir bernasib serupa.

Jaehyun menelpon.

Bukan masalah penting atau urusan genting, dia hanya bilang ingin dibelikan keripik. Kalau Lily memesan Oreo, Pocky dan es krim yang 'BANYAK' rasa vanilla. Itu saja. Aku mendengarkan seksama, berjanji pulang secepatnya. Barulah setelah itu aku mengakhiri panggilan, berniat meminta Lisa melanjutkan.

Namun detik berikutnya, wanita di sebelahku tiba-tiba menginterupsi, menuding ponselku menggunakan jari kurusnya yang dilapisi kutex merah darah. "Manis sekali. Wallpaper-mu."

"Oh ya." Aku tertawa kecil, mengusap seraut wajah cantik yang kupotret pakai filter kucing. "Ini Lily."

"Adik?"

Tawa lagi, kali ini bersumber dari Lisa一 ekstrovert yang mudah berteman dengan siapa saja. "Bukan. Itu putrinya, dia sudah lama menikah."

Mulut wanita itu menganga seolah hendak menelan seisi salon. Matanya membelalak tak kalah lebar. "Tapi kau kelihatan masih muda! Berapa usiamu?"

"25."

"Astaga, astaga!" Gelengan dramatis si kutex merah mendampingi tumpahnya kata-kata itu. Tubuhnya serta merta tegak. Rasa heran tergambar di dahinya yang berkerut. "Kenapa kau menikah di usia semuda ini? Kau tidak memikirkan cita-citamu?"

Wanita kedua, yang sejak tadi diam saja, ikut bergabung ke konversasi kami. Dia tidak menoleh, seakan bicara pada refleksinya, tapi lututnya yang tumpang tindih condong ke arahku. "Mungkin dia menikah karena hamil, Jihyo."

"Ya ampun! Ck ck ck, parah sekali! Kalau itu yang terjadi, kau seharusnya aborsi saja, biayanya tidak mahal. Iya kan, Soo A?"

Mataku dan Lisa bertubrukan. Gerakannya terhenti. Kami kompak mematung tak ubahnya mesin yang dicabut dayanya.

"Tepat," seru Soo A setuju, akhirnya melirikku secara langsung, tapi dengan tatapan menghakimi alih-alih bersahabat. "Apa kau bekerja?"

Jawabannya tidak. Jaehyun menganggapnya tidak perlu. Keluarganya kaya, dan gajinya pun lumayan, kami tidak pernah kekurangan. Dia bahkan tak mengizinkanku kuliah karena ingin aku fokus menjaga Lily.

"Ibu rumah tangga rupanya." Soo A menatapku bersimpati. Dan itu, entah bagaimana lebih buruk dari kalimat jujurnya yang menusuk. "Sayang sekali. Padahal kau cantik, kau bisa jadi apa saja. Tapi kau malah memilih jadi ... ibu rumah tangga. Oh, sia-sia."

"Aku tidak akan tahan hidup seperti itu!" Jihyo, yang lebih ekspresif, meringis. "Harus membawa botol susu, membagi uang untuk membeli mainan anak, dibatasi kebebasannya ... Duh, keseharianmu pasti membosankan, ya?"

Suasana mendadak berubah tegang. Gunung amarah dalam diriku nyaris meletus. Aku tidak terima dihakimi orang-orang asing ini, aku ingin marah, memukul mereka dengan hair dryer, menyumpal mulut mereka yang sok tahu...

Tapi tidak bisa.

Bukan karena aku takut dituntut atas tuduhan penyerangan, tapi karena terlepas dari cara penyampaian mereka yang kasar, sebagian hatiku berpendapat bahwa keduanya benar.

Bahwa menjadi ibu rumah tangga memang tidak menyenangkan.

Akibatnya, sendi-sendiku terdiam. Tungkaiku menjelma jadi barang tak berguna. Tangan-tanganku terkulai.

Lisa justru merupakan orang yang melakukan apa yang seharusnya kulakukan; membentak Soo A dan jihyo, memberi mereka pelajaran yang pantas. "Berisik! Tutup bibir jelek hasil operasi kalian itu dan enyah dari sini!"

"Lho, kenapa kau marah?" Soo A bertanya dengan tampang polos, tidak terpengaruh gunting yang diacungkan Lisa tinggi-tinggi. Berani, santai, dan naif menyatu sempurna dalam dirinya. "Kami ini pelanggan, kau mestinya bersikap sopan."

"Katakan itu pada dirimu sendiri, dasar jalang! Pergi sana, aku tidak butuh pelanggan seperti kalian!"

"Lisa, hentikan." Cemas situasinya memburuk, aku akhirnya berdiri, berusaha一dan gagal一menghentikan temanku yang mengamuk, membelaku dengan sepenuh hatinya. Tapi ini tak bisa dibiarkan, gawat. Kemarahan orang yang ceria itu mengerikan. Bila sudah mengumpat, tandanya Lisa siap menghajar semua orang一tidak peduli itu pelanggannya atau bukan.

Dia memberontak, mencoba meloloskan diri dari rangkulanku. "Diam, Rose! Akan kuajari mereka sopan santun yang baik! Lepaskan aku!"

Laksana ada yang menekan tombol pause, seluruh aktivitas di salon Lisa terhenti. Orang-orang memperhatikanku dan pemiknya; penasaran sekaligus terhibur. Karyawan lain dengan sigap membantuku menarik bos mereka, yang masih berteriak agar Soo A dan Jihyo di usir.

Kutatap mereka, 2 orang penyebab segala kekacauan ini; wajah Jihyo memucat, shock melihat reaksi Lisa. Namun Soo A, dia berbeda. Soo A tak mengganggap dia atau ucapannya salah. Lewat tatapan dan sepasang iris gelapnya, dia menantang semua orang untuk menyudutkannya. Mendongak angkuh dan anggun. Kemudian mengalihkan tatapannya padaku, dengan sorot yang menunjukkan ... apa itu? Kasihan? Iba?

"Kalau jadi kau," katanya dari seberang ruangan, tapi aku mendengarnya dengan jelas karena keheningan yang mencekam ini. "Aku pasti sudah kabur dan memulai hidup baru."

Revisi dulu sebagian gaes wkwkwkwk :vv

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top