Part 7 - Boyfriend

"Apa temanmu mengganggu?"

Telinga Rose agak kurang nyaman mendengar sapaan orang yang pagi-pagi menelepon dengan suara nyaring. Tubuhnya masih cukup lelah karena pesta semalam. Belum lagi, mentalnya yang hancur setelah ingat bagaimana ia menjatuhkan harga dirinya. Lalu, pagi ini harus meladeni obrolan yang tidak terlalu penting. Huuh.

"Kalau kau tidak jelas, kututup telponmu."

"Sepertinya kebalikannya. Aku masih ingat bagaimana beberapa waktu lalu kau minta digantikan. Tapi, mendengar responmu sekarang, you're doing good, right?"

Ancaman Rose tak digubris, pria yang menelponnya tetap berkelakar tanpa peduli nada bicara sang Gadis.

Dengan malas Rose menjawab pertanyaan yang menurutnya sekadar basa-basi, "Not really. Kalau kau masih punya hati dan akan merotasi posisiku sekarang, aku akan menerimanya dengan senang hati."

"Not now, Dude," jawab si Pria diikuti dengan tawa yang menggema.

Rose mencibir. Ia beranjak dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi tanpa mematikan ponsel. Hari ini masih hari Jumat, itu artinya ia harus bersiap untuk bekerja. Terlalu lama bicara dengan June hanya akan membuang waktu dan membuatnya tergesa nanti. Jadi, lebih baik ia menyelesaikan kewajibannya sambil mendengar celotehan pagi rekan kerjanya.

"Minggu ini apa tidak ada update?"

Rose baru ingat kalau ia belum mengirimkan kabar apapun sejak June menyinggungnya di kafe tempo hari. Ia selalu menghindar dari segala hal yang membuatnya tak nyaman, seperti June. Namun, mau bagaimanapun, June adalah atasannya. Kalau dipikir-pikir, sekarang ia juga sudah tak mengambil hati ucapan pria itu.

"Aku tidak tahu apa ini berguna atau tidak, kemarin Jaehyun memberikan Laporan Keuangan Tahun 2021/2022. Semalam kulihat baik-baik saja, tapi aku tidak yakin. Aku butuh analisa lebih dalam. Mungkin kau bisa minta Jay atau Bobby untuk menanganinya."

Plung.

Ada jeda yang tercipta untuk beberapa saat sebelum June kembali bicara, "That's good. Aku yakin tak semudah itu mendapatkan bukti, tapi ini bisa menjadi potensi circular evidence."

"Aku setuju. Kau mau file ini kukirimkan by email saja?"

"Tergantung pada ukurannya. Jika memungkinkan kau simpan dalam Drive, lakukanlah. Jika tidak, buatlah janji dengan Jay, biar kalian bertemu dan ia menyalin datanya."

Rose mengangguk. Lantas, ia sadar dan menjawab. "Bilang saja padanya untuk menemuiku after office hours."

Plung.

"Satu lagi, mungkin sedikit nekat ... kita perlu untuk periksa aliran dana orang-orang kepercayaan Kim Geunhye. Aku punya firasat ia terlibat dalam kasus ini dan setahuku belum ada yang terfokus untuk menginvestigasinya."

Ini pertama kalinya gadis itu menyampaikan soal kecurigaannya pada Direktur Jendral Infrastruktur pada June. Pejabat itu memang tidak tergabung dalam grup arisan Nyonya Lee, tapi beberapa kali Rose bertemu wanita kharismatik itu di ruang meeting. Bagaimana ia mengendalikan forum, benar-benar di luar nalar. Setidaknya 90% dari forum akan mengikutinya tanpa berpikir lama, atau mungkin terlihat tidak berpikir. Jika, di kementrian ini memang terjadi kecurangan, tentu tidak mungkin tanpa sepengetahuannya. Sekali lagi, itu hanya analisa tanpa bukti.

"Tak masalah, Rose. Kita memang masih perlu bekerja sangat keras. Aku bisa meminta Jay, atau kalau perlu akan kuurus sendiri. Tapi, apa kau punya dasar untuk mencurigainya?"

"Hmm..."

"Terserah kalau kau meragukanku, tapi wanita itu sangat berpengaruh di sana. Aku sering merinding saat berpapasan dengannya."

Tarikan napas June terdengar sangat jelas. "Astaga...."

"Kalau kau belum bisa percaya, aku mengerti. Wanita itu sepintas terlihat seperti pejabat biasa. Hanya saja ... orang-orang sangat segan padanya. I mean, bukan karena pengaruh positif terhadap koleganya. Lebih karena ... mereka masih perlu pekerjaan itu."

Plung. Plung.

"Ok. Aku mengerti. Hal ini memang kurang berdasar, tapi kita tidak bisa mengabaikan suspect orang-orang berpengaruh."

"Yes!" jawab Rose penuh keyakinan, "sepertinya akan lebih baik kalau kau yang mengurusnya karena aku yakin, banyak nama yang akan terseret."

Plung.

"Sebentar. Sejak tadi suara itu benar-benar mengganggu. Sebenarnya, suara apa itu?"

"..."

Rose merotasikan matanya, tak paham arah pertanyaan June. Ia tetap melanjutkan aktivitasnya. Splash!

"Kau di toilet?" tanya June penuh selidik.

Rose tersenyum simpul. "Iya, aku baru menyiramnya."

"Yaaa! Bisa-bisanya kau bicara denganku sambil membuang hajatmu?"

Gadis itu masih terduduk di atas kloset dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia menarik napas sebentar, sebelum lanjut bicara. "Ah, tidak juga. Jam-jam ini adalah jadwalku bersiap ke kantor dan kau menghubungiku. Kalau aku mengabaikanmu dan tak memberikan laporan, bukannya kau akan marah? Aku sedang malas bertengkar dengan atasanku yang terhormat. Jadi, aku memberikan waktu untuk kita bi—"

"Hentikan omong kosongmu. Bye!"

Rose terdiam untuk beberapa saat. Kemudian, tawanya memenuhi seisi ruangan. Walaupun ia malas bertengkar dengan June, ia tidak bosan membuat pria itu kesal.

***

Tiga puluh menit sebelum jam kerja berakhir adalah masa-masa kritis di mana fokus pekerja kantoran sudah menurun drastis. Apalagi menuju akhir pekan, pikiran banyak dari mereka sudah tak ada kantor. Tak terkecuali di tempat Rose bekerja saat ini. Kadang Rose berpikir, bagaimana bisa pemerintah menjamin kesejahteraan manusia-manusia dengan integritas dan loyalitas yang ... sangat rendah. Sangat berbeda dengan suasana di Komisi Anti Korupsi dan Hak Sipil.

"Kalian tidak akan percaya ini, tapi Song Kang akan menurunkan Lee Jongwook."

Celetukan Woojae yang baru memasuki ruangan menarik atensi semua orang yang sudah tampak bosan.

"Kau gila?" jawab Eunha setengah berteriak, hingga pimpinan di ruangan ini berdehem cukup keras.

Woojae meletakkan dokumennya di meja milik Eunha dan menaikkan satu alisnya.

"Tahu dari mana berita itu? Jangan asal bicara."

"Kapan aku bicara asal?"

Rose dan Eunha saling melirik. Meskipun baru beberapa minggu bekerja, Rose tahu seberapa sering pria itu menyebar berita hoax. Jadi, ia tak bisa menelan mentah-mentah ucapan pria tambun itu.

Menyadari ekspresi Rose yang kurang antusias, Woojae mengalihkan fokusnya pada Rose, "Jiho, sudah jadi rahasia umum kalau di kantor ini ada banyak kroni-kroni yang saling menyerang. Keberhasilan Kang menjadi staf ahli memang tak meningkatkan power-nya secara langsung. Tapi influence seorang staf ahli itu tidak main-main."

"Tidak punya power secara langsung bagaimana? Mereka masuk struktur utama organisasi. Jelas berkuasa," sanggah Eunha seraya menunjuk struktur organisasi yang terpampang di papan.

"Tapi kau tahu sendiri, berapa orang tim dari staf ahli? Bahkan tak akan sebanyak GA–General Affair."

Rose memang tak boleh terlalu menonjol, tapi bukan berarti ia tak bisa berpendapat untuk sekedar informasi seperti ini, "Yang jelas, mereka punya koneksi dan kredibilitas lebih baik."

"Memang mau pakai alasan apa menurunkan Lee Jongwook? Jaehyun bisa ikut naik pitam," tandas Eunha. Kalau Woojae selalu berada di sisi berlawanan dari Jaehyun, Eunha bisa dibilang sebagai garda terdepan pasukan pendukung Jaehyun. Bukan dalam artian romantis, Eunha menganggap Jaehyun sebagai sosok yang ideal dan role model di lembaga ini.

"Kurasa tidak. Sejak Pak Tua Lee itu gagal mempromosikan Jaehyun menjadi staf ahli, pria songong itu seperti hilang respect."

Tuk tuk!

Rose merapikan dokumen yang ada di mejanya dan membuang napasnya kasar. "Hari ini cukup sampai di sini."

Tindakan kecilnya itu ternyata mampu menghentikan percakapan teman seruangannya.

"Kenapa tiba-tiba menatapku seperti itu, Sunbae?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Eunha yang tak ditanya. Padahal mata Rose jelas-jelas menatap lurus ke arah Woojae.

Pria yang lebih tua beberapa tahun dari Rose tampak salah tingkah. "Maaf, Jiho. Aku tak bermaksud menghina pria yang sedang dekat denganmu, tapi ia memang tak sehebat itu."

"Maksudmu?"

"Kami tahu, ia membawamu ke pesta ...."

"Bagaimana bisa?"

"Sosial media sudah bicara banyak, tapi kusarankan kau cari pria lain saja. Dia itu bengkok."

Ah, Rose mulai mengerti. Sepertinya, Woojae merasa tak enak karena harus menyeret nama pria yang sedang dekat dengannya.

"Pria lain itu memang siapa?" respon Rose basa-basi.

Woojae menggaruk kepalanya. Ia ingin menyebutkan namanya sendiri, tapi akan terdengar sangat tidak etis, jadi ia tertawa sumbang. "Banyak lah pria di sini yang bisa kau lihat."

"Kang Sunbae misalnya," sahut Ukhui diikuti tawa riuhnya, "kalau kau dengan Kang Sunbae, Woojae Sunbae tak akan berani berkomentar. Lagi pula dia terlihat tertarik padamu, Noona."

Entah sejak kapan bocah itu datang, yang jelas kini Ukhui sudah menyebutkan sederet kehebatan Kang dan keuntungan yang Rose bisa dapatkan jika berkencan dengan pria tampan itu. Tentu saja mengabaikan wajah masam Woojae yang sudah seperti ditekuk berlipat-lipat.

"Diam, diam! Kang berjalan ke sini," tegur Woojae membuyarkan pidato singkat Ukhui. Pria itu kembali ke tempat duduknya dan merapikan barang-barangnya.

Pria yang disebut-sebut Woojae masuk ke dalam ruangan mereka. Menyapa Kepala Im dengan ramah dan sedikit berbasa-basi, sebelum menghampiri sahabatnya yang duduk di ujung barat kubikel. "Hyung, hari ini jadi bisa sparing— basket?"

"Bukannya pesanmu sudah kubalas sejak tadi?"

"Oh, ya. Maaf, aku belum melihat ponselku."

"Kau makhluk dari planet mana? Lebih memilih jauh-jauh ke ruanganku dibandingkan memeriksa ponselmu sendiri."

Kang tertawa samar dan membuka pesan di ponselnya. "Okay, di Nong-Gujang saja. Ukhui kalau kau ada waktu, ikutlah!"

"Terima kasih, tapi Jumat malam adalah jadwalku berkencan. Lain kali aku tak akan menolak tawaran Sunbae," tolak Ukhui dengan sopan. Kalau saja ia tak ada janji, tentu ia tak akan melewatkan kesempatan ini. Ia menyukai basket dan Kang Sunbae-nya. Dalam artian sebagai senior tentunya. "Oh, bagaimana kalau kau ajak Jiho saja?"

Merasa terpanggil Rose yang masih berjibaku dengan pekerjaan-nya melongok. Ia memang sempat mendengar percakapan singkat Woojae dan Kang, tapi tak tahu apa hubungannya dengan dirinya.

"Kau mau ikut sparing dengan kita?" tawar Kang diikuti senyuman khasnya.

Jujur saja, sebagai seorang Rose, ia tak akan melewatkan kesempatan emas ini. Namun, sebagai Jiho, bukankah ia harus menjaga sikapnya. Di satu sisi, lebih dekat dengan rekan kerjanya juga akan memperbesar chance untuk mengorek informasi, tapi pergi dengan dua pria tanpa Jaehyun memberikan kesan negatif. Argh! Sepertinya ia terlalu cepat mengajak Jaehyun berkencan.

"Sepertinya lain kali saja. Eunha hari ini harus segera pulang menemani anaknya."

Rose kembali menolak untuk memberikan penegasan, "Aku akan ikut jika Eunha ikut."

"Kenapa bawa aku, Jiho-ya? Kalau kau mau ikut dengan mereka tidak masalah."

"Bukan begitu..."

Kedua tangan Eunha bertepuk dan wanita itu mengangguk berkali-kali. Lantas, ia menyilangkan kedua tangannya seolah memberikan peringatan pada Kang dan Woojae. Tanpa banyak bicara, Woojae mengerti, ia yakin ini ada hubungannya dengan pria yang tak sengaja dibicarakan beberapa waktu lalu.

Tak seperti Woojae, Kang tak langsung mengerti. Woojae perlu menyebut satu nama yang membuat Kang berdecak.

"Tidak seharusnya aku mengatakan ini, Moon Jaehyun tak sebaik image yang dia tunjukkan selama ini."

Rose sedikit tersentak. Menurutnya, Kang jauh lebih dewasa dibandingkan Jaehyun untuk memahami persaingan keduanya dalam karir. Sayangnya, ucapan pria itu sekarang menunjukkan kalau ia tak berbeda jauh dengan Jaehyun.

"Maaf?"

"Kau baru mengenalnya. Kurasa terlalu cepat untukmu memutuskan dekat atau menjalin hubungan romantis dengan rekan kerja. Tak jarang kudengar pengunduran diri karyawan wanita ketika pasangan instannya mengakhiri hubungan. Aku tak berharap karirmu akan berakhir seperti mereka."

Ucapan Kang terdengar seperti ultimatum dibandingkan peringatan. Mungkin, maksud pria itu baik, tapi tetap saja, sebagai kekasih Jaehyun, Rose tak menyukainya.

"Terima kasih sarannya, mungkin kami belum terlalu dekat, tapi ia cukup terbuka dan mengizinkan aku untuk mengenalnya dengan baik. Kurasa aku harus menghargai kepercayaannya," tandas Rose dengan sopan dan tegas. Mungkin mimik wajahnya saat ini sudah tak seimut sosok Jiho yang sudah susah payah diciptakannya. Persetan! Ia tak suka dengan cara rekan kerjanya melihat Jaehyun.

Rose melirik Woojae dan Kang dengan raut sinis. Mengabaikan pekerjaannya yang belum tuntas dan berjalan meninggalkan ruangan.

Baru beberapa langkah meninggalkan pintu ruang, ia merasakan tangannya ditarik. Rose mendapati wajah menyesal Kang. Ia percaya kalau Kang orang baik, tapi sikapnya sama sekali tak membuat gadis itu nyaman.

"Maaf kalau aku kurang sopan dan terlalu ikut campur."

Rose menoleh dengan mata yang tak bersahabat.

"Kalaupun kau tak menyukai orang lain, tolong jagalah perasaan orang-orang terdekatnya."

Mata Rose bisa menangkap perubahan ekspresi Kang, yang menurutnya ... tidak perlu.

"Memang, sudah sedekat apa kau dengan Jaehyun?"

"..."

Pertanyaan yang cukup sulit dijawab. Jaehyun bilang, Rose tidak boleh mengumumkan hubungan mereka secara gamblang, tapi Jaehyun seenaknya membagikan foto dan mengajaknya pergi yang menimbulkan imajinasi khalayak ramai.

"Aku—"

"Sedekat sampai aku tidak rela kau mengekorinya seperti sekarang."

Jantung Rose hampir copot mendengar suara bariton yang menyela percakapannya dengan Kang. Apakah ia sedang bermimpi?

***

"Sudah lama berada di Seoul dan menjadi pejabat, Geunhye masih tidak bisa beradaptasi dengan gaya hidup kelas atas."

Well, sungguh awal yang penuh dengan perhatian dan kepedulian. Ehm. Ini adalah kali pertama Rose mengikuti kegiatan arisan Nyonya Lee setelah janji ibu pejabat itu di pesta sebelumnya, tapi topik pembicaraannya sudah sangat menarik.

Ajakan ini pun tak direncanakan. Sebelumnya wanita baya itu dan Nyonya Song hanya meminta ditemani memilih gaun untuk pesta minggu depan. Bagi Rose, tak masalah pergi berbelanja memilih pakaian-pakaian cantik karena itu adalah hiburannya beberapa tahun silam. Namun, setelah mendapatkan beberapa potong pakaian yang diinginkan, Nyonya Lee meminta sopirnya untuk diantarkan ke salah satu restoran mewah dan voila!

Meskipun masih berada di ujung ruangan, Rose bisa mendengar kelanjutan celotehan tak bersahabat tadi. Entah istri pejabat mana yang bicara. "Di zaman sekarang ini hanya teknologi yang bisa transformasi. Manusia sih masih sama saja. Sekalinya kelas bawah, ya kelas bawah. Kudengar Geunhye adalah satu-satunya di keluarga yang menyelesaikan kuliahnya. Bisa dibayangkan kesenjangan di keluarga wanita itu dan betapa terpuruknya mereka?"

Telinga Rose mulai panas. Dia bukan Geunhye-Geunhye yang sedang dibicarakan oleh para ibu pejabat, ataupun bernasib serupa, tapi ini membuatnya tak nyaman. Boleh lah mereka-mereka ini bergosip, tapi juga tidak mendiskreditkan orang tertentu karena kelas sosial ataupun asalnya.

"Hati-hati bicaramu. Nyonya Lee sudah datang," tegur seorang wanita yang lebih dulu menyadari kehadiran Rose, Nyonya Lee, dan Nyonya Song.

Wow! Apakah sejak tadi kedua wanita ini buta hingga tak menyadari kehadiran Nyonya Lee? Ya, Nyonya Lee tampak cukup disegani karena sekarang tak ada satupun yang berani melontarkan hal negatif.

"Kalian ini benar-benar, ya. Kegiatan kita ini bukan untuk ajakan kebencian."

Bukan sapaan hangat yang terlontar, tapi justru ultimatum dari Nyonya Lee pada kedua wanita tadi. Wanita cantik itu menarik kursi kosong di tengah dan mempersilakan Rose duduk di kursi kosong lainnya.

Dengan sopan Rose duduk di kursi tersebut yang sayangnya hanya berjarak satu kursi dari Nyonya bertabiat buruk tadi. Arisan ini tak jauh berbeda dari acara yang biasa ibunya adakan di rumah. Hanya saja, barang-barang yang dikenakan oleh nyonya-nyonya di sini jauh lebih mahal. Satu lagi, wajah mereka tak bersahabat seperti Nyonya Lee dan Nyonya Song.

Setelah sambutan singkat dari Nyonya Lee yang merupakan ketua dari kelompok arisan ini, Rose mengakrabkan diri dengan wanita-wanita yang duduk di kanan-kirinya. Nahasnya, ada momen di mana ia tak mengenali salah satu wanita yang terlihat paling pendiam di antara yang lain.

"Bisa-bisanya kau tidak mengenal Nyonya Min? Bukankah seharusnya kau mengenal kami semua sebelum berani datang di pertemuan kami? Wawasanmu sungguh rendah," ejek seorang wanita dengan gaun merah hati renda hitam. Entah istri dari siapa.

Nyonya Song menyela dengan dingin, "Aku yang mengajaknya. Dia cukup sibuk untuk mempelajari anggota kelompok arisan kita. Lagi pula, tidak penting mengenal anggota sebelum ke sini. Toh tidak ada sistem pendataan anggota tetap, 'kan?"

"..."

"Atau kau akan membuatnya lain kali, Nyonya Shim?" sindir Nyonya Lee pada wanita itu dengan sanggul tinggi di kepalanya, "boleh-boleh saja, siapa tahu bisa untuk materi belajar anggota baru."

Rose tersenyum tipis. Ia bersyukur ada Nyonya Lee dan Nyonya Song di pihaknya. Nyonya Song mengusap tangan Rose dan tersenyum simpul. Sementara itu, Nyonya Lee justru mengedipkan satu matanya, mengirim kode kalau ini bukan hal yang harus Rose pusingkan.

Sebenarnya, inti acara arisan ini tidak banyak, hanya sambutan, penentuan pemenang, dan makan bersama. Sisanya, mereka bebas bercengkrama dengan siapapun yang potensial untuk menjadi relasi keluarga mereka.

Rose sadar diri, kalau di sini ia yang mencari prospek. Bukan dianggap sebagai prospek. Bagaimana tidak, hanya ada istri pejabat dan pengusaha. Jaehyun belum masuk dalam kedua kategori tersebut. Mungkin butuh beberapa tahun lagi. Oh, iya, Rose pun tak memiliki ikatan resmi yang membuatnya dilihat setara dengan Jaehyun. Jadi, ia lebih banyak makan dan menguping sana-sini.

"I bet the two of them are fake dating."

"Tidak mungkin, gadis itu terlihat lugu dan polos."

Percakapan itu membuat Rose berhenti mengunyah strawberry shortcake yang baru diambilnya. Intuisinya mengatakan kalau ini ada kaitan dengan dirinya.

"Justru itu, Jaehyun pasti memaksa si Jiho-Jiho itu berpura-pura untuk menutupi orientasi seksual yang sebenarnya. Ia sama sekali tidak tampak seperti seorang calon istri. Sebagai orang yang sudah menikah, kau mengerti maksudku 'kan?"

Benar saja, ia sudah menjadi topik hangat Nyonya bertabiat buruk yang dikenalnya sebagai Nyonya Shim. Padahal, di sini ia tak perlu mencuri perhatian, hanya mendapatkan informasi penting sebanyak-banyaknya.

"Interaksi dan kontak fisik keduanya tidak menunjukkan kepalsuan. Lagi pula, sorot mata Jaehyun sudah bicara banyak, ia pasti menaruh hari pada Jiho."

Well, pandangan orang soal hubungannya dan Jaehyun tidak termasuk dalam hal penting yang harus diketahui. Jadi, ia sudah tak memandang cake-nya sebagai hal yang menarik dan berlalu ke toilet. Siapa tahu ada hal rahasia yang dibicarakan di toilet, bukan?

Kalau Rose pernah mengagumi toilet kantor tempatnya bekerja, sungguh tak ada apa-apanya dibandingkan tempatnya berdiri sekarang. Dinding dan lantai marmer berwarna senada dengan aksen rose gold, membuat ruangan ini bak walk in closet. Belum lagi deretan wastafel yang harga beli satuannya bisa digunakan untung uang muka rumah baru. Ini benar-benar tidak masuk akal. Sekalipun sempat terperangah ia melangkah dengan penuh percaya diri.

"Permisi, apa ada orang di sana?"

Rose menghentikan langkahnya mendengar suara nyaring tersebut. "Saya. Ada yang perlu dibantu?"

"Ya, apa Anda bisa tolong ambilkan tisu toilet? Tisu toilet di sini habis."

"Baik, tunggu sebentar."

Rose mengambil tisu dari toilet lainnya untuk diberikan pada wanita tadi, sebelum masuk ke bilik sebelahnya untuk buang air kecil. Sekalipun tidak terdesak, jika ia sudah di toilet, pasti Rose akan menyempatkan menyelesaikan hadasnya.

"Terima kasih, Gadis cantik."

Rose yang baru keluar dari bilik toilet mendongak dengan wajah terkejut. Sapaan itu terlontar dari bibir Nyonya Min yang sempat menjadi pusat atensi karena inisiatifnya untuk berkenalan tadi.

"I was wondering who saved my life. Luckily, it's someone I know."

Kalau melihat wajah wanita itu, Rose jadi merasa malu. Ia hanya bisa tersenyum kikuk. Tentu saja wanita itu mengenalinya setelah drama tadi.

"Maaf kalau gara-gara aku kau sampai harus dicela oleh Nyonya Shim, tapi ia memang sering mencari muka."

"Tidak masalah, Nyonya. Mungkin Nyonya Shim ada benarnya. Bukannya saya bermaksud tidak sopan tadi, saya memang belum ada persiapan untuk hadir di sini. Saya hanya mendampingi Nyonya Lee yang kebetulan adalah atasan calon suami saya."

Rose memekik sendiri di dalam hati setelah kebohongan yang baru saja dilontarkannya pada istri pengusaha besar ini. Ia tak menemukan kata yang cukup dekat dan kredibel untuk mengasosiasikan dirinya dan Jaehyun. Tunangan terdengar terlalu resmi, sedangkan kekasih terdengar dangkal. Apalagi, kalau Rose hanya mengaku sebagai seorang teman.

"Kukira, kau justru calon menantu Nyonya Lee. Ia terlihat peduli padamu."

"Mungkin karena calon suami saya sudah seperti anak sendiri untuk Tuan Lee, Nyonya Min."

"Nyonya Lee tadi sempat menyinggung selera fashion-mu yang bagus. Kapan-kapan kita bisa berbelanja bersama," ajak Nyonya Min di luar prediksi. Rose sama sekali tak menargetkan networking dengan wanita ini. Tapi, ia juga tak menolak peluang.

"Dengan senang hati, Nyonya," jawab Rose seraya menerima uluran kartu nama dari wanita itu. Mata Rose hampir melotot membaca tulisan yang tertera pada kartu kecil itu. Bingo! Nyonya Min ternyata bukan istri pengusaha biasa, melainkan Finance Director dari GE Corp. Oh, sungguh kebaikan apa yang dilakukannya di masa lalu hingga ia berkesempatan bertemu dengan Direktur perusahaan sekelas GE Corp.

Baru sadar part ini panjang juga. Tapi Jaehyunnya super tipiiis. Maklum, ya. Rose kan jiper banget habis amnesia udah aneh-aneh pas lagi mabuk. Jadi ya, jaga jarak dulu. Doakan next part dia udah ada nyali ngedekat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top