Part 4 - Stand Alone
Pada umumnya, setiap institusi menyiapkan semua keperluan staf baru sebelum mereka bergabung. Kalau akan bekerja di office, setidaknya meja-kursi dan personal komputer sudah tersedia. Hanya saja, hal ini sering kali tidak berlaku untuk karyawan kontrak, seperti Rose. Gadis itu memang sudah mulai bekerja di hari pertama dan memiliki kartu akses, tetapi semua pekerjaannya dilakukan di salah satu kubikel milik staf lain yang kemarin masih cuti. Ketika gadis itu menanyakan bagaimana ia akan bekerja hari ini, Kepala Im selaku atasannya baru tampak berpikir.
"Hmmm. Eunha seharusnya baru masuk minggu depan, kenapa juga honeymoon-nya cepat selesai," gerutu Kepala Im seraya menautkan jemarinya.
Wanita dengan tubuh semampai itu beranjak dan menghampiri tempat duduk Rose kemarin, sembari mengamati penataan ruangan.
"Karena kau tenaga tambahan, kami belum menyiapkan perangkat untukmu. Tapi, posisi meja di baris ini bisa sedikit bergeser untuk menambah 1 kubikel. Untuk PC, bisa pakai laptop saja. Nanti kau langsung ke ruang IT di lantai 5, menemui Kim Mingyu atau staf IT lain untuk disiapkan," jelas Kepala Im, "biasanya mereka akan memberikan laptop stand alone untuk intern ataupun karyawan baru. Kau akan kesusahan berkomunikasi dengan departemen lain bisa-bisa. Mengingat rencana akreditasi sebentar lagi, aku akan berikan rekomendasi untuk mempercepat aksesmu."
"Baik, Kepala Im," ucap Rose menanggapi. Untung saja atasannya saat kooperatif tanpa disadari. Paling tidak, kalau ia bisa terhubung dengan salah satu network, akses informasinya lebih mudah dan fleksibel.
Rose segera berpamitan dan beranjak menuju Ruang IT yang berada di lantai 5 gedung perkantoran di pusat Kota Administratif Sejong.
"Permisi, apa ada Tuan Kim Mingyu?"
"Oh, Senior Kim masih di ruang server. Silakan masuk," jawab seorang pria yang tampak polos. Dilihat dari name tag-nya, ia adalah seorang intern. Rose berjalan masuk dan duduk di kursi puff yang mengelilingi sebuah meja bundar. Gadis itu memperhatikan ruangan dengan seksama. Hanya ada dua PC yang terkunci dan beberapa barang elektronik. Padahal, Rose berharap ada celah yang bisa dimanfaatkan.
"Kau magang di IT?" tanya Rose berusaha bersikap ramah pada intern yang sejak tadi duduk dan mencuri pandang ke arahnya.
"Betul. Saya Park Jihoon."
Pria itu beranjak menghampiri Rose dan menyapa dengan wajah antusias. Gadis itu menyambut uluran tangan pria yang tampak lebih muda darinya dan memperkenalkan diri.
"Tidak pakai PC?"
"Oh, itu? Saya masih diminta membaca SOP* Departemen IT. Info dari Senior Kim, setelah saya lolos ujian darinya, saya baru bisa diberikan gawai."
"I see. Aku juga ke sini untuk minta akses. Sepertinya memang tidak mudah, ya."
"Kata Senior Kim, karena kita berhubungan dengan institusi negara jadi setiap langkah yang diambil harus sangat hati-hati. Bagaimanapun ini menyangkut keamanan negara," jelas Jihoon masih antusias.
Tanpa sadar, Rose menaikkan satu ujung bibirnya. Ia jadi teringat semangat para calon aparat saat program bela negara. Namun, sekali lagi ia ingin berkata kalau semua itu bullshit. Berapa persen aparat yang benar-benar berintegritas?
"Apakah kata-kataku ada yang salah, Noona?"
"Tidak ... tidak ... aku hanya mengingat poin-poin yang diujikan sebelum bergabung dengan kementrian ini."
Jihoon menarik satu puff chair kosong dan duduk di samping Rose. "Kupikir Noona sangat pintar bisa bekerja di sini. Kudengar passing grade-nya relatif tinggi jika dibandingkan dengan institusi lainnya."
"Aku tidak sehebat itu. Hanya karyawan kontrak, doakan saja aku lekas diangkat –sebagai karyawan– tetap," bohong Rose yang tak sepenuhnya berbohong.
"Benar juga. Sekarang belum masuk periode seleksi nasional, tapi tetap saja Noona keren. Coba ceritakan bagaimana ujiannya?"
Rose terkikik dan lantas mendekatkan bibirnya ke telinga Jihoon dan berbisik, "Hubungi orang tuamu atau kolegamu di pemerintahan dan siapkan uang sekoper."
Mata Jihoon membola. Pria polos itu tampak terkejut sehingga Rose gemas sendiri melihatnya. Ada-ada saja anak orang ini.
"Benarkah?"
Gadis itu tertawa keras mendengar respon intern tersebut. Bisa-bisanya pria yang sudah tampak cocok menjadi mahasiswa tingkat akhir memasang wajah pongah. Seharusnya ia tak sekaget itu. Rose jadi ikut penasaran bagaimana Jihoon Jihoon ini bisa berada di kementerian, terutama Departemen IT.
"Wah, ceria sekali sepertinya Nona ini," ujar seorang berkulit tan yang menghentikan tawa Rose.
"Eh."
"Staf Administrasi yang baru 'kan?"
Rose mengangguk dan memperkenalkan diri pada pria yang ditunggunya sejak tadi. Pria itu menyunggingkan senyuman manis yang membuat dada Rose terasa dingin. Sampai-sampai Rose bingung, apakah ia berada di Kementerian atau Olympus? Mengapa banyak pria tampan berserakan di gedung ini?
"Kepala Im sudah menjelaskan kalau kau perlu segera punya akses untuk persiapan akreditasi bulan depan. Akunmu sudah dibuat, tapi kau tetap harus menyelesaikan ujian tentang IT System dan integritas."
"Bukankah–"
"Anggap saja refreshment," ucap Mingyu santai. Lantas, ia menarik Jihoon keluar untuk mengikutinya mengambil laptop milik Rose. Sementara itu, ia meninggalkan Rose seorang diri di Ruang IT. Jika beberapa waktu lalu, Rose hampir kebosanan, tidak dengan sekarang. Ia sudah melihat dari arah mana pria bermarga Kim tadi muncul sehingga ia ingin segera bebas. Hal itu cukup menjadi clue di mana pusat data kementerian ini ditimbun.
Soal-soal yang Mingyu berikan sangat mudah dan cenderung normatif. Bahkan, tingkat kesulitannya tak sampai seperempat dari soal ujian masuk aparatur sipil yang Rose kerjakan dulu. Rose menoleh ke sekeliling, memperhatikan benda-benda yang berpotensi mengancam intensi impulsifnya tadi. Tak menangkap apapun, Rose menyentuh smartwatch di tangan kiri dan mendapati apa yang berhasil dibaca oleh sensornya. Ia tahu sekarang ujian apa yang harus dikerjakan.
Selesai mengerjakan tugasnya, Rose menahan diri untuk tak menyentuh apapun. Ia harus bisa mencitrakan diri sebagai gadis ceria dan jujur. Yang jelas, posisi tubuhnya yang membelakangi kamera membuat gadis itu bebas menekan tombol-tombol pada smartwatch-nya. Setidaknya, ia harus punya informasi yang cukup akan kondisi markas lawannya.
"Mingyu, kau punya flashdisk lain?"
Kembali terdengar suara dari arah Ruang Server. Well, insting Rose hari ini cukup baik. Kalau ia tetap memaksakan keinginan gegabahnya masuk, bisa jadi ia akan tertangkap basah melanggar aturan.
"Tuan Kim sedang keluar," ujar Rose ketika matanya bersirobrok dengan pria berkulit pucat yang baru melangkah keluar dari pintu berwarna hitam yang lebih mirip pintu lemari.
"Oh, pantas."
Pria itu berdecih. Ia menduduki kursi putar kosong dan bergeser ke tempat duduk Rose. Memperhatikan lembar jawaban Rose yang sudah terisi penuh, lantas tersenyum kecut. Rose menarik lembar jawaban itu dan membaliknya seakan sedang dicontek. Sejurus kemudian, pria itu mengalihkan pandangannya dan menatap lurus ke arah kedua mata Rose, sampai gadis itu menjadi salah tingkah.
"Mudah, ya?"
"..."
Rose memilih untuk diam karena sudah nature-nya untuk bertindak defensif dan ia tahu hal itu akan membuat pria di dekatnya curiga.
Tanpa ragu wajah pria itu kian mendekat hingga bibirnya hampir menempel pada daun telinga Rose.
"Aku tidak tahu apa intensimu membodohi insititusi ini, tapi kau perlu tahu kalau taruhannya adalah nyawamu. Silakan kau ingat sebelum bertindak," bisiknya memberi peringatan.
***
Salah satu poin bekerja pada instansi pemerintah adalah makan siang gratis yang diperoleh setiap harinya. Memang bukan menu mewah seperti yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan besar, tapi setidaknya nutrisinya terjamin dengan takaran yang diberikan.
"Jiho, kenapa ambil chicken roll?"
Rose merotasikan bola matanya. Ia tak paham dengan pertanyaan Woojae. Apa yang salah dengan makanannya?
"Noona, seharusnya kau makan beef teriyaki. Itu adalah menu andalan di hari Selasa,"
Kali ini Ukhui yang menjelaskan. Pria itu sepertinya menangkap tanda tanya di atas kepala Rose.
"Oh, aku suka ayam," jawab Rose enteng. Ia tak merasa beef teriyaki di tray semenarik itu.
"Sudah-sudah, abaikan saja mereka berdua. Dasar miskin tidak pernah makan daging, sekalinya ada daging, matanya langsung hijau."
"Eunha noona jaga image. Padahal, dulu dia ada di barisan paling depan untuk memperebutkan makanan."
"Oh, ya? Dari pada mengingat-ingat hal tidak penting, sebaiknya kalian cari tempat duduk."
Woojae dan Ukhui tampak patuh mendengar perintah Eunha. Ya, seberengsek-berengseknya kedua pria itu, ternyata cukup dengan bersama Eunha, kehidupan Rose akan damai.
"Kita duduk saja dengan kembaranku," ajak Woojae, diikuti oleh cibiran Eunha meskipun gadis itu tetap mengajak Rose mengekor.
Rose hampir terlonjak mendapati sosok yang disebut sebagai kembaran Kim Woojae. Ibarat ia sedang menonton Spiderman, keduanya bak Peter Parker dan Ned Leeds. Sudah jelas, siapa yang berhak disandingkan dengan sang Tokoh utama. Lagi pula, minus mata Rose belum setinggi itu sampai salah menilai wajah orang.
"Wah, geng GA punya anggota baru sepertinya?"
"Kenalkan princess kami, Lee Jiho," ujar Woojae setelah meletakkan nampannya. Pria itu mengangkat kedua tangannya heboh seperti bersorak, diikuti oleh Ukhui. Rose sampai terpikir kalau kedua orang ini memang sedikit punya gangguan.
"Oh, hi! Senang bertemu lagi."
Woojae dan Ukhui yang duduk bersebrangan, melirik satu sama lain. Begitu juga dengan Eunha yang mengambil posisi di samping Rose.
"Kenal?" tanya ketiganya bersamaan.
"Indeed."
"Jadi, jangan macam-macam pada Jiho, ya, Sunbae," ucap pria itu tanpa disangka-sangka.
Woojae melirik pria di hadapan Rose dan memicingkan mata. "Apa artinya anak baru ini menjadi incaranmu, Song Kang?"
Terdengar seperti sebuah gurauan, tapi jangan salahkan perut Rose yang terasa seakan diajak bercanda kupu-kupu. Demi menetralkan hatinya sendiri, Rose berulang-kali membatn kalau semua hanya bualan belaka. Ia punya trauma dengan harapan yang membuatnya jatuh berkeping-keping.
"Memang hanya incaranku yang tak boleh kau ganggu. Sadar umur, taubatlah!"
"Bosan dong hariku di kantor."
Tergelitik untuk merespon, Eunha ikut bicara, "Bosan? Resign saja bagaimana?"
Sontak ketiga rekannya tertawa mendengar komentar savage dari Eunha. Rose kira Eunha adalah gadis imut dengan pembawaan yang ceria. Ya, tak sepenuhnya salah, tapi satu hal yang terlewat, mulut Eunha cukup sadis untuk kesan yang dimilikinya.
"Kalau dia resign, bisa-bisa aku yang kebosanan dan menyusulnya," pungkas Song Kang ikut mencairkan suasana.
"Wooo. Lip service, lip service," cemooh Ukhui dengan wajah dibuat-buat, "tidak pria, tidak wanita. Semua mau dia jerat."
Song Kang menggeleng keras, "Tidak juga. Ada yang tidak mungkin kujerat."
"..."
Mendadak semua yang duduk di bangku tersebut terdiam dan fokus pada makan siangnya. Rose bingung sendiri sampai ia celingukan dan mendapati beberapa staf Direktorat Transportasi yang melewati meja mereka, bertegur sapa dengan Song Kang dan tersenyum pada sisanya.
"Dia masih marah?"
Kali ini Eunha yang tiba-tiba bicara, bertanya pada Song Kang. Entah siapa yang dimaksudkan.
"Begitulah."
Seperti menangkap maksud Eunha, Woojae turut menanggapi, "Dasar pria arogan. Memang satu-satunya orang yang pintar cuma dia di sini. Mentang-mentang lulusan Ivy League."
"Padahal dia orang baik."
Melihat gelagat mencurigakan keempat rekannya, terutama setelah gerombolan Direktorat terbesar baru saja berlalu, membuat Rose sedikit yakin dengan praduganya. Sekalipun ia sedang bekerja di lembaga pemerintahan yang besar, Rose yakin, lulusan Ivy League hanya segelintir.
"Baik? Sakit jiwa, kau? Atau, sekarang kau berpihak pada si Moon itu?" tanya Woojae dengan wajah tak percaya.
"Terlepas kekakuannya, sikapnya padaku masih terhitung baik, sampai pengumuman–staf ahli."
"Menurutku, sejak dulu Moon Jaehyun selalu diskriminatif. Mana pernah ia mengobrol denganku yang hanya lulusan kampus tak bernama. Semua serba to the point. Meskipun kita di pemerintahan, namanya bekerja, ya, perlu keluwesan," cerocos Woojae dengan wajah tak suka, "kalau kaku seperti buku, seharusnya ia di perpustakaan saja."
Bingo! Tak perlu sebut nama belakangnya saja, tapi Rose bisa sangat yakin siapa yang dibicarakan.
"Sunbae, sepertinya tak suka pada Jaehyun-Jaehyun itu," gumam Rose tapi tanpa suara yang dipelankan.
"Jelas. Aku yakin 99% pegawai di sini tak ada yang menyukainya," ucap Woojae hiperbola.
Kening Rose berkerut, berdasarkan apa Woojae bicara seperti itu? Sepengalamannya yang hampir terpenjara di toilet, bukankah banyak wanita justru memaafkan kekurangan Jaehyun karena pesona pria itu. Sekalipun wanita tak mendominasi bangunan ini, Rose yakin kalau jumlahnya lebih dari 30%.
"Satu persennya siapa?"
"Jelas. Direktur Lee."
"Oh, ya?" tanya Rose lagi dengan antusias. Ia pikir Jaehyun cukup idealis untuk tidak menjadi antek dari siapapun. Bagaimana bisa dengan waktu kurang dari 10 tahun pria itu berubah seratus delapan puluh derajat?
Mendapati wajah penasaran Rose yang mendekat ke arah Woojae, Song Kang mendorong pipi gadis di seberangnya dengan telunjuk. Refleks wajah Rose kembali menghadap ke depan, ke arah Song Kang.
"Jaehyun itu kaki tangan Tuan Lee. Segala yang pria tua itu cetuskan pasti akan dilakukan pria kaku itu. Kau tidak tertarik padanya 'kan?" tanya Woojae sembari melirik Song Kang.
"Aku?"
"Ya, siapa lagi."
Rose tertawa sumbang. Benar, ia memang tertarik pada Jaehyun. Namun, bukan dalam arti yang sedang dipikirkan oleh Woojae. Sudah jelas alasannya karena ia menaruh curiga pada pria tampan itu sejak pertemuan mereka di ruang IT.
***
Gemerincing suara gelas dan obrolan seru menggema di salah satu sudut kafe. Belasan orang yang memenuhi sudut tersebut terlibat dalam obrolan tak berujung dengan tawa yang menggelegar. Hal itu tentu sesekali mencuri atensi banyak pengunjung. Tak terkecuali oleh gadis bersurai keemasan di salah satu bangku dekat jendela. Ia mengamati hiruk pikuk berlatar suara hujan yang nyatanya terdengar jauh lebih jelas di telinga.
Laptop dan segelas kopi dengan asap yang masih mengepul adalah pengalihan yang apik. Duduk diam seakan sedang sibuk membaca, melancarkan mata dan pikiran liarnya untuk Berbagai skenario bertebaran di kepala, seperti apa yang sedang mereka lakukan, bagaimana hubungan satu sama lain, hingga rentetan cerita di balik apa yang bisa ditangkap oleh mata telanjang.
"Masih sore sudah melamun," tegur seorang pria berjaket hijau army menegurnya dengan wajah santai.
"Aku tidak melamun," kesal sang Gadis yang menganggap pria itu mengganggu kegiatan people watching-nya.
Satu alis pria itu menukik sebelum ia mulai menarik satu-satunya kursi kosong di meja itu. "I know what's going on your mind, Rose. Kau sedang menebak-nebak siapa mereka dan merangkai background story masing-masing dari mereka."
"Sok tahu."
"Memang tahu. Kau itu ... semantik," tukas pria tersebut dengan seulas senyum mengejek. Bukan tanpa alasan, komentar tadi terlontar. Rose terkadang memang lebih sering diam. Dalam diamnya, ia sedang melamun. Membiarkan otaknya berimajinasi dari apapun yang ditangkap dua matanya.
Rose menggeleng, tak mau menyetujui ucapan sang Kolega.
"Terserah saja, sih. Tapi, aku masih ingat argumen saat pra-jabatan di Jeju. Analisismu benar-benar dalam sampai menjelaskan kondisi anak-anak pria tua, yang kau ajak bicara saja tidak. Bukankah kau sangat imajinatif."
Bola mata Rose berputar malas. Sore ini, ia tak datang ke kafe untuk berdebat dengan musuh sekaligus ketua timnya itu, ia hanya ingin mendapatkan persetujuan dari laporan yang sudah disusun seminggu ini. Meskipun ia sempat ingin mengundurkan diri, akal sehatnya masih berfungsi dengan baik. Terlebih saat membaca surat peringatan dari kampus Park Minki.
"Bisa langsung saja kau sampaikan apa alasanmu mengajak bertemu?" ujar Rose tak ingin berlama-lama.
"Jangan terlalu terburu-buru. Kita tidak tahu siapa yang sedang mengintai sekarang. Jadi lebih baik kalau kita bersikap layaknya sepasang kekasih yang sedang bertemu di sela-sela kesibukan."
Wajah Rose masih datar, posisi sebagai seorang penyelidik memang mengharuskannya untuk bersikap siaga bahkan melakukan berbagai penyamaran sekalipun di luar area penyelidikan.
Pria di hadapan Rose berdeham, ia mulai bicara, "Aku sudah baca laporan-laporan yang kau kirimkan. Sorry to say, tapi notes di Word tidak akan cukup untuk menampung catatan-catatanku tentang hasil kerjamu."
"Maksudmu apa, June?"
Jemari pada kedua tangan June saling bertautan. Pria itu memandang lurus pada bola mata gadis di hadapannya. "Mengapa ada catatan penerimaan dana sebanyak 100 juta won dari KTZ tanpa keterangan di Maret 2023? Lalu, ada catatan yang sama dengan nilai tersebut di April 2023. Sepintas, kupikir mereka dua kali menerima suap, tapi kubaca di halaman selanjutnya banyak sekali inkonsistensi dalam penulisan laporanmu. Jadi, sampai hari ini, dari bukti yang kau peroleh, berapa banyak dana yang diterima dari KTZ?"
Rose mendengarkan penuturan June tanpa berkedip. Sebenarnya ia tidak terlalu ingat, berapa nilai dana yang diterima institusi pemerintah tersebut. Semua tertera di dalam laporannya. Lantas, ia kembali memeriksa file di laptop untuk memastikan ucapan lawan bicaranya.
"Oh, iya. Maaf, aku membuat kesalahan," ucap Rose menyadari beberapa baris yang menurutnya sulit dipahami oleh dirinya sendiri.
"Bagaimana bisa? Kau tidak memahami kasusnya?" tanya June retoris. Terlepas sentimennya pada gadis itu, June merasa laporan yang diserahkan oleh Rose masih memiliki banyak celah.
"Ehm, sebentar," ujar Rose seraya memeriksa folder-folder di laptopnya kembali, "maksudku seharusnya KTZ mengirimkan dana sebesar 50 jutan won di bulan Maret dan 100 juta won di bulan April."
Mata June masih menatap tajam ke arah Rose. Sudah sewajarnya ia merasa tidak puas pada kinerja gadis itu. "Kenapa kau masih saja salah? Ini tahun ketigamu Park—"
"Rose. Panggil aku Rose selama misi ini," koreksi Rose. Sekedar mengingatkan kalau ketua timnya sudah lupa.
Pria itu mengangguk berkali-kali, menunjukkan ia paham maksud gadis itu. Tak berselang lama, ia melanjutkan apa yang sejak tadi ada di otaknya, "Lama-lama aku bisa gila kalau harus bekerja satu tim denganmu. Aku tidak minta hal yang muluk-muluk. Kau ini penyelidik, aku hanya minta kau untuk lebih teliti. Tidak berlebihan kalau aku minta zero defect. Ini adalah bentuk tanggung jawab kita untuk masyarakat."
Rose menyadari kalau ia memang membuat kesalahan. Beberapa hari kebelakang pikirannya semrawut dan ia hanya bertujuan menyelesaikan pekerjaan, beban kerja serta hidupnya selalu membayangi setiap langkah yang diambil. Alih-alih kembali meminta maaf, Rose justru bersikap sinis.
Sekalipun apa yang dikatakan June bisa diterima oleh akal sehatnya, arogansi seorang Rose pada pria itu seakan menutup matanya."Kau memanggilku hanya untuk menceramahiku?"
"Aku ingin kau melakukan perbaikan. Bukan terhadap pekerjaanmu, tapi cara kerjamu."
Gadis itu mendengus kasar. Refleks, tanggannya menggaruk kepala yang tak gatal. Kata-kata June berhasil menghunus jantungnya.
"Tolong serius dalam misi ini."
Ucapan June selanjutnya semakin membuat Rose semakin panas. Mood-nya kacau dan ia tak ingin mendengar apapun yang pria itu akan katakan. Gadis itu mengemasi laptop di meja dan beranjak dari kursinya. Merasa tersinggung, Rose melangkah pergi tanpa pamit. Namun, di langkah ketiga, ia berbalik, "Kau pikir selama ini aku bercanda? Kalau bercanda, aku akan tidur di rumah."
***
"Astaga! Sekarang kau jadi stalker?" gerutu Jaehyun mendapati gadis dengan rambut berwarna pirang yang khas sudah duduk manis di bangku kosong di sampingnya.
"Tidak juga. Kebetulan aku melihatmu ketika membuka pintu—rooftop. Masa tidak boleh menghampiri teman lama. Ya ... kalau kau tak mau mengakuiku sebagai rekan kerja."
Jaehyun melirik gadis di sampingnya sekilas. "Untung kau sadar."
Rose membersihkan salah satu bagian atas kaleng minuman yang dibawanya, dengan tisu. Lantas, diserahkannya minuman itu pada Jaehyun. Gayung tak bersambut, terbesit ide nakal untuk menempelkan kaleng tersebut pada pipi gembul pria yang masih bergaya tak peduli.
"Hei!"
Pekikan Jaehyun membuat Rose terkikik. Gadis itu meletakkan kaleng minuman untuk Jaehyun di bangku antara keduanya. "Ini untukmu, aku tidak bisa satu kali minum dua kaleng kopi."
Sembari menahan tawa, Rose membuka tutup kaleng miliknya dan mulai meneguk coffee latte favoritnya.
"Jorok."
Ekor mata Rose melirik sumber suara. Hanya satu orang yang berani mengatai kebiasaannya itu sebagai hal jorok, selain ibunya.
"Aku sudah resisten dari bakteri kaleng minuman. Maaf, kita beda kasta," ucap Rose enteng. Demi apapun, ia merasa membersihkan tutup kaleng adalah pekerjaan yang sia-sia.
"Tidak berubah."
Rose mengedikkan bahu. Kemudian, ia mulai meneguk sisa kopi di dalam kaleng.
"Buat apa berubah untuk hal yang tidak penting."
"Termasuk memberikan sesuatu untuk meminta sesuatu yang lain."
Sebenarnya niat Rose tulus menawarkan sekaleng kopi untuk Jaehyun. Namun, ucapan pria itu justru memunculkan ide brilian. Bukan ide yang sangat baru. Hanya, sekian ide yang sudah dipupuk dan semakin matang sampai hari ini.
"Anggap saja begitu. Aku punya penawaran untukmu."
"..."
"Seperti yang kau pikirkan beberapa waktu lalu. Aku punya misi yang harus kuselesaikan dan aku butuh bantuan orang dalam. Yang kau bilang benar, firewall di kementerian ini begitu hebat. Butuh akses berlapis untuk mengakses informasi yang konfidensial."
Jaehyun mengangguk karena informasi ini bagaikan kaset rusak dari apa yang dikatakannya pada teman lamanya tempo hari. Namun, ia tak habis pikir dengan motif gadis di sampingnya. Buat apa ia repot-repot mengais informasi dari Kementrian ini? Atas perintah apa?
"Lalu, apa yang aku dapatkan kalau aku memberimu akses?"
"Being your girlfriend."
"Are you kidding me?"
"No. Aku sudah dengar alasanmu tak terpilih sebagai staf ahli sementara keahlianmu jauh di atas Song Kang Oppa."
Seulas senyum tipis terukir di bibir Jaehyun. Ya, Rose tahu kalau Jaehyun lemah akan pujian dan ternyata setelah waktu berlalu, pria itu masih saja sama. Sekalian saja ia berikan lip service.
"Kalau memang masalahnya adalah orientasi seksualmu. Mari kita tunjukkan kalau kau normal. Setidaknya sampai kau memperoleh apa yang menjadi hakmu. Kau hanya perlu meyakinkan dewan bahwa kau pria berkehidupan normal yang layak menjadi seorang pejabat publik, bukan?"
Jaehyun menoleh pada gadis di sampingnya. Mata pria itu menatap sang Gadis dalam. "Apa motivasimu?"
"Seperti?"
"Mendekatiku. Meskipun berita orientasiku menyebar luas, toh para wanita juga masih mengekoriku. Idemu hanya membuatku semakin buruk. Mereka akan menganggapku bisex."
Rose baru terpikir kemungkinan lain yang bisa terjadi. Namun, otaknya tak kurang akal untuk mencari solusi.
"Ya, kau hanya perlu dekat denganku tanpa berkencan dengan pria manapun. Bagaimana?"
Jaehyun mengerutkan keningnya. "Maaf, aku tidak bisa."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top