Part 2 - First Mission

Ponsel Rose berdering, membangunkan gadis itu dari tidurnya. Kepalanya masih terasa pening. Namun, tangannya bisa meraba-raba nakas dan kasur untuk menemukan benda persegi pipih yang sudah mengacaukan mimpi indahnya. Perlahan, ia bangkit dari posisi tidur dan menyandarkan tubuhnya pada bantal.

"Sudah bangun?" sapa suara di ujung.

"Tentu sudah, Eonnie. Bagaimana aku mengangkat teleponmu kalau masih tidur?" jawab Rose diikuti kikikannya. Padahal ia salah mengusap arah layar ponsel saking masih terkantuk.

"Dengan siapa kau pulang kemarin? Di hotel mana?"

"Hotel?"

Rose terdiam sesaat, pandangannya mengedar ke penjuru ruang, menelisik pemandangan sekitarnya. Masih ada gitar akustik berwarna hitam tergantung di dinding serta dekorasi bernuansa peach yang merupakan pemandangan rutin setiap matanya terbuka di pagi hari. "Aku baru tahu kalau kamarku tampak seperti hotel."

"Kau tidak bohong 'kan? Syukurlah kalau kau selamat sampai rumah. Kau pergi sebelum aku menjemputmu. Besok jangan diulang lagi!"

Bola mata Rose berputar, ia tak ingat banyak apa yang terjadi semalam. Pergi ke club, bertemu pria tampan, masuk ke diskotek, minum, dan .... Rose hampir memekik mengingat apa yang terjadi selanjutnya. Namun, ia tak ingin membuat temannya lebih panik.

"Tentu, kita bisa menggunakan video call kalau kau mau," jawab Rose sedikit kalut.

"Tidak perlu. Aku hanya ingin memastikan kau selamat," ujar Jisoo mengakhiri panggilannya.

Rose melempar ponselnya ke sisi ranjang yang kosong dan menggaruk kepalanya frustasi. Ragu apa yang ada di pikirannya sebatas mimpi atau kenyataan. Gadis itu tak bisa mengingat dengan jelas apa yang dilakukannya semalam setelah mabuk, selain aroma woody musk yang bahkan masih tersisa di tubuhnya. Meskipun ini aroma parfum wanita, sekelibat muncul bayangan wajah beberapa pria yang dilihatnya. Entah yang mana pemilik aroma hangat dan segar ini.

"Wah, aku sudah gila sepertinya. Bagaimana bisa tubuhku beraroma seperti —Tom Ford—White Suede ketika aku saja tak memiliki parfum itu?"

***

"Perkenalkan, saya Lee Jiho. Usia 25 tahun. Mulai hari ini saya bekerja sebagai Staf Administrasi di Kementerian ini. Mohon bantuannya."

Perut Rose terasa mual ketika harus memperkenalkan diri di hadapan setidaknya 10 orang yang berada dalam divisi yang sama dengannya, General Affair. Meskipun kalimat tersebut sudah lebih dari 5 kali dilafalkannya sebelum tidur, bibirnya masih saja kelu setelah melakukannya dengan nada yang begitu manis.

"Sudah menikah?" tanya seorang pria berperut tambun dengan pakaian yang kekecilan.

"Maaf?"

Demi Tuhan, ia paling benci pertanyaan seputar hubungannya dengan laki-laki. Pertama, ini tidak sopan disampaikan di perjumpaan pertama. Kedua, hal itu sama sekali tidak penting untuk dibicarakan, apalagi di dunia kerja. Sangat tidak profesional. Kalau Rose sedang menjadi dirinya sendiri, ia siap berdebat untuk merespon pertanyaan itu. Namun, sekarang ia adalah seorang Lee Jiho. Gadis polos dan ramah yang akan memikat banyak orang. Jadi, ia harus menahan semua ide bar-barnya.

"Ah, sepertinya kau terlalu muda untuk menikah. Salah pertanyaan, Sunbae. Kau sudah punya kekasih?"

Kali ini candaan mencuat dari pria tampan yang sayang kelakuannya sama sekali tidak tampan. Terlepas Rose adalah karyawan baru, tidak seharusnya pria itu bersikap sok akrab. Melihat fitur wajahnya, Rose yakin kalau pria itu lebih muda darinya. Bisa jadi, fresh graduate.

"Anak baru sok tahu," tukas pria berperut tambun seraya memukul belakang kepala si pria tampan, "jadi, bagaimana?"

Rose melirik ke kanan, seakan meminta pertolongan pada atasannya. Namun, wanita berusia senja itu hanya tersenyum samar. Oh, tidak. Rose ternyata sama sekali belum siap bersikap manis. Jujur, ia punya trauma.

"Bagaimana apanya?"

Pertanyaan yang dikembalikan oleh Rose membuat pria berpakaian ketat itu mendengus. Antara kesal menganggap Rose tak punya sopan santun atau otak Rose kelewat bodoh.

"Kenalkan, aku Kim Woojae," ucap pria itu, tak lagi mencari ribut. Perkenalannya dilanjutkan oleh staf lain yang tergabung di divisi yang sama. Untung saja, hanya ada satu Woojae di sini. Jadi, Rose tak terlalu pusing.

"Ehm, yang terakhir, satu-satunya pria paling mempesona di Kementerian Agraria, Infrastruktur, dan Transportasi, Hwang Ukhui."

Cengiran Rose tergambar jelas. Sungguh menyesal ia memuji bocah itu dalam hati, tadi. Tingkat kepercayaan dirinya sangat tinggi dan menggelitik. Tampan sih tampan, tapi masa tidak ada yang lebih mempesona dari si Bocah di kantor sebesar ini.

***

Suasana ruang meeting A Kementerian Agraria, Infrastruktur, dan Transportasi siang ini begitu panas. Setiap bulannya, setiap direktorat mengirimkan perwakilan untuk datang pada rapat bersama yang diadakan di ruang ini, mulai dari pelaporan progress program kerja utama hingga isu terkini yang berdampak. Meskipun termasuk dalam kategori rutin, bukan berarti meeting berjalan tenang tanpa ada perdebatan.

"Terima kasih kepada pimpinan atas kesempatannya. Berkaitan dengan keberadaan Chungju Dam, di rapat kerja sebelumnya, representasi dari North Chungcheong sudah mengingatkan mengenai kondisi ketika hujan yang sering menimbulkan genangan yang mengganggu keselamatan pengguna jalan. Jadi, saya ingin follow up rencana kajian ulang di awal tahun ini?" tanya Lee Jongwook selaku Direktur Jendral Transportasi.

Beberapa staf Direktorat Infrastruktur mulai melirik satu sama lain. Seolah menunggu salah seorang dari direktoratnya untuk bicara.

"Izin berbicara, Pimpinan. Tahun ini, kami memiliki fokus utama dari hasil refocusing, seperti pembangunan gelanggang olah raga di Busan dan Daegu; pasar modern di Changwon dan Goyang; dan rumah susun di Yeongsan, Anyang, dan Incheon. Penetapan ini sudah dilakukan berdasarkan hasil pengkajian tim kami pada bulan Maret lalu mengingat puluhan target yang tidak feasible," ujar Direktur Jenderal Infrastruktur tanpa mewakilkan jawabannya pada siapapun.

Direktur Lee tersenyum simpul. Pria itu melirik wajah lawan bicaranya yang sedikit kesal. Sudah sejak bulan lalu ia ingin mengangkat isu tersebut dalam rapat kalau saja ia tak punya permasalahan lain yang lebih penting.

"Maaf, berdasarkan apa penentuannya, Direktur Kim? Kita tahu bersama bahwa keselamatan rakyat adalah prioritas kita."

"Wah, sudah tentu hal itu menjadi dasar assessment kami, Direktur Lee. Tapi, apa perlu kami jelaskan satu per satu di sini? Ini bukan rapat internal direktorat 'kan?"

"Setidaknya, berikan penjelasan yang rasional atas salah satu proyek pilihan Anda."

"Untuk rumah susun di Yeongsan, penggusuran dilakukan di awal tahun. Jika kita tidak segera memulai pelelangan dan eksekusi pembangunan, maka akan semakin banyak tuna wisma yang berkeliaran di Yeongsan."

"Apakah tuna wisma lebih penting dari korban kecelakaan?"

Direktur Kim berdecak kesal. Ia pikir, ia sudah memberikan alasan yang masuk akal mengingat jumlah pihak yang terimbas jauh lebih besar dibandingkan dengan proyek di Chungju Dam. Apapun yang terjadi, ia tak akan mengizinkan timnya untuk menukar daftar proyek hasil refocusing dengan proyek yang kurang berdampak.

"Meskipun terlihat ringan, tunawisma di musim gugur apalagi musim dingin sangat berbahaya. Seberapa penuh rumah sakit akibat hipotermia para tunawisma? Sedangkan kejadian kecelakaan itu, berapa insiden setiap bulannya? Bukankah pemerintah setempat bisa memberikan warning agar warga hati-hati?"

Menjadi salah satu bagian dari Direktorat Transportasi membuat kuping Jaehyun panas. Keilmuannya dalam manajemen atau bahkan manajemen konstruksi bisa dikategorikan biasa saja, tapi menurutnya, Direktorat Infrastruktur hanya berada di zona nyaman dengan menetapkan jumlah proyek di bawah kapasitas yang dimiliki. Jadi, jangan salahkan pria itu kalau ia tak bisa menahan mulutnya seperti biasa, "Izin bicara pimpinan."

"Silakan," ucap pimpinan rapat yang duduk di tengah ruangan.

"Saya sangat mengapresiasi refocusing yang dilakukan oleh Direktorat Infrastruktur. Namun, berkaitan dengan penundaan proyek di Chungju Dam, agaknya sulit untuk dikuantifikasi atau kita bisa merujuk dari data yang dikirimkan oleh representasi tersebut saat rapat kerja," tutur Jaehyun mulai berpendapat.

Bibir Direktur Kim menyunggingkan senyum yang ... cenderung meremehkan. Well, Jaehyun tahu itu dan ia jadi tidak ingin kalah.

"Saya kira cukup saya bacakan, pada caturwulan terakhir tahun 2023, tercatat 20 insiden kecelakaan sedang dan 5 yang masuk kategori severe. Untuk ringan, tentu lebih banyak. Dari rincian data tersebut, kita bisa melakukan analisis risiko bersama. High probability, medium tends to be high severity. Detectability ya dari catatan kantor polisi dan rumah sakit. Karena kerasnya debit air, saluran air yang dibangun di tahun 2020 sudah dilaporkan retak kembali," jelas Jaehyun membacakan laporan yang diperolehnya awal tahun. Pria itu masuk kategori orang yang detail dan cermat. Sekali informasi masuk dalam radarnya, ia akan menyimpan baik-baik.

"Lalu, Anda minta kami mengganti proyek rusun dengan perbaikan dam?"

Jaehyun mengernyit. Ia belum berkata apa-apa tapi nada bicara Direktur Kim sudah defensif.

"Tidak ada yang meminta untuk mengeleminasi proyek rusun, Direktur Kim. Bagaimana kalau kita berpikir lebih luas?" ujar Direktur Lee seraya melirik Jaehyun.

Menangkap umpan yang dilemparkan oleh sang Direktur, Jaehyun kembali mengutarakan pendapat, "Saya pikir rehabilitasi dam bukan proyek yang besar. Kita tidak sedang membahas revitalisasi atau pembangunan infrastruktur baru. Kalau saya baca kasusnya, bisa dilakukan perbaikan apakah dengan sodetan atau penambahan saluran air. It's not a big deal."

Perdebatan Jaehyun dan Direktur Kim turut menggugah Staf Ahli Direktorat Infrastruktur untuk angkat bicara, "Izin berpendapat, Pimpinan. Anda menganggap ini sebagai hal kecil berdasarkan laporan dari representasi Provinsi North Chungcheong. Umumnya, hasil assessment kita akan menunjukkan permasalahan yang lebih kompleks dan perbaikannya tidak lagi not a big deal seperti yang Anda katakan."

"That's the point, Sir. Semakin kompleks menunjukkan proyeksi permasalahan ke depan jauh lebih besar. Puncak gunung esnya saja seperti ini. Apa kabar kondisi di bawah laut?"

Bibir bawah Jaehyun terlipat ke dalam ketika pria itu memamerkan senyum puasnya yang cukup menyebalkan lawan bicara.

"Tapi, tetap saja itu tidak masuk refoccusing tahun ini."

"Seingat saya, tahun kemarin ada lebih dari 30 proyek besar yang ditangani Direktorat Anda. Lalu, mengapa tahun ini kurang dari 10?"

Jaehyun sudah bosan berbasa-basi. Ia pikir lebih baik untuk menyerang intinya agar perdebatan ini segera berakhir.

Staf ahli tersebut diam sesaat sebelum kembali berujar, "Tentu karena skala proyek tahun ini jauh lebih besar dari tahun sebelumnya. Rehabilitasi Gelanggang Olah Raga di Busan harus kita siapkan segera untuk meningkatkan chance Korea Selatan kembali menjadi tuan rumah FIFA di tahun 2030. Proyek ini setara dengan 10 hingga 15 rusun."

"Jadi, menjadi tuan rumah FIFA memiliki prioritas lebih tinggi dari keselamatan warganya?"

"..."

Ruang rapat menjadi hening untuk beberapa saat. Jaehyun yakin pertanyaan terakhirnya akan mengalahkan pendapat staf ahli dengan telak.

"Kami tidak bermaksud mencampuri urusan Direktorat Infrastuktur yang terhormat, tapi kami ingin mengingatkan tanggung jawab kita bersama. Jika memang GOR adalah masa depan negara kita dalam FIFA, saya agak bisa mengerti. Begitu juga dengan rusun. Saya pikir, Jaehyun mengatakan bahwa Chungju dam bukan proyek yang besar agar tidak perlu ada proyek under listing yang dieliminasi. Itu menjadi pilihan Anda sekalian, eliminasi atau substitusi," papar Direktur Lee berusaha menengahi. Sebagai mentor sekaligus atasan Jaehyun, ia harus menjalankan peran tersebut pada setiap argumen yang disampaikan oleh mentee-nya.

"Terima kasih untuk masukannya, Direktur Lee dan Tuan Moon, akan kami pertimbangkan," ucap Direktur Kim memfinalisasi.

Direktur Lee dan Jaehyun tersenyum puas. Keduanya hampir selalu memiliki visi yang sama sekalipun siang ini mereka tidak berencana untuk mengangkat kasus Chungju dam. Perdebatan itu sekaligus menjadi penutupan dari rapat yang sudah berlangsung selama hampir 3 jam. Jaehyun pun merapikan tab di mejanya dan beranjak dari ruang meeting.

Tepat ketika ia melangkahkan kaki menuju koridor, matanya bersirobrok dengan sosok yang disorotinya dalam diam. Ia menunggu ada pihak lain yang menyemarakkan perdebatan mereka.

"Katanya staf ahli, kenapa hanya diam?" gerutu Jaehyun, mengabaikan lirikan beberapa orang yang keluar bersamanya dari ruang meeting.

Song Kang tersenyum tipis. Pria itu tahu, ia yang dimaksud oleh Jaehyun. Siapa lagi staf ahli yang hadir di meeting bulanan dan tidak bersuara, selain dirinya. Ya, setelah pengumuman yang menggegerkan seisi kantor, Song Kang bersama jajaran pejabat baru dilantik per Senin kemarin dan hari ini ia sudah mulai menjalankan peran barunya.

"Bicara denganku, Jae?"

Jaehyun tak mengindahkan sapaan Song Kang, matanya menatap lurus bak memakai kaca mata kuda.

"Kalau mau bicara denganku harusnya jangan jalan di depanku. Bagaimana? Bagaimana? Kau punya masukan apa lagi?"

"Maaf, jangan curi ide orang lain."

"Astaga. Kau masih sensitif sampai sekarang. Susah sekali memaafkanku? Padahal kita sudah minum bersama, lho," ujar Song Kang akrab. Sekalipun pria itu mendapat perlakuan tak bersahabat dari Jaehyun, ia tak mau ambil pusing. Baginya, ia tak punya masalah dengan pria bermarga Moon itu. Sikap sinis Jaehyun justru membuatnya ingin semakin akrab.

"Kalau tidak karena Mark, aku tidak mungkin bertahan di sana. Lagi pula, aku tidak sudi."

"Oh, iya. Jangan terlalu antipati padaku. Aku tidak tersinggung, tapi simpatisanku bisa mengacaukan pekerjaanmu," ucap Song Kang seraya menepuk pelan bahu Jaehyun dan berlalu.

***

Mengurus administrasi sama sekali tak pernah menjadi pekerjaan favorit Rose. Buktinya, di hari pertama kerja, sudah beberapa kali kepalanya nyaris terjatuh ke meja akibat tertidur. Gadis itu lebih menyenangi hal-hal yang mengutamakan analisis ataupun berpikir kritis. Itu juga alasan mengapa ia memilih untuk melamar sebagai investigator meskipun ia adalah seorang sarjana teknik. Sebenarnya, ia berharap hari ini akan melakukan office tour atau apapun yang memungkinkannya mempelajari medan. Namun, ia pelru mensukseskan penyamarannya sebagai karyawan yang ramah dan giat. Apapun agar disukai oleh semua orang.

"Jiho, tolong ambilkan proposal dan laporan proyek Chungju dam. Kalo tidak salah, proposal di tahun 2020 dan laporannya 2022."

Baru saja Rose akan kembali tertidur kalau atasannya tak memanggil dan memberi tugas.

"Di mana saya bisa mengambilnya?"

"Ada di ruang arsip di sebelah ruangan ini. Tolong sekalian kau antarkan ke ruang Dir. Jend. Infrastruktur, ya. Penting."

"Baik," jawab Rose seraya berlari kecil meninggalkan mejanya.

"Satu lagi, kalau posisinya terlalu tinggi, panggil saja OB atau cari tangga di sana."

Rose mengangguk patuh. Gadis itu mengulum senyum. Ruang arsip akan menjadi tempat yang menarik. Bukankah di sana salah satu depo informasi kementerian ini?

Tidak sukar bagi Rose menemukan ruangan berpintu hitam dengan access control di dekat handle. Ruangan sepenting ini tentu memiliki keamanan yang ketat. Namun, sangat disayangkan atasannya sudah memberikan tugas yang berisiko di hari pertama.

Tentunya, gadis itu tak memanggil seorang pun untuk membantu. Apalagi suasana ruangan yang sepi cukup mendukung Rose untuk memeriksa dokumen yang diperlukannya. Sebagai orang baru, ia bisa beralasan tidak menemukan dokumen yang dicari untuk berlama-lama di sana.

Penataan ruangan yang terstruktur, memungkinkan Rose menemukan deretan dokumen dengan mudah, termasuk arsip tahun 2023, Laporan Proyek ekspansi Bandara Incheon. Gadis itu menyeringai dan menarik tangga lipat teleskopik setinggi 2 meter untuk meraih salah satu ordner berwarna hitam. Tanpa menunda, tangannya sibuk memeriksa dokumen di dalamnya. Kedua alisnya bertaut dalam waktu beberapa detik setelah membuka lembar demi lembar.

Gerakannya tangannya semakin cepat dan kepalanya menggeleng kepala tak percaya mendapati isi dokumen yang sama sekali tak sesuai dengan judul pada tepi ordner. Gadis itu sampai membuka ordner dengan judul serupa ataupun ordner lain pada baris yang sama. Sayangnya, ia tak mendapat petunjuk, di mana dokumen yang dicarinya. Gadis itu sampai menghentakkan kaki tanpa sadar, yang membuatnya kakinya memijak udara.

Bug.

Rose kira tubuhnya menghantam rak atau lantai, tetapi ia justru merasakan sandaran empuk dengan sebuah tangan yang memeluk perutnya. Pelan-pelan ia membuka mata dan melepaskan pegangan tangannya dari tangga.

"Lain kali hati-hati."

Tubuh Rose membeku untuk sepersekian detik. Suara bariton itu membuat dunianya seperti berhenti berputar. Tepat ketika tangan yang menahan perutnya terlepas, gadis itu refleks menoleh. Hampir saja ia memekik kalau ia tak memiliki pengendalian diri yang baik.

"Kau ..."

Rose menarik tubuhnya mundur dan gadis itu mengangkat tangannya untuk berjabat..

"Jiho. Perkenalkan, aku Lee Jiho. Staf Administrasi yang baru."

***

Rose kenalan sama siapa ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top