Part 10 - Annoying

"Good morning, Sir."

"Morning, Jae."

"You seem to be in a good mood today," sapa Jaehyun ramah, menangkap semburat senyuman di bibir Tuan Lee, atasan sekaligus mentornya.

Pria itu melebarkan senyumnya, tapi manik matanya masih tertuju pada seduhan kopinya yang semerbak memenuhi ruangan. Ya, sesibuk-sibuknya Direktur Jenderal Transportasi, pria itu selalu menyempatkan diri menyeduh kopi sendiri di ruang kerjanya, seperti sebuah pewangi alami.

"Of course. The sensation of my wedding anniversary is still lasting. Moreover, I have you who will represent me at the Summit in two weeks."

"Tunggu, Tuan Lee ... Kenapa Anda tiba-tiba memberikan undangan langsung kepada saya, tanpa penjelasan apapun sebelumnya?"

"Kau marah? Sebaiknya tidak karena aku mengirimmu bukan karena lari dari tanggung jawab. Ini adalah International Conference on Civil Engineering and Architecture. Bukankah kau pernah bilang ingin menjadi speaker di sana?"

Astaga! Mimpi apa Jaehyun semalam sampai mendapat sinyal untuk mewujudkan satu milestone besarnya. Mungkin ini adalah buah kesabarannya setelah bersabar dengan fakta kekasihnya yang mulai menjauh selama hampir seminggu. Tapi, ia sadar, anggapan itu sama sekali tidak berkorelasi.

"Tidak secepat ini. Apa yang bisa saya sampaikan?" tanya Jaehyun masih tak percaya. Ia yakin Tuan Lee tidak mungkin baru mendapatkan undangan sebagai pembicara seminggu sebelum acara.

"Jangan dibuat pusing. Penyelenggara sudah mengirimkan ToR—Term of Reference—nya. Kau bisa baca dulu. Lagi pula, kau sudah sering membuatkanku materi kuliah tamu. Sering juga menggantikanku mengisi kuliah. Prinsipnya sama. Hanya saja kau perlu melakukannya dalam skala yang lebih luas dan ... bergengsi."

Well, Jaehyun pernah ingin menjadi pembicara dalam event berskala internasional untuk meningkatkan pamor dan influence-nya. Ia memang ingin mengabdikan diri untuk negara. Namun, bukan berarti ia berhenti bercita-cita menjadi tokoh berpengaruh di Korea Selatan maupun dunia. Dan, ini adalah jalan ninjanya. Ia bisa terkoneksi dengan banyak pakar di sana.

"Kau ini kebanyakan berpikir. Kata anak sekarang ... overthinking. Stop and just do it!"

Jaehyun tak menolak, tapi ia belum mengiyakan. Ia masih berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini nyata.

"Kalau kau butuh dukungan moril, ajak saja kekasihmu ke Jeju. Kalian bisa sekalian berkencan di sana."

"..."

Tuan Lee terkekeh sendiri dengan saran yang terlontar dari mulutnya. "Bukan kekasih priamu, tapi Lee Jiho. You have to make a scene."

Satu, dua, tiga. Jaehyun baru tertawa setelah detik ketiga. Ia sadar, atasannya tak mungkin mengizinkannya membawa teman pria ke seminar bergengsi itu kalau masih ingin menjaga image instansi. Terlepas berlibur bersama wanita tanpa hubungan resmi tetap memberikan citra kurang baik, untuk kasus Jaehyun, hal ini justru lebih dibutuhkan. Masalahnya adalah, bagaimana cara Jaehyun bicara jika melihat wajahnya saja, gadis itu tak sudi.

***

Cheers!

"Jiho, kau harus minum yang banyak."

"Aku tidak bisa mabuk."

"Astaga kau tidak menyetir. Kalaupun menyetir, masih ada taksi."

Rose tetap menolak ajakan dari Woojae. Malam ini, ia memenuhi undangan Kepala Im untuk merayakan keberhasilan departemennya menyelesaikan audit ISO yang sudah berlangsung selama dua hari ke belakang. Awalnya ia sudah khawatir kalau perayaan ini akan dihadiri oleh seluruh personil Kementerian atau mungkin semua anggota tim persiapan sertifikasi ISO. Untung saja, selebrasi itu akan dilakukan ketika secara resmi instansi mereka mendapatkan sertifikat. Sementara itu, untuk hari ini semua hanya inisiatif dari Kepala Im.

"Ya, Woojae! Jangan memaksa dan membuat rekanmu tidak nyaman," ucap Kepala Im mengingatkan stafnya yang paling senior di General Affair.

Pria itu mengangguk, terpaksa patuh. Tapi, mulutnya tak akan diam dan ia masih punya topik untuk dibicarakan. "Kalau aku bilang tidak pernah berkencan apa kalian akan percaya?"

"Tidak."

"Kalau aku sih, iya," jawab Ukhui dengan senyum jahilnya.

Meskipun Eunha sering berbeda pendapat dengan Woojae, terkadang ia menjadi sosok yang mengerti ke mana arah pembicaraan pria yang lebih tua darinya itu. "Kau ini, senang sekali menyulut amarah Woojae."

Tak akan membenarkan, Eunha lebih sering meredam emosi untuk hal-hal yang bersifat personal, seperti sekarang.

"Memang iya. Harus kuakui Sunbae agresif, tapi probabilitas keberhasilannya relatif kecil. Jiho noona saja gagal digaetnya," cerocos Ukhui yang tidak mengerti atau mungkin tak peduli dengan upaya Eunha menetralkan suasana.

"Enak saja. Jiho lebih cocok kujadikan adik dari pada kekasih, bodoh!"

"Atau kau malas berurusan dengan Moon Jaehyun?"

"Kalau aku begitu, tak akan kuajak Jiho ikut kita malam ini."

"Yang mengajak Jiho noona bukan kau, tapi Kepala Im," bantah Ukhui yang diamini oleh pimpinan mereka. Wanita yang diperkirakan sudah menginjak kepala tiga itu tak banyak bicara. Sesekali ia menertawakan selorohan Woojae ataupun Ukhui selama masih pantas dan beretika.

"Memang Jaehyun tidak masalah kau minum dengan kami begini? Maksudku, ada dua pria kurang belaian," ujar Eunha memperingati.

Rose tertawa samar. "Astaga! Kalian jangan terlalu khawatir. Hubungan kami itu ... cukup dewasa. Jaehyun tak seprotektif itu dan kami bisa saling memahami kesibukan masing-masing. Lagi pula, aku juga tak pernah melarangnya minum dengan rekan satu direktoratnya."

"Antara penuh konsiderasi atau tidak peduli menurutku," seloroh Woojae jujur yang lantas mendapat lirikan tajam dari Eunha.

Pria itu meneguk lagi soju dari sloki di atas meja dan berujar, "Rahasia umum kalau dia gay, bukan? Jadi kalau dia tak peduli pada teman wanitanya, itu masuk akal."

Ukhui yang duduk di depan Woojae merapatkan posisinya pada meja. Ia berlagak serius dengan menggerakkan sumpitnya. "Lalu, menurut kalian, kenapa beberapa hari lalu ia memberikan ultimatum pada Kang sunbae?"

Rose tertegun. Ia ingat intervensi Jaehyun yang entah datang dari mana ketika Song Kang akan mengajaknya makan siang. Gadis itu tak kuasa menahan tawa. Sebenarnya Jaehyun adalah pria yang baik, bahkan ia bisa menobatkan pria itu berada di urutan ketiga setelah ayah dan adik laki-lakinya. Ya, tapi sebelum pria melemparkannya pada Taeyong seakan kedekatan mereka di masa lalu tidak ada artinya.

"Tapi, kenapa kau tidak memilih keduanya dan justru kembali ke ruangan, Jiho-ya?"

Pertanyaan yang bagus dari Eunha. Rose terdiam beberapa saat. Ia merasa tak nyaman berada di dekat Jaehyunsejak kejadian di galeri akhir minggu lalu. Ada rasa bersalah telah memuntahkan isi perutnya saat berada di dekat Jaehyun. Terlepas, sempat terbesit rasa bahwa Jaehyun berhak merasakan sebagian konsekuensi dari trauma yang dialaminya kini.

"Bagaimana, ya? Aku tidak enak pada Kang Oppa. Lebih baik aku tak memihak pada siapapun."

"Hmm. Kalau kau dan Jaehyun sudah berkomitmen, sebaiknya kau enyahkan rasa sungkan pada pria lain. Sikapmu kemarin bisa melukai egonya—Jaehyun— sebagai pria. Aku memang tidak mengenal Jaehyun sebaik mengenal Kang, tapi dia bisa merasa kau tak menghargainya," nasihat Kepala Im yang tidak terduga, "sudah menjadi nature lelaki seperti itu. Kalau itu Kang, bisa kupastikan ia akan sangat frustasi. Tapi karena posisi mereka justru sebaliknya, kau bisa dianggap memberi harapan pada Kang."

"Sebentar, Kepala Im. Kenapa interpretasi Anda sangat jauh?"

"Oh, itu hanya dugaanku, Jiho," ujar Kepala Im diiringi tawa, tapi tatapannya sungguh penuh arti.

Ah, ketika hubungannya dengan Jaehyun dibahas dalam forum seperti ini, ia benar-benar merasa ditelanjangi. Gadis itu malu, hingga ia meneguk habis segelas soju yang sebelumnya tidak tersentuh dan menambah beberapa teguk lagi.

"Terima kasih, Kepala Im. Saya akan lebih menjaga sikap di lain waktu."

Tak selaras dengan ucapannya, wajah Rose justru menggelap setelahnya dan ia lebih banyak terfokus untuk menghabiskan isi dari botol-botol Soju yang berada di dekatnya. Rose sendiri sampai tak habis pikir ketika menyadari isi sebotol soju yang telah tandas.

"Kau terlihat cukup mabuk, Jiho-ya. Kami antar pulang?"

"Oh ... tidak," ucap Rose gelagapan dan berusaha menjaga kesadarannya, "kalian tidak perlu khawatir. Dia — Jaehyun—akan menjemputku dari sini."

"Benarkah?" tanya Woojae, Lucas dan Eunha bersamaan.

Rose mengacungkan jempol kirinya. "Of course!"

Meski masih enggan bertemu Jaehyun, Rose tak bisa membiarkan orang lain terus-terusan meragukan hubungannya dan Jaehyun. Karena itu, diam-diam tangan kanan Rose mengambil ponsel dan mengetik pesan untuk pria yang disebut-sebutnya sejak tadi. Ia sudah tak peduli lagi dengan rasa bersalahnya.

Jaehyun

Kalau kau ingin image-mu terjaga, jemput aku di BBQ Campsie pukul 10 malam ini.

Orang-orang terus meragukan hubungan kita!

***

"Astaga, kau ini manusia atau apa?" gerutu ibu Rose dari celah pintu, mendapati fenomena yang ditemukan di kamar putrinya yang sudah bukan anak-anak.

"Eomma! Kenapa masuk tanpa mengetuk?" keluh Rose dengan muka sebal.

Sang Eomma justru melangkah ke dalam kamar tanpa mengindahkan keluhan putrinya dan mengamati setiap sudut yang lebih mirip sarang burung puyuh. Setidaknya ada 5 botol bekas minuman dan belasan kemasan makanan ringan yang terlihat bertebaran di lantai.

"Kau sendiri pakai penutup telinga 'kan? Sudah Eomma ketuk dari kemarin tidak menjawab. Kau sudah melewatkan dua kali makan malam. Kau ingin sakit?"

Rose menghela napas panjang di kursinya. Eomma-nya tidak salah memang, sudah lebih dari 24 jam, gadis itu terfokus di depan laptop, berkutat dengan berbagai laporan, tanpa mandi dan tidur, seperti mahasiswa semester akhir. Kelulusan tak serta merta membebaskannya dari hal semacam ini. Hanya menurunkan intensitas begadang dari hampir setiap hari menjadi sebulan sekali, di pekan terakhir setiap bulannya. Kalau dipikir-pikir, seorang karyawan sepertinya seharusnya bekerja lembur di kantor untuk laporan semacam itu. Namun, perkara konsentrasinya yang mudah buyar, ia memutuskan mengajukan diri untuk menyelesaikan semua laporan dengan work from home atau lebih tepatnya work like a romusha.

"Ini juga? Sudah tidak makan, justru minum kopi 1,5 liter. Astaga, sebegitu pentingnya laporanmu itu sampai hidup tidak sehat? Kalau kau besok sampai mengeluh masuk angin lagi, Eomma tidak akan memijat tubuhmu. Sakit itu dicegah bukan hanya diobati."

"..."

Rose masih belum menjawab keluhan ibunya. Ia hanya memijat pelipis yang memang mulai nyutnyutan. Salahkan Jaehyun untuk semua omelan ini karena betapa bodohnya pria itu yang mengantarkan Rose pulang ke Seoul bukan apartemennya di Sejong. Pria itu beralasan di lantai mana Rose tinggal ataupun password gadis itu.

"Eomma tahu kita hidup di negara yang sangat kompetitif, tapi bukan berarti kau mendewakan pekerjaan. Sudahlah, Eomma sangat bangga dengan karirmu sekarang."

Bukan. Rose tak sedang mendewakan pekerjaannya. Ia hanya sedang bertanggung jawab menyelesaikan apa yang sudah menjadi komitmennya.

"Apalagi, Eomma lihat kau punya kekasih yang tampan dan sepertinya kaya. Bukankah kau perlu lebih santai?"

Untuk yang satu ini Rose tidak ingin merespon. Pertama, tidak seharusnya ibunya berharap pada Jaehyun. Kedua, masih ada sedikit rasa bersalah pada pria itu soal insiden minggu lalu. Terakhir, ia kesal karena tidak biasanya pria itu mengirimkan beberapa pesan yang tidak penting dan mengganggu.

"Baiklah. Kalau Eomma sudah tidak perlu ikut arisan di Gangnam dan membiayai kuliah Minki, aku akan berhenti bekerja seperti ini."

"..."

Kali ini Eomma yang terdiam. Semenjak ayahnya meninggal dan perusahaan keluarganya bangkrut setelah dikelola Nyonya Park, hanya ada dua sumber pemasukan, dividen investasi keluarganya dan gaji bulanan Rose. Kalaupun ia tidak bisa memberikan uang arisan untuk ibunya mungkin tidak masalah. Namun, membiarkan adik kesayangannya harus putus kuliah, itu tidak akan pernah terjadi.

***

Setelah mengabaikan beberapa pesan yang masuk dari Jaehyun di akhir minggu, Rose bersedia menemani Jaehyun untuk pergi ke sebuah butik ternama di Seoul. Mungkin, Jaehyun mulai menganggap Rose hanya baik ketika ada butuhnya, tapi hidup memang sekeras itu. Ia harus memikirkan segala keuntungan dan risiko setiap keputusannya, termasuk soal waktu luangnya.

"Kau yakin mereka bertemu di sini?" tanya Jaehyun pada gadis berambut keemasan di samping kanannya.

Gadis itu merapikan rambut dan melirik Jaehyun sekilas, lantas ia mengangguk penuh keyakinan. "Kau tak bisa meragukan kemampuanku untuk mendekati Nyonya-Nyonya itu. Jelas sekali kalau Nyonya Min mengatakan suaminya punya jadwal fitting pada pukul 1 siang ini. Sama halnya dengan Nyonya Lee. Menurut informanku, tempat ini memang sering digunakan sebagai tempat berbincang para pejabat diam-diam."

"Sebentar ... kau bilang Nyonya Lee? Istri Tuan Lee?"

"Kalau yang kau maksud adalah Tuan Lee Jongwook, it's definitely true."

Kepala Jaehyun menggeleng lamban. Ia tampak berpikir keras.

"Itu hakmu untuk percaya atau tidak. Sejatinya manusia memang hanya mau mempercayai apa yang mereka inginkan," tutur Rose tanpa bermaksud menggurui, "Aku memang bertemu dengan Nyonya Min di arisan kemarin. Kau bisa menilai sendiri nanti. Tapi, dari kaca mataku, wanita itu cukup anggun dan baik hati dibandingkan ibu sosialita yang lain."

Jaehyun masih terdiam di kursi kemudinya, sekalipun Rose sudah mulai mendorong pintu mobil untuk keluar.

"Kau tidak mau turun?"

"Kita sudah tahu siapa Nyonya Min di galeri kemarin. Kalau sekarang, sepertinya ... aku tidak siap."

Rose sudah menduga, tepat ketika ia menyebutkan potensi keterlibatan Tuan Lee, Jaehyun akan meragukannya atau lebih buruknya, pria itu menjadi tampak kecewa. Bagaimana tidak, hubungan Jaehyun dan Tuan Lee sudah seperti ayah dan anak. Mungkin kalau Tuan Lee punya anak perempuan, pria itu bisa saja menjodohkan anaknya dengan Jaehyun. Tapi, seperti berita yang sudah menyebar belakangan ini, Tuan Lee agaknya sudah tak sepeduli itu pada anak emasnya.

Tangan Rose menarik kembali pintu mobil dan menatap Jaehyun serius. "Maybe, it's hard, but we have to solve this case, Jae."

"..."

"Kita sama-sama tidak tahu, apakah Tuan Lee ada di sini sebagai lawan atau ia juga punya intensi yang sama dengan kita. Jadi, ayo kita pastikan. Jangan biarkan dirimu hanya percaya dengan asumsi."

Jaehyun melirik mata Rose, mencari keyakinan di balik mata itu, dan lantas ia menarik napasnya panjang. Pria itu turun bersamaan dengan Rose dan melangkah pasti memasuki halaman butik dengan bangunan bergaya minimalis modern.

"Anggap saja kita impas, sebagai ganti asistensi untuk seminarku ke Jeju," bisik Jaehyun dengan tenang.

"Kau sinting!" amuk Rose yang tak kuasa memukul lengan pria bertubuh gempal itu. Ajakan ini bukan pertama kali Rose ketahui, Jaehyun sudah mengatakannya lewat pesan singkat di hari Sabtu. Rose pikir pria itu bercanda, tapi mendengar bagaimana ia selalu mengulanginya di setiap kesempatan, Rose ingin murka.

"Asal kau tahu. Itu sama sekali tidak profesional, Jae."

Jaehyun menangkap kedua pundak Rose untuk menenangkan sang Gadis. "Tidak juga. Aku mendapat rekomendasi untuk menunjuk siapapun staf dari General Affair, dan aku memilih Lee Jiho. Bukan karena —kau— kekasih Moon Jaehyun, tapi karena kinerjamu yang bagus."

"Orang tak akan bicara begitu."

"Sejak kapan kau peduli ucapan orang?" sindir Jaehyun yang lantas menghentikan langkahnya, "atau, kita kembali saja ke mobil? Aku tidak seperlu itu—"

Rose tak tinggal diam, ia menarik tangan Jaehyun untuk mengikutinya masuk ke dalam butik. Tak perlu kata-kata, tindak tanduknya sudah cukup menjelaskan. Rose setuju untuk mendampingi Jaehyun ke Jeju selama pria itu membantunya mencari tahu soal Tuan Lee dan Tuan Min.

***

"Sudah menunggu lama, ya? Perkenalkan, saya penjahit Choi Yongguk yang akan membantu Anda berkonsultasi. Benar dengan Tuan ... Moon Jaehyun?"

"Ya, benar. Moon Jaehyun," jawab Rose dengan senyum lebarnya.

Penjahit dari butik ini yang tampak beberapa tahun lebih tua dari Jaehyun menginstruksikan asistennya untuk membuka beberapa lembar halaman katalog untuk ditunjukkan pada calon customer baru-nya.

"Kain ini terlihat nyaman," ujar Rose yang ikut memperhatikan pilihan kain yang menurutnya tampak berkelas.

"Kau punya penglihatan yang jeli. Kain ini terbuat dari sutra dan kasmir. Jadi, bahannya adalah yang ternyaman untuk dipakai," puji Tuan Choi.

"Saya pikir warna dark navy cocok untuk daily look."

"Oh? Saya kira Anda membuat jas untuk pertunangan atau pernikahan."

"Tidak. Saya tidak punya rencana ke sana."

Rose melirik Jaehyun tajam. Terkadang ia kasihan pada Jaehyun. Kondisinya yang menjalin hubungan sesama jenis dengan pria yang tinggal di tempat yang sangat jauh membuat pria itu tidak dapat memiliki hubungan yang intim dengan orang yang dicintainya. Pernikahan pun menjadi hal yang mustahil kecuali Jaehyun rela melepaskan pekerjaannya.

"Saya pikir untuk daily look, warna yang cerah akan lebih menarik. Bukankah begitu?"

"Setuju. Untuk modelnya single suit saja cukup."

"Saya sependapat," tukas Tuan Choi seraya mengamati tubuh Jaehyun lamat-lamat, "melihat bentuk tubuh Anda, bagaimana dengan jas yang ramping dan kasual. Tidak ada lipatan dan lebih baik untuk tampil tanpa kerutan."

Jaehyun hanya mengangguk, ia tak terlalu tertarik dengan hal ini sebenarnya.

"Untuk cuff-nya, Anda lebih sering menggunakan jam di tangan kanan atau kiri? Kami akan menyesuaikan posisinya."

"Kanan."

"Kanan."

Kedua jawaban itu terlontar dari mulut Jaehyun dan Rose bersamaan, hingga keduanya saling memandang tak percaya.

"Saya pikir nona cantik ini menaruh banyak perhatian pada Anda. Maaf kalau saya lancang, apa Anda berdua memiliki hubungan spesial?" tanya Tuan Choi spontan.

"Anda berpikir terlalu jauh, Tuan," tandas Jaehyun cepat.

Rose mendengus. Untuk kesekian kalinya orang-orang tak melihatnya sebagai pasangan Jaehyun. Terlebih, ekspresi sang Tailor yang memandangnya remeh. Apa ia tampak seperti gadis tanpa masa depan ketika bersama dengan pria yang tidak punya niat menikah? Gadis itu menatap Jaehyun penuh harap. Entah klarifikasi apa yang akan diberikan pria itu, tapi pandangan Jaehyun tetap datar seolah tak menangkap maksudnya. Kenapa pria itu hampir tidak pernah punya inisiatif untuk meyakinkan publik soal hubungan mereka lewat hal-hal kecil seperti sekarang? Kenapa harus dengan pergi bersama ke Jeju yang lebih memungkinkan menimbulkan fitnah?

"Teman saya lebih menyukai pria tampan," kesal Rose yang kemudian beranjak dan beralasan perlu ke toilet.

Rose menggunakan kesempatan itu untuk mengobservasi butik yang terbilang kecil ini. Untuk tempat yang disebut-sebut sebagai tempat bersembunyi, rasanya berlebihan, hingga ia menyadari tangga menuju basement yang terlihat begitu mewah. Sesekali ia melirik ke sekitarnya, sembari terus melangkah menuju pintu yang menjulang dengan tulisan VIP.

"Agashi, apa yang Anda lakukan di sana?" tegur seorang wanita baya dengan pakaian rapi yang berjalan menghampirinya.

Mulai panik, gadis itu melirik tumbuhan hijau yang berada di kedua sisi pintu. Lantas, ia mengusap helaian daun yang berlubang-lubang itu.

"Monstera Adansonii. Jarang sekali aku melihatnya di Korea," tukas Rose cepat seraya mendekati tumbuhan tersebut."

Wanita baya itu terus melangkah ke arah Rose. "Benar, kami mendapatkannya dari salah seorang petinggi sebagai apresiasi atas karya-karya kami ketika grand opening butik kami di Gangnam."

"Didatangkan dari mana?"

"Kalau tidak salah dari Indonesia. Tuan Choi sudah mengidam-idamkan tanaman ini sejak lama."

Rose pura-pura mengangguk paham. Ia cukup tahu soal tanaman karena ibunya memang pernah menggemari tanaman-tanaman mahal, termasuk Monstera yang harganya melangit sampai jutaan won.

"Kupikir dari Thailand."

"Saya dengar tanaman tropis di Thailand sudah banyak mengalami rekayasa genetik. Tuan Choi lebih menyukai yang otentik dan –tanaman– itu hanya bisa didapatkan di hutan Indonesia."

"I see. Sepertinya aku harus menceritakan ini pada ibuku."

Wanita itu tersenyum anggun dan mengarahkanku untuk kembali menaiki anak tangga menuju lantai dasar. "Maafkan kami, Agashi. Area ini hanya untuk tamu VIP jadi kami harus menjaga tempat ini tetap steril."

Rose berlagak terkejut sebelum mengikuti langkah wanita baya itu.

***

Di sisi lain, Jaehyun kembali mengirimkan pesan pada Rose untuk segera kembali. Mungkin, jika Rose membaca pesan terakhirnya, sudah seperti SOS.

"Saya perlu menentukan titik di mana kedua tangan bertemu."

"50,5"

Jaehyun hanya berdehem melihat perilaku si Tailor. Pria itu beberapa kali menyentuh bagian tubuh Jaehyun terlalu lama dan terasa tidak perlu.

"Sampai di atas pantat cukup."

"Seharusnya ⅔ pantat agar tidak terlalu pendek," sanggah Jaehyun yang merasa semakin tak nyaman. Ia memang menjalin hubungan romantis dengan pria, tapi bukan sembarang pria. Itu juga setelah melalui pergulatan panjang.

"Maaf, saya harus menyentuhnya untuk mengukur lingkar dada Anda."

Jaehyun mengernyit. Sentuhan Tailor Choi ini lebih mirip belaian dan ia sudah merasa ini bagian dari pelecehan. Sebentar, apa ada kesalahpahaman di sini?

"Tunggu ..."

Jaehyun menjauhkan tubuhnya dari Tailor Choi dan menghubungi Rose melalui sambungan ponsel.

"Kau mencariku?" sapa Rose yang masuk ke dalam ruangan bersamaan dengan ponselnya yang berbunyi karena panggilan Jaehyun.

"Dari mana saja?

"Jalan-jalan."

"Ke mana?"

"Ke mana pun. Bukan urusanmu," ketus Rose dengan tatapan sinis.

"Duduklah di sana," titah Jaehyun seraya menunjuk kursi di tengah ruang. Sayangnya, tidak diamini oleh Rose. Gadis itu justru duduk di ambalan jendela sambil mengambil sembarang majalah yang ada di atas nakas.

Meskipun tak mendapat respon, setidaknya keberadaan Rose di sini membuat Jaehyun merasa sedikit aman. Namun, hal itu tak menghentikan tindakan si Tailor.

"Ooo. Sebaiknya kau tidak menekannya terlalu keras."

Suara Jaehyun kali ini sampai ke telinga Rose dan mencuri atensi gadis itu. Rose melirik dan Jaehyun menatap gadis itu seakan meminta pertolongan, tapi Rose melengos tak peduli.

Mata Jaehyun mendelik. Pria itu seperti akan mengumpat, tapi bagaimana bisa kalau Rose saja tak melihat ke arahnya sekarang.

"Anda mau apa?" tegur Jaehyun melihat si Tailor yang mulai melepas kancing baju Jaehyun.

"Saya akan membantu memakai."

"Tidak perlu. Saya bisa sendiri."

"Tapi ini sulit."

Jaehyun mengabaikan protes si Tailor dan mendorong pria genit itu keluar, serta menutup tirai dengan keras. Sebelum Tuan Choi semakin gila, Jaehyun mengganti pakaiannya dengan cekatan. Pria itu tak menggubris panggilan si Tailor dan berjalan ke arah Rose.

"Bagaimana?"

"Oh, it looks good on you."

"Bukan. Maksudku, kau suka tidak?"

"..."

"Atau aku perlu mengganti dengan model lain?"

Rose menatap Jaehyun dengan raut pongah, "Untuk apa?"

"Semua terlihat bagus ketika Anda kenakan, teman Anda pasti berpikir hal yang sama," potong si Tailor tanpa ditanya. Mengamini ucapan pria tua itu, Rose mengangguk.

"Chaeng, apa kau suka dengan penampilanku yang seperti ini?" tanya Jaehyun kembali.

"Bukankah yang berpakaian itu kau. Kenapa bertanya padaku?"

"..."

"Sebagai teman, sudah sepantasnya nona memberikan komentar yang baik."

Mata Rose menyipit pada Tuan Choi. Pada dasarnya, Jaehyun itu punya wajah tampan dan badan yang ideal. Dengan pakaian apapun ia akan terlihat mempesona. Sekalipun hanya dengan celana gombreng dan kaus lusuh. Apalagi, kalau pria itu kini menggunakan satu stel suit custom. Rose tak tahu harus bicara apa.

"Kupikir kau akan menyukai British Style, Chaeng. Jadi, kupilih model ini," ucap Jaehyun dengan nada sendu.

Rose terkejut. Ia tak pernah melihat ekspresi seperti ini dari wajah Jaehyun. Bukankah pakaian itu untuk Jaehyun? Apa penting pendapatnya? Meskipun semua ini sebagai kedok dari investigasi yang Rose lakukan.

Namun, melihat ekspresi penasaran dari sang Tailor, terbesit ide jahil di benak Rose. Keberaniannya meningkat seketika, mengabaikan rasa tak nyaman dan kekesalannya pada pria itu hari ini.

"Of course, especially the British Style Suit on you," puji Rose seraya mengusap dada bidang Jaehyun dengan tatapan sensual. Gadis itu merapikan dasi yang terpasang di leher Jaehyun dan memandang pria itu penuh minat.

"Tuan Moon dan kau—" sergah Tuan Choi terkejut, "jadi benar Tuan Moon punya kekasih wanita?"

Rose mengangguk. Ia tampak puas karena Jaehyun tak menolak sikapnya dan menyelamatkan harga dirinya di hadapan publik.

Gils! Panjang juga assemble part ini. Tunggu episode mereka di Jeju, ya!!! Tapi, aku ga bisa janji dalam waktu cepat, karena ternyata Part Jeju ini baru sedikit yang didraft.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top