Part 1 - Unexpected
Tik tik tik.
Jarum jam tak bisa benar-benar mencuri fokus barisan staf yang berdiri di salah satu ruang Biro Anti Korupsi. Menindaklanjuti berbagai laporan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di pemerintahan, Komisi Anti Korupsi dan Hak Sipil Republik Korea Selatan selalu bergerak cepat mendelegasikan tugas pada para penyelidik untuk menginvestigasi setiap laporan. Seperti malam ini, sudah terpilih 5 orang yang akan melakukan penyelidikan pada dugaan kasus penyuapan dan korupsi di salah satu kementerian.
"Bulan ini, kantor kita sudah mendapat 10 laporan dan itu artinya setiap elemen di kantor ini akan bekerja ekstra. Dan sore ini, saya mengucapkan selamat kepada kalian yang terpilih menjadi satu tim penyelidikan," tukas Choi Seunghyun, Kepala Biro Anti Korupsi, "beberapa pejabat Kementerian Agraria, Infrastruktur, dan Transportasi dilaporkan terlibat dalam kasus penyuapan proyek ekspansi Bandara Incheon di tahun 2023. Sejauh ini, media belum terlibat dan ini kesempatan kalian untuk bergerak lebih cepat."
Seunghyun mengakhiri ucapannya dengan menautkan jemari dan siku yang bertumpu pada meja. Tatapan tajamnya menusuk setiap mata yang memandang hingga kelima anak buahnya hanya mampu mengangguk.
"Dokumen terkait sudah dikirimkan ke email kalian masing-masing. Jika ada yang perlu didiskusikan, kalian sudah tahu harus menghubungi siapa. Sebelum itu, saya tidak suka laporan tidak informatif. Jadi, bicarakan setiap masalah pada ketua tim. Paham?"
Sekali lagi, kelima staf di hadapannya mengangguk patuh tanpa interupsi.
"Selamat bertugas!"
***
"Welcome to the Jungle!" teriak pria muda berperawakan tinggi besar, seolah menyambut keempat temannya ketika mereka memasuki salah satu apartemen kosong di Naseong-dong .
Satu dari keempat orang yang mengikutinya masuk, mengabaikan kondisi apartemen kosong melompong, dan justru beralih pada jendela kaca besar yang memungkinkan mereka untuk mengamati jalanan yang tidak terlalu sibuk. Dibandingkan Seoul, kota administratif ini masih sangat baru dan jauh dari hiruk pikuk.
"Hey, ini bukan Jungle, June! Welcome to Hell," koreksi satu-satunya gadis dalam kelompok itu. Ia berjalan melalui teman yang disapa sebagai June dan mengintip pemandangan luar dari celah tirai.
Empat pria yang membersamainya tertawa. Ini bukan tugas pertama mereka, tapi tetap saja penyelidikan yang disebut challenging, selalu sedikit menjadi beban. Sudah menjadi kebiasaan untuk mencaci di setiap awal bertugas mengingat risiko yang siap menanti. Namun, itu hanyalah gertakan karena pada dasarnya mereka akan tetap melakukan penyelidikan.
"Kenapa sih orang kementerian suka mencari masalah. Sudah tahu pelayan masyarakat, dibayar dengan pajak. Kalau sudah disumpah, ya, jangan macam-macam. Menyusahkan orang saja," celetuk pria berwajah cantik dari sudut ruangan.
"Orang-orang itu iri kalau kita tidak punya kerjaan, Jay," jawab pria dengan tubuh tinggi yang nyaris sejajar dengan June.
Walaupun projek ini bukan lagi projek pertama, bukan alasan bagi kelimanya untuk tidak membicarakan etika atau kebodohan perangkat institusi yang terlibat. Percaya atau tidak, kekuasaan sangat mengerikan. Manusia pintar bicara soal idealisme ketika mereka hanya melihat kekuasaan dari jauh atau menjadi pihak yang tertindas. Namun, setelah berkuasa, mereka lebih banyak lupa.
"—dan jelas ini adalah whistleblowing," ujar Jay menanggapi. Saking kuatnya firewall sistem informasi kementerian yang akan mereka investigasi, tidak mungkin pelapor adalah orang luar. Berbagai informasi akurat yang diterima, tentu saja berasal dari orang dengan akses yang besar ... tapi lemah.
"Akan lebih baik kalau pelapor mau bekerja sama, tapi kita tahu Kepala Choi masih merahasiakan identitasnya," timpal gadis bersurai kecokelatan. Ia menghentikan kegiatannya—mengamati hiruk pikuk jalanan— dan berbalik, mengikuti teman-temannya untuk mulai menata perangkat yang akan digunakan selama bertugas.
"Meskipun hari kita akan berat, aku senang ada si Cantik di sini," goda June mencoba mencairkan suasana. Sebagai ketua tim, ia tidak hanya berwenang memastikan penyelesaian investigasi melainkan juga kerja sama dalam timnya dan itu adalah gayanya.
Bukannya tertawa, sang Gadis memandang sinis. Ia seperti punya dendam kesumat dengan pria bermata sipit itu.
"Jaga mulutmu atau akan kujahit."
"Sensitif sekali si Penyihir satu ini," tukas June diikuti kekehannya. Kalaupun gadis itu kesal, June tidak terlalu ambil pusing, ia justru merasa puas. Menurut pria itu, Rose adalah gadis bersumbu pendek jika berurusan dengannya. Padahal, dengan kolega perempuan yang lain tidak sebegitunya.
"Kalau aku penyihir, kau apa?"
"Aku June, si Tampan. Masa kau tidak tahu, Rose?"
Keduanya terus melempar kalimat-kalimat sarkas untuk menjatuhkan satu sama lain hingga tak peduli menjadi bahan tontonan ketiga kolega mereka. Tak kurang akal, saking ingin membakar emosi koleganya itu, June hanya membiarkan 4 meja tertata di ruang utama.
"Hei, masih ada satu meja lagi," protes Rose sembari menunjuk satu meja yang masih berada di dekat pintu.
"Oh, itu taruh di ruang depan saja. Bukankah kau tidak akan menghabiskan banyak waktumu di sini?"
Mata Rose membola. Begitu juga teman-temannya yang menatap June penuh tanda tanya. June belum bicara apapun tentang pembagian peran dalam penyelidikan kasus ini. Mereka baru sesekali bicara garis besar tujuan penyelidikan dan omong kosong soal masalah ini.
June berdeham, sebelum memulai penjelasannya, "Spoiler. Sebagai anggota yang paling mengerti IT, kupikir, sudah jelas kalau Rose harus berangkat terlebih dahulu. Ia harus memastikan kalau sistem keamanan kementerian itu bisa diretas dan siapapun yang masuk selanjutnya bebas mengakses data."
Sontak gadis itu menolak saat namanya disebut sebagai tombak utama penyelidikan. "Wait, kau ingin membunuhku? Jangan bercanda! Aku biasa membereskan kasus, bukan menginisiasi penyelidikan."
"Bukankah itu bagus? Kau jadi punya pengalaman baru. Siapa tahu kau bisa menjadi team leader di penyelidikan selanjutnya."
"Argh."
"Sebelum kau bawa-bawa isu soal gender, aku mau mengingatkan. Setiap dana yang masuk ke rekening sudah termasuk konsekuensi di dalamnya. Kupikir kau lebih ahli soal ini dan aku menggunakan otorisasiku untuk mengirimmu," jelas June tanpa memberikan kesempatan Rose untuk menyela.
"Sorry, –perempuan lemah– itu bukan gayaku."
June terkikik, "Apalagi kau bilang begitu. Aku masih pegang kata-katamu kalau wanita setara dengan laki-laki dan berhak untuk mendapat kesempatan yang sama."
Gadis bermata bulat itu menatap June tajam. Ia memang pernah punya dendam dengan pria yang berusia sebulan lebih muda darinya. Kalaupun ia pernah terlalu vokal bicara soal hak penydik wanita, bukan berarti ia merasa terima ketika ditinggalkan di hutan semalaman tanpa dicari. Bahkan keesokan harinya, June dengan santai beralasan setiap dari penyelidik harus memiliki kemampuan bertahan hidup yang baik.
"Akan kulaporkan pada Kepala Choi," ancam Rose impulsif. Lebih baik ia dipindahkan ke tim lain selama ketuanya tidak bermulut seperti June.
"Oh, wanita tetap saja wanita. Hanya mengambil keuntungan dari gender yang dimilikinya."
Kedua tangan Rose mengepal. Ingin rasanya meninju rahang June kalau ia punya kekuatan sebesar itu.
"Jaga bicaramu! Aku tidak mempermasalahkan gender, tapi ... satu, mulutmu itu tidak tahu cara bicara yang baik. Dua, kau tahu sendiri aku tidak pintar berramah tamah di instansi pemerintah yang isinya orang-orang pintar membual."
June tersenyum meremehkan, "Aku tahu soal itu, tapi apa kau tidak tertantang untuk menguji kemampuanmu sendiri? Apakah kau tidak pernah termotivasi oleh Christ? penyelidikan bukan hanya soal hacking 'kan?"
Rose cukup tahu diri untuk tidak dipandang sebelah mata oleh rekan satu timnya. Karena itu, ia hanya bisa memejam sesaat dan bergumam, "Sial."
***
Investigator adalah pekerjaan impian gadis berinisial Rose semenjak menyelesaikan sidang skripsinya. Sekalipun menjadi seorang investigator adalah mimpinya, tetap saja ia tidak nyaman jika harus bekerja sama dengan personil tertentu. Ia bisa menjadi sangat kooperatif, tapi juga individualis dalam waktu bersamaan. Apalagi, saat ini misinya termasuk kategori kritikal. Selama dua tahun bekerja, hanya sekali gadis itu mendapatkan misi berkategori minor yang bisa diselesaikan dalam kurun waktu singkat. Namun, kali ini semua jauh lebih buruk ketika June menjadi ketuanya. Selamat tinggal untuk kasur empuk dan liburan akhir pekan.
"Aku belum pernah menolak tugas, apa sebaiknya aku mencoba bicara pada Kepala Choi?"
Gadis itu menatap pantulan wajahnya beberapa saat sebelum kembali menunduk. Gusar. Seperti orang gila, Rose bermonolog di depan cermin, mengomentari sikapnya serta mengkritisi kemungkinan dirinya yang dianggap tidak profesional karena tidak dapat bekerja sama.
"Otakku mau pecah. I guess I just need whisky."
Ucapan tersebut mengakhiri kebingungan gadis itu di kamar tidurnya. Cepat-cepat, ia mengganti pakaian rumahnya dengan tank top hitam dan rok span yang mencetak lekuk tubuh rampingnya. Tak lupa, mantel hitam untuk menutupi pakaian penuh dosa dan menghalau dinginnya udara malam.
Hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, gadis itu sudah tiba di basement club ternama di bilangan Gangnam. Ia memilih club tersebut, mengingat kegundahannya yang tiba-tiba, lebih perlu minum, bernyanyi, atau bahkan menari. Untuk menghibur dirinya sendiri saja, Rose tidak tahu ia harus apa sekarang.
"Minum, bernyanyi, menari. Minum, bernyanyi, menari. Minum, bernyanyi, menari," gumam Rose seraya menunjuk tombol lift lantai fasilitas utama di bangunan tersebut, "ah, masa aku pulang lagi."
Hampir Rose melangkahkan kakinya meninggalkan elevator, ketika seorang pria bertubuh jangkung masuk dan sepasang matanya bersirobrok dengan milik pria itu. Dari pandangan mata yang teduh, Rose yakin kalau pria itu akan tersenyum. Benar saja, pria itu menyunggingkan senyum bak malaikat, sebelum telunjuknya menekan angka tiga pada sisi pintu.
"Mau ke lantai berapa? Atau ... diskotek juga?"
Satu alis Rose meninggi, ia tampak berpikir. Lantas, ia menjawab dengan impulsif, "Ya, aku mau ke sana."
Tak ada lagi kalimat yang keluar dari bibirnya dan bibir pria itu lagi. Rose hanya mencuri pandang, diam-diam. Ia paling tidak bisa mengabaikan keindahan ciptaan Tuhan, termasuk pada sosok yang tak dikenal. Namun, Rose cukup tahu diri untuk tidak tertangkap basah, dengan hanya melihat pantulan wajah pria tersebut di pintu elevator.
Ting!
Dentingan tersebut tentu menjadi pengingat untuk keduanya beranjak menuju salah satu sudut dengan pencahayaan remang-remang di ujung lorong. Sebagai wanita, Rose dipersilakan untuk berjalan lebih dulu, membuat gadis itu tak tahu ke mana pria tadi akan pergi. Mungkin, ia harus mengenyahkan segala pikiran pendeknya untuk bisa mengenal pria tersebut.
Langkah kaki gadis itu tidak langsung terarah pada lantai dansa, ia berbelok pada meja bar panjang. Setelah memesan segelas whisky yang memang diidamkannya sejak tadi, gadis itu mencium sekilas aroma Straight Scotch yang menguar dari mulut gelas sembari mengamati suasana diskotek yang kian ramai.
"Sebaiknya, kau habiskan gelas itu dan segera pergi. Aku tak mau kau menghabiskan waktumu—mabuk— di sini sampai aku harus menghubungi teman-temanmu," ujar seorang bartender pria yang tampak mengenal Rose.
"Bilang saja pada Jisoo eonnie, dia akan menjemputku. Lagi pula, kau senang 'kan bertemu dengannya," jawab Rose diikuti juluran lidahnya.
Sebuah tongkat kecil sukses mendarat di kening Rose hingga gadis itu mengaduh. Meskipun ia tahu sang Bartender tak suka dengan gurauannya, ia justru senang menyentil pria itu.
"Aku masuk ke sini pakai uang. Bisa-bisanya langsung pergi. Lagi pula, masalahku saat ini sangat berat .... Lebih buruk dari perselingkungan selebritis," ucap Rose memohon belas kasihan.
"Pasti juga masalah kantor. Silakan saja, tapi jangan di sini."
Larangan itu tak membuat Rose enyah. Gadis itu mencebik karena tak bisa mencuri empati. Ia hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali menghisap minumannya.
***
Setelah perdebatan Jaehyun dengan Tuan Lee—sekaligus mentornya, pikiran pria itu semakin semrawut. Hampir dua tahun mendedikasikan dirinya di instansi tersebut, baru hari ini ia merasa sangat kecewa. Bekerja di instansi pemerintah bukanlah tambang emas seperti yang pria itu dapatkan di perusahaan swasta yang dulu mempekerjakannya. Apalagi ketika ia menandatangani kontrak dengan perusahaan multinasional berbasis di Eropa dan Amerika yang sangat mengapresiasi kemampuannya. Pekerjaan ini merupakan sebuah kebanggaan dengan idealisme untuk mengabdi pada negara. Jelas, pria itu tidak mata duitan, tapi ia hanya haus akan pencapaian dan prestasi. Sayangnya, kini ia tak mendapatkan hal yang menurutnya pantas dari instansi tersebut.
Bukannya beralasan, tapi masalahnya itu menjadi alasan masuk akal untuk memenuhi undangan kedua sahabatnya, Johnny dan Mark, datang ke salah satu club kenamaan. Jaehyun bukan pria suci yang tak pernah pergi ke diskotek. Akan tetapi, dalam setahun frekuensinya dapat dihitung dengan satu tangan. Jaehyun hanya selalu menemukan kegiatan yang jauh lebih menarik dari pada berjoget untuk digunakan menghabiskan waktu luang atau melepas penat.
Meskipun kali ini ia hanya mengenakan kemeja santai berwarna hitam, yang jauh dari kesan stylish, pesonanya tak terelakkan.Beberapa gadis mencoba merayu, tapi sayangnya melirik pun tidak.
"Kau bukan biksu, bersenang-senanglah kalau suntuk," celetuk Mark seraya menegak habis champagne di gelas kacanya.
Jaehyun hanya berdecih. Pria itu ikut menyesap minuman beralkohol di meja, sambil sesekali memperhatikan ruangan gemerlap yang begitu asing untuknya. Kalau yang dimaksud temannya adalah minum, ia sedang melakukannya. Namun, kalau bersenang-senang dengan wanita, itu hanya semakin membuatnya muak.
"Aku tahu kau mengaku gay, tapi aku adalah teman pertamamu yang menolak untuk percaya. Ayolah! Kalau kau mencoba mendekati seorang gadis atau lebih, kupikir tidak hanya mendapat teman bicara, siapa tahu kau bisa kembali normal," jelas Johnny. Pria itu menepuk bahu Jaehyun seakan menyadarkan temannya.
"Memang aku tidak normal?"
Johnny melipat bibirnya ke dalam, mendengar komentar sinis Jaehyun. Antara menyesal dan tidak dengan ucapannya tadi.
"Semenjak pulang dari Perancis, otakmu jadi sedikit geser. Coba kau tanya Mark?"
"Selama aku tak menggodamu, kurasa tidak ada masalah. You aren't my type, Dude," ujar Jaehyun masih bernada dingin.
"Eits. Siapa yang menjamin kau jujur?" goda Johnny yang tidak ada takut-takutnya. Pria itu sama sekali tak serius kalau Jaehyun akan tertarik padanya, tapi di era modern seperti sekarang, Johnny masih berprinsip bahwa pria ditakdirkan untuk wanita. Begitu pula sebaliknya. Jadi, berat untuk menerima sahabatnya punya cara pikir yang kontroversial.
"Hey! Hey! Jangan perdebatkan soal orientasi, itu isu sensitif. Johnny, kau mau diarak di parade bulan Juni tahun depan?" goda Mark menengahi. Jaehyun sering kesal kalau kedua temannya menjadikan orientasinya sebagai bahan candaan. Meskipun, pada akhirnya candaan itu hanya akan sebatas omong kosong.
Johnny tampak santai dan menjawab, "Oh, God. I still love my body. Lebih baik aku diarak gadis-gadis di sini saja."
Mata pria itu berkedip dan tangannya terulur memanggil beberapa wanita penghibur untuk menghampiri meja mereka.
"Dasar, playboy," desis Jaehyun.
Mark ikut tersenyum tipis. Ia bukan casanova seperti Johnny, tapi ia juga tidak seanti Jaehyun pada wanita. Mungkin sebentar lagi tubuh Jaehyun akan gatal ketika wanita-wanita panggilan Johnny datang.
"Kalau kau mau memanggil pria-pria di ujung sana juga boleh. Santai!" ujar Mark seraya menaikkan kedua alisnya.
"Maaf, aku setia."
Mark dan Johnny jadi tertawa mendengar ucapan Jaehyun. Ya, meskipun pria itu berbeda dari mereka, bisa dibilang Jaehyun yang justru paling setia dengan pasangannya. Tak peduli jarak dan waktu.
"Kau boleh kok melirik pria lain. Sebentar lagi, temanku datang, mungkin kau akan tertarik," bisik Mark diikuti seringaiannya. Dibandingkan Johnny, Mark lebih terbuka. Meskipun sama-sama –dengan Johnny– dibesarkan di luar negeri, keluarga Mark jauh lebih moderat. Tak sekalipun, ia pernah mengarahkan Jaehyun untuk mengikuti pilihannya.
"Hi, Mark!"
Sapaan untuk temannya terdengar cukup familier di telinga Jaehyun.
"Hi, Hyung."
Jaehyun melirik sekilas untuk memastikan. Tak butuh lama hingga kepalanya panas seperti akan mendidih melihat wajah orang yang disapa sahabatnya. Jaehyun membuang muka ke arah lain sembari merapal doa agar pria dengan tubuh menjulang bak tiang listrik, bukan teman Mark yang akan bergabung dengan mereka.
"Johnny, Jaehyun, kenalkan temanku. Song Kang Hyung."
Johnny menjabat tangan Song Kang dan memperkenalkan dirinya, sementara Jaehyun justru mengusap wajahnya seolah jengah. Pria itu tak bergerak sedikit pun dari ujung sofa tempatnya terduduk. Persetan jika kedua sahabatnya menganggap ia aneh.
"Hi, Jaehyun!" sapa Song Kang, memilih untuk duduk di sisi sofa samping Mark.
Mengenal Jaehyun sebagai sosok yang sopan pada orang asing, Mark menaruh curiga pada sahabatnya itu. "Kalian saling mengenal?"
"Tidak," jawab Jaehyun cepat.
"Kami satu kantor."
Meskipun disampaikan bersamaan, jawaban yang Song Kang lontarkan bertolak belakang dengan ucapan Jaehyun. Sudah pasti ada yang tidak beres di antara keduanya.
"Astaga, aku baru ingat kalau kau juga bekerja di Kementrian—Agraria, Infrastruktur, dan Transportasi," ucap Mark pada Song Kang, "bagus lah kalau begitu. Kita tidak akan canggung."
Mata Jaehyun sontak melotot dan bersiap beranjak. Namun, Johnny yang jauh dari kata peka justru membawa empat wanita untuk bergabung di meja mereka, menutup akses Jaehyun untuk meninggalkan meja.
***
"Whisky, please!"
Sampai saat ini, Rose sama sekali tak menginjak lantai dansa, ia justru menghabiskan 3 gelas minuman berkadar alkohol tinggi hingga kepalanya pening. Ia masih terduduk di salah satu kursi bar. Racauan Rose semakin keras tatkala kesadarannya menurun. Tahu begitu, ia tak akan mengikuti langkah pria tampan tadi dan memilih pergi ke lounge di lantai atas. Terbebas dari ceramah panjang bartender kenalannya, yang sudah mirip kelas etika.
Dengan wajah malas, Rose melirik dance floor dan gadis itu bergumam tapi masih bisa didengar dengan jelas. "Apa aku harus menari untuk mencuri perhatian pria itu?
"Kau gila? Mana ada pria baik-baik akan menghampiri wanita mabuk?" tegur bartender bertubuh gempal yang tampak resah melihat Rose.
Rose terkikik, menampilkan deretan gigi putihnya. Kalau mencari pria baik, ia akan pergi ke kuil atau gereja, bukan ke sini.
"Sejak menjadi investigator otakku sudah tidak waras. Silakan hubungi Jisoo eonnie se-ka-rang. Mungkin sebentar lagi aku collapsed."
"Menyusahkan saja. Jangan kemana-mana kalau begitu."
Mengabaikan peringatan sang Bartender, Rose melangkah ke lantai dansa dengan kaki jenjangnya. Jiwa liarnya membuat gadis itu tak canggung. Gerakan tubuhnya sesekali mencuri atensi pengunjung lain. Bagaimana tidak, tubuhnya meliuk-liuk selaras dengan dentuman musik khas kelab malam. Padahal, ia belum melantunkan suara emas yang juga mampu menghipnotis siapapun yang mendengar.
Tepat ketika musik berhenti, ia mendapati sepasang mata yang menatapnya tajam dari salah satu sofa di lantai atas. Gadis itu sedikit tersentak meskipun tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sepintas, pria itu tampak seperti sosok yang ditemuinya di elevator. Mata Rose memicing melihat pria itu tak sendirian. Hati kecilnya terusik. Dengan penuh percaya diri, ia tak membuang waktu untuk meninggalkan lantai dansa, menuju tempat pria itu berkumpul.
"Lancang sekali tanganmu, bitches!" ketus Rose. Ia yakin apa yang dilihatnya dari lantai bawah tidak salah. Pria yang tadi menatapnya diapit oleh dua wanita dengan pakaian minim, nyaris telanjang.
"Kau bicara padaku?" ujar salah seorang wanita dengan dress berwarna merah.
Katakanlah otak Rose sudah tidak waras seperti yang tadi diucapkan pada sang Bartender. Ia sudah tak punya urat malu. Rose tak peduli, apa yang akan orang pikirkan, ia hanya ingin meluapkan emosi. "Tentu. Jangan pegang-pegang! Dia milikku."
Rose memang mabuk, tapi ia belum tuli untuk menangkap sorakan dari beberapa pria di sekelilingnya. Sayangnya, pria tadi hanya diam dan menatapnya dingin. Mengapa tatapan itu tak dilayangkan pada dua wanita gila yang berusaha menggerayahi tubuh pria tersebut?
"Wow, hebat sekali kau jadi bahan rebutan," celetuk salah seorang pria yang ikut bersorak.
Rose melirik pria barusan yang dianggapnya berisik. Menurutnya, ia tidak sedang memperebutkan sesuatu, ia hanya mengambil miliknya.
Selorohan lain berulang kali terdengar ketika Rose masih berdiri di hadapan kelompok pria tersebut. "Siapa dia? Kau mengenalnya?"
"Sejak kapan kau punya kekasih yang cantik?" tanya pria satu lagi yang mengenakan kacamata bundar bak Harry Potter.
Kesal tak digubris, Rose mengabaikan suara-suara nyaring di sekelilingnya. Kaki Rose melangkah maju, sengaja menginjak sepatu wanita yang berusaha menutupi jalannya. Kaki Rose sempat berhenti sejenak dan matanya menyipit ketika pandangannya semakin buram. Sebenarnya, gadis itu kesulitan menilai wajah yang dilihatnya. Namun, desisan wanita penghibur di samping pria tersebut membuatnya tak lagi membuang waktu. Tanpa babibu, Rose mendaratkan pantatnya di pangkuan pria berkemeja hitam. Jemarinya spontan menyisir surai panjang miliknya dan diselipkan ke belakang telinga. Mengabaikan degup jantung yang semakin cepat, kedua tangannya melingkari leher sang pria. Manik mata Rose memperhatikan leher jenjang pria berkulit bak salju yang tampak sangat menggoda, hingga ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher pria tersebut.
"Finally ... I found you."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top