Epilog
Kalian percaya kalimat "akan indah pada waktunya." Ya, aku percaya. Karena kebahagian itu datang jika sabar tetap kujaga.
***
Sudah seminggu semenjak kepulangan ku dari Dunia Warna. Beberapa kali aku membuka buku pelangi itu. Melihat kembali gambar Bubble dan pertualangan kami membuatku jadi merindukannya. Sedikit penasaran dengan kotak kenangan dari Hazi, perlahan aku membukanya, berharap sesuatu yang menakjubkan akan keluar dari dalamnya. Tapi ternyata saat kotak kecil itu sepenuhnya terbuka tak ada sesuatu apapun di dalamnya. Mungkin ini hanya untuk menyimpan barang di dalamnya pikirku kemudian.
"Hei, masih memikirkan mimpimu?" tanya Sandra yang menghampiriku.
"Sandra, itu bukan mimpi. Jika yang kualami adalah mimpi, bagaimana kau bisa menjelaskan benda-benda ini?" jawabku sambil menutup dan meletakkan kembali kotak kenangan di atas meja.
Sandra hanya mengangkat bahunya, menandakan juga tak mengerti dengan keberadaan itu semua. "Daripada kita memikirkan itu lagi, mending kita ke bawah sekarang. Bibi sudah menunggu kita," ujar Sandra mengalihkan pembicaraan.
"Ya, baiklah. Aku segera menyusul ke bawah," ujarku sambil mengambil tas yang berada di dekatku.
Tiba-tiba aku merasakan Sandra kini memelukku dan berucap lirih, "Aku percaya padamu. Meski itu semua terdengar tidak mungkin, tapi aku percaya padamu."
Aku tersenyum mendengar ucapannya. "Tentu saja kau harus percaya padaku. Jika sepupu terbaikku saja tidak percaya, lalu siapa lagi?"
"Aku rasa Bibi Nisa, sudah kesal menunggu kita di bawah. Lagipula kita tak boleh terlambat. Ini hari yang kau tunggu, Sand." Aku melepas pelukannya dan menggandeng tangan Sandra.
"Kau benar, Ann. Aku deg-degan. Semoga aku bisa menampilkan yang terbaik hari ini," ujarnya sambil mengajakku segera menemui Bibi Nisa.
***
Alunan suara merdu biola dari para violinist di panggung membuat hati penikmatnya terasa lebih tenang. Mereka semua bermain sangat indah. Tapi, perlombaan tetap harus menghasilkan satu pemenang terbaik. Dia lah sepupu terbaikku, Sandra.
Sandra tersenyum bahagia, berdiri menunjukan piala kebanggaannya. Saat ia menerima microphone dari pembawa acara, dengan bersemangat dia berujar, "Ini untukmu Bibi Nisa, terimakasih telah menyayangiku seperti anakmu sendiri. Aku mencintaimu. Dan juga ini untuk sepupu terbaikku, Ann."
Aku hanya bisa menunjukan ke-dua jempolku untuk keberhasilaannya. Sedangkan bibi, aku bisa melihat ia menghapus titik air mata di pipinya. Aku yakin dia menangis bahagia. Aku hanya bisa memegang tanganya seraya melemparkan senyuman. Suara riuh tepuk tangan menggema di aula besar ini.
***
"Permainanmu seperti biasa, indah, Sandra." Bibi Nisa memeluk dan memuji Sandra saat kami berada di cafe untuk menikmati makan siang setelah pertandingan tadi.
"Terimakasih, Bi. Apa bibi menyukai permainan biolaku?" tanya Sandra dengan polosnya.
"Astaga Sandra. Otakmu pentium berapa? Bibi tadi, kan, udah bilang," celetukku santai sambil menikmati jus mangga di hadapanku.
"Kau itu, Ann. Mengganggu kebahagianku saja. Aku tuh, ya, terlalu suka mendengar pujian Bibi Nisa," ucapnya santai.
Aku hanya tertawa kecil melihat mukanya menjadi merah. Aku yakin itu karena dia malu, setelah sadar telah berbuat salah tadi.
"Sudah, sudah, kalian gak usah ribut. Bibi punya sesuatu untuk kalian berdua," ujar bibi sambil mengambil dua kotak berukuran sedang dari tote bag yang ia bawa dari mobil tadi.
"Ini untukmu, Sandra." Sambil menyerahkan kotak berwarna biru muda kepada Sandra. "Dan yang ini untukmu, Anaia." Bibi pun menyerahkan kotak berwarna ungu kepadaku.
"Terimakasih, Bi." Ucap Sandra dan aku yang hampir bersamaan.
"Aku dulu yang buka," ucap Sandra dan kujawab dengan anggukan kepala.
Aku melihat Sandra dengan riang membuka kotak kado di tangannya. Aku bisa melihat matanya berbinar bahagia saat kotak itu terbuka sempurna.
"Terimakasih, Bi. Aku suka." Sandra pun kembali memeluk bibi yang duduk di sebelahnya. Setelah itu dia mengeluarkan sebuah kotak musik berhias anak lelaki di atasnya sedang bermain biola. Sandra memutarnya perlahan dan alunan biola terdengar merdu dari dalamnya.
(gambar google)
"Sekarang buka hadiahmu, Ann." Sapa bibi lembut saat aku asyik memandangi keajaiban kotak musik itu.
"Ah, iya. Aku buka sekarang," ujarku dan mulai membuka kotak di hadapanku. Ukurannya lebih besar sedikit dari punya Sandra. Aku yakin isinya bukan kotak musik juga. Saat berhasil membuka pita di atas kotak dan mulai membuka penutupnya. Mataku membelalak tak percaya saat melihat isi di dalamnya.
"Kau suka, Ann," tanya bibi menanti reaksiku.
"Bibi, ini, kan?" ucapku tak percaya.
"Kenapa, Ann. Kau tak suka hadiahmu?" tanya bibi serius. "Bibi pikir kau sangat menginginkan buku terjemahan itu. Ah, maafkn bibi jika kau tak menyukainnya."
"Buku? Ini bukan buku, Bi. Dan aku menyukai hadiahnya," ujarku seraya berdiri dan menghampiri untuk memeluknya.
"Memang apa hadiahnya, Ann?" tanya Sandra penasaran seraya melirik ke dalam kotak hadiahku.
"Bibi, itu bukan buku tapi boneka," ujarnya sambil berusaha mengeluarkan dari dalam kotak. Segera ku pukul tangannya hingga dia sedikit mengeluh sakit.
"Itu hadiahku, Nona." ucapku sambil tertawa melihat ekspresi kesalnya karena tak kuizinkan mengambil bonekaku.
"Boneka? Bibi tidak pernah membeli boneka Anaia. Apa mereka salah memasukan hadiahnya," ujar bibi bingung. "Biar bibi tukar kembali saja, Ann."
"Gak perlu, Bi. Aku suka," jawabku sambil mengambil boneka itu. Aku memperhatikan dengan tersenyum. Boneka imut dengan warna bulu putihnya yang lembut, telinga panjang, manik mata biru dengan tatapan tajam. Boneka ini mirip sekali dengan Bubble. Aku pun memeluk boneka itu seakan memeluk Bubble dulu.
"Sejak kapan kau menyukai boneka, Ann." ejek Sandra yang melihatku.
"Sirik aja," Jawabku.
"Baguslah kau suka, Anaia. Berarti tak perlu bibi tukar. Sudah sekarang simpan dulu hadiah kalian di kotak. Kita lanjutkan makan siang," titah bibi saat melihat makanan pesanan kami tiba. Aku pun bergegas memasukan boneka ini ke dalam tas.
***
Suara detak jam dinding menandakan jika sudah masuk pukul sebelas malam. Mataku sama sekali tak bisa di pejamkan. Bukan karena suara berisik biola Sandra. Karena mulai malam ini suara berisik itu tak lagi terdengar.
Aku memandangi boneka yang diberikan bibi siang tadi. Kenapa boneka ini begitu mirip dengan Bubble. Pertanyaan ini mengganggu tidurku malam ini. Kupandangi boneka itu lekat, mencari celah membuktikan hipotesisku jika ia bukan Bubble. Tapi semakin ku lihat, semakin yakin jika mereka sama. Aku elus kepalanya, lalu meraba hidungnya yang terasa lembut, bahkan telapak tangannya ada tanda itu. Hingga aku bergumam pelan, "Mereka begitu mirip. Ah, aku merindukan, Bubble."
Tiba-tiba saja cahaya terang melingkupi boneka itu, refleks kututupi mataku menahan silaunya. Hingga suara yang ku kenal menyadarkanku,"Kau manusia yang lambat, Ann."
Tunggu, suara ini ... "Bubble!" teriakku saat melihat boneka itu bergerak dan mulai terbang di sekitarku.
"Bagaimana bisa kau ke sini?" tanyaku penasaran, tak percaya dengan ini semua.
"Aku hanya mengikuti apa yang dibilang oleh Yang Mulia Attaya. Lagipula tak ada salahnya jika aku menyusulmu, Ann. Kita sepasang Atma, kau lupa?" jelasnya.
"Atau kau malah tak suka kalau aku kemari?" tanya Bubble menatapku.
"Bukan begitu, aku hanya penasaran kenapa kau ke sini. Apa terjadi sesuatu dengan Dunia Warna atau?" tanyaku panik ke arahnya.
"Kau ini. Apa harus kujelaskan jika aku merindukanmu, Ann." Bubble terlihat acuh menjawab pertanyaanku.
Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Jika itu alasannya, aku juga merindukanmu, Bubble."
"Jadi, ini duniamu. Kau harus terbiasa Ann, karena mulai sekarang aku akan tinggal di sini," ucapnya yang melihat keluar jendela kamarku yang berada di lanta dua.
"Tentu saja. Kau harus berkenalan dengan sepupuku nanti. Sandra pasti menyukaimu, Bubble," ucapku bersemangat.
"Aku rasa tidak Ann. Kehadiranku tidak boleh diketahui orang lain. Cukup kau saja yang mengetahuinya," jawaban Bubble sontak menyadarkanku.
Aku membuang napas perlahan. "Kau benar, jika banyak yang mengetahui boneka bisa bicara akan ada kehebohan nantinya."
"Bagaimana dengan yang lain? Apa mereka tak berkunjung ke sini?" tanyaku penasaran.
"Tidak Ann. Hanya aku yang datang," jawabnya masih asyik melihat ke luar jendela.
"Tapi mereka semua baik-baik saja, 'kan?" tanyaku.
"Ya, Ann. Semenjak Dunia Warna kembali memiliki warnanya. Raja Attaya kembali memimpin kerajaan dengan bijaksana dan sedikit lebih ramah. Alexi tetap membantu Raja Attaya dalam melindungi dunia warna," jelasnya kemudian.
"Baguslah kalau begitu. Berarti Dunia Warna sudah lebih damai. Bagaimana Atma Keilantra, sudah ditemukan?" tanyaku penasaran.
"Belum. Tapi dia tidak akan bisa berbuat sesuatu tanpa Keilantra. Ah, iya, kau tahu, istana penyihir sekarang jauh lebih indah dan terawat. Raja Attaya menyuruh orang untuk memperbaiki dan mengurusnya. Biar bagaimanapun, sekarang itu istanamu, Ann," jelas Bubble melihatku.
"Kau benar. Aku adalah Ratu Penyihir yang tidak akan bisa kembali ke sana, Bubble," ujarku sambil mengingat pertempuran terakhirku yang menjadikan aku sebagai Ratu Penyihir.
"Tapi mereka semua menitipkan salam untukmu, Ann," ujarnya kemudian.
"Benarkah? Aku senang mereka tidak melupakanku," jawabku menatapnya senang. Setidaknya aku juga tidak dilupakan mereka semua, seperti aku yang selalu mengingat mereka semua.
"Bagaimana kau bisa di kotak hadiah, Bubble?" tanyaku saat menyadarinya.
"Tak tahu. Yang jelas aku melewati portal yang dibuka Merlin dan ke duniamu. Aku menjadi boneka. Dan bisa bergerak jika kau mengucapkan namaku," jelasnya padaku.
"Begitukah? Ya, sudah, tidurlah. Besok aku akan mengajakmu berkeliling, Bubble," ujarku sambil berbaring di ranjangku.
"Baiklah," ujarnya yang mulai terbang mendekatiku.
Aku melihat Bubble sudah berbaring memejamkan matanya dan tertidur di atas bantal kecil yang telah ku siapkan untuknya. Senyum mengembang di wajahku, jika sekarang Bubble benaran ada di dekatku itu membuktikan apa yang terjadi selama aku di Dunia Warna bukanlah mimpi.
Aku mengelus kepalanya pelan dan berkata, "Aku senang kau datang untukku, Bubble. Kau tahu, aku merindukanmu."
Kehadiran Bubble saat ini menjadi pelengkap kebahagiaanku. Semoga kami akan selalu bersama. Melewati setiap suka dan duka. Karena kami sepasang Atma. Akupun mulai memejamkan mata, menanti hari esok yang lebih baik lagi.
END
################################
Pada akhirnya epilog ini keluar. Maaf, jika tak seperti yang kalian bayangkan. Terimakasih, sudah mau membaca cerita ini. Tunggu kisah selanjutnya yang belum tentu dirillis dalam waktu dekat. Terimakasih readers TM : Parla la magia da me. Tanpa kalian mungkin ini kisah tak akan tertulis. Aku tak tahu pendapat kalian tentang cerita ini. Yang aku tahu, kalian telah datang membacanya. Dan ku harap kalian menyukainya. Izinkan aku membaca pendapat kalian di kolom komentar, supaya aku tahu reaksi kalian dan bisa memutuskan kelanjutan sequelnya. Makasiih ^~^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top