Chap 8 : Danau Hortzak

"Saya belajar bahwa keberanian bukanlah absennya ketakutan, melainkan kemenangan atas ketakutan tersebut. Orang berani bukanlah dia yang tidak merasa takut. Melainkan dia yang mengalahkan rasa takut itu." -Nelson Mandela-

***

Benang cahaya itu berakhir di balik batu besar yang tak jauh dari tempat kami berangkat. Itu artinya pintu dimensi berada di balik batu ini. Kami berempat memantapkan diri melangkah memasuki dimensi lain.

"Kalian siap?" tanya Attaya.

Aku hanya mengangguk pelan seraya berkata, "Ayo kita berangkat."

Saat kami memasuki tempat ini. Mataku takjub dengan apa yang kulihat sekarang. Di depanku kini telah terbentang Danau yang begitu tenang dan luas. Dimensi ini juga tetap berwarna Foto jadul.

(Gambar dari Google, lebih kurang seperti ini bayangan saye tentang Danau Hortzak)

"Danau Hortzak," ucap Attaya.

"Seperti lautan," timpalku kemudian. "Lalu di mana Abatwa tinggal?"

"Pulau kecil yang ada di sana ... Kita harus menyebrangi ini untuk sampai ke sana," jelas Bubble.

"Caranya?" tanyaku kembali.

"Itu yang sulit. Kau lihat, tidak mungkin menyebrangi danau ini. Danau yang begitu dalam, dengan makhluk-makhluk di dalamnya," jelas Attaya yang melihat ke bawah untuk memastikan ucapannya.

"Makhluk apa? Airnya begitu tenang," tanyaku heran seraya mengikuti Attaya melihat ke bawah.

"Jangan mempercayai ketenangannya, Ann. Danau Hortzak adalah danau yang paling mengerikan di dunia ini. Ikan-ikan pemakan segala berada di dalamnya," jelas Bubble yang menjauhi pinggiran Danau.

Aku yang mendengar penjelasannya sedikit merinding dan mulai bergerak menjauh. Aku tak bisa membayangkan apa yang ada di dalam sana. Apalagi saat aku melihat Attaya melemparkan sebongkah batu besar. Saat itu ikan kecil bergerombolan meloncat memakan batu itu habis bahkan sebelum sampai dasar danau.

"Mengerikan," ujarku tak percaya. "Aku tak bisa membayangkan jika terjatuh ke danau itu."

"Bagaimana jika semua naik ke punggungku saja," ujar Sterkur menawarkan diri.

"Nah itu benar. Kita lewat udara saja. Tapi, kuharap kau tak lelah, Sterkur." ucapku melihatnya.

"Tidak, Nona. Kalian bisa mengandalkanku."

"Baiklah, kita mengandalkan Sterkur untuk ini," ucap Attaya kemudian.

"Tunggu ...," teriak Bubble menyela dan berhasil membuat kami semua memandanginya.

"Kenapa, Bubble?"

"Kita lanjutkan besok pagi saja, senja sudah mulai datang. Ide buruk untuk terbang saat seperti ini. Lihatlah!" tunjuknya ke langit.

Aku dan yang lain memandang langit saat itu juga. Bubble benar, langit yang mulai makin pekat sangat menakutkan. Di tambah lagi ada sesuatu di atas sana, entah itu apa. Yang jelas seekor burung malang melintasinya tiba-tiba saja menjadi kaku dan jatuh ke Danau Hortzak. Tentu kami semua tahu apa akhir dari burung malang itu. Tubuhku merinding hebat melihat itu semua.

"Kita lanjutkan besok pagi, malam ini kita menghabiskan waktu di sini saja," perintah Attaya kemudian.

Sebelum malam benar-benar pekat, kami menyiapkan tempat untuk beristirahat. Bahkan, Attaya telah menghidupkan api dengan mudahnya. Tapi satu yang kami lupa, kami tak memiliki makanan apapun saat ini. Hari ini kami nyaris tak menyentuh makanan. Hanya air yang bisa kami temui saat di perjalanan tadi.

Kruyuuukk ...

"Astaga, Bubble. Aku benar-benar lapar saat ini. Apa sekitar sini tak ada makanan apapun?" tanyaku sambil mengelus perut.

"Maafkan aku, Ann. Tapi, memang tak ada makanan lagi yang tersisa. Sabarlah. Semoga besok, Suku Abatwa menyambut kita dengan baik," jawab Bubble mencoba menenangkanku.

"Bagaimana jika mereka menolak kita? Berarti aku harus terus menahan lapar?" celotehku prustasi.

"Ya, seperti itulah," jawab Bubble santai tak peduli kekhawatiranku.

"Kenapa nasibku seperti ini sih. Coba aku tak menemukan buku itu, saat ini aku masih bisa tidur enak, makan yang banyak. Aku merindukan suara berisik Sandra," gerutuku tak jelas yang bahkan tak di dengarkan siapapun.

"Tidur, Ann. Itu obat mujarab untuk perutmu," sindir Bubble kemudian.

"Ah, perutku. Sabar ya. Mungkin besok ada makanan jatuh dari langit," ucapku menyemangati diriku sendiri.

Sebelum aku membaringkan tubuhku di samping Bubble, aku melihat ke arah Attaya yang masih berdiri menatap kejauhan di pinggir dasar jurang. Entah apa yang di pikirkannya sekarang dan ia masih di temani Atma nya, Sterkur.

Setelah itu aku benar-benar membaringkan tubuhku. Menikmati hembusan angin malam. Memaksa mataku untuk segera terlelap, agar bisa menjelajahi dunia mimpi. Sehingga meninggalkan kenyataan tuntunan perutku untuk segera diisi.

***

Mungkin karena rasa lapar ini, aku tak bisa benar-benar tidur. Sepanjang malam aku bangun, terus kupaksa tidur lagi. Hingga fajar tiba, aku kembali bangun dan tak bisa tidur kembali.

Akhirnya, kuputuskan untuk duduk di bebatuan dan memperhatikan langit yang perlahan mulai terang. Rasa sakit di perutku membuatku tak bisa berkonsentrasi. Kepala yang mulai pusing. Juga tubuh yang mulai gemetar hebat. Menandakan aku benar dalam kondisi tak memungkinkan untuk berfikir lebih jauh saat ini.

"Ibu, apa yang harus aku lakukan sekarang?" keluhku menatap langit.

Aku tak boleh banyak mengeluh. Bukan aku saja yg merasakan ini semua. Aku memandangi Bubble juga terlihat gelisah di tidurnya. Attaya dan Sterkur? Aku tak melihat mereka. Entah kemana mereka berdua.

Aku kembali menatap langit yang kini telah benar-benar terang. "Ini sudah hari ke berapa aku berada di dunia ini. Ah, Sandra, maafkan aku yang tak bisa melihat pertandinganmu. Ku harap kau berhasil," gumamku.

"Kau sangat suka melamun, Nona." Ucap Sterkur yang entah sejak kapan berada di bebatuan dekatku.

Aku hanya membalas pertanyaan itu dengan senyuman. "Kau selalu tampak bersemangat, Sterkur. Di mana Attaya? Aku tak melihat dia," tanyaku.

"Dia sedang berada di luar demensi. Jangan khawatirkan Yang Mulia Attaya, dia pasti bisa melindungi dirinya sendiri," jawabnya sambil mengepakan sayapnya. Seperti merenggangkan tubuhnya.

"Kau tidak lapar Sterkur?" tanyaku penasaran.

Sterkur yang mendengar pertanyaanku tertawa. "Haha ... Aku bisa makan apa saja, Nona. Bahkan serangga kecil pun bisa menjadi santapanku."

"Ah, iya. Aku lupa. Kau seekor burung," ucapku mengingat sesuatu.

"Kau sudah bangun?" tanya seseorang dari belakangku yang aku yakini itu adalah Attaya yang baru kembali.

"Aku bahkan tak bisa tidur," jawabku lemas.

"Makanlah ini," ujarnya sambil menaruh beberapa sari Buah Bijela dan buah kecil lainnya di atas daun di dekatku dan juga botol yang telah terisi air penuh kembali.

Aku tersenyum senang melihat apa yang ia berikan. Meski rasanya hambar, tapi ini bisa di makan.

"Kita makan bersama-sama," ucapku bersemangat. Akupun bergegas membangunkan Bubble.

***

Matahari mulai tinggi saat kami selesai mengganjal perut. Aku baru tahu, buah kecil yang dibawa Attaya tadi bernama Buar Sur dan rasanya, asam sekaligus manis bersamaan. Sungguh aku tak berniat makan itu buah lagi jika tidak terdesak. Seharusnya aku bersyukur, masih bisa makan pada saat seperti ini.

"Aku sudah mengamati cara agar kita bisa menyeberangi sungai ini," ujar Attaya kemudian.

Kami memandangi Attaya dan menunggu penjelasannya.

"Di balik awan itu ada Halilintar Pembeku. Itu sepertinya digunakan Abatwa untuk melindungi mereka. Halilintar itu hanya berhenti keluar dari awan dalam hitungan setengah jam sekali. Jadi kita harus menyebrangi danau ini dengan cepat agar tak tersambar," jelasnya sambil menunjuk ke atas langit.

Aku memandang Sterkur cemas. "Bisakah?" tanyaku khawatir.

"Serahkan padaku. Meski nyawa taruhannya aku akan melindungi kalian," ucapnya tegas seraya mengepak-ngepakkan sayapnya.

"Kita bersiap sekarang. Saat waktu tepat kita langsung berangkat," perintah Attaya.

Aku dan Bubble bergegas menaiki punggung Sterkur yang telah berubah kembali menjadi ukuran besar. Attaya menyusul kami kemudian. Aku melihat Attaya membelai lembut punggung Sterkur dan berbisik pelan, "Hati-hati."

Akupun memegang Bubble di pelukanku. Agar jika terjadi sesuatu dia tak terjatuh ke bawah sana. Kami menunggu sesaat. Jantungku berdetak takut. Bahkan badanku sedikit dingin. Ini lebih menakutkan dari ketika ujian semester tiba.

"Siap! Satu, dua, tiga ... Sekarang!" Teriak Attaya memberi aba-aba ke Sterkur. Dalam sekejab, Sterkur pun melesat cepat ke atas dan kamipun mulai menyebrangi Danau Hortzak yang menakutkan.

Semua terlihat menakutkan dari atas sini. Sesekali terlihat bayangan besar berada di dalam sungai seperti mengikuti kami. Menunggu dengan tenang agar kami terjatuh. Begitu juga saat melewati awan-awan berwarna kelabu itu. Kilatan-kilatan cahaya seakan segera menyembul keluar dan menghantam kami. Seketika suhu tubuhku menurun, ada ketakutan di gemetarnya tubuhku.

"Ann. Tenanglah," ujar Bubble yang menyadari ketakutanku.

"Ya-Ya ...," jawabku gemetar.

"Pejamkan matamu, Ann. Jangan lihat jika kau takut." Kali ini suara Attaya singgah di telingaku.

Segera saja aku memejamkan mata erat dan sama sekali tak berminat membukanya sebelum semua usai.

"Sterkur, percepat sepertinya halilintar itu mulai bergerak," ujar Attaya.

Aku yang mendengar ucapan Attaya memejamkan mataku lebih kuat. Rasa takut menggerogoti jiwaku perlahan. Apalagi merasakan desiran angin semakin kuat. Ku peluk Bubble dengan erat. Tak ada bantahan darinya. Aku rasa ia mengerti yang kurasakan.

"Menunduk Ann!" teriak Attaya.

Mendengar itu aku langsung menundukan kepala. Meski memejamkan mata, tapi aku menyadari kilatan cahaya hampir saja megenai kami.

"Tenanglah, sebentar lagi kita tiba di pulau Abatwa," ucap Attaya yang menyadari ketakutanku.

Aku merasakan manuver-manuver tajam dari Sterkur. Mungkin saat ini dia berusaha menghindari kilatan-kilatan cahaya yang berusaha menggapai tubuh kami. Sungguh aku tak sanggup membuka mata saat ini.

"Bubble," ucapku lirih sambil menunduk.

"Aku di sini, Ann. Tenanglah," jawabnya merespon panggilanku.

Aku mengatur napasku pelan. Tiga puluh menit yang panjang. Detak jantungku bahkan tak berirama lagi.

"Pegangan yang kuat!" teriak Attaya.

Aku tak peduli apa yang akan terjadi. Aku raih apapun yang bisa kupegang. Liukan-liukan jalur terbang Sterkur berhasil mengocok isi perutku. Entah kapan penderitaan ini akan berakhir. Aku bahkan tak berani membuka mata.

***

Huueekkk...

Kukeluarkan semua makanan dari perutku. Kakiku gemetar hebat. Dunia ini seakan berputar-putar. Aku terjatuh lemas di atas rerumputan.

"Kau tak apa, Ann?" tanya Bubble khawatir di dekatku.

"Iya. Aku hanya sedikit pusing," jawabku lemah.

Aku melirik lemah ke tempat Sterkur dan Attaya. "Syukurlah semua baik-baik saja," gumamku.

Akhirnya kami bisa ketempat tujuan dengan selamat. Aku memandang ke sekeliling, tak ada apapun di pulau ini. Hanya ada satu pohon berukuran besar.

"Bubble, di mana suku Abatwa? Di sini bahkan tak ada apapun," tanyaku penasaran.

"Mereka ada di sekitar sini. Aku bisa merasakannya," ucap Attaya kemudian.

Aku hanya melihat Attaya yang kini telah berkeliling mencari jalan ke tempat suku Abatwa tinggal. Begitu juga dengan Bubble dan Sterkur. Aku hanya mampu memandangi mereka. Tubuhku terlalu lelah untuk membantu mereka.

"Siapa kalian?" Sayup aku mendengar suara seseorang yang aku tak tau dari mana asal suaranya.

Mataku langsung tertuju ke arah sekitarku. Ya, Tuhan! Apa pulau ini dijaga hantu atau semacamnya. Kenapa ada suara tapi tak ada wujudnya.

Aku yang mencari-cari asal suara itu sedikit merinding. "Kau yg siapa? Di mana kau?" tanyaku.

"Kami di bawahmu," kali ini suara seorang perempuan.

Aku memandang ke bawah mencari asal suara. Betapa terkejutnya saat melihat dua makhluk kecil yang berdiri di dekat kakiku. "Siapa kalian?" tanyaku penasaran.

(Gambar dari google, Cast : Suku Abatwa)

"Itu pertanyan kami? Kenapa kau malah balik bertanya?" ucap salah satunya.

"Ah, maafkan aku. Aku hanya terkejut saat menyadari kalian. Namaku Ann, aku kemari ingin bertemu Suku Abatwa," kenalku dengan sopan ke arah mereka.

"Apa kau Penyihir Legenda?" tanya mereka lagi.

"Kau bicara sama siapa,Ann?" tanya Bubble yang terbang mendekatiku. Aku melihat Attaya pun berjalan ke arahku.

"Ah, iya. Aku bertemu makhluk mini. Itu mereka," tunjukku ke arah mereka di bawah.

"Mini?" ucap Attaya ragu dan langsung melihat arah yang ku tunjuk. "Kalian dari Suku Abatwa?" tanya Attaya kemudian.

"Jawab dulu pertanyaan kami. Apa kau penyihir legenda?" Desak makhluk itu lagi.

"Kalian sedang melihatnya," jawab Attaya kemudian.

"Aku Hazi dan ini adikku Chaz. Baiklah kalau begitu kalian ikuti kami," ujar makhluk kecil berjenis kelamin perempuan sambil berjalan pergi.

Aku bisa melihat mereka berbisik-bisik berdua. Entah apa yg mereka bicarakan. Ukuran kami yang jauh berbeda membuatku tak bisa mendengarnya. Aku, Attaya, Bubble, dan Sterkur mengikuti mereka dari belakang.

Mereka berhenti di depan satu-satunya pohon besar yang ada di pulau ini, dan memberi tanda agar aku segera mendekatinya. Aku pun jongkok dan mendekati mereka yang memberikan sesuatu untukku.

"Apa ini?" tanyaku seraya mengambil sesuatu yg kecil dari mereka.

"Makanlah, kalian sudah ditunggu Kepala Suku," ujarnya.

Aku memandangi yang lain seraya meminta persetujuan mereka. Attaya menganggukkan kepalanya pelan. Aku pun memberikan masing-masing satu buah ke Attaya dan Bubble. Untuk Sterkur dia langsung mematuk dan memakannya dari tanganku.

Seketika aku melihat tubuh Sterkur menciut dan menjadi seukuran Hazi dan Chaz. "Wow," gumamku tak percaya.

Aku pun segera menelan dan merasakan khasiatnya padaku. Attaya dan Bubble pun telah berubah kecil.

"Masuklah," perintah Hazi seraya membuka pintu yang ada di pohon yang makin besar itu.

Attaya dan Sterkur masuk terlebih dahulu. Begitupun Aku dan Bubble menyusul kemudian. Lorong yang agak gelap dan panjang. Hingga kami tiba pintu di ujung lorong dan mataku di suguhkan dengan hal yang menakjubkan di balik pintu itu.

Ada banyak bunga di sini. Dan berwarna. Hal yang jarang terjadi di dunia ini, kan? Meski tinggilah bunga-bunga ini dari tubuh kami saat ini, tapi Tetap saja indah.

"Kok bisa?" tanyaku heran.

"Suku Abatwa terkenal dengan cinta keindahan. Gak salah kenapa mereka tinggal diantara bunga seperti ini," jawab Bubble.

"Oh, begitu. Tapi, kenapa bunga-bunga di sini berwarna?" tanyaku heran.

"Kalau itu, aku tidak tahu, Ann." ujar Bubble.

***

"Selamat datang di desa kami," ucap seseorang yang memiliki topi seperti mahkota saat menyambut kami di rumahnya.

Aku dan yang lainnya pun memberi hormat terhadapnya. "Terimakasih telah mengizinkan kami masuk," ucapku kemudian.

"Penyihir legenda," ujarnya saat melihatku.

Tiba-tiba saja dia mendekat dan meletakan tangannya di pundakku. Lalu menutup mata dan terlihat komat-kamit. Aku sedikit terkejut dengan perlakuannya.

Attaya pun merespon hendak bergerak maju, tapi aku gelengkan kepalaku sebagai tanda agar dia berhenti. Akupun melihat Bubble berusaha menghentikannya.

Mataku kembali melihat apa yang akan dilakukan makhluk di handapanku ini. Tak lama kemudian dia kembali membuka matanya. Lalu memegang tanganku dan mengecupnya lembut.

Seketika saja cahaya yang bewarna terang menjalar mulai dari tanganku, lalu merengkuh seluruh tubuhku. Saat cahaya itu hilang, aku bisa melihat kekaguman dari orang-orang di sekitar. Betapa terkejutnya saat aku melihat dari pantulan kaca atas perubahan yang terjadi padaku.

Tubuhku kembali seperti semula. Warna rambut dan juga manik mataku berubah kembali menjadi berwarna ungu. Begitu juga baju yang kupakai. Dress pendek selutut berwarna merah muda membuatku tampak lebih bersih dari biasanya.

"Kau suka perubahanmu?" tanyanya kemudian seraya tersenyum.

"Ah, iya. Terimakasih. Aku menyukainya," ucapku sambil memberi hormat.

"Selama di sini, kau bisa seperti dirimu sekarang," ucapnya sambil tersenyum hangat, lalu menuju ke yang lainnya.

"Selamat datang Raja Attaya. Penguasa dunia ini," ucapnya menjabat tangan Attaya.

"Terimakasih telah menyambut kami di desa mu, Ketua." Jawab Attaya sopan.

"Penduduk kami telah menyiapkan hidangan. Mari ikuti saya," ucapnya kemudian.

Aku dan yang lain mengikuti Ketua Abatwa. Hatiku berbinar-binar mendengar makanan. Perutku sudah sangat ingin segera diisi. Rasanya ingin sekali segera berlari mendahului semuanya menuju ruang makan. Pasti akan ada banyak makanan yang tersedia di sana. Ayam panggang, ikan bakar, daging asap, makanan-makanan ini berputar di otakku, membuatku makin merasakan lapar.

***

"Mari. Silakan duduk," ucap Ketua Suku saat kami tiba di meja makan.

Dan aku hanya termangu di pinggir meja makan yang telah di penuhi makanan saat ini.

"Ann," panggil Bubble saat aku masih berdiri mematung.

"Ah, iya. Aku duduk sekarang," jawabku mencoba tersenyum.

"Nona Ann, semoga kau suka dengan makanan yang kami sajikan. Ini makanan terbaik dari desa kami. Semua berasal dari sari bunga pulau ini," ujar Ketua Desa ramah.

"Ah, iya. Aku suka semua ini Ketua. Terimakasih," jawabku ramah. Aku melirik Attaya yang sedikit tertawa melihatku.

Ya, aku tahu! Makanan ini tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Kenapa aku berharap bisa menemui makanan berprotein tinggi di tempat seperti ini. Ketua Desa bilang ini makanan terbaik, kan? Jadi pasti rasanya enak.

Aku mencoba salah satu makanan berwarna hijau di dekatku. Walau ragu aku tetap mencoba memakannya. Teryata makanan ini lezat dan pasti lebih sehat. Akhirnya kuputuskan menikmati saja semuanya.

"Apa tujuan kalian ke sini karena ingin mencari tahu cara mengalahkan Penyihir Keilantra?" tanya Ketua Desa saat kami selesai makan malam.

"Anda benar Ketua dan bukan itu saja. Tujuan kami ke sini karena ingin mengetahui cara agar Ann bisa kembali ke dunianya," jawab Attaya.

Ketua Suku tersenyum padaku. "Tenang saja, saatnya kau pulang, maka kau akan pulang sendiri, Ann." Ucapnya untuk menenangkanku.

Aku diam dan mengangguk pelan. Ya, aku yakin aku bisa pulang, tetapi bagaimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?

"Hei, kau tak percaya padaku, Ann? Saat kau bisa mengalahkan penyihir jahat Keilantra. Maka saat itu kau akan bisa pulang," jelas Kepala Suku seolah bisa membaca pikiranku.

"Caranya, Ketua?" tanyaku semangat.

"Gantikan posisi Keilantra," jawab Ketua Desa tegas memandangku dari tempatnya.

Entah mengapa, kata-katanya membuatku sedikit takut. Jika aku menggantikan posisi Keilantra, berarti aku akan menjadi Ratu Penyihir di dunia ini dan itu bukan sesuatu yang aku bayangkan.

***

Terdiri dari 2500kata

Terimakasih masih mampir & baca, gak kerasa udah mau ending. Semoga kalian suka. :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top