Chap 7 : Kenangan

"Kerja Tuhan tidak boleh diramal. Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena." -Andrea Hirata-

***

Tidurku terganggu saat mendengar suara berisik di sekitarku. Saat ku lihat, ternyata beberapa hewan sedang merumbungi tas. Mungkin mereka pikir, tersisa banyak makanan di dalam sana. Karena menyadari aku membuka mata, para pengerat kecil itu pun berlarian menjauh dari tasku.

Aku hanya tersenyum kecil melihat kelakuan mereka. Kutarik kembali selimut yang menutup tubuhku. Tunggu dulu! Aku tak punya selimut. Lalu ini, ternyata hanyalah jubah, tepatnya jubah milik Attaya. Akupun melirik ke arahnya yang masih tertidur sambil menyender pohon. Aku pikir dia tak terlalu buruk. Buktinya, dia memberikan jubahnya agar hawa dingin tak lagi menghampiriku.

***

"Pagi Attaya," sapaku saat melihat dia mulai membuka mata.

"Pagi."

Dia hanya menjawabku seadanya, seperti biasa, 'kan! Aku kembali menatap isi tasku. Tak tersisa makanan di dalamnya. Padahal aku yakin masih tersisa beberapa buah dari Peaches kemarin. Mungkinkah, semalam hewan-hewan itu yang mengambilnya.
Aku menatap Attaya bingung. Tapi ia hanya cuek dan berlalu.

"Kau mau kemana?" teriakku dan tak ada jawaban. Aku pikir dia mau ke belakang. Ya, terserahlah! Yang penting sekarang, apa yang bisa menjadi sarapan pagi ini? Aku bingung dan menggaruk tungkukku yang sama sekali tak gatal.

"Pagi, Ann."

"Pagi. Loh, Sterkur? Kau kecil?" tanyaku saat melihat sosok Sterkur seperti ukuran burung biasa turun dari pohon dan terbang mendekatiku.

"Wujud asliku memang seperti ini, Ann. Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu, apa itu?"

"Ah, aku hanya bingung, apa yang harus kita santap pagi ini. Semua buah di dalam tas hilang. Mungkin semalam ada yang mencurinya," ucapku lemah sedikit kesal.

"Tenang Ann. Aku rasa kita bisa menahan rasa lapar pagi ini," ucapnya sambil kembali terbang. Aku melihat ke arah kepergiannya, yang ternyata menghampiri Attaya di kejauhan.

Attaya kini berjalan kembali ke atas bukit. Melihat keakraban mereka membuatku miris, aku kembali merindukan Bubble. Teringat kembali saat-saat Bubble yang selalu ada untukku. Aku menyesal, sungguh menyesal, andai saja aku bisa memaafkannya lebih cepat, saat ini Bubble pasti masih bersamaku.

"Kau melamun lagi, Nona. Apa yang kau pikirkan saat ini?"

Aku melihat Sterkur yang kini bertengger di atas tangan Attaya yang telah duduk tak jauh dariku. "Aku hanya merindukan, Bubble." Ujarku sedih.

"Di mana Atmamu?"

"Entahlah. Aku tak tau di mana dia sekarang. Kami bertengkar, hingga kemarahanku mengusir dia. Sekarang aku menyesali ucapanku." Aku hanya bisa menatap kosong kejauhan. Ya, aku menyesali perbuatanku padanya.

"Penyesalan, selalu mengikuti kebodohan seseorang." Kali ini Attaya terdengar bersuara menganggapi ucapanku.

"Ya, kau benar." Aku hanya tertunduk lesu.

"Dan kesempatan ke dua selalu ada," timpalnya kemudian.

Aku tak yakin ada kesempatan ke dua untukku. Apalagi Bubble yang kini telah pergi. "Apa dia akan memaafkanku?" gumamku lirih menunduk dalam.

"Kita tak akan pernah tau jawabannya, jika belum mencoba. Betul, 'kan, Ann?"

Aku mengenali suara ini. Suara sahabat yang aku rindukan. "Bubble!" teriakku tak percaya.

"Bagaimana bi-sa?" Ucapku lagi melihat dirinya kini tak jauh dariku.

Aku berlari mendekatinya. Memeluknya melepas rindu. Air mataku jatuh lagi. Segera kuhapus. "Maaf, maafkan aku."

"Dasar bodoh. Lepaskan. Sesak, Ann." Rontak Bubble yg berada di pelukanku.

"Eh, maaf. Kamu sih, tega! Meninggalkanku sendiri di tempat mengerikan seperti ini," ucapku sambil melepaskan pelukan.

"Kau tak ingat? Kau sendirilah yang mengusirku," jawabnya sambil terbang menjauhiku.

"Tapi, kan, kau gak seharusnya benar-benar pergi, Bubble."

"Atma akan menghilang, saat pemiliknya tidak menginginkannya lagi," Jelas Attaya.

Aku hanya melongo bingung dengan ucapan Attaya. "Meng-hi-lang."

"Seperti itu lah," jawab Bubble santai yang kini duduk di bebatuan dekatku.

"Maafkan aku, Bubble. Aku janji, gak akan mengulagi semua ini lagi."

"Itu harus. Jika hal seperti ini terjadi lagi, kau harus bersiap kehilangan Atma mu selamanya," ujar Attaya sambil memerintahkan Sterkur mengawasi kami dari atas.

"Iya. Aku janji," ucapku bersemangat melihat Bubble.

"Kita lanjutkan perjalanan," ujar Attaya sambil berlalu.

Aku melihatnya dengan pandangan bingung. "Perjalanan? Apa maksudnya kembali ke istana? Tidak akan!" ucapku lirih dalam hati.

"Hei, tujuan kita berbeda, 'kan? Kalau begitu, sampai jumpa," ucapku sambil melambaikan tangan.

Aku melihat Attaya berhenti melangkah dan segera membalikan punggungnya. Ekspresinya berubah, seakan ingin menelanku hidup-hidup. Aku langsung menghadap ke arah Bubble dan berkata, "Kita ke Danau Hortzak sekarang, ya."

Bubble yang menanggapi ucapanku, kini terbang ke arahku. Dengan santainya ia memilih untuk duduk di pundak kanan. "Kau tak ingin duduk di atas kepalaku lagi, kah?"

"Aku bisa duduk di mana yang ku suka, Ann."

Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Lebih baik seperti ini, Bubble tetap berada di sampingku. Saat aku melangkah, tiba-tiba saja Attaya telah berdiri di hadapanku.

"Hei, kau harus pulang ke istana denganku sekarang," ucapnya mengintimidasiku.

"Untuk apa? Menjadi tumbal demi dunia ini? Aku tidak mau!" Ucapku ketus melewati dirinya.

"Kau! Berhenti!" teriaknya dari belakangku. Tapi tak ku hiraukan. Enak saja dia! Memangnya aku bodoh menyerahkan nyawaku demi dunia ini. Sedetik kemudian, tiba-tiba saja dia kembali di hadapanku.

"Kita belum selesai bicara!" ucapnya kembali.

Entah bagaimana caranya dia mencegatku lagi. "Aku pikir tak ada yang perlu kita bicarakan lagi sekarang. Minggir aku mau lewat," jawabku ketus seraya mendorong tubuhnya.

Tapi tentu saja tak berpengaruh apa-apa, fostur tubuh Attaya jauh lebih besar daripada diriku.

"Berhenti. Berhenti kataku!"

Attaya yang kesal karena tak ku hiraukan. ia pun memegang tanganku dengan kencang. Sampai rasa perih kurasakan.

"Aduh," keluhku saat tanganku yang dipegang paksa.

"Siapa yang bilang kau itu akan menjadi tumbal!" Ucap Attaya kesal.

"Aku dengar semua yg kalian bicarakan, Attaya! Lepaskan tanganku! sa-kit."

Attaya tetap tak melepaskan pegangannya. Dia menatapku kesal. "Kau salah paham. Kami membutuhkanmu, tapi bukan sebagai tumbal," teriaknya kesal.

"Kalian berdua, berhentilah. Attaya, kau seharusnya mengerti ketakutan Ann. Walaupun sebenarnya dia berlebihan," ucap Bubble menengahi pertengkaran kami.

"Aku tak berlebihan Bubble," ucapku sewot.

Attaya membuang napas dan segera melepaskan tanganku. "Cih, dasar wanita! Sekarang ke mana tujuanmu?"

"Suku Abatwa. Bubble bilang mereka mungkin bisa membantuku. Kecuali, kau meminjamkan buku pelangi untuk mengembalikan aku pulang ke duniaku," jawabku menghadapnya.

"Buku itu sudah lama dicuri dari istana," jawab Attaya membuang pandangannya ke arah lain.

"Dicuri? Oleh siapa?" tanyaku penasaran.

"Penyihir Keilantra," jawabnya pelan nyaris tak terdengar.

"Siapa? Aku tak mendengarmu," ujarku pura-pura.

"Kei-lan-tra," teriaknya kesal ke arahku. Menekankan tiap suku katanya.

Aku tertawa puas melihat itu. "Oh, dicuri mantan calon Ratumu," ejekku sambil berlalu meninggalkannya.

"Kau!" teriaknya kembali.

Aku tak berniat menggubris teriakannya. Aku hanya terkekeh pelan melihat ekspresi wajahnya tadi. Itu hiburan tersendiri, kan? Setidaknya itu mengganjal perutku yang mulai terasa lapar.

***

Perjalanan panjang telah kami tempuh. Panasnya terik matahari menyengat kulit. Tetasan peluh kian berlomba membasahi tubuh. Kondisi perut yang tak bersahabat, kerongkongan yang mulai kering klontang, membuatku mengeluh tak sabar.

"Sampai kapan kita akan berjalan?" tanyaku yang kini duduk lemas di bawah pohon yg kami temui.

Kruyuk ... Kruyuk ...

Astaga perutku dari tadi tiada henti berbunyi. Ku tekan pelan dengan tanganku seraya berkata lirih, "Sabar ya, perutku, mungkin nanti ada makanan."

"Manja!" celetuk Attaya sambil mengambil pedangnya.

Aku hanya mampu melotot tajam ke arahnya. Sungguh aku tak mau menghabiskan tenaga yang tersisa, hanya untuk meladeni ucapannya.

"Sabar Ann. Aku rasa DanauHortzak sudah tak jauh lagi dari sini. Hanya saja, danau itu sulit ditemukan."

"Maksudnya?"

"Danau Hortzak itu bukan sembarang danau biasa. Danau besar yang mengelilingi sebuah pulau kecil tempat Suku Abatwa tinggal. Percayalah! Tak sembarangan orang bisa menemukan mereka. Bahkan rupa mereka saja tak ada yang mengetahuinya. Ada dinding tak terlihat yang menutupi tempat mereka."

"Lalu, bagaimana cara kita menemukannya?" tanyaku putus asa.

"Aku tidak tau, Ann. Aku hanya yakin kita sudah tak jauh lagi," ucap Bubble sambil terbang melihat ke sekeliling.

Aku memandang ke sekitar. Attaya sedang berjalan ke arah tak jauh dari tempat peristirahatan kami. Sterkur masih terbang mencari tahu dari sisi atas.

Aku hanya bisa duduk terdiam melepas lelah. Rasa lapar menjalar . Kepalaku sedikit pusing, dehidrasi menyerang tubuhku.

Aku tertunduk lesu. Memandangi jari-jari kaki yang ku goyangkan. Pandanganku kembali buram, llirih ku berkata, "Sudah beberapa hari aku di sini, bagaimana Sandra dan Bibi? Kuharap mereka tak mengkhawatirkan ku berlebihan."

"Jangan khawatirkan mereka, mereka mungkin tak menyadari kepergianmu."

Aku mendongakkan kepalaku, melihat Attaya yang kini berada di sampingku. Pria ini memang menyebalkan.

"Ambil ini," ucapnya sambil menyodorkan sesuatu berwarna putih pucat ke arahku.

"Apa ini?" ujarku seraya mengambilnya.

"Itu sari Buah Bijela. Lumayan bisa mengganjal rasa laparmu. Makanlah."

"Terimakasih," ucapku. "Bagaimana denganmu?"

"Aku tidak lapar," ujarnya sambil berlalu dan mengambil tempat duduk di atas batuan dekatku.

Aku memandangi sari Buah Bijela yang berada di tanganku. Bentuknya hanya bulat biasa. Tekstur buah ini pun sedikit lembut. Saat kumasukan ke mulut, ternyata kandungan airnya pun lumayan banyak. Jangan tanya rasanya! Hambar. Tapi cukup bisa mengganjal perut yang menuntut untuk diisi segera.

Duaarrr ...

Suara dentuman terdengar jelas. Aku melihat Attaya sigap berdiri, mengawasi sekitar. Bubble langsung terbang mendektiku. Sterkur? Di mana dia ... Attaya telah berlari ke tempat asal suara. Aku dan Bubble pun bergegas mengejarnya. Tak lama, kami berhasil menyusul Attaya yang kini telah jongkok sembari menghadap sesuatu. Perlahan aku mendekatinya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku membelakanginya dengan was-was.

Tak ada jawaban. Aku pun mendekati untuk melihat apa yang diperhatikannya. "Astaga, apa yang terjadi?" Ucapku saat melihat seekor binatang tergeletak tak bergerak lagi.

"Di mana Sterkur?" lanjutku saat tak melihat dia di sini.

"Aku di atasmu, Nona."

Aku mencari asal suara itu. Terlihat Sterkur sedang terbang rendah di atasku. Ada kelegaan di hati saat melihat dia baik-baik saja.

"Apa yang terjadi?" tanya Bubble.

"Aku juga tak mengerti. Saat tiba di sini dia sudah tergeletak seperti itu," jawab Sterkur yang kini telah bertengger.

"Abatwa. Sepertinya kita memang sudah mendekati kawasan mereka," jawab Attaya yang kini menghadap ke arahku.

"Bagaimana bisa kau yakin? Sedangkan, sekitar sini tak ada danau yang kita cari," tanyaku penasaran.

"Apa yang terjadi dengan binatang itu, menunjukan ini semua ulah mereka. Sterkur apa kau melihat sesuatu yang aneh dari atas?" tanya Attaya.

"Aku tak melihat sesuatu yang aneh saat patroli tadi, Yang Mulia."

"Sebaiknya kita tetap berjalan bersama untuk menghindari kemungkinan terburuk," perintah Attaya ke arah kami semua.

Aku dan Bubble saling berpandangan. "Aku rasa itu memang yang terbaik," ucap kami nyaris bersamaan.

"Lalu bagaimana mengetahui keberadaan Abatwa?" tanyaku kemudian.

"Tempat tinggal Abatwa di selimuti sihir. Jadi, yang bisa mengetahui keberadaan mereka hanya orang yang punya sihir," jelas Bubble kepada kami.

Alhasil baik Attaya, Sterkur, dan juga Bubble memandangiku. "No, no, no ... Itu tidak mungkin. Aku bahkan tak tahu jika mempunyai sihir," tolakku ke arah mereka.

"Ann, kau tak bisa menghindari takdirmu," ucap Attaya.

"Kau harus mencobanya, Nona." Timpal Sterkur.

"Oh, ayolah, Ann. Jangan jadi pengecut di saat seperti ini," ucap Bubble menyindirku.

"Aku bukan pengecut, Bubble," bantahku. "Lagipula kalian, kan, tau! Aku tidak mengerti apa-apa tentang sihir atau apa lah itu."

"Kau ingat yang dikatakan Peaches, Ann. Kau harus konsentrasi. Sihir itu telah mengalir di tubuhmu. Kau itu penyihir legenda," desak Bubble.

Aku memandangi sekitarku. Attaya tampak pura-pura tak mendengar pembicaraan kami dan berdiskusi dengan Sterkur. Bubble benar, jika aku memang ditakdirkan untuk melakukan ini semua, maka aku harus menguasai sedikit kekuatan ini.

"Baiklah. Akan kucoba. Apa yang harus aku lakukan?"

"Duduk dan mulailah berkonsentrasi. Biarkan kau dan kekuatanmu menyatu. Hanya kau sendiri yang bisa melakukannya Ann. Perintahkan kekuatanmu membuka jalan menuju Suku Abatwa," perintah Bubble.

Aku membuang napas perlahan dan mulai duduk bersila di atas rerumputan. Aku sendiri tak mengerti apa cara ini bisa berhasil. Tapi aku harus mencobanya. Ku pejamkan mata. Mencoba menggali kepercayaan yang ada di diri. Merasakan ketenangan yang ku cari.

***

Sepi, begitu tenang. Udaranya begitu sejuk. Kenapa tiba-tiba auranya berubah. Aku mencoba berkonsentrasi, tanpa membuka kedua mataku. Ketika tiba-tiba saja, seseorang memanggil namaku. "Anaia, kemarilah, Nak."

Suara seorang perempuan. Aku memasang pendengaranku lebih tajam. Aku tak yakin ada yang memanggilku. Mungkin hanya ilusi saja.

"Anaia ... Di mana kamu, Nak."

Suara ini, suara yang ku kenal. Segera aku membuka mataku dengan cepat. "Di mana ini?" gumamku pelan.

Aku memandangi ke sekeliling. Ini bukan tempatku tadi. Bahkan tak ada Bubble, Attaya, dan juga Sterkur di sini. Tapi, aku mengenali tempat ini. Kolam yang penuh ikan koi. Bunga warna-warni terhampar sejauh mata memandang. Iya, aku yakin! Ini rumahku dulu sebelum pindah dengan Bibi Nisa dan Sandra di rumah sekarang.

"Anaia ... Kau bersembunyi lagi ya. Awas, kalau sampai ibu tangkap."

Aku menoleh ke asal suara yang memanggilku. Mulutku tercekat saat sosok yang kurindukan berdiri tak jauh dariku, "I-bu."

Sosok itu berdiri dan tersenyum. "Anaia, ibu menemukanmu. Keluarlah, Nak."

"Ibuuuuu ...," teriak seorang anak kecil yang berhamburan memeluknya.

"Ibu hebat. Selalu bisa menemukanku," ucap anak itu dengan polosnya.

Anak itu aku. Ya, dia aku. Apa aku sedang berada di memoriku sendiri. Kenapa aku di bawa ke sini. Pertanyaan ini terus berputar di otak.

Aku melihat ibuku berlutut mensejajarkan tingginya denganku yang masih kecil. Mengelus rambutku dengan sayang. Ya, Tuhan! Aku merindukannya. Kudekati perlahan mereka yang kini berjalan bergandengan menuju taman kecil. Duduk di ayunan besi.

Ann kecil kini telah tiduran di ayunan besi itu di temani ibu. "Bu, bagaimana cara ibu menemukanku."

Ibu hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan itu dengan tertawa riang. "Anaia, percaya keajaiban?" tanyanya.

Ann kecil yang berantusias mendengarnya, segera duduk di samping ibu. "Aku suka keajaiban," ucap Ann kecil bersemangat menganggukkan kepalanya cepat.

"Karena itu lah ibu bisa menemukanmu, Sayang." Godanya sambil memencet hidung Ann kecil.

"Benarkah? Ajarin aku Bu," rengek Ann kecil sambil bergelayut manja.

"Iya, Sayang. Sini duduk di pangkuan Ibu. Akan ibu ajari."

Ann kecil yang bersemangat, duduk di pangkuan Sang Ibu.

"Ikutin ibu ya, Ann. Saat kau ingin keajaiban datang, ucapkanlah mantra, Parla la magia da me."

"Par-la la ma-gia da me," ucap Ann kecil terbata-bata.

"Anak ibu pintar ya," kecupnya mesra di pipi montok Ann kecil. "Ingat ya, Sayang. Ucapkan mantra itu agar keajaiban datang padamu," lanjutnya lagi sebelum memeluk sayang Ann kecil.

Aku yang melihat keakraban Ann kecil dan Ibu. Hanya bisa menitikan air mata perlahan. "Aku merindukanmu, Ibu," gumamku pelan menatapnya di kejauhan.

Tiba-tiba semua gelap, sangat gelap. Ibu dan Ann kecil perlahan memudar dan menghilang.

"Ann, Ann ... Bangunlah, kau tidak apa-apa?" teriak seseorang yang memanggilku.

Aku membuka mataku dengan cepat. Saat ku lihat ternyata Attaya kini di dekatku dan membangunkanku. Aku tertidur? Jadi tadi cuma mimpi.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.

Aku melihat Bubble dan juga Sterkur yang juga tak jauh dariku.

"Iya, Aku tak apa."

"Jangan memaksakan diri, Ann. Jika kau terluka maka aku juga bisa merasakannya," ucap Bubble kemudian.

"Maafkan aku membuat kalian khawatir. Sepertinya aku menemukan jawaban bagaimana membuka dimensi ke tempat Suku Abatwa tinggal," ucapku sambil mencoba berdiri.

"Caranya?" tanya Attaya penasaran.

Aku tak menjawab pertanyaan itu dan segera berkonsentrasi. "Ibu, terimakasih." Lirihku dalam hati.

Aku memegang erat kalungku. Seraya berkata pelan. "Wahai keajaiban datanglah padaku. Tunjukan kami jalan menuju Suku Abatwa tinggal. Parla la magia da me."

Perlahan liontinku bersinar terang. Mengeluarkan cahaya ungu cerah. Cahaya itu seperti benang yang berjalan menuntun kami ke arah yang benar. Kami berempat hanya saling berpandangan. Kini Bubble telah duduk kembali ke atas kepalaku dan melanjutkan perjalanan. Sedangkan, Attaya dan Sterkur mengikuti kami di belakang.

"Kau berhasil Ann," ucap Bubble dari atas kepalaku.

"Iya, Bubble. Ini semua berkat kalian," ujarku sambil tersenyum bahagia.

***

Terdiri dari 2500kata

Akhirnya Part ini pun publish... masih banyak kesalahan, masih banyak kata yang amburadul, ah, aku hanya bisa berujar Maaf. Nah, Dek  sudah kakak publish part 7 nya, semoga suka ya.

Please Krisan kalian di tunggu ya... makasih telah mau mampir.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top