Chap 5 : Hutan yang Menakutkan

"Persahabatan itu seperti sekotak crayon, masing-masing punya warna yang berbeda. Namun, coba padukan! Mereka akan membuat pelangi yang indah."

***

"Ann, dari tadi kau hanya mondar-mandir seperti bola bekel. Ada apa?" tanya Bubble bingung melihatku.

"Kita harus pergi dari sini Bubble, aku tak mau mati sia-sia di sini!" Aku pun segera bergegas mengganti pakaian, dan menyiapkan apa saja yang bisa ku masukkan ke dalam tas kecilku.

Bubble yang terbang dan duduk kembali di atasku pun bertanya, "Ada apa Ann, tiba-tiba saja kau seperti ini?"

Untuk sesaat aku berhenti melakukan aktifitasku, dan membuang napas perlahan sebelum menjelaskan semuanya ke Bubble, "Aku mendengar semuanya, orang-orang itu ingin membuatku menjadi tumbal mereka untuk dunia ini, Bubble. Aku rasa mereka akan menguras semua darahku. Aku tak ingin mati sia-sia di sini. Sekarang, teserah kau ingin ikut atau tidak, tapi yang jelas aku ingin segera pergi dari istana ini secepat mungkin."

"Manusia bodoh. Jelas aku ikut ke manapun kau pergi. Tapi sebelum itu kita harus mempersiapkan semuanya, setidaknya kita pergi saat fajar tiba. Kau lihat sendiri betapa menakutkannya saat malam seperti ini di luar sana."

Aku yang mendengar ucapan Bubble pun hanya terdiam. Memang benar apa yang dikatakan Bubble, di luar sangat menakutkan. "Baiklah Bubble, kita berangkat saat fajar tiba."

***

(gambar dari Google)

Di sinilah kami. Kembali terdampar di hutan yang menakutkan. Warna gelap masih mendominan. Ini lebih baik, setidaknya sekarang aku sudah menjauh dari istana dan orang yang menyebalkan di dalamnya.

"Bubble, aku lelah. Ke mana kita pergi sekarang?" tanyaku bingung.

"Kau yang mengajak keluar Ann, kau sendiri yang harus menentukan."

"Ah Bubble, setidaknya kau harus bantu aku kali ini. Apa tidak ada cara lain agar aku bisa pulang, selain melalui buku itu?"

"Sebenarnya ada."

"Ada? Kau serius Bubble?" tanyaku serius, menanti jawabannya.

"Jalan Ann. Jangan berhenti," ucapnya sambil menarik rambutku.

"Aduuh ... Astaga Bubble! Iya aku dengerin sambil jalan," gerutuku kesal sambil kembali berjalan.

"Meski aku bilang ada, tapi aku tak yakin, Ann."

"Kenapa?"

"Karena hanya Suku Abatwa yang bisa menjawab semuanya."

"Abatwa? Aku tidak tahu siapa mereka, tapi aku harap mereka bisa membantuku," ujarku penuh harap.

"Okey Bubble! Tujuan sudah di tentukan, kita ke tempat Suku Abatwa sekarang."

"Kenapa berhenti, Ann?"

Aku hanya cengengesan mendengar pertanyaan Bubble. "Ah Bubble, aku kan tidak tahu arah jalannya."

"Ann, ada satu hal yang harus kau ketahui. Menemui mereka tak semudah yang kau bayangkan. Kita harus melewati hutan terlarang."

"Astaga ... Seperti apa hutan terlarang itu?"

"Hutan itu di huni makhluk-makhluk pemakan daging yang biasa di sebut bangsa Ogre. Tak akan mudah melewati hutan itu, Ann."

Aku terdiam mendengar penjelasan Bubble. Itu berarti jika aku telah keluar dari sarang harimau dan kini memasuki sarang buaya! Satu kata untuk ini semua, sial!

"Bagaimana kita bisa melewati mereka?"

"Mereka tidur di siang hari dan mencari mangsa pada malam hari. Jadi kita harus melewati mereka semua saat siang."

"Berarti kita harus tiba di hutan terlarang secepatnya, agar bisa melewati mereka semua," ucapku penuh keraguan.

"Baiklah kalau begitu kita move sekarang juga, ayo Bubble!" teriakku bersemangat melangkahkan kaki.

"Salah Ann, kita pergi ke jalan sebelahnya," ucap Bubble dari atas kepalaku dan kembali menarik rambutku.

"Aduh, ah Bubble jangan di tarik, sakit! Kan bisa bilang aja jalan mana yang mesti diambil," rutukku sambil mengelus kepalaku yang sakit.

"Bisa tidak kau tak usah duduk di atas kepalaku! Masuk ke dalam tas atau duduk di pundakku lebih baik," ucapku kesal melihat kelakuannya.

"Kau jangan hanya bicara Ann, cepat bergerak, nanti kemalaman," jawabnya santai tak memperdulikan ucapanku, dan aku hanya bisa melangkahkan kakiku dengan rasa kesal atas jawaban Bubble.

***

"Bubble sudah setengah hari kita berjalan. Aku lelah. Apa hutan terlarang sudah dekat?" keluhku saat kami duduk di bebatuan melepas lelah sejenak.

Bubble tak menjawab pertanyaanku. Ia masih terlihat asyik menikmati potongan apel di tangannya. Aku hanya membuang napas pelan melihat kelakuannya. Itu artinya aku tak akan segera mendapat jawaban.

Akupun segera menghabiskan potongan buah di tanganku. Saat aku memasukan potongan terakhir ke mulutku, aku mendengar suara geraman sangat kuat dari sisi hutan di depanku. Mendengarnya membuatku tersedak oleh makananku.

"Bubble, suara apa itu?" tanyaku sedikit takut.

"Ogre. Ann, sepertinya tujuan kita telah dekat. Kita lanjutkan perjalanan sekarang, sebelum matahari terbenam," ucap Bubble yang kini telah terbang kembali di atas kepalaku.

Aku yang masih sedikit ketakutan, tapi tetap melanjutkan perjalanan. "Bubble, darimana kau tahu suara tadi berasal dari Ogre?"

"Lihatlah ke sekelilingmu Ann, apa kau tak melihat papan-papan yang di tanamkan itu."

Aku langsung memperhatikan sepanjang jalan. Ah, kenapa aku tak menyadarinya. Ada banyak papan bergambar peringatan di setiap sisinya. Itu sudah membuktikan jika memang kami telah mendekati sarang monster yang berbahaya. Seketika itu juga tubuhku merinding.

"Bubble, sebesar apa mereka? Bahkan suara geramannya pun begitu menggelegar. Apakah mereka sangat buruk?"

"Mereka hanya monster bodoh yang sangat suka makan. Tubuh mereka berwarna hijau kehitaman. Gigi mereka tajam dan runcing. Mereka tidak peduli itu seperti apa, apapun yang memasuki wilayahnya. Akan menjadi santapannya."

(Gambar dari Google "Ogre")

"Mengerikan."

"Waspadalah Ann, kita telah berada di wilayahnya. Jangan berisik. Kita harus melewati wilayah ini tanpa mengganggu tidur mereka. Ada banyak jebakan setelah ini."

Meski terasa takut dan gugup, tapi aku mengumpulkan semua keberanianku saat ini. Kami telah sampai di ujung jalan setapak dan mulai memasuki hutan yang sangat gelap.

Pohon-pohon besar menaungi tempat ini. Udara yang pengab dan jalanan yang licin karena lumut sungguh membuatku sulit bergerak. Hanya cahaya yang menyembul dari pepohonan yang menerangi jalanan kami.

Beberapa kali aku hampir terjatuh. Aku harus sedikit menunduk melewati akar-akar yang saling berpautan. Akupun harus melompat dan naik ke atas pohon saat menemui lumpur pekat yang menghalangi jalan kami.

Sesekali aku mendengar dengkuran di iringi geraman yang keras dari arah hutan. Aku yakin itu Ogre, dan aku tak berniat mengganggu tidur mereka. Seperti kata Bubble, setiap inci hutan ini mempunyai banyak jebakan. Salah langkah sedikit saja aku akan bisa terjebak di dalam jebakan yang mereka buat. Untung saja Bubble ada di sampingku selalu. Meski dia begitu menyebalkan, tapi dia begitu pintar. Beberapa kali aku diselamatkan dirinya saat menghindari jebakan-jebakan itu.

Napasku hampir habis. Rasa lelah menggerogoti tubuhku. Tapi aku tak diizinkan Bubble istirahat meski sebentar. Aku tahu itu, karena kami harus keluar dari sini sebelum malam tiba.

"Sabarlah Ann, sebentar lagi kita keluar dari hutan ini. Setelah itu, kau bisa istirahat sepuasnya."

Aku mengerti ucapannya. Senja mulai tiba, artinya malam akan segera datang. Aku harus melangkahkan kakiku lebih cepat, agar segera keluar dari hutan ini.

"Ann, lihatlah ke depan sana," tunjuk Bubble ke arah yang ia maksud.

Akupun melemparkan pandanganku ke arah yang dimaksud. Senyum mengembang di bibirku, hingga aku bertanya untuk memastikannya, "Itu ujung hutan terlarang kan, Bubble."

"Iya Ann, ayo bergerak lebih cepat," ucapnya menyemangatiku.

Aku mempercepat langkahku menuju ujung hutan. Namun, kemudian sesuatu menghentikanku. "Bubble, kau mendengar itu."

"Aku tak mendengar apapun Ann. Cepat bergerak dari sini," ucapnya seraya memaksaku segera pergi dari sini.

"Hei, siapa saja, tolong aku!"

Suara itu, aku jelas mendengar seseorang meminta pertolongan. Mungkin aku memang ingin segera cepat keluar dari hutan ini. Tapi aku tak bisa menghiraukan suara itu.

"Ann, malam segera tiba. Kita harus segera keluar dari hutan ini," kali ini suara Bubble menghentakkan lamunanku.

Aku kembali berjalan tapi bukan ke arah ujung hutan. Aku mencari asal suara itu. Teriakan Bubble dari atas kepalaku tak menghentikan pencarianku. Setidaknya aku harus memastikan apa itu. Hingga akhirnya aku menemukan seseorang.

Tepatnya seseorang yang sedang tergantung dengan kaki di atas, mirip saat seseorang menggantung hasil buruannya. Orang itu kena jebakan yang di pasang oleh Ogre.

"Hei Nona, syukurlah kau di sini. Bisakah kau menolongku. Tolong potong tali di sana agar aku bisa turun ke bawah."

Aku yang sempat terpana melihat orang yang tegantung itu langsung segera mencari pisau lipat yang kuambil dari istana Attaya. Dengan cekatan aku memotong ujung tali yang diikat di pohon. Saat aku mulai memotong tali itu, tanpa ku sadari malam telah tiba. Cahaya bulan yang temaram telah bersinar.

"Ann, tinggalkan saja orang itu! Kita harus segera keluar sebelum Ogre ke sini dan menangkap kita," perintah Bubble yang terbang di depanku.

Untuk sesaat aku bimbang, aku ingin segera pergi dari sini. Namun, aku tak bisa meninggalkan orang itu dan menjadi santapan Ogre.

"Bubble, maafkan aku."

Setelah mengatakannya aku meneruskan memotong tali-tali untuk melepaskan orang itu. Setelah talinya terpotong, dan pria itu jatuh terhempas ke bawah, aku bergegas membantu dia melepaskan ikatan di kakinya.

Sayup aku mendengar suara hentakan kaki yang mulai mendekati kami. Suara geraman Ogre semakin jelas terdengar.

"Aaarrrrgghhhh ... Siapa kau! Beraninya melepaskan makanan kami."

Aku melihat seorang Ogre besar yang memegang obor mendekati kami. Badannya sangat besar. Telinganya kecil. Gigi-gigi kuning nan tajam berbaris rapi. Aku yang melihat kemarahannya sangat ketakutan.

"Lari Ann, lari ..." Perintah Bubble yang terbang di dekatku. Akupun segera berdiri dan ingin segera pergi. Tapi aku kalah cepat dari Ogre yang kini memegang erat tanganku.

"Aduuuhh ... Sakit!"

"Ann ..."

"Tolong, tolong bantu aku," erangku ke arah pria yang tadi aku tolong. Tapi bukannya menolongku, dia malah berlari meninggalkanku.

"Sial! Dia malah kabur. Apa itu artinya aku akan menjadi makanan Ogre," batinku takut.

"Mau kemana kau gadis kecil! Kau harus mengganti makananku."

"Lepaskan, monster jelek!" Akupun merontak kuat berharap dia melepaskan tanganku. Aku tak sanggup di dekat monster bau ini.

"Ann, serang dia dengan pisau itu," teriak Bubble yang terbang ke muka Ogre dan mencakar-cakar mukanya.

Aku yang masih memegang pisau di tanganku pun segera menusuk dengan sekuat tenaga tangan Ogre yang memegang tanganku yang lain.

"Aaarrrggghhhh ... Arrgggghhhh ..." Akupun terlepas dari pegangannya. Ogre yang aku tusuk itu berteriak-teriak kesakitan.

"Ann, ayo lari sebelum yang lain tiba di sini."

"Pegangan yang kuat Bubble," perintahku saat Bubble kini duduk di pundakku, memegang erat bajuku.

Akupun segera berlari sekuat tenagaku. Saat menyadari beberapa Ogre kini mengejarku dengan brutalnya, "Cepat Ann, mereka makin dekat."

"Oh, God!" Aku terus berlari tanpa tahu jalan mana yang harus aku lalui. Satu-satunya yang aku yakini, aku harus cepat keluar dari hutan ini. Tapi dengan suasana gelapnya hutan, membuatku tak mengerti jalan mana yang harus aku ambil. Hingga akhirnya kakiku terkait akar pohon dan terjerembab di tanah licin penuh lumpur.

"Aduuuhh," keluhku saat mendarat dengan tak baik.

"Awas Ann!" teriak Bubble.

Aku yang refleks mendengar teriakan Bubble menoleh ke atas. Terlihat sudah seorang Ogre telah berhasil mendekatiku dan mengayunkan senjatanya -pemukul dari kayu besar- ke arahku. Seketika aku memejamkan mata. Meletakan ke dua tanganku di atas kepala. Rasa takut menyerang tubuhku. Apa ini akhir hidupku? Di tangan monster jelek ini!

"Ann, kau tidak apa-apa? Cepat berdiri! Aku tak bisa menahannya cukup lama lagi."

Aku yang mendengar ucapan Bubble, perlahan membuka mata. Kini aku melihat Bubble sedang mengeluarkan cahaya putih yang menjadi tameng untuk kami berdua. Monster Ogre yang mengejar tadi telah terjerembab jatuh menghantam pepohonan di dekat kami. Aku langsung berdiri dan memeluk Bubble erat. Membawanya kembali berlari menjauhi semua itu.

"Aaarrggghhhh ...." Terdengar kembali rauangan kemarahan Ogre lainnya yang mungkin tak terima melihat temannya terluka.

Perlahan cahaya yang keluar dari tubuh Bubble menghilang. Semua kembali menjadi gelap. "Bubble kau tak apa?" tanyaku khawatir melihat dia lemas di pelukanku.

"Aku tak apa, Ann. Hanya sedikit lelah. Kita harus bersembunyi, sampai matahari terbit. Sepertinya makhluk-makhluk itu tak lagi mengejar kita."

"Kita bersembunyi di mana Bubble. Aku bahkan tak dapat melihat ke sekeliling," jawabku sambil terengah-engah mengatur napas.

Namun aku tak mendapat jawaban apapun darinya. Pandanganku melihat ke arahnya yang kini ada di pelukanku. Bubble telah memejamkan mata, aku pun mencoba membangunkannya "Bubble, Bubble bangun! Kau tidak apa-apakan?" teriakku panik saat ia tak bergerak sedikit pun.

"Bagaimana ini, aku harus ke mana?" Aku bergumam, sambil menoleh ke kanan dan kiri. Rasa panik menjalar pikiranku. "Bubble, kau harus kuat."

Aku melangkah tak tahu arah. Hingga tubuhku di batas kelelahan. Malam sudah sangat larut. Temaram cahaya bulan sesekali menyembul di celah pepohonan. Para Ogre tak lagi mengejarku. Bubble pun tak kunjung membukakan matanya.

Aku bersandar di rindangnya pohon yang cukup besar. Ku letakkan tubuh Bubble di atas tas yang telah kulapisi baju ganti yang kubawa. Membuatnya nyaman dalam istirahatnya. Tak lupa ku periksa bagian tubuhku yang terluka, aku tak ingin kejadian di istana terulang kembali. Untung tak ada luka yang terbuka lebar. Hanya lebam biru dan luka kecil yang terlihat. Setelah ku obati seadaanya, aku pun membaringkan tubuh lelahku di dekat Bubble.

Suara-suara binatang malam terdengar bersahutan di telingaku. Aku tak peduli, aku hanya ingin malam ini segera berlalu pergi. Perlahan mataku meredup, aku pun bergumam lirih, "Wahai Pepohonan, izinkan aku istirahat di dekatmu, jangan biarkan yang jahat mendekatiku." Setelah itu akupun tertidur pulas dalam lelahku.

***

Aroma apa ini, wangi sekali. Perlahan aku membuka mataku dan sedikit mengusapnya lembut. Kicauan merdu para burung menyambut pagiku. Tak lupa aku menguap dan sedikit menggeliat, meregangkan tubuhku.

Aku melihat Bubble masih tertidur di dekatku. Saat aku mengelus bulunya yang lembut, diapun bereaksi dengan sedikit bergerak manja. Aku rasa dia sudah terlihat lebih baik dari semalam. Tiba-tiba hidungku kembali mencium wangi ranum di sekitarku. "Bau apa ini, aku jadi lapar," gumamku sambil mengelus pelan perutku.

"Kau sudah bangun, Nona?"

Aku membelalakkan mataku saat mendengar suara itu, "Si-apa kau?" tanyaku terbata-bata.

"Aku pohon tempat kalian berlindung."

"Po-hon?" tanyaku tak percaya. Akupun langsung membalikan tubuhku dan memastikan ucapannya. Ternyata benar, suara itu berasal dari pohon tempatku bernaung.

"Kau! Bisa bicara?"

"Tentu saja aku bisa bicara."

(gambar dari Google, Ent)

Aku melihat pohon besar di belakangku seolah memiliki wajah dan sedang tersenyum padaku. Ada sedikit rasa merinding di tubuhku. Ya Tuhan! Dunia ini memang aneh. Bahkan pohonpun bisa bicara.

"Hei, jangan takut. Kami Ras Ent tidak akan melukai siapapun. Kami makhluk yang cinta damai," ucapnya seolah menjawab ketakutanku.

Aku membuang napas perlahan, "Baguslah kalau seperti itu, karena aku sudah lelah dikejar-kejar makhluk aneh seperti tadi malam."

"Apa yang kau maksud Ogre?"

"Iya, semalaman kami dikejar makhluk jelek dan menjijikkan itu," rutukku sambil membenarkan posisi dudukku kembali.

"Tenang saja, Ogre tidak akan berani mendekati tempat ini. Kau pasti lapar, 'kan? Kau boleh memetik buah ku untuk kau santap," tawarnya saat melihat aku yang terus memegang perutku.

"Benarkah? Wah, kau baik sekali. Apa aku boleh mengambil beberapa juga untuk ku bawa menemani perjalananku nanti?"

"Tentu saja boleh? Ambil saja sesukamu."

Aku tersenyum medengarkan izin yang ia berikan. Karena aku tak pintar memanjat pohon, ia pun menurunkan dahan-dahannya agar bisa aku petik dengan mudah, hingga aku bisa memenuhi tasku.

***

"Peaches, terimakasih buahnya. Ini sungguh manis dan juga lezat. Buahmu bahkan menambah stamina tubuhku," ucapku sambil memakan buah berwarna merah muda yang ada di tanganku. Entah ini sudah buah ke berapa.

"Hahahaa ... Terimakasih atas pujiannya, Ann."

"Ah, Bubble belum juga bangun. Apa dia begitu sangat kelelahan," gumamku pelan sambil mengelus kepalanya.

"Kau beruntung Ann memiliki Atma sepertinya. Bangsa Okrugli terkenal akan kesetiannya."

Aku mengangguk setuju mendengar ucapannya. Bubble meski menyebalkan, tapi ia sangatlah baik. Dia selalu bersedia membantuku, di saat yang lain malah ingin melukaiku. Saat ini hanya dia satu-satunya teman yang dapat ku percaya. Aku masih menatap dia yang tertidur dengan pulasnya.

"Jangan khawatir, ia akan segera sadar. Taruh saja buahku di dekat hidungnya. Dia pasti akan segera membuka matanya. Tak ada yang bisa menolak wanginya buahku."

"Kau benar sekali, aku bahkan tadi terbangun karena mencium ranumnya buahmu."

Aku pun bergegas menaruh sepotong buah di dekat hidungnya. Bubble pun merespon dengan menggerakan hidungnya seperti sedang mengendus-endus. Tak lama setelah itu, matanya pun membuka dengan lebar.

"Enak!" Setelah mengucapkan kata itu, ia pun duduk dan menyantap buah di dekatnya.

"Pagi Bubble," ujarku saat melihat dia mulai menyatap makanannya.

"Ann, kau baik-baik saja?" tanyanya saat menyadariku di dekatnya.

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya, "Kau bisa lihat sendiri Bubble, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Apa kau sudah puas tertidur?" tanyaku menggoda dirinya.

Tapi seperti biasa dia tidak berniat menjawab pertanyaan yang kuajukan, dan terlihat asyik dengan makanan di tangannya. Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku.

"Peaches, selama ini kau berada di hutan terlarang. Apa kau tak takut dengan Ogre?" tanyaku penasaran.

"Bangsa Ogre tak akan berani mendekatiku. Mereka bahkan sangat membenci para Ent seperti kami."

"Kenapa seperti itu?"

"Karena mereka tak menyukai wewangian."

"Oh, begitukah. Berarti semalam mereka tak lagi mengejar kami, karena bantuanmu, Peaches? Ah, semalam aku terlalu lelah jadi tak menyadari wewangian yang kau keluarkan. Terimakasih atas semua bantuanmu," ucapku sambil sedikit menundukan kepalaku, tanda memberi penghormatan padanya.

"Hei Ann, tak perlu sungkan. Aku senang membantu kalian."

"Peaches, bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu?"

"Kau tak perlu membalasnya Ann. Karena aku membantumu dengan ikhlas. Namun, ada satu hal yang bisa kau lakukan untukku," ucapnya ragu.

"Apa itu? Katakanlah Peaches."

"Kau bisa membantuku menyebarkan biji buahku ke tempat yang baru. Agar anak-anakku bisa tumbuh tidak hanya di hutan terlarang ini, hingga semua orang bisa menikmati buahku."

"Hmm ... Jadi aku hanya harus menyebarkannya saja? Itu gampang Peaches, aku akan membantumu," ucapku bersemangat.

"Terimakasih Ann," ucapnya senang.

Aku melihat dahan-dahannya Peaches bergerak seperti menari-nari. Aku yakin saat ini dia sangat senang. Akupun ikut tersenyum melihat kebahagiaannya.

***

terdiri dari 2700 kata.

terimakasih masih bersedia menunggu, mampir dan baca kisah tentang Bubble dan Ann. semoga kalian suka dan bersedia meninggalkan Vote dan komentar, apalagi jika meninggalkan kritik dan saran, ditunggu banget.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top