Chap 10 : Kisah Akhir
"Hidup ini sebenarnya sederhana, hanya saja kita yang merumitkannya dengan rencana."
***
(Gambar google ; bayanganku kastil Keilantra, tapi lebih suram)
"Kastil begini besar dan hanya dihuni tiga orang. Pemborosan!" Ujarku saat mulai menyelinap ke kastil ini.
Bubble yang terbang di sekitarku, beberapa kali memperingati agar berhati-hati. Dia bilang meski di sini tak banyak penjagaan, tetapi bisa jadi telah di pasang sihir. Ratu Keilantra pasti bisa dengan mudah mengetahui kedatanganku.
Kami telah mengelilingi kastil ini. Hingga kami memutuskan untuk mengendap-endap ke bagian belakang kastil, yang ternyata terdapat taman yang indah. Bunga-bunga yang penuh dengan warna cerah. Tak kusangka, di kastil gelap ini terdapat warna yang begitu indah.
"Bubble, jika saja dunia ini tak dikutuk Keilantra, aku pikir setiap jengkal yang kita kunjungi, akan sangat indah seperti di sini," ujarku miris menatap semua ini.
"Dunia ini memang sangat indah, Ann," jawab Bubble di dekatku.
Aku melihat bunga-bunga dengan warna dan bentuk unik ada di taman ini. "Bubble, apa kau tak aneh? Keilantra Penyihir yang jahat, 'kan? Tapi, di rumahnya, punya taman begitu indah dan terawat."
"Mungkin karena dia bosan, tak ada temannya, makanya dia suka ngurusin bunga," jawab Bubble asal.
Mendengar jawaban Bubble aku tidak yakin dia melakukannya karena tak ada urusan. Hingga saat kami berkeliling, aku mendengar sesuatu. Suara orang mengobrol. Akhirnya kami segera bersembunyi agar tak terlihat dan mencoba mencari tahu suara siapa itu dan dari mana.
Aku dan Bubble mengendap-endap saat melihat seorang wanita dengan gaun hitamnya terlihat asyik duduk bercengkrama di gazebo dekat danau kecil. Aku bertanya-tanya dalam hati, siapa wanita itu, cantik. Ia terlihat asyik ngobrol dengan seekor gagak hitam. Tunggu! Gagak hitam? Berarti dia, "Kei-lan-tra," ucapku pelan terbata-bata.
(Gambar dari Google , cast Keilantra)
"Kau benar, dia Keilantra," ucap Bubble menyakinkanku.
Keilantra benar-benar tak seperti dugaanku, yang berwajah angkuh dan menyebalkan seperti Attaya. Keilantra yang sedang berdiri tak jauh dariku berwajah anggun dan terlihat, baik. Senyumnya bahkan terlihat menawan. Apa benar dia Ratu Penyihir jahat di dunia ini? Yang begitu tega mengutuk dunia ini berwarna suram?
"Lama kita tak bertemu, Keilantra!" sapa seseorang yang berdiri dengan angkuhnya. Saat ku lihat ternyata adalah Attaya.
"Attaya! kenapa dia ada di sana?" bisikku kepada Bubble.
"Kita lihat saja, apa maunya dia," jawab Bubble kemudian.
Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajah Keilantra saat melihat kedatangaan Attaya. "Akhirnya kau berani datang ke sini juga, Attaya," ucap Keilantra menatap sinis Attaya.
***
Attaya menatap Keilantra dengan berjuta rasa. Bagaimana pun Keilantra wanita yang pernah mengisi hatinya. Tatapan sinis Keilantra kali ini membuatnya sadar. Wanita itu benar-benar tak seperti yang ia kenal.
"Aku ke sini memintamu menarik semua kutukan tehadap Dunia warna!" ucap Attaya lantang.
"Hahaha ... Hanya itu? Kau pikir, aku mau menarik semuanya begitu mudah! Tidak akan! Jika hanya itu yang kau inginkan, enyahlah dari rumahku!" teriak Keilantra marah.
"Jika kau membenciku, kenapa kau tidak melampiaskan semuanya langsung kepadaku. Berhenti menyakiti rakyatku!" Kali ini suara Attaya tak kalah lantang dari Keilantra.
"Hahaha ... Kenapa aku harus membencimu! Kau bermimpi Ya-ng Mu-lia. Pergilah atau kau akan berakhir di tanganku!" Kali ini Keilantra telah bersiap mengeluarkan bola api di tangannya.
Wajah manisnya tadi, keanggunannya tadi telah hilang. Kini selimut kebencian telah menutupi dirinya. Attaya tak bergeming sedikitpun melihat itu semua. Ia memasang kuda-kuda siap menghadapi Keilantra. Bahkan pedangnya telah diancungkan ke arah Keilantra.
"Baik, jika itu maumu! Bersiaplah mati di tanganku!" teriak Keilantra sambil melemparkan bola api bertubi-tubi ke arah Attaya.
Attaya yang memang gesit bisa dengan mudah menghindari serangan dari Keilantra. Tapi dia mulai kewalahan karena bola api itu datang silih berganti dengan begitu cepat.
"Hentikan!" teriak Ann keluar dari persembunyiannya. Bubble terbang di dekat Ann.
"Siapa kau?!" Seru Keilantra saat melihat Ann.
"Aku Ann. Hentikan kejahatanmu, Keilantra," ucap Ann perlahan, membujuk Keilantra.
"Beraninya kau ingin mengaturku!" teriaknya marah sembari melempar bola api ke arah Ann.
Ann yag masih bingung tak sempat menghindar. Untung saja Bubble dapat menyadarkan Ann di detik terakhir. Hingga Ann tak terluka serius.
"Aduh," rintih Ann memegang pipinya yag terluka. Darah segar mengalir. Attaya berlari mendekatinya.
"Kau tidak apa-apa," tanya Attaya khawatir.
Ann hanya mengangguk perlahan. Darahnya membuat tubuhnya kembali lagi seperti semula. Berwarna. Alhasil menyadarkan Keilantra siapa Ann sebenarnya.
"Kau ...," ujarnya menunjuk Ann dengan marah. Ia berusaha mengeluarkan sihir terkuat dirinya dan melempar ke arah Ann, Attaya dan Bubble.
Kilatan cahaya merah akan menghantam tubuh mereka. Attaya berusaha melindungi Ann dengan tubuhnya. Tapi, hanya dentuman keras yang terdengar.
Duaaarrrr ...
Attaya dan Ann melihat ternyata Bubble telah mengeluarkan perisai pelindungnya. "Ann, sekarang saatnya! Berdiri! Kita hancurkan Keilantra sekarang juga," teriak Bubble ke arah Ann.
Ann dan Attaya saling berpandangan. Mereka mengangguk serempak. Seakan memberi tanda 'Ya, sekarang saatnya mereka menyelamatkan Dunia warna.'
***
"Yang Mulia, Nona Ann, kalian tak apa?" ujar Sterkur yang terbang di atas kami. Aku dan Attaya mengangguk ke arahnya.
"Ann, kita berpencar, kau ke sebelah kiri! Sterkur, gagak itu kau yang handle! Bubble, lindungi Ann," perintah Attaya kepada kami.
Keilantra masih dengan beringas menembakan bola-bola api ke arah kami. Aku menatapnya dengan kesal. Wanita itu, aku tertipu dengan kecantikannya!
Attaya memberi aba-aba. Aku berlari berlawanan arah dengannya. Bubble tetap berjaga melindungiku dengan perisainya. Aku mencari celah agar bisa menyerang Keilantra, tapi itu, sulit. Aku melihat ke arah Attaya yang kewalahan, beberapa kali dia hampir terkena bola-bola api itu. Sedangkan Sterkur, berjuang menghadapi Atma Keilantra di udara. Aku membuang napas panjang. Jika seperti ini terus kami akan kalah!
"Ann, lakukan sesuatu! Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi," ujar Bubble dan itu berhasil membuatku panik.
"Jika Keilantra bisa melakukan itu, mungkin aku juga bisa. Ya, aku pasti bisa, karena aku Penyihir Legenda!" Aku mulai berkonsentrasi mengaliri sihir di telapak tanganku. Tapi, mantra apa yang harus ku gunakan.
Aku mengingat-ingat beberapa mantra yang di ajarkan Ketua Suku Abatwa. Bola cahaya! Aku harus mencobanya. Aku berkonsentrasi penuh, kuharap bola cahaya yang ku buat cukup kuat melawan Keilantra.
"Ejosapera Eldur!" Aku ucapkan beberapa kali kata ini sambil berkonsentrasi penuh. Perlahan dari tanganku mengeluarkan cahaya api seperti milik Keilantra hanya saja berwarna biru. Aku tersenyum melihat keberhasilanku.
"Bubble, tunggu aba-abaku. Lalu lepas perisaimu," ucapku yakin. Bubble hanya tersenyum melihat keyakinanku.
"Sekarang!" Bubble langsung melepas perisainya dan terbang ke belakangku. Aku mulai nenembakan bola api milikku ke arah Keilantra. Tak ada rasa takut atau gentar menghadapinya. Kini aku telah mengumpulkan semua keberanian yang ku miliki.
Attaya pun mulai maju menyerang dengan pedangnya. Tak imbang! Dua lawan satu. Tapi, ini semua harus dilakukan jika ingin mengalahkan Keilantra.
Aku dan Attaya kini menghadapi Keilantra dengan habis-habisan. Sesekali Bubble membantu mencari kelemahan Keilantra. Keilantra sedikit terpojok karena serangan kami yang bersamaan. Hingga semua berubah saat Attaya tiba-tiba saja terkena bola cahaya dari Keilantra dan terpental jauh ke belakang. Sehingga membuat dia terjatuh.
"Atttaaayyyaaa ...." Aku yang melihat itu menjadi sangat kesal. Bola-bola api di tanganku berubah menjadi lebih besar lagi dan menghujam Keilantra semakin mundur ke belakang.
"Wow, ternyata kau memang Penyihir Legenda, ya! Tapi, jangan bermimpi dapat menggantikanku Anak Kecil," cecar Keilantra sombong melawanku.
"Kau terlalu sombong, Ratu! Lihat saja! Anak Kecil ini akan menghancurkanmu," teriakku lantang terus menghujam ia dengan bola-bola api.
Aku terlalu fokus menghadapi Keilantra, hingga tak memperhatikan yang lain. Hingga tiba-tiba saja teriakan Attaya menyadarkanku.
"Ann, menunduk!" teriak Attaya.
Aku yang mendengar teriakannya langsung menundukkan kepalaku. Dan menyadari sebuah balok kayu besar hampir saja mendarat di kepalaku. Aku yang kesal melepaskan bola apiku ke arah kiri, arah di mana seseorang melemparkan balok kayu tersebut.
Aaaaaaa ...
"Nanny ...!" Keilantra berteriak histeris saat menyadari seseorang terkena bola apiku.
"KAU!! Jangan harap bisa pergi dengan selamat," teriak Keilantra marah dan membaca mantra yang aku tak tahu untuk apa. Hingga keluarlah pusaran angin yang besar dan menarikku ke dalamnya.
"Ann ...." Teriakkan Attaya dan Bubble tetap tak mampu membantuku lepas dari pusaran ini.
***
Di mana ini? Apa dimensi lain? Pertanyaan ini berputar di otakku saat menyadari pusaran angin tadi membawaku ke tempat kosong dan gelap. Tak ada satupun barang yang ada di sini. Aku pun menelisik panik melihat ke segala arah.
"Apa kau takut!" ucap satu suara yang tak terlihat wujudnya dan aku yakin itu suara Keilantra.
"Di mana kau, Penyihir jelek! Jangan jadi pengecut dengan bersembunyi saja kau!" teriakku ke segala arah.
"Hahahaha ... Aku ada di depanmu," jawabnya meremehkanku.
Lalu terdengar suara hentakan sepatu tanda seseorang mendekatiku perlahan. Aku melihat Keilantra kini berdiri di hadapanku dengan angkuhnya!
"Aku selama ini tak pernah di akui siapa saja di dunia ini sebagai Ratu Penyihir! Semua orang tetap menghinaku dan tak ada yang menghormatiku sebagai Ratu di dunia ini! Mereka selalu menganggap penyihir terhebat di dunia ini hanyalah Penyihir Legenda, aku rasa jika sekarang aku bisa memusnahkan Penyihir Legenda, Dunia ini akan tunduk padaku," ucap Keilantra sombong menatapku tajam.
"Cih, jangan omong kosong. Jika aku yang terhebat, makhluk sepertimu tak akan bisa mengalahkanku!" ucapku lantang tak takut ke arahnya.
"Baiklah kita buktikan sekarang," ucapnya sinis dan komat-kamit mengucapkan mantra. Lalu melemparkannya padaku. Aku pun mengelak dan sihir itu tak mengenaiku.
Aku pun membaca mantra yang pernah diajarkan Ketua Suku Abatwa padaku. "Estraj motracindo ...," ucapku lantang melempar sihir ke arahnya. Tapi ia pun bisa mengelaknya.
"Wow, Gadis Kecil sepertimu ingin menggunakan sihir seperti itu! Jangan bermimpi bisa melakukannya padaku," ucapnya kembali meremehkanku dan melempar kembali sihirnya kepadaku, yang meski aku sudah kelelahan tapi masih dapat mengelak serangannya.
Aku berpikir keras. Jika seperti ini terus, jelas aku akan kalah. Apa yang harus aku lakukan. Aku harus mencari cara yang menguntungkan diriku.
"Kenapa kau tak membalasku, kehabisan mantra? Baiklah kalau begitu aku akan menghabisimu sekarang!" remehnya saat menyadari aku yang masih terdiam.
Tentu aku terus menghindari setiap serangannya. Aku tak ingin mengeluarkan sihirku sembarangan, karena hanya akan menguras tenagaku. Aku ingin menggunakan sihirku saat waktunya benar-benar tepat. Aku menunggu kesempatan itu.
Aku terus berlari dan menghindari serangan-serangan Keilantra. Sudah sangat lama ia mengeluarkan sihirnya untuk melukaiku. Fisik dirinya memang sangat kuat. Ia bahkan hanya terlihat sedikit lelah meski telah mengeluarkan banyak sihirnya.
"Berhentilah menghindariku! Cih, kita cukupkan saja permainan kita saat ini. Aku tak mau bermain lagi!" ucapnya kesal mengarah padaku.
Saat dia berkonsentrasi membaca mantranya untukku, aku melempar bola api ke arahnya. Ia berhasil menghindari seranganku itu. "Apa kau ingin menyerangku saat aku lalai. Hahaha ... Tak kan semudah itu Gadis Bodoh!" ucapnya kembali melempar sihirnya ke arahku dan kembali berhasil ku hindari.
"Aku rasa, Penyihir Legenda sepertiku memang telah terlatih untuk mengalahkan mu," ujarku seraya tersenyum senang.
Keilantra yang menyadari ekspresiku langsung menoleh ke belakang. Tapi terlambat bola api yang ku lempar hanya pengalihannya saja. Kini sihirku sebenarnya telah bekerja dengan baik. Aku berlari dan menghindari serangannya bukan karena takut. Aku hanya mencoba mengurungnya dengan sihirku. Tanpa ia sadari aku telah mengurung dia ke dalam kurungan sihir yang diajarkan Ketua Suku Abatwa padaku. Bola api yang ku lempar tadi hanya pengalihan dia tak mengeluarkan sihirnya saat aku membaca matra pengunci.
Keilantra yang marah melepaskan sihirnya ke arahku. Tapi sia-sia saja, mantra itu bahkan tak bisa menembus dinding penjara tak terlihat itu. Dia begitu prustasi dan mengeluarkan sihirnya secara emosional ke segala arah dan ingin menghancurkan dinding sihir itu. Tapi tanpa ia sadari, semakin ia melawan dan mengeluarkan sihir maka dinding itu semakin kuat mengurungnya.
Aku melihat Keilantra kini telah terduduk lemas karena kekuatannya yang habis ia gunakan untuk mencoba menghancurkan dinding sihirku. Aku tersenyum puas melihatnya. Kini aku bisa dengan mudah mengalahkannya dengan membaca sihir terakhir untuk mengunci Keilantra selamanya.
"Selamat tinggal Penyihir jahat! Estraj motracindo!" teriakku lantang mengeluarkan sihirku yang dapat bekerja dengan mudah di dalam kurungan itu.
Keilantra menatapku sayu. Tapi dia tak dapat berbuat sesuatu. Perlahan tubuhnya mengeras, sekeras batu. Ya, sihir yang kuucapkan tadi mengutuknya berubah menjadi patung untuk selamanya. Karena itulah satu-satunya bisa melepaskan kutukan dunia warna. Kutukan dibalas dengan kutukan, adil bukan.
Perlahan sebuah pintu cahaya muncul di hadapanku. Akhirnya aku bisa kembali keluar dari dimensi yang di ciptakan Keilantra. Kembali bertemu sahabat-sahabatku yang cemas mengkhawatirkanku. Dan meninggalkan Keilantra yang telah berubah jadi patung seutuhnya.
***
"Ann, kau baik-baik saja? Kau berhasil Ann," ucap Bubble yang mendekatiku saat aku keluar dari dalam dimensi itu.
"Ya, aku baik-baik saja. Kita berhasil, Bubble," ucapku senang menatap ke arahnya.
"Nona, selamat ya. Akhirnya kita memenangkan pertempuran ini," ujar Sterkur yang terbang rendah mengelilingiku.
"Iya, kau benar, Sterkur," jawabku senang.
"Dan saatnya kau pulang ke duniamu," ujar Attaya yang mendekatiku menyerahkan mahkota Ratu Sihir.
Aku yang melihat Attaya telah berubah menjadi berwarna dan tampan. Tubuhnya tak lagi terlihat berwarna abstrak. Rambutnya berwarna putih. Bahkan manik matanya begitu unik, kiri berwarna hijau dan kanan berwarna biru. Aura ketampanannya sungguh menyilaukan.Aku menggelengkan kepalaku pelan. Mencoba sadar tak boleh berpikiran aneh saat melihatnya.
"Terimakasih," jawabku dan mengambil mahkota yang ia berikan.
"Di mana gagak dan wanita tadi?" tanyaku penasaran saat tak melihat mereka di sini.
"Sepertinya mereka sudah melarikan diri," jawab Bubble kemudian.
Aku menatap Bubble lekat. Ini saatnya berpisah dari Atma ku ini. Tiba-tiba saja airmata jatuh di pipiku. Aku memeluknya erat. "Bubble, aku pasti akan merindukanmu," isakku.
"Ann. Kau sangat suka memeluk, sesak," rontak Bubble seperti biasa. Aku pun melepaskan pelukanku.
"Tak perlu menjadi cengeng, Ann. Ini baru awal, mungkin kita bisa bertemu lagi nanti," ujar Bubble menenangkanku.
"Benarkah? Kita bisa bertemu lagi?" tanyaku penasaran.
"Entahlah, aku hanya bicara asal, Ann," ujar Bubble kemudian.
"Kau ini," rutukku kesal. Dia memang Atma terbaik.
Akupun melihat Sterkur yang telah bertengger di tangan Attaya. "Hai, Sterkur, mata mu ternyata sangat indah. Berwarna kuning keemasan. Aku pasti akan sangat merindukanmu juga," ucapku seraya memeluk Sterkur.
"Aku juga pasti akan merindukanmu, Nona," ujar Sterkur.
Setelah itu aku langsung melihat Attaya dan mengulurkan tanganku. "Senang bertemu denganmu, Yang Mulia Attaya."
Attaya tersenyum sangat manis dan membalas jabatan tanganku, "Senang berkenalan denganmu, Ann."
"Sampaikan salamku untuk Alexi dan juga semuanya. Katakan ke Lexi maaf karena tak mempercayainya, katakan juga dia pria tertampan yang ku jumpai di dunia ini, dan aku bersyukur kutukan dunia warna telah hilang," ujarku panjang lebar.
"Ok!" jawab Attaya singkat dan terlihat tak suka. Tapi, Attaya memang seperti itu, 'kan? Kalau tidak seperti itu bukan Attaya namanya.
Dan seperti biasa aku hanya tersenyum membalas kekutekannya. Tiba-tiba saja, Attaya memelukku, berujar pelan, "Terimakasih untuk semuanya. Aku harap kau tak melupakan kami."
Aku yang tiba-tiba mendapat perlakuan seperti ini dari Attaya, menjadi sedikit bingung. "Ok, baiklah," jawabku kemudian.
Setelah berpamitan. Aku mengenakan mahkota Ratu Sihir di kepalaku. Mengucapkan mantra sihir. "Aku Ratu Sihir Kiandra Anaia Wijaya memerintahkan kau untuk segera membawaku pulang ke duniaku."
Tak lama setelah aku memberi perintah itu perlahan tubuhku bercahaya terang menyilaukan. Bahkan aku bisa melihat ke tiga sahabatku menutup mata mereka menahan silau. "Selamat tinggal, Dunia Warna."
***
Aku terbangun dari tidurku. Ini kamarku. Ya, ini benar-benar kamarku. Astaga sudah berapa lama aku pergi. Semoga Bibi Nisa dan Sandra baik-baik saja. Aku bergegas keluar kamar, ketika tiba-tiba saja Sandra telah berdiri dan membukakan pintu kamarku.
"Tumben jam segini sudah bangun? Biasanya kau sangat susah dibangunkan, Ann," ujar Sandra tak percaya.
Aku yang melihat Sandra, langsung berhamburan memeluknya. "Astaga, aku merindukanmu."
"Ann, kau kenapa? Sakit?" tanyanya khawatir sambil meletakkan punggung tangannya ke jidatku.
"Mana Bibi, aku sangat merindukannya," ujarku sambil berteriak memanggil bibi.
"Wah, kau stress ya Ann. Kau lupa kalau bibi masih keluar kota. Jangan-jangan, kau stress karena tak bisa tidur karena suara berisik biolaku ya? Astaga, maafkan aku, Ann," ujar Sandra mengambil kesimpulan sendiri.
Tunggu dulu jika saat ini bibi masih di luar kota, Sandra bahkan belum mengikuti pertandingan itu. Berarti sekarang? Aku pun bergegas melihat tanggal di kalender untuk memastikan sesuatu. Ternyata benar! Ini hari di mana aku pergi. Itu artinya, apa semua yang ku alami di dunia warna hanya mimpi!
"Cepat kumpulkan kesadaranmu, Ann. Lalu mandi dan sarapan. Hari ini aku membuatkan nasgor kesukaanku," ujarnya pergi meninggalkan kamarku.
"Itu kesukaan mu, Sandra ... bukan kesukaanku," protesku setengah teriak menimpali ucapan Sandra tadi.
Aku yakin yang ku alami di Dunia Warna bukan sekedar mimpi. Karena aku melihat buku pelangi tergeletak di meja kamarku. Bahkan mahkota dan kotak kenangan dari Hazi pun tergeletak di meja. Aku membuka lembaran buku tebal berwarna indah. Entah sejak kapan buku itu telah terisi dengan gambar-gambar indah. Gambar perjalananku selama ke Dunia Warna. Setidaknya aku yakin apa yang terjadi itu bukanlah mimpi semata. Pertemuanku dengan Bubble, Sterkur, Alexi, Suku Abatwa, dan juga Attaya itu adalah nyata. Mungkin suatu saat nanti, aku bisa bertemu kembali dengan mereka semua.
-----THE END-----
Akhirnya kisah ini usai sudah. Aku bingung mau buat akhir yang greget itu seperti apa. Semoga kalian suka dengan cerita ini. Terimakasih sudah support sampai akhir. Terimakasih sudah membaca sampai sejauh ini. Happy reading.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top